First, however, it is important to note that the topic of gender and the relation
between gender and justice are not new to philosophy (Linday Martin Alcoff and Eva
Feder Kittay- editor Feminist Philosohy)
-Yunani Kuno dan Jasa-jasa Perempuan yang Terlupakan
Feminisme bukanlah produk yang langsung saja ada, melainkan sudah
menjajaki proses sejarah yang begitu panjang dan tidak mengenakkan. Sebelum disounding-kannya pertama kali di abad 18, feminisme sebenarnya telah membentuk
embrio jauh-jauh hari. Embrio ini saya tafsirkan sebagai landasan munculnya
feminisme itu sendiri. Langkah awal saya dalam tulisan ini adalah menjabarkan
kemunculan embrio feminisme yang saya tujukan pada peradaban Yunani Kuno.
Pandangan terhadap perempuan pada masa Yunani Kuno dapat dilihat dari
pendapat filsuf yang berpengaruh pada masa itu, seperti yang dikemukakan Plato
mengenai konsep manusia perempuan bahwa, perempuan harus diawasi seperti hewan
ternak, perempuan sama dengan binatang. Karena perempuan tidak memiliki seni
perang maka perempuan tidak perlu mempunyai akses pendidikan, terdefinisi
perempuan hanyalah mesin produksi anak. Hal ini berlanjut pada pemikiran
Aristoteles bahwa perempuan sama dengan dipimpin, non-rasio dan defect-male
Gadis Arivia dalam Toeti Heraty (2013: 217).
Dalam pernyataan tersebut sebenarnya sedikit banyak menggambarkan
bagaimanakah perempuan di Yunani Kuno diperlakukan, utamanya di Athena, ruang
gerak perempuan sangat sempit dan dipandang sebelah mata. Bagi saya, pandangan
terhadap perempuan hampir sejajar sebagaimana budak pada masa itu. Perempuan
dipandang sebagai penyedia jasa dan harta milik saja, sehingga tidak berhak
mendapat hak-hak sebagaimana laki-laki merdeka. Konsekuensinya, hak sebagai
warga sipil berupa pemenuhan pendidikan dan berpolitik tidak mereka dapatkan.
Ironinya pandangan terhadap perempuan dari kacamata laki-laki merdeka ala
Yunani Kuno terkesan dangkal, karena pada umumnya perempuan dipandang hanya
dari segi ketubuhannya saja. Berdasarkan pandangan inilah, keinginan bagi kaum
perempuan agar keberadaannya turut diperhitungkan muncul.
Cara satu-satunya untuk sukses berkiprah pada masa ini adalah dengan
menjadi seorang Hetairai atau pelacur kelas atas yang menurut saya hampir mirip
dengan kasus Geisha di Jepang. Setelah menjadi Hetairai, barulah mereka dapat
dihargai dikalangan negarawan dan filsuf. Hetairai yang paling terkenal pada masa ini
adalah Aspasia yang dimiliki oleh Priscles (orator dan negarawan). Bukti kepopuleran
Aspasia adalah dengan diabadikannya patung Aspasia di gerbang Universitas Athena.
Gadis Arivia dalam Toeti Heraty (2013:227).
Hetairai bagi seorang perempuan pada masa ini merupakan sebuah anugerah
yang diperebutkan, sehingga tidak mudah menjadi Hetairai yang diidolakan, tidak
cukup hanya cantik namun juga memiliki banyak kemampuan seperti menari,
memainkan alat musik dan kecerdasan berbicara layaknya Aspasia.
Berbicara tentang Athena dan Plato, saya teringat filsuf yang dikenal dengan
kisah heroiknya mengenai perjuangan menjunjung tinggi kebijaksanaan. Tak lain
dan tak bukan adalah kisah Socrates, yang rela minum racun daripada memilih kabur
dari hukumannya. Tapi, apakah hanya Socrates yang melakukan pengorbanan untuk
filsafat? Saya rasa tidak, ada kisah lain yang diwakili oleh perempuan dalam
memperjuangkan filsafat sampai akhir (lagi-lagi kurang diperhitungkan).
Kisah Hypatia, filsuf perempuan di era Alexandria abad ke-4 seharusnya juga
disejajarkan dalam kisah penting untuk diceritakan di dunia kefilsafatan. Semasa
hidup, Hypatia mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan
filsafat, bahkan ia sempat menyumbangkan karyanya dalam bidang geometri dan
matematika. Namun, sayangnya masa Hypatia hidup tepat dimasa konflik dua agama
yang mengharuskan seseorang untuk menganut salah satu agama yang berkonflik.
Hypatia yang merupakan ateis sejati dan mendeklarasikan bahwa yang ia
imani hanyalah filsafat, tentu berada dalam masalah besar. Dengan keberaniannya
mengatakan demikian, Hypatia dianggap menyimpang dari pandangan orang pada
masanya. Dengan tuduhan menyembah berhala, ia dengan sadisnya diadili dimuka
umum. tanpa berbusana, berjalan sambil dilempari batu oleh penduduk sampai
akhirnya meninggal dunia. (Diangkat dalam sebuah film berjudul Agora, 2009)
Kenyataannya, kisah Hypatia tidak se-booming kisah Socrates. Dalam
perkuliahan pun tidak pernah saya dengar seorang dosen menyebut nama-nama filsuf
perempuan di era Yunani Kuno, padahal hal ini sangat menarik untuk diselidiki.
Semisal Phytagoras yang mengambil ajaran Themistoclea, yang merupakan seorang
pemimpin umat dari Delphi. Bahkan Phytagoras pun banyak terpengaruh metafisika
istrinya sendiri, Theano de Crotona. Selain itu pernahkah kita mendengar nama-nama
lainnya seperti; Hildegard de Bingen, Christine de Pixan, Anne Conway, Suzanne K.
Langer? Saya pun baru tahu sekarang.
Bukankah tidak mengherankan jika dalam proses sejarah yang begitu panjang,
perempuan akhirnya menuntut hak yang sama. Saya menangkap, sejauh ini goal yang
sebenarnya ingin perempuan perjuangkan adalah pencitraan dirinya sebagai seorang
perempuan dari sudut pandangnya bukan dari sudut pandang laki-laki, bahwa
mereka bisa diandalkan selayaknya laki-laki.
Dominasi Paradigma Patriarki dalam sejarah: Bercermin dari era Yunani Kuno
Kedangkalan era Yunani Kuno dalam menafsirkan perempuan dari kacamata
laki-laki, bukan hanya menjadikan filsuf-filsuf perempuan atau perempuan pada masa
itu kehilangan haknya, namun juga mewariskan pensubordinasian perempuan dalam
struktur yang patriarkhal. Perempuan disini tampak harus memenuhi segala macam
standar yang ditentukan oleh laki-laki (atau oleh struktur yang menguntungkan lakilaki). Nilai standar itu merupakan realitas obyektif yang meminta kepatuhankepatuhan sehingga menjadi praktik yang terus menerus berulang di dalam kehidupan
sosial (Abdullah, 2001:49).
Dalam pensubordinasian, hubungan antara laki-laki dan perempuan tak lebih
dari sekedar hubungan subjek dan objek. Perempuan menjadi objek dalam dunia lakilaki (culture), dan laki-laki sebagai subjek cenderung ingin melestarikan
kekuasaannya sebagaimana culture tersebut. Implikasinya, laki-laki selalu menjadi
dominan dalam aspek apapun.
Tradisi Filsafat Yunani Kuno bagaikan sebuah benih yang akhirnya menjadi
pohon yang lama kelamaan tumbuh memanjang, membesar dan beranak pinak.
Artinya, dari pemikiran Filsuf laki-laki era Yunani kuno mengenai kedudukan
perempuan ditengah masyarakat, telah menjadi stereo tipe yang kental. Bahwa apa
yang dikatakan Plato tentang perempuan itu lemah dan hanyalah mesin produksi atau
Aristoteles tentang perempuan= defect male, akhirnya berakibat perempuan pada
masa selanjutnya tak lebih dari sebuah alat pemuas atau pun juga sebagai komoditas
yang dapat diperdagangkan.
Perempuan akhirnya menjadi korban penindasan dalam banyak hal.
Kekerasan, pelecehan seksual dan perdagangan perempuan bukanlah sebuah hal yang
baru dalam kehidupan, karena sifat lemah yang dicantumkan pada perempuan itu tadi,
sehingga mudah sekali dikelabui dalam tindakan dominasi yang dilakukan laki-laki.
Pen-stereotip-an yang selanjutnya, menjadikan perempuan selalu berada pada
pola yang sama. Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja terpusat pada
kecendrungan untuk diperintah, dan tentunya yang memerintah adalah laki-laki.
Pekerjaan-pekerjaan ini semisal; sekretaris, resepsionis, waitress, atau pembantu
rumah tangga dll.
Ketika saya masih kecil, tertanam pendidikan dari orang tua yang
menyebabkan anak-anak wanita tidak terlalu berambisi menjadi wanita
karier. Tidak ada pilihan hidup bagi gadis-gadis selain menjadi istri dan ibu
bagi suami dan anak-anaknya kemudian. Banyak keluarga yang mengejek
anak perempuan menjadi juara kelas tapi tidak dapat menanak nasi.
Keluarga yang mempunyai gadis sangat khawatir apabila anak-anaknya tidak
dapat mendapat jodoh. Rupanya prestasi tertinggi nilainya bagi seorang
wanita adalah apabila ia berhasi menikah dan mempunyai anak.
Tedjakusuma dalam Irwan Abdullah (2001:108).
Sosialisasi semacam itu membenarkan, bahwa perempuan berdasarkan
pengaruh sosial budaya yang mengakar telah terbatasi dari pilihan-pilihan hidup yang
lain, seakan-akan eksistensi perempuan telah mutlak menjadi perempuan, dengan
kategori atau kecenderungan yang identik (masak, dapur, mengurus anak, diperintah,
lemah, ditindas, tidak penting dll).
Kondisi-kondisi serius inilah yang menjadikan latar belakang para feminis
akhirnya melakukan pergerakan perempuan tahun 1800-an dengan tokoh-tokoh
seperti Mary Wollstonecraft, Susan B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton, yang berani
berbicara tentang posisi perempuan yang tertinggal, miskin, dan buta huruf serta tidak
memiliki hak-hak sipil. Pergerakan awal dengan demonstrasi ini pada akhirnya
menyebabkan 200 perempuan ditahan. Tapi, yang jauh lebih penting dari itu semua
adalah, seratus tahun setelahnya, perjuangan perempuan nyatanya terus berlanjut.
Dalam hal ini perjuangan pergerakan perempuan tidak dapat dipandang stagnan
begitu saja, melainkan dinamis mengikuti isu-isu ketidakadilan yang muncul. Gadis
arivia dalam Toeti Heraty (2013: 220).
Saya, sebagai perempuan[.]
Disatu sisi saya ingin otonom, disisi lain saya ragu untuk berotonom sebagai
perempuan
dibedakan karena fisiknya yang lemah, toh, laki-laki juga banyak yang lemah dan
perempuan tidak sedikit yang lebih kuat dari laki-laki. Pen-stereotip-an perempuan
itu lemah bagi saya yang akhirnya menjadikan perempuan benar-benar merasa
dirinya lemah dan identik dengan manja, hemat saya, manusia pada dasarnya
memiliki kemampuan yang sama.
Meminjam kata John Locke tentang tabula rasa bahwa setiap manusia lahir
bagaikan kertas putih yang bersih, tinggal bagaimana manusia mengisinya selama
proses hidupnya. Maka perempuan yang juga merupakan bagian dari spesies animal
rationale seperti layaknya manusia laki-laki, mereka berhak memilih bagaimana
mereka mendefinisikan dan mengarahkan diri mereka dalam hidupnya.
Saya setuju dengan pandangan feminis mengenai culture and nature. Bahwa
penilaian mengenai perempuan dari kacamata laki-laki yang hanya dipandang dari
segi ketubuhannya adalah sebuah fallacy. Tidak semestinya cara berfikir dan
kesimpulan yang didapat adalah perempuan harus dibedakan, karena ia memiliki jari
yang lentik, dada yang membesar, pinggul yang membesar, dan hanya punya ovum
bukan sperma, kalau tidak ada sperma tidak akan ada regenerasi, maka laki-lakilah
yang utama. Apa yang diberikan alam (nature) kepada perempuan tidak seharusnya
dijadikan alibi untuk membedakan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Karena
tidak ada yang bisa memilih akan lahir dengan jenis kelamin apa, bahwa gender
adalah sebuah keniscayaan.
Saya merasa agak lucu ketika mendengar pernyataan teman saya dalam
obrolan santai. Mereka kaum laki-laki yang merasa tidak terima dengan penyetaraan
gender, lantas akan mengatakan hal yang kurang lebih sama, semisal
perempuan itu mau enaknya saja, semuanya ingin disetarakan, yasudah
kalau mau disetarakan semua, sekarang kalau ada bagian kerja berat tidak
usah manggil-manggil kami, kalau bagian benerin genteng tidak usah manggil
kami. Lagipula kalau perempuan dan laki-laki setara, sama saja menikah
dengan sesama jenis .
Saya hanya bisa mengatakan, bahwa anggapan seperti ini adalah anggapan orang
awam yang mempermasalahkan keniscayaan tanpa tahu apa itu keniscayaan, dan
otomatis mereka tidak mengerti mengenai apa yang mereka bicarakan. Karena dalam
feminisme, yang saya yakini adalah pembahasan mengenai ranah culture yang
mengarah pada perlawanan budaya partriarkhal bukan nature sebagai kodrat
perempuan.
Referensi:
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan reproduksi kekuasaan. Yogyakarta:
Tarawang Press.
Fahmy, Hamid. 2012. Misykat: refeleksi tentang westernisasi, liberalisasi dan islam.
Jakarta: Insist-Miumi.
Garvey, James. 2010. 20 Karya filsafat terbesar. Yogyakarta: Kanisisus.
Heraty, Toeti. 2013. Berpijak pada filsafat. Jakarta: Komunitas Bambu.
http://historia.co.id/artikel/kuno/983/Majalah-Historia/Hetairai,_Pelacur_Athena