Anda di halaman 1dari 2

Terbiasa adalah soal waktu.

Butuh adalah soal ruang.


Kemudian, Cinta?
(1) Lama-lama jadi cinta. (2) Butuh cinta. Inikah rumusnya? Teori?
Cinta adalah anugerah Tuhan. Ini terlalu berat untuk dijadikan pegangan orang. C
inta Tuhan Yang Maha Mencintai tidak mungkin tertandingi indahnya, kan? Manusia
tidak memiliki cinta sebesar Dia, mendekati pun sulit. Manusia adalah makhluk se
mpurna di antara yang remeh atau mungkin sempurna keremehannya. Apalagi cintanya
yang merupakan bagian kecil suatu diri. Lagipula semua hal selain cinta juga an
ugerah Tuhan.
Terbiasa adalah tentang ke(tidak)sadaran waktu yang merentang. Demi masa, sesung
guhnya merugilah kita jika waktu tidak dalam kesadaran, kata Tuhan yang Maha Men
cintai. Kesadaran ini untuk mengingatkan yang tidak sadar, sekalian diri yang su
ka sulit menjaga kesadaran. Ingat, ini perintah dan Tuhan menjadikan potensi pel
anggaran sebagai porsi pahala. Ialah potensi tidak sadar. Jika tanpa sadar, buka
n waktu yang merentang, alih-alih menyempit tanpa selisih, maka makin tak terasa
milidetiknya bahkan kerugiannya. Jika cinta ialah hasil sadar dan tidak sadar s
epanjang waktu, maka apakah cinta terbagi dalam dimensi? Dia yang sadar saat kit
a tidak sadar, atau sebaliknya, atau bahkan tidak sadar keduanya. Sepanjang wakt
u, berapa lama untuk tidak sadar? Berapa lama disisakan untuk sadar? Sayang jika
cinta tanpa sadar, tak merentang, tak terasa.
Jika cinta adalah yang indah untuk dirasakan, cinta harus disadari, selalu. Tanp
a perlu keterbiasaan.
Butuh adalah tentang ke(tidak)cukupan hadir yang diperlukan. Hadir yang luas, um
um, yakni keteradaan. Ada ruang yang kosong dan tidak semestinya kosong. Pengisi
(an)nya tidak perlu diperhatikan. Hanya ruang yang kosong yang harus segera tida
k kosong. Jika situasi berubah, itu hanya jika ruang itu hilang atau ruang itu t
erisi. Setelahnya, selesailah kata 'butuh', dan tak ada lagi yang mengiringi kat
a 'cinta'. Jika 'butuh cinta', keduanya hilang jika tak ada lagi kekosongan. Buk
ankah sepasang yang mencintai tidak saling menghilangkan?
Jika cinta adalah yang indah untuk dijaga, cinta harus kekal, utuh. Tanpa perlu
keterbutuhan.
Tapi, kita hidup di dimensi ruang dan waktu, kita tidak bisa lepaskan diri. Tida
k perlu melepas memang. Cinta adalah bagian dari diri, dikatakan. Seharusnya, ci
nta adalah keterbiasaan dan keterbutuhan kalau begitu, sekaligus. Namun, bisakah
kita menerima cinta yang tak terasa dan segera hilang? Terjadi sekaligusnya ter
biasa dan butuh: "Lama-lama butuh" cinta?
Mau ambil risiko?
Siapa yang menjamin terbiasa-untuk-cinta tak tergantikan dengan terbiasa-tanpa-c
inta sebelumnya? Siapa yang menjamin butuh-cinta tak tergantikan dengan butuh-ta
npa-cinta setelahnya? Terbayangkah jika digabung? Kalau itu cinta, kerumitan jen
is ini tidak perlu. Cinta macam apa yang memerlukan kecemasan. Hal indah selalu
menenangkan.
Beruntung, tidak hanya ruang dan waktu sebagai dimensi.
Tahu darimana? Saya tidak tahu, tetapi Tuhan yang Maha Mencinta tentu takkan per
nah terpaksa berada dalam bentuk Cinta yang berbeda di setiap satuan ruang dan w
aktu yang sempit dan sesaat. Maka, ada dimensi lain, ada tempat yang memungkinka
n dimana cinta tak perlu ruang dan waktu. Mungkin berupa cinta kecil-kecilan yan
g berdamping dengan Cinta Yang Maha. Mereka tak perlu berpindah karena keterbutu
han, tak perlu menyempit karena keterbiasaan.
Lagi, "Cinta adalah anugerah Tuhan." Sekarang, tidak terlalu terasa berat.
Cinta bukanlah terbiasa, cinta bukanlah butuh. Sedangkan, manusia yang remeh itu
karena waktu dan ruang, perlu biasa dan perlu butuh. Lantas, cinta yang indah u
ntuk manusia yang remeh, bisakah?
Tentang "bisa", berarti tentang upaya. Upaya tidaklah menjanjikan hasil karena u
paya yang tak sempurna tidak dilarang. Ada cinta kecil-kecilan yang ada di dimen
si ke sekian, mungkin mereka bisa membantu. Siapa tahu mereka bisa lanjut memper
kenalkan kita pada Cinta Yang Maha. Setidaknya mereka satu ranah dengan milik-Ny
a.
Dicintai oleh Tuhan tak perlu bertanya soal indah, kan? Sering kita minta itu di

bagian akhir apapun, demi akhir yang indah. Padahal, kita boleh coba minta di a
wal apapun, demi selalu indah. Tidak di tengah apapun, sebab sulit terkira di ma
nakah tengah itu, hanya sulit.
Karena kita makhluk remeh ruang dan waktu, berdoalah untuk cinta kecil-kecilan d
i dimensi entah ke berapa itu. Dengan awal berdoa, terbalik tak tersangka, Cinta
Yang Maha-lah yang kan menuntun.
Mereka menunggu.
Semoga terantar oleh yang dinantikan.

Anda mungkin juga menyukai