Anda di halaman 1dari 7

MUQODDIMAH

Sholat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Ia memiliki kedudukan yang sangat urgen
dalam Islam. Rosulullah bersabda:




Pokok urusan itu adalah Islam, tiangnya sholat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad. (HR. Tirmidzi,
no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani)
Umar bin Khathab pernah berkata: Perkara yang paling urgen menurutku adalah sholat, Siapa saja yang
menjaganya, maka ia telah menjaga agamanya. Dan siapa saja yang menyia-nyiakannya maka ia akan lebih
menyia-nyiakan terhadap selainnya. Dan tidak ada bagian dalam Islam utnuk orang yang meninggalkan
sholat.
Terlebih lagi jika sholat itu dilakukan secara berjamaah. Rasululloh SAW bersabda, Sesungguhnya
Allah Taajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah. (Lihat shahihul Jami, (1820).
Shalat berjamaah itu lebih utama 25 derajat daripada shalat sendirian. (HR. al-Bukhari). Dalam riwayat
lain disebutkan: (lebih utama) 27 derajat. (Fathul Baari, 2/131).
Setiap muslim dianjurkan untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid tepat pada waktunya.
Namun dalam prakteknya ada diantara kaum muslimin yang masih tertinggal sholat berjamaah atau
lebih di kenal dengan istilah Masbuq. Maka seperti apakah permasalahan Masbuq itu?
Dalam tulisan sederhana ini, penulis akan mencoba membahas seputar permasalahan yang urgen
mengenai masbuq.

1. 1.
Devinisi Masbuq
Secara etimologi Masbuq adalah isim maful dari kata yang bermakna
terdahului/tertinggal.
Adapun secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian rakaat atau semuanya
dari imam dalam sholat berjamaah. Atau orang yang mendapati imam setelah rakaat pertama atau
lebih dalam sholat berjamaah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/400)

1. 2.
Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat mengenai kapan seorang
makmum itu disebut masbuq.

Pendapat Pertama:
Yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq itu
apabila ia tertinggal ruku bersama imam. Jika seorang makmum mendapati imam sedang ruku,
kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu rakaat dan tidak disebut masbuq. Dan
gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil Pendapat Pertama:
1.

{
116 }
Artinya: Siapa yang mendapatkan ruku, maka ia mendapatkan satu rakaat. (HR. Abu Dawud, FIqh IslamSulaiman Rasyid : 116)

{ 1 : 207
3 : 145}
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : Apabila kamu datang
untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung sesuatu (satu rakaat) dan
siapa yang mendapatkan ruku, bererti ia mendapat satu rakat dalam sholat (nya). ( H.R Abu Dawud 1 :
207, Aunul Mabud Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata: Yang dimaksud dengan rakaat disni adalah ruku, maka yang mendapati imam
sedang ruku kemudian ia ruku maka ia mendapatkan satu rakaat. (Al-Muin Al-Mubin 1 : 93, Aunul
Mabud 3 : 145)
1.




2
: 381}
Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi SAW dalam
keadaan ruku, kemudian ia ruku sebelum sampai menuju shaf. Hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka
Nabi SAW bersabda (kepadanya) : Semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi
lagi .
Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang dikatakan masbuk
itu apabila ia tidak sempat ruku bersama imam.
1.

Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat AlFatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari ulama. Diantaranya adalah ucapan Abu Hurairah,
diriwayatkan oleh Imam Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang imam dari setiap pendapat
yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam. Demikian pula pendapat Ibnu
Khuzaimah,Dhobi dan selain keduanya dari Muhaddits Syafiiyyah kemudian diperkuat oleh Syaikh
Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia berkata: Aku telah
mengkaji permasalahan ini dan aku menghimpunnya pada pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku
tidak mendapatkan darinya selain yang telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung rakaat dengan
mendapatkan ruku. (Aunul Mabud 3:146)
Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa makmum
yang mendapatkan ruku bersama imam maka ia mendapatkan satu rakaat. Diantaranya:
1.
2.

Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seperti tersebut diatas.
Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil saja.
Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernama Yahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani. Menurut Amirul
Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat,
Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul Itidal 4 : 383, Aunul Mabud 3 : 147 ) Sedangkan yang
dimaksud dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: Setiap orang yang aku
nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan hujjah . Bahkan dalam satu riwayat
(dinyatakan) : tidak boleh meriwayatkannya . ( Fathul Mughits 1 : 346 ). ImamSyaukani berkata
: Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat mereka, kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut
rakaat itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syari, maupun urf

(kebiasaan). Kedua arti tersebut harus lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian
ketetapan para ahli Ushul Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )
3. Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai hadits Abu Bakrah,
(menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah / alasan / argumentasi oleh mereka
dalam hal tersebut (yaitu termasuk rakaat asalkan mendapat ruku) kerana pada hadits tersebut tidak
dinyatakan cukup (terhitung) rakaat. ( Aunul Mabud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang menguatkan pendapat
mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah mengulangi (rakaat), tapi juga tidak
menyatakan terhitung rakaat. Adapun Nabi mendoakan kepadanya agar lebih bersungguh-sungguh,
itu tidak berarti terhitung satu rakaat. ( Aunul Mabud, 3:146 )
Adapun dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila tertinggal bacaan alFatihah bukan tertinggal ruku adalah:
1.
:

. {
{ 3:147,
Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : Jika engkau mendapatkan suatu kaum sedang ruku, maka
tidak terhitung rakaat . ( H.R Al-Bukhari, Aunul Mabud 3 : 147 )
Imam Syaukani berkata: Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban membaca Al-Fatihah itu untuk
imam dan makmum pada setiap rakaat. Dan kami telah menjelaskan bahwa dalil-dalil tersebut sah
untuk dijadikan hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat sahnya sholat. Maka siapa
saja yang mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah, ia haruslah menunjukkan
keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil tersebut.
1.

. {
{
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap rakaat . ( H.R At-Tirmidzi )


:



. {

{ 2: 167,
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : Apabila kamu mendengar Iqamah, pergilah untuk
sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang kamu dapati (bersama imam)
sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah . ( H.R Al-Jamaah, Fathul Bari 2
: 167 )
Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut dapat
dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku tidak dihitung rakaat,
kerana ada perintah untuk menyempurnakan (apa-apa) yang ketinggalan, sedangkan (dalam hal ini)
jelas makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)
Imam Syaukani berkata : Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat Jumhur Ulama
yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku, termasuk rakaat
bersamanya (imam) dan dapat dihitung satu rakaat sekalipun tidak mendapat bacaan (Al-Fatihah)
sedikitpun. ( Aunul Mabud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 147 )
Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama, beliau berpendapat
bahwa yang mendapat ruku (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung mendapat rakaat, sampai ia
membaca Fatihatul Kitab (dengan sempurna), maka ia mesti mengulangi lagi rakaat (yang tidak sempat
membaca Al-Fatihah) setelah imam salam. ( Aunul Mabud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )
1.

1. 3.
Waktu Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Rakaat yang terlewat.
Menurut Madzhab Hanafi :

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang tertinggal bukanlah setelah dua
salam, tetapi menunggu selesainya imam, dan diam sejenak sampai imam bangkit untuk
melaksanakan sholat sunnah jika setelahnya ada sholat sunnah. Atau membelakangi mihrab jika
setelahnya tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah dari tempatnya.
Dan tidak boleh berdiri sebelum salam setelah tasyahud kecuali di beberapa kondisi: apabila
seorang pengukur tanah takut kehilangan masanya. atau yang memiliki kebutuhan takut keluar dari
waktunya. Apabila yang masbuk pada sholat jumat khawatir masuk pada waktu ashar. Atau masuk
sholat zhuhur pada sholat id, atau terbit matahari pada sholat shubuh. Ataupun khwatir berhadats.
Maka bagi yang tersebut itu boleh untuk tidak menunggu selesainya imam.
Menurut Madzhab Maliki:
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan rakaatnya yang terlewat setelah imam salam.
Apabila ia berdiri sebelum imam salam, maka sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)
Menurut MAdzhab Safii:
Disunnahkan bagi yang masbuk untuk menyempurkan rakaat yang tertinggal setelah imam
menyelesaikan kedua salamnya. Jika ia berdiri setelah imam selesai mengucapkan:
Assalamualaikum, pada salam pertama, maka boleh. Jika ia berdiri sebelum imam mengucapkan
dua salam maka sholatnya batal. Sekalipun ia berdiri setelah imam mengucapkan salam sebelum
selesai membaca: alaikum, maka hukumnya seperti apabila ia berdiri sebelum imam mengucapkan
dua salam. (Roudhoh at-Tholibin 1/378 dan Majmu, 3/487)
Menurut Madzhab Hanbali:
Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang luput setelah salam kedua
imamnya. Jika ia berdiri sebelum salam imam dan tidak kembali untuk berdiri setelah salamnya.
Maka sholatnya berubah menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat 1/248 dan al-Inshaf, 2/222)

Menyempurnakan Rakaat yang Tertinggal.


Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa apa yang didapati seorang
masbuk dari sholatnya bersama imam maka itu adalah akhir sholatnya. Dan apa yang
disempurnakan oleh seorang masbuk adalah rakaat awal sholatnya. (Al-Bahru Raiq, 1/313, AsySyarh Ash-Shagir 1/458, dan Al-Inshaf 4/225)
Menurut Madzhab Syafii; Apa yang didapati masbuk dari sholat bersama imam maka itu adalah awal
sholatnya. Dan apa yang disempurnakannya setelah imam salam adalah akhirnya. Berdasarkan
sabda Rosulullah: Maka apa yang kamu dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang kamu luput
(bersama imam) maka sempurnakanlah. Dan penyempurnaan sesuatu itu tidaklah ada kecuali
setelah permulaannya. Berdasarkan ini, apabila ia sholat shubuh bersama imam pada rakaat yang
kedua kemudian qunut bersama imam, maka ia harus mengulang qunut. Kalau ia mendapati satu
rakaat sholat magrib bersama imam, maka tasyahud yang keduanya itu sunnah, karena ia
menempati tasyahudnya yang pertama. Dan tasyahudnya bersama imam lil mutabaah (mengikuti)
hal itu adalah hujjah bahwa apa yang ia dapati bersama imam adalah permulaan sholatnya. (Mugni
Al-Muhtaj 1/206)

1. 4.
Mengangkat Imam Pada Sholat Masbuq?
Pada dasarnya tidak apa-apa seorang yang masbuk menjadi imam. Apabila seseorang datang untuk
sholat berjamaah, sedangkan imam dan jamaahnya sudah selesai melaksanakan shalat. Kemudia ia
mendapatkan seorang masbuk yang sedang menyempurnakan rakaat yang tertinggal, maka ia
berdiri disamping kanannya dan menjadikan orang yang masbuk itu imam untuknya supaya
mendapatkan pahala berjamaah. Maka insya Allah hal tersebut sah.
Pada contoh seperti ini, Syaikh Bin Baz berkata : Tidak apa-apa akan hal tersebut insya Allah
menurut yang shohih. Dan ia berkata: Dianjurkan baginya sholat bersama yang masbuk dimana ia
berdiri disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapatkan fadhilah sholat berjamaah. Dan
orang yang masbuk merubah niatnya menjadi imam, maka tidaklah mengapa pada hal tersebut
menurut ucapan para ulama yang paling shohih. (Kitab Ad-Dawah 2/117)
Tapi bagaimana jika mengangkat yang masbuk menjadi imam untuk yang masbuk. Misalkan ada tiga
orang masbuk. Setelah imam salam, kemudian mereka berdiri untuk menyempurnakan rakaat yang
tertinggal dan mengangkat imam dari salah seorang diantara mereka. Maka dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat.
Pendapat Pertama:
Menurut pendapat ini, mengangkat yang masbuk menjadi imam pada sholat masbuk itu tidak boleh,
bahkan sebagian dari mereka mengkategorikannya kepada perbuatan bidah. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya satu pun dalil yang menjelaskan secara shorih bahwa Rosulullah
memerintahkan atau mencontohkannya.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, di dalam Buku Risalah Bidah, hal. 190, menyatakan: Bidah
ini tegas-tegas telah menyalahi Sunnah: Nabi shallahualaihi wa sallam bersama Mughirah bin Syubah
pernah menjadi masbuq di dalam peperangan Tabuk. Ketika Abdurrahman bin Auf yang menjadi
imam shalat memberi salam (selesai shalat), kemudian Nabi shallahualaihi wa sallam dan Mughirah
menyempurnakan satu rakaat yang tertinggal sendiri-sendiri tidak membuat jamaah. (Hadits riwayat
Muslim dan lain-lain.)
Pendapat Kedua:
Pendapat ini membantah pernyataan pendapat pertama, bahwa tidak boleh mengangkat imam pada
sholat masbuk. Pendapat ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Mugirah
bin Syubah diamana hadits ini menjelaskan bahwa Mugirah bersama Rosulullah pernah masbuq.
Adapun hadits tersebut sebagai berikut:




















.



Artinya: Dari muqhirah bin syubah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan
pasukan) dan aku tertinggal bersama beliau, ketika beliau selesai dari hajatnya, beliau bertanya apakah kamu
ada air? Maka aku bawakan ember (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya, wajahnya
dan menyingkap lengannya, namun lengan jubahnya terlalu sempit, maka beliau mengeluarkan tangannya dari
bahwa jubah, dan meletakkan jubahnya di atas bahunya, kemudian beliau membasuh kedua lengannya dan
mengusap ubun-ubunnya, dan bagian atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit),

kemudian beliau naik (kendaraan) dan akupun naik, ketika kami sampai pada rombongan kaum (para sahabat),
mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, ketika
(Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi isyarat
kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka ketika
Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku
(menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu ala An-Nashiyah wa
al-Imamah no: 81)





Artinya: Bahwasannya Muqhirah bin Syubah menceritakan, bahwa dia berperang bersama Rasulullah Saw
diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak membuang hajat, kemudia mencari tempat yang
tertutup, maka aku bawakan satu ember air sebelum shalat subuh, ketika beliau kembali, aku tuangkan air dari
ember itu ketangannya, beliau membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan
jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah memasukan
tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka beliau membasuh kedua
tangannya sampai kedua sikunya, kemudian beliau berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki,
tapi beliau cukup mengusap bagian atas khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit), kemudian beliau
bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bersama beliau, maka kami mendapati
romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan
sudah masuk rakaat terakhir. Maka ketika Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah
menyempurnakan shalatnya, maka hal itu membuat kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi mamum),
merekapun memperbanyak tasbih, maka ketika Rasulullah selesai shalat, beliau menghadap kepada para
sahabat dan berkata: ahsantum (kalian telah berbuat benar), Mughirah berkata: atau beliau waktu itu
mengatakan: kalian benar, dimana mengajak manusia untuk shalat tepat pada waktunya. (HR. Imam Muslim
2/107 no: 105)
Itulah diantara dalil pendapat kedua ini yang menjelaskan bahwa Rosulullah dan Mugirah masbuk
kemudian mereka menyempurnakan rakaat yang tertinggal secara berjamaah. Hal teresebut seperti
yang disebutkan dalam hadits :

yang
artinya : Rasulullah berdiri, dan aku berdiri, kami ruku (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal.
Penggunaan dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama dan
ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama. Berarti melakukan
rakaat shalat yang ketinggalan itu dengan berjamaah. Apabila tidak diartikan demikian harus
menunjukkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita lihat penggunaan dhamir
yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim.
Oleh karena iltu lah pendapat ini berpegang pada hadits tersebut, bahwa seorang masbuk boleh
mengangkat imam pada sholat masbuk. Kemudian juga didukung dengan hadits yang menjelaskan
tentang keutamaan sholat berjamaah.

Wallahu alamu bi As-Shawab


Walhamdu lillahi rabbilalamin

Anda mungkin juga menyukai