Referat LGV
Referat LGV
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C.
trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3.(1) LGV terjadi di seluruh dunia dengan
beberapa gejala klinis, gejala yang tersering berupa papula atau ulkus dengan
limfadenopati inguinal, diikuti dengan proktitis. Meskipun LGV secara klasik
merupakan proses infeksi yang sangat invasif, namun pasien kadang tidak
memiliki gejala klinis limfadenopati yang signifikan atau memiliki gejala kilinis
yang sedang.(2)
LGV endemik pada pada beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara,
Amerika Selatan, dan Carribean.(1,2) Secara historis angka kejadian LGV sangat
rendah pada negara-negara industri sejak pertengahan tahun 1960.(3) Sejak tahun
2003 terjadi wabah LGV pada beberapa kota di Eropa, terutama diantara kaum
laki-laki dengan HIV positif yang berhubungan seksual dengan sesama jenis
(kaum homoseksual). Mayoritas kasus (> 75%) telah terdiagnosis positif HIV, dan
beberapa pasien memiliki infeksi menular seksual yang menyertai seperti gonore
atau hepatitis C.(4)
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa LGV sangat responsif terhadap
terapi antibakterial golongan siklin seperti doksisklin atau tetrasiklin. Namun jika
LGV tidak diterapi, akan terjadi kerusakan jaringan yang luas yang berlanjut
menjadi abses jaringan yang dalam, kronik fisura, striktur, dan abdominal pain
yang berat.(3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
yang menyebabkan penyakit LGV, sub tipe ini lebih invasif dibanding sub tipe
yang lain.(2,7)
Tabel 1. Berbagai Penyakit yang Disebabkan oleh Chlamydiae(7)
yang tidak dapat hidup di luar sel host, namun dapat bereplikasi melalui
pembelahan biner untuk memproduksi RB selanjutnya. Setelah 20 jam, vacuole
terdiri atas banyak RB dan mulai membentuk EB. Setelah 40 jam post infeksi,
vacuole terdiri atas banyak EB yang sudah matur dan sebagian kecil RB yang
mengalami pembelahan. Setelah 48-72 jam post infeksi, sel host lisis dan
melepaskan vacuole yang terdiri dari EB matur yang berjumlah sekitar 100-1000.
Siklus hidup Chlamydia selesai dalam waktu 2-3 hari (Gambar 4).(7,9)
pada kavum oris (tonsil) dan ekstra genital limfo nodi.(4) Lesi biasanya
soliter dan cepat hilang tanpa meninggalkan jaringan parut. Karena itu
penderita biasanya tidak datang pada waktu timbul stadium primer.(1,2,5)
2. Stadium sekunder
Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer.
Stadium ini berlangsung sistemik dan menyerang limfo nodi inguinal,
anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis, vulva, atau perianal,
maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral.(1,2) Limfadenopati
ingunal lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada
genitalia eksterna. Sedangkan pada wanita terjadi, jika lesi primernya
terletak pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya
limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada
umumnya lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam,
yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika lesi primernya pada tempat
tersebut, maka yang mengalami peradangan adalah kelenjar Gerota.(5)
Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening
inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi
genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal adalah beberapa dan dapat
diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan
tampak kelima tanda radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio
lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan yang
tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacammacam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di
tengah, dan dapat terjadi abses dan fistel yang multipel.(5) Terbentuknya
abses di dalam limfo nodi yang meradang, disebut Bubo, yang dapat
ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo yang ruptur akan
mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo
nodi yang tidak ruptur akan membentuk massa yang mengalami indurasi
dan akan menyembuh dalam satu bulan.(2) Pada stadium lanjut terjadi
penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa iliaka yang disebut Bubo
bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke kelenjar femoralis. (5)
terbentuk
abses.
Kemudian
abses
akan
pecah
sehingga
3. Stadium tersier
Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan
mengalami fibrosis sehingga aliran limfe terbendung yang menyebabkan
terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia. Elefantiasis tersebut
dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada
pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada
wanita di labia dan klitoris, yang disebut Sindrom Esthiomen dengan
genitalia eksterna yang mengalami destruksi luas. Jika meluas akan
terbentuk
elefantiasis
genito-anorektalis
yang
disebut
Sindrom
Jersild.(1,5)
Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel
selanjutnya akan meluas menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan
menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi yang menyebabkan striktura
rekti.(5)
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi
abses, lalu memecah dan menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur
hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan yang
disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti pedang
turki.(5)
10
saraf
pusat
dapat
pula
mengalami
kelainan
berupa
11
sub tipe lain diluar LGV. Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang,
diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan
LED meningkat. Peningkatan ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi
tidak khas untuk LGV, namun lebih berati untuk menilai proses
penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.(5)
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin,
sedangkan albumin normal atau menurun, sehingga perbandingan albiminglobulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang meningkat adalah IgA
dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama
dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.(5)
2. Tes Frei
Pada tahun 1930-1970, LGV didiagnosis melalui tes kulit dengan
tes Frei, sebuah tes yang menunjukkan hipersensitifitas tipe lambat untuk
antigen Chlamydia, mirip dengan tes tuberkulin. Tes ini tidak sesensitif
seperti tes serologi, dan kadang menunjukkan hasil false positive karena
infeksi bakteri Chlamydia sub tipe D-K. Saat ini antigen untuk tes Frei
sudah tidak tersedia lagi.(1,4)
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari
pus penderita LGV yang mengalami abses yang belum pecah, kemudian
dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan pasteurisasi. Untuk
mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat
diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari.(5)
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc
disuntikkan intrakutan pada bagian anterior lengan bawah dan dibaca
setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih berati
positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga
memberikan hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru
memberi hasil positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berati
sedang atau pernah menderita LGV.(5)
12
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga
menderita LGV, kemudian disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif
berati penderita yang diduga menderita LGV.(5)
3. Swab Speciment
Pada pasien yang diduga menderita LGV, spesimen yang diambil
dapat berasal dari swab rektum (pada proktitis) atau ulkus kemudian
dilakukan tes laboratorium. Spesimen swab dari lesi rektum yang
divisualisasikan dengan anoskopi memberikan hasil mikorobiologi yang
lebih baik dibanding swab rektum saja (blind). Pada pasien yang
menderita proktitis berat, harus dipertimbangkan adanya HSV, terutama
pada pasien dengan HIV positif, swab rektum untul kultur HSV atau tes
PCR harus dilakukan.(2)
4. Tes serologis
Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu
tes
ikatan
komplemen
(Complement
Fixation
(CF))
dan
tes
13
14
6. Pemeriksaan Khusus
Pasien
dengan
proktitis
yang berat
perlu
dirujuk
untuk
Gambar 8. Hasil endoskopi pada rektum dua pasien LGV dengan proktitis akut.
Kiri : proktoskopi menujukkan tumor yang luas dengan beberapa eksudak
purulen pada bagian distal rektum. Kanan : Sigmoideskopi menunjukkan ulserasi
rektum yang sirkuler dengan batas yang jelas diantara mukosa yang normal.(10)
15
16
2. Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya
dermatitis atau skabies pada genitalia eksterna yang mengalami
infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut
juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak, sehingga tidak
membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada LGV. Pada
pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit. (5)
3. Limfadenitis karena ulkus mole
Ulkus
mole
kini
jarang
terdapat,
jika
menyebabkan
17
Pasien LGV yang juga menderita HIV positif mendapat pengobatan dengan
regimen yang sama dengan pasien LGV yang lain yang tidak terinfeksi HIV.(2)
Tabel 4. Regimen Terapi pada Penyakit LGV(2)
Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV
menyembuh. Hal ini mungkin berlangsung selama 3-6 minggu.(2) Bubo yang
fluktuatif harus diaspirasi karena tidak akan pulih hanya dengan pengobatan
antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau eksisi pada bubo tidak akan
membantu dan akan meperlambat proses penyembuhan.(12) Komplikasi lanjut
LGV, seperti striktur pada rektum akan membaik dengan terapi antibiotik, namun
tidak dapat mengoreksi kerusakan akibat fibrosis. Fistula rekto-vagina, obstruksi
usus, dan esthiomene membutuhkan tindakan bedah dan pengobatan antibiotik.(1)
18
Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, tetapi juga
pada partner hubungan seksual. Jika pasien telah didiagnosis LGV, maka partner
hubungan seksual selama 30 hari terakhir juga harus dievaluasi, jika menunjukkan
gejala klinis, maka harus diobati seperti pasien yang telah didiagnosis LGV.
Namun, jika partner hubungan seksual tidak menunjukkan gejala atau
asimtomatik, maka harus diobati dengan doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari
selama 7 hari, atau dosis tunggal 1 gr azitromisin.(2,4)
19
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C.
trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3.
LGV endemik pada pada beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara,
Amerika Selatan, dan Carribean, terutama diantara kaum laki-laki dengan HIV
positif yang berhubungan seksual dengan sesama jenis (kaum homoseksual).
Bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal, sindrom tersebut berupa
limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial
dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan
mengalami perlunakan yang serentak. Tanda khas pada sindrom inguinal adalah
adanya Bubo dan Groove Sign. Jika gejala ini berlanjut maka akan terjadi
komplikasi serius, yakni terbentuknya elefantiasis, limfoedema, dan esthiomen.
Untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan penunjang,
diantaranya melalui tes serologi, kultur, dan metode molekular. Tidak ada
pemeriksaan yang benar-benar direkomendasikan untuk mendiagnosis LGV,
karena masing-masing pemeriksaan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penatalaksanaan LGV denga antibiotik, lini pertama adalah doksisiklin
dan lini kedua adalah eritromisin. Bubo selain di terapi dengan antibiotik juga
dilakukan tindakan aspirasi. Pada LGV yang telah mengalami komplikasi lanjut,
dilakukan tindakan bedah.
3.2. Saran
Saran yang dapat diberikan pada penulisan referat ini adalah:
Deteksi dini gejala LGV dilakukan agar stadium LGV tidak berlanjut.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. 2010. Lymphogranuloma Venereum dalam: Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. h. 414-417
2. Dwi Murtiastutik, Dr.,SpKK(K), Buku Ajar Infeksi Menular Seksual,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Dr.
Soetomo Surabaya, Cet.1.- Surabaya: Airlangga University Press,2008, hal
84100,109125,135157,165180,187-195
3. Arsove, P., 2012. Medscape, Lymphogranuloma venereum. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/220869-overview#a0199
[accessed 7 Juli 2014].
4. Sentono, H.K., 2011. Limfogranuloma Venereum. In: Daili, S.F., et al.,
Infeksi Menular Seksual. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 109-115.
5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penyakit Menular Sexual,
Jakarta, 1999; 128-34.
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin.Edisi III. FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2005.