Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Melindungi otak dari iskemia selama pembedahan merupakan hal yang sangat penting
bagi anestesiologis. Telah banyak dilakukan penelitian dengan prospective randomized
controlled clinical trials yang membandingkan beberapa terapi untuk mendapatkan
terapi yang mampu memberikan efek protektif pada otak. Hasil penelitian tersebut
menjadi acuan dalam memberikan agen anestesi.
Sebelum memberikan agen anestesi, sangat penting untuk mengetahui dan
mengerti dasar-dasar fisiologi pada otak. Agen anestesi juga memberikan efek
pada metabolisme cerebral, aliran darah, perubahan cerebrospinal fluid (CSF), dan

volume serta tekanan intrakranial. Maka sangat perlu untuk mengetahui semua dasar tersebut
agar dapat memberikan penanganan anestesi yang tepat pada pasien.

BAB II
BRAIN PROTECTION

2.1. Fisiologi Otak


A. Metabolisme Cerebral
Otak secara normal bertanggung jawab terhadap konsumsi oksigen tubuh. Mayoritas konsumsi
oksigen otak (60%) digunakan dalam menghasilkan adenosine trifosfat (ATP) untuk mendukung
aktivitas elektrik neuronal. Cerebral metabolic rate (CMR) umumnya menggambarkan
konsumsi oksigen (CMRO2), dengan rata-rata 3-3,8 ml/100gram/ menit (50ml/menit) pada
dewasa. CMRO2 paling banyak pada substansia abu-abu cerebral cortex dan secara umum
paralel dengan aktivitas listrik kortikal. Karena konsumsi oksigen yang relatif tinggi dan tidak
ada cadangan oksigen yang signifikan, gangguan pada perfusi cerebral biasanya akan
mengakibatkan keadaan tidak sadar (dalam 10 detik) dimana tekanan oksigen menurun dengan
cepat di bawah 30 mmHg. Jika aliran darah tidak segera diperbaiki dalam hitungan menit (3-8
menit pada kebanyakan kondisi), cadangan ATP akan berkurang dan akan terjadi kerusakan
seluler yang ireversibel. Hippocampus dan cerebellum merupakan bagian yang paling sensitif
untuk terjadi kerusakan akibat keadaan hipoksia ini.

Gambar 1. Persentasi konsumsi oksigen di otak

Sel-sel neuronal secara normal menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama.
Konsumsi glukosa pada otak sekitar 5mg/100g/menit, dimana lebih dari 90% dimetabolisme
secara aerobik. CMRO2 dalam keadaan normal paralel dengan konsumsi glukosa. Hal ini tidak
berlaku dalam keadaan kelaparan, ketika badan keton menjadi substrat energi utama. Meskipun
otak dapat menggunakan dan memetabolisme laktat, fungsi otak dalam keadaan normal
bergantung pada suplai glukosa secara kontinu. Keadaan hipoglikemia akut sama merusaknya
dengan keadaan hipoksia. Hiperglikemia dapat mengeksaserbasi kerusakan otak secara fokal
dan global dengan mempercepat terjadinya asidosis serebral dan kerusakan selular.

B. Aliran Darah Otak (Cerebral Blood Flow)


Cerebral blood flow (CBF) bervariasi tergantung dengan aktivitas metabolik. Beberapa
studi menegaskan bahwa regional CBF paralel dengan aktivitas metabolik dan dapat bervariasi
dari 10-300 ml/100 g/menit. Meskipun total CBF rata-rata 50 ml/ 100g/ menit, aliran pada
substansia abu-abu (gray matter) sekitar 80 ml/ 100 g/ menit, dimana pada white matter
diperkirakan terdapat 20 ml/100g/ menit. Total CBF pada dewasa berkisar antara 750 ml/ menit
(15-20% dari cardiac output). Aliran di bawah 20-25 ml/100g/menit biasanya berkaitan dengan
gangguan serebral, yang dapat dilihat pada gambaran elektroencephalogram (EEG). CBF antara
15 dan 20 ml/100 g/menit secara tipikal memproduksi gambaran datar (isoelektrik) EEG,
dimana nilai di bawah 10 ml/100 g/menit umumnya berkaitan dengan kerusakan otak
irreversible.

C. Regulasi dari CBF


1). Cerebral Perfusion Pressure/ Tekanan perfusi otak
Cerebral perfusion pressure (CPP) merupakan selisih dari mean arterial pressure (MAP)
dan intracranial pressure (ICP/TIK) atau tekanan vena serebral (central venous pressure
/CVP) yang lebih besar nilainya. Ketika CVP secara signifikan meningkat lebih besar dari
ICP, tekanan perfusi menjadi selisih antara MAP dan CVP. CPP normal antara 80100
mmHg. Karena nilai normal ICP kurang dari 10 mm Hg, CPP sangat bergantung terutama
pada MAP.

MAP ICP (atau CVP) = CPP


Peningkatan sedang sampai berat pada TIK (> 30 mm Hg) secara signifikan
mengkompromi CPP dan CBF bahkan pada keadaan MAP normal. Pasien dengan nilai CPP
kurang dari 50 mm Hg sering menunjukan perlambatan pada EEG, dimana mereka dengan
CPP antara 25 dan 40 mm Hg secara tipikal menunjukkan flat EEG. Tekanan perfusi kurang
dari 25 mm Hg mengakibatkan kerusakan otak ireversibel.
2). Autoregulasi
Sama seperti jantung dan ginjal, otak secara normal mampu mentoleransi perubahan
tekanan darah sistemik. Vaskularisasi serebral menjadi cepat (10-60 detik) sebagai bentuk
adaptasi terhadap perubahan CPP, tetapi perubahan yang mendadak pada MAP dapat
mengakibatkan perubahan sementara pada CBF meskipun autoregulasi intak. Penurunan
CPP mengakibatkan vasodilatasi serebral, dimana peningkatan akan menginduksi
vasokontriksi. Pada individu normal, CBF relatif konstan pada MAP antara 60 dan 160
mmHg. Tekanan di atas 150160 mm Hg dapat mengganggu bloodbrain barrier dan
mengakibatkan cerebral edema and hemorrhage.
Mekanisme myogenik dan metabolik dapat menjelaskan cerebral autoregulation.
Mekanisme Myogenik melibatkan respon intrinsik otot polos pada cerebral arterioles untuk
mengubah MAP. Mekanisme metabolik menunjukkan bahwa kebutuhan metabolik
menentukan tonus arteriolar. Ketika kebutuhan jaringan melebihi aliran darah, jaringan
akan melepaskan metabolit-metabolit yang mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan
aliran. Selain ion hydrogen, metabolit yang ikut berperan adalah nitrit oxide, adenosine,
prostaglandin, serta elektrolit seperti K dan Ca.
3). Mekanisme Ekstrinsik

Tekanan Gas Respirasi (Respiratory Gas Tensions)


Pengaruh ekstrinsik yang paling berperan pada CBF adalah tekanan gas pernapasan

yaitu PaCO2. CBF secara langsung sebanding dengan PaCO 2 antara 20 dan 80 mm Hg.
Setiap 1 mmHg perubahan PaCO2, aliran darah berubah sekitar 12 mL/100 g/min. Efek
ini terjadi segera dan diperkirakan berefek sekunder pada perubahan PH di CSF dan

jaringan otak. Karena ion-ion tidak siap melewati the bloodbrain barrier, tetapi CO 2
mampu melewati BBB, perubahan akut terjadi pada PaCO2 mempengaruhi CBF. Akut
metabolik asidosis mempunyai sedikit efek pada CBF karena ion hydrogen (H+) tidak
siap melewati BBB. Setelah 24-48 jam, konsentrasi HCO 3 pada CSF menyesuaikan
untuk kompensasi perubahan PaCO2, sehingga efek hipocapnia dan hiperkapnia dapat
dihilangkan. Tanda hiperventilasi (PaCO2 < 20 mm Hg) merubah atau menggeser kurva
disosiasi oksigenhemoglobin ke kiri dan dengan adanya perubahan di CBF, akan
menghasilkan perubahan pada EEG yang menunjuk pada gangguan serebral.

Gambar 2. Hubungan cerebral blood flow dan tekanan gas pernapasan (PaCo2)

Temperatur
Perubahan CBF 57% per 1C perubahan temperatur. Hypothermia menurunkan CMR

dan CBF, dimana pyrexia mempunyai efek sebaliknya. Antara suhu 17C dan 37C, dari
penelituan didapatkan data bahwa rata-rata setiap peningkatan suhu 10 C membuat CMR
meningkat menjadi dua kali lipat. Sebaliknya, terjadi penurunan CMR 50% jika temperatur
otak turun 10C, misalnya dari 37C menjadi 27C, dan turun 50% lagi jika temperatur
turun dari 27C to 17C. Pada temperatur 20C, EEG menjadi isoelectrik, tetapi penurunan
temperatur lebih lanjut terus menurunkan CMR pada otak. Di atas temperatur 42C,
aktivitas oksigen mulai menurun dan dapat terjadi kerusakan sel.

Viskositas
Pada keadaan normal, perubahan pada viskositas darah tidak berpengaruh besar pada

CBF. Faktor yang penting pada viskositas darah adalah hematokrit. Penurunan pada
hematokrit akan menurunkan viskositas dan memperbaiki CBF, namun penurunan
hematokrit juga menurunkan kapasitas membawa oksigen dan berpotensial mengganggu
penghantaran oksigen. Peningkatan hematokrit, yang ditandai dengan polisitemia,
meningkatkan viskositas darah dan menurunkan CBF. Beberapa studi memperkirakan
penghantaran oksigen otak yang optimal terjadi pada hematokrit sekitar 30%.

D. Sawar Darah Otak (Blood Brain Barrier)


Pembuluh darah otak sangat unik yang di dalamnya hubungan antara sel-sel endothelial
vascular hamper seperti pori. Pori inilah yang bertindak sebagai sawar darah otak. Sawar lipid
ini memungkinkan substansi yang larut dalam lemak (lipid soluble) dapat melewatinya, namun
menghambat pergerakan subtansi yang terionisasi ataupun yang mempunyai berat molekul
besar. Kemampuan melewati sawar darah otak bergantung dari ukuran, solubilitas lemak,
derajat pengikatan dengan protein dalam darah. Karbondioksida, oksigen, substansi yang larut
dalam lemak dapat memasuki otak dengan mudah, sementara ion-ion, protein, dan substansi
yang besar seperti manitol kemampuan penetrasinya rendah.
Air dapat bergerak bebas melewati sawar darah otak. Perubahan secara cepat pada
konsentrasi elektrolit plasma menghasilkan gradient osmotik sementara antara plasma dan otak.
Hipertonitas plasma yang akut menyebabkan air bergeraj keluat dari otak menuju plasma,
sementara hipotonitas akut menyebabkan air bergerak ke dalam otak. Efek ini terjadi dalam
waktu singkat sampai keseimbangan (equilibration) tercapai. Namun ketika hal ini terjadi, dapat
menyebabkan perubahan cairan yang cepat di dalam otak. Beberapa abnormalitas terjadi pada
konsentrasi serum sodium ataupun glukosa yang perlu dikoreksi secara perlahan. Manitol
sebagai substansi yang secara normal tidak melewati sawar darah otak, mengakibatkan
penurunan air dalam otak dan sering digunakan untuk menurunkan volume dalam otak.
Sawar darah otak dapat diganggu oleh adanya hipertensi yang berat, tumor, trauma,
stroke, infeksi, keadaan hipercapnia, hypoxia, dan adanya kejang. Pada keadaan tersebut,

pergerakan cairan melewati sawar darah otak menjadi bergantung pada tekanan hidrostatik
dibandingkan pada gradient osmotik.
E. Cerebrospinal Fluid (CSF)
CSF ditemukan pada ventrikel serebral dan sisterna, dan di ruang subaraknoid yang
melingkupi otak dan saraf tulang belakang. Fungsi utamanya adalah untuk melindungi sistem
saraf pusat dari trauma.
Mayoritas CSF dibentuk oleh pleksus choroid pada ventrikel cerebri. Sejumlah kecil
dibentuk secara langsung oleh barisan sel ependimal dan sejumlah kecil dari kebocoran cairan
ke dalam ruang perivaskular yang melingkupi pembuluh darah cerebral (kebocoran blood brain
barrier). Pada dewasa, total produksi normal CSF sekitar 21 ml/jam (500ml/hari), namun total
volume CSF hanya sekitar 150 ml. Aliran CSF dari ventrikel lateral melalui foramina
intraventrikular (of Monro) ke ventrikel ketiga, melalui the cerebral aqueduct (of Sylvius) ke
dalam ventrikel empat, dan melalui celah di tengah pada ventrikel empat (foramen of
Mangendie) dan celah lateral pada ventrikel empat (foramina of Luschka) ke dalam the
cerebellomedullary cistern (cisterna magna). Dari cerebellomedullary cisterna, CSF masuk ke
ruang subaraknoid, bersirkulasi di otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi dalam granulasi
araknoid pada hemisfer cerebri.

Gambar 3. Aliran Cerebrospinal Fluid (CSF)

Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif sodium di pleksus koroid. Cairan yang
dihasilkan merupakan cairan isotonik dengan plasma meskipun rendah potassium, bikarbonat,
dan glukosa. Protein yang terkandung terbatas pada sejumlah kecil yang bocor ke cairan
perivaskular. . Carbonic anhydrase inhibitors (acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton,
furosemide, isoflurane, and vasokonstrictor menurunkan produksi CSF.

Absorpsi CSF melibatkan perpindahan cairan dari granulasi arachnoid ke dalam sinus
venosus cerebral. Sejumlah kecil diabsorbsi serabut saraf dan limfatik meningeal. Meskipun
mekanisme ini masi belum jelas, absorpsi diperkirakan sebanding dengan tingkat TIK dan
berbanding terbalik dengan tekanan vena cerebral. Karena otak dan spinal cord mengandung
sedikit limfatik, absorpsi CSF juga menjadi cara utama untuk protein perivaskular dan
interstitial kembali ke darah.

F. Tekanan Intrakranial (TIK) / Intracranial Pressure (ICP)


Cranium adalah struktuk yang rigid dengan volume total yang tetap, terdiri dari otak
((80%), darah (12%), dan CSF (8%). Peningkatan salah satu komponen harus diimbangi dengan
penurunan komponen lain untuk mencegah kenaikan pada ICP. ICP diukur dengan ventrikel
lateral atau melalui korteks cerebral dan normalnya 10 mmHg atau lebih rendah. Variasi dapat
terjadi tergantung tempat yang diambil untuk diukur, tetapi pada posisi berbaring lateral,
tekanan lumbar CSF secara normal kurang lebih sama dengan tekanan supratentorial. Tekanan
intrakranial normal berkisar 5-10 mmHg. Hipertensi intracranial didefinisikan sebagai kenaikan
ICP di atas 15 mmHg yang terjadi menetap. Apabila kenaikan ICP melebihi 30 mmHg maka
akan terjadi siklus sebagai berikut, iskemia menyebabkan edema otak, yang akan menambah
kenaikan ICP, yang kemudian akan menambah iskemia.
Dalam keadaan normal, peningkatan volume dapat dikompensasi dengan baik. Batas
puncak kompensasi tercapai, jika peningkatan lebih lanjut akan memicu terjadi kenaikan ICP.
Mekanisme kompensasi dasar meliputi perpindahan awal CSF dari cranium ke ruang-ruang
spinal, peningkatan absorpsi CSF, penurunan produksi CSF, dan penurunan total volume darah
cerebral terutama vena.
Konsep kompensasi intrakranial ini sangat berguna secara klinis, meskipun kemampuan
kompensasi bervariasi pada ruang-ruang otak yang berbeda dan dipengaruhi oleh tekanan darah
arterial dan PaCO2. Peningkatan tekanan darah dapat menurunkan volume darah cerebrak karena
autoregulasu memicu vasokonstriksi untuk mempertahan CBF. Sebaliknya, hipotensi akan
meningkatan volume darah cerebral dimana pembuluh darah cerebral berdilatasi untuk

mempertahankan CBF. Volume darah cerebral diperkirakan mengalami kenaikan 0.05 mL/100g
pada otak setiap kenaikan PaCO2 sebanyak 1 mm Hg.
Kompensasi dapat ditentukan pada pasien dengan kateter intraventrikular dengan
menyuntikan salin steril. Peningkatan ICP lebih dari 4 mmHg diikiuti dengan injeksi 1 ml salin
mengindikasikan kompenasi yang buruk. Pada tahap ini, mekanisme kompensasi telah
mencapai batas dan CBF secara progresif berkompromi seiring peningkatan ICP lebih lanjut.
Pningkatan ICP dapat memicu terjadinya herniasi otak. Herniasi dapat terjadi pada 4 tempat
yaitu (1)gyrus cingulata di bawah falx cerebri, (2) gyrus uncinatus melalui tentorium cerebeli,
(3) tonsila cerebelar melalui foramen magnum, atau (4) daerah-daerah dekat dengan defek pada
tulang tengkorak (transcalvarial).

Gambar 4. Daerah-daerah Terjadinya Herniasi Otak

2. 2. Fisiologi Brain Protection


A. Patofisiologi Iskemia Serebral
Otak merupakan organ yang rentan untuk terjadi iskemia, karena otak mengkonsumsi
oksigen dalam jumlah tinggi dan hampir secara total bergantung pada metabolisme glukosa
secara aerob. Adanya gangguan pada perfusi serebral, substrat metabolik (glukosa), atau
hypoxemia berat yang terjadi secara cepat mengakibatkan gangguan fungsi, penurunan perfusi

juga mengganggu pembersihan metabolit yang berpotensi toksik. Jika tekanan oksigen normal,
aliran darah, dan suplai glukosa tidak tercapai dalam 3-8 menit, cadangan ATP akan berkurang
dan akan segera terjadi kerusakan neuronal yang ireversibel. Pada iskemia, intraselular K+
menurun dan intraselular Na+ meningkat. Yang lebih penting adalah Ca2+ meningkat karena
kegagalan pompa ATP untuk memindahkan ion ke ekstraselular maupun ke intraseluler,
peningkatan konsentrasi Na, dan pelepasan neutransmiter glutamat.
Peningkatan yang menetap akan intraselular Ca2+ mengaktifkan lipase and protease,
yang menginisiasi dan memperbanyak kerusakan struktural neuron. Peningkatan konsentrasi
asam lemak bebas dan aktivitas sikloclooksigenase and lipoksigenase mengakibatkan
pembentukan prostaglandin dan leukotrien yang merupakan mediator poten untuk kerusakan
selular. Akumulasi metabolit toksik seperti asam laktat juga mengganggu fungsi selular dan
mengganggu mekanisme perbaikan. Yang terakhir reperfusi pada jaringan iskemik dapat
menyebabkan penambahan kerusakan jaringan yang mengacu pada pembentukan radikal bebas
dari oksigen.

B. Strategi untuk Brain Protection


Iskemik otak umumnya dibagi menjadi fokal (inkomplit) dan global (komplit). Iskemik
global meliputi penahanan srkulasi total seperti pada hipoksia global. Penghentian perfusi dapat
disebabkan oleh kondisi seperti cardiac arrest atau kondisi dengan kegagalan perfusi.
Sedangkan hipoksia global dapat disebabkan oleh kegagalan respirasi yang berat, tenggelam,
dan asfiksia. Iskemia fokal meliputi emboli, hemorrhage, dan stoke aterosklerotik juga pada
trauma tumpul, trauma tembus, dan trauma operasi.
Intervensi ditujukan untuk mengembalikan perfusi dan oksigenasi, hal ini meliputi
mengembalikan sirkulasi yang efektif, oksigenasi arterial dan kapasitas membawa oksigen
dalam batas normal, dan membuka pembuluh darah yang tersumbat. Dengan adanya iskemia
fokal, jaringan otak mengelilingi area yang rusak akan mengalami gangguan fungsi namun
masih dapat bekerja. Area tersebut diperkirakan mempunyai batasan perfusi ((< 15 mL/100
g/menit), tetapi jika kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan aliran normal segera dapat
dikembalikan, area ini (iskemik penumbra) dapat pulih sempurna. Dari padangan praktisi klinis,
usaha untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan neuronal hampir sama pada iskemia

fokal ataupun global. Tujuan klinis umumnya untuk mengoptimalkan CPP, menurunkan
kebutuhan metabolisme (basal dan elektrikal), dan bila memungkinkan memblok mediator pada
kerusakan selular.
1). Hipotermia
Hipotermia merupakan metode yang paling efektif untuk memproteksi otak selama
iskemia fokal dan global. Tidak seperti agen anestesi, hipotermia menurunkan kebutuhan
metabolisme basal dan elektrikal pada otak. Sebagai contoh pada keadaan normotermia, otak
cidera setelah 5 menit iskemia, sedangkan pada hipotermi pada suhu 16 oC dapat mentoleransi
iskemia sampai 30 menit. Studi terbaru menunjukkan bahwa mengurangi beberapa derajat suhu
akan mengurangi kerentanan otak terhadap cidera iskemik. Pada studi menggunakan tikus
dengan iskemia global, didapatkan kerusakan hippocampus pada 100% otak tikus dalam waktu
20 menit iskemia pada suhu 36 oC, kerusakan berkurang sebanyak 20% ketika suhu menjadi
34oC dan 0% pada sushu 33oC. Efek protektif dari hipotermia lebih besar pada keadaan dimana
aliran darah kembali setelah iskemia dibandingkan pada keadaan oklusi menetap. Pemberian
hipotermia antara suhu 32-34 oC setelah cedera kepala akan mengurangi TIK dan meningkatkan
keluaran neurologik. Hipotermia mudah dilakukan dan tidak diikuti dengan depresi miokardial
ataupun aritmia. Pasien juga mudah untuk dihangatkan kembali setelah resiko iskemia sudah
terhindarkan. Sebaliknya peningkatan temperatur otak dan setelah iskemia akan memperberat
kerusakan otak. Peningkatan 1oC sangat berpengaruh pada peningkatan kerusakan.
2). Cerebral Perfusion Pressure
CBF dalam keadaan normal diatur oleh autoregulasi pada tingkat CPP 60-150 mmHg.
Pada pasien hipertensi, batas bawah autoregulasi menjadi bergeser ke kanan. Pada kebanyakan
pasien normotensi juga pada pasien sehat dapat mempertahankan CBF dengan CPP di atas 60
mmHg.
CPP 70 mmHg merupakan tujuan bagian pasien dengan resiko tinggi mengalami iskemia
cerebral. Pasien dengan iskemik cerebral mendapat keuntungan dari peningkatan CBF yang
diinduksi hipertensi. Hipertensi terinduksi akan meningkatkan MAP 20 % di atas batas normal,
dan dapat memicu pada perbaikan klinis pada pasien dengan stroke akut tapi tidak tampak
adanya trombolisis. Hipertensi terinduksi dapat ditoleransi pasien untuk beberapa jam. Tekanan
darah ditingkatkan perlahan dan dipertahankan 10-15% di atas tekanan basal pasien. Sebaliknya
hipotensi mengakibatkan terjadinya iskemia otak. Hipotensi meningkatkan volume infark

cerebral secara signifikan dan hal ini perlu dihindari pada pasien yang menderita stroke.
Hipotensi juga berkontribusi pada hasil klinis yang buruk bagi pasien dengan cedera kepala.
Mempertahankan MAP da CPP yang adekuat menjadi hal yang sangat penting.
Meningkatkan MAP dengan agonis alfa seperti phenylepherine dapat dilakukan dengan asumsi
volume intravascular pasien adalah normal. Agen ini akan membuat vasokontriksi cerebral dan
akan meningkatkan MAP. Dan diketahui bahwa agonis alfa tidak menurunkan CBF.
3). Glukosa Darah
Pada keadaan normal dengan perfusi otak yang adekuat, glukosa dimetabolisme secara
aerobic. Produk akhir metabolism glukosa adalah air, CO 2 dan ATP. Ketika otak iskemik,
oksigen tidak lagi tersedia dan metabolism glukosa secara aerobic menjadi terhambat. Glukosa
akan dimetabolisme secara anaerobic melalui jalur glikolisis. Hasil akhirnya adalah asam laktat
dan ATP. Asam laktat yang diproduksi berkontribusi pada asidosis yang terjadi pada jaringan
iskemik. Otak tidak mempunyai cadangan glukosa,
Dalam keadaan hiperglikemia, suplai glukosa pada otak meningkat. Dalam keadaan ini,
cadangan glukosa pada neuronal akan meningkat. Sejumlah asam laktat dihasilkan dan PH
cerebral akan turun. Keadaan asidosis ini akan mengakibatkan nekrosis neuronal. Hiperglikemia
akut atau hiperglikemia diabetika berhubungan dengan peningkatan infark cerebral.
Hiperglikemia menambah buruk kerusakan cerebral dan memperburuk keadaan pasien dengan
stroke.
Hipoglikemia juga berkaitan dengan kerusakan cerebral. Dengan penurunan gula darah
secara bertahap sampai sekitar 40 mg/dl, terjadi pergeseran frekuensi EEG dari alfa dan beta
menjadi delta dan teta. Kadar glukosa di bawah 20 mg/dl akan terjadi supresi EEG yaitu
pendataran EEG. Hipoglikemia yang menetap akan menghasilkan aktivitas kejang dan
kerusakan neuronal, terutama ke hippocampus. Dari penelitian didapatkan bahwa target level
glukosa darah antara 100-180 mg/dl
4) PaCO2
Manipulasi pada PaCO2 mempunyai potensi dalam mempengaruhi CBF dan volume
darah cerebral. Hipocapnia dapat menurunkan CBF, CBV, dan ICP. Hiperventilasi sering
dilakukan pada pasien dengan lesi masa yang luas dan hipertesi intracranial juga pada ruang
operasi untuk menghasilkan relaksai otak. Hipocapnia pada pasien dengan iskemik dan trauma
CNS dengan CBF yang menurun akan memperburuk kerusakan. Hiperventilasi profilaktik tidak

menunjukkan keuntungan yang berarti pada pasien dengan stroke. Data laboratorium
menunjukan bahwa hipocapnia secara signifikan menurunkan CBF pada otak yang iskemik.
Pada cedera kepala, aplikasi hiperventilasi profilaktik berkaitan dengan prognosis yang buruk
pada 3 dan 6 bulan setelah perlukaan. Pada pasien tersebut, region otak yang iskemik meningkat
secara signifikan dengan terjadinya hipocapnia. Berdasar data ini, Brain Trauma Foundation
merekomendasikan agar hipervebtilasi profilaktik dihindari pada pasien cedera kepala tahap
awal.
5). Pencegahan Kejang
Kejang sering terjadi pada pasien dengan kelainan intracranial. Aktivitas kejang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas neuronal, peningkatan CBF dan volume darah cerebral,
dan cerebral asidosis. Kejang yang tidak diterapi akan menghasilkan nekrosis neuronal bahkan
pada keadaan perfusi cerebral yang normal.
Potential cerebral protective mechanisms
Decrease cerebral metabolism
Increase cerebral blood flow
Mild hypothermia
Prevent hyperthermia
Maintain normoglycemia
Inhibit release of excitatory neurotransmitters (eg, glutamate,
aspartate)
Enhance release of inhibitory neurotransmitters (eg, GABA)
Block neuronal calcium influx
Decrease nitric oxide formation
Decrease Neuronal free radical formation
Prevent apoptosis
Scavenge free radicals
Prevent Ca++ and Na+ influx

Tabel 1. Mekanisme Protektif Cerebral


C. Agen Anestesi dengan Efek Brain Protection

1). Barbiturat
Teori klasik untuk proteksi otak adalah dengan menurunkan kebutuhan metabolisme
cerebral, neuronal yang bertahan akan membaik selama periode CBF yang tidak adekuat.
Karena barbiturate menurunkan metabolisme cerebral, agen ini menjadi obat yang pertama kali
dipilih sebagai potensial proteksi otak. Barbiturate menurunkan aktivitas metabolism cerebral
tergantung dari dosis (dose dependent), dimana kana menghasilkan penurunan aktivitas pada
EEG, penurunan kebutuhan ATP, dan proteksi dari iskemia cerebral inkomplit. Ketika EEG
menjadi isoelektrik, konsumsi energy neuronal menjadi menurun hingga 50%. Dengan
barbiturate pada isoelektrik EEG selama iskemia, semua energy metabolic digunakan untuk
mempertahankan integritas selular.
The Brain Resuscitation Clinical Trial, menegaskan kekurangan proteksi barbiturate
pada pasien dengan kekurangan CBF komplit. Setelah resusitasi pada pasien dengan cardiac
arrest yang secara random mendapatkan tiopental (30 mg/kg) dan salin, tingkat kematian tinggi
pada kedua kelompok( 70% dan 80%). Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa barbiturate tidak
efektif untuk mencegah kerusakan pada iskemik cerebral dimana terjadi iskemia komplit (tidak
ada aliran darah ke otak). Maka barbiturate hanya bekerja pada iskemia inkomplit. Barbiturate
mengurangi cedera cerebral yang disebabkan oleh oklusi arteri cerebral media. Barbiturate
merupakan gold standar sebagai protektan diantara agen anestesi.
Meskipun sebagai gold standar, barbiturate tidak digunakan secara rutin. Barbiturate
dipakai pada kondisi dimana kerusakan karena iskemik tinggi ( misal pada aneurisma).
Barbiturat tidak dipakai pada carotid endarterectomy.

2). Etomidate
Merupakan hipnotik-sedatif intravena yang mirip dengan barbiturate dalam menurunkan
metabolism cerebral secara progresif sampai tercapai EEG isoelektrik. Tidak seperti barbiturate,
etomidate mempunyai efek yang sangat sedikit terhadap tekanan darah, dan durasi aksi yang
singkat. Agen ini dipakai dengan pertimbangan penggunaannya akan menurunkan sekitar 50%
kebutuhan oksigen cerebral sambil mempertahankan perfusi cerebral. Dari beberapa penelitian
didapatkan bahwa etomidate hanya efektif pada iskemia ringan sampai sedang. Etomidate dapat
mengurangi cidera iskemik pada iskemik gobal namun pengurangan ini sangat sedikit dan

hanya pada hippocampus. Pada iskemia fokal, etomidate dapat meningkatkan volume infark
otak, dikarenakan etomidat mengurangi nitic oxide yang penting daam aliran darah selama
iskemia. Pengurangan NO terjadi dengan menghambat NO sintase atau menghambat NO secara
langsung.
3). Propofol
Propofol diperkenalkan dalam praktis klinis pada akhir 1980, dapat mengurangi CMRO 2
(cerebral metabolism rate oxygen), mirip dengan barbiturate dapat menghasilkan isoelektrik
EEG pada dosis yang relevan. Propofol dapat menurunkan tekanan perfusi cerebral ketika dosis
besar diberikan pada periode waktu yang singkat. Agen ini dapat mengurangi isnfark cerebral
pada iskemia fokal, dan dapat digunakan sebagai neuroproteksi jangka panjang pada iskemia
yang ringan. Propofol menunjukkan hasil yang lebih superior dibandingkan fentanylnitrous
oxide anesthesia pada model percobaan tikus dengan iskemia inkomplit dan sama dengan
halotan pada iskemia cerebral regional. Sebagai tambahan, propofol memberikan proteksi otak
dengan potensi antioksidan atau dengan berperan sebagai antagonis glutamate pada reseptor Nmethyl-D-asparate (NMDA).
4) Anestesi Volatile
Seperti barbiturate agen volatile seperti isofluran, sevofluran dan desfluran dapat
mensupresi gelombang EEG pada dosis tinggi ( 2 MAC). Isoflura menunjukka efek
neuroprotektif pada iskemia fokal, hemisferikm dan pada kondisi hamper iskemia total. Data
menunjukan bahwa sevofluran dan desfluran dapat menurunkan kerusakan iskemik cerebral.
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa iskemia neuronal merupakan proses yang dinamis
dimana neuron tetap mati setelah beberapa lama kejadian iskemia awal. Para peneliti
mengemukakan bahwa usaha neuroprotektif setelah periode pemulihan tidak memberikan hasil
yang baik karena neorun tetap mati setelah periode post iskemik. Agen anestesi volatile
dikatakan dapat menunda kematian neuron namun tidak dapat mencegahnya. Maka agen
volatile dapat berguna sebagai neuroproteksi jangka panjang jika terjadi iskemia yang ringan.

BAB III
PENUTUP
Tedapat empat hal yang penting dalam fisiologi otak yang erat berkaitan dengan
neuroanestesi yaitu CBF (Cerebral Blood Flow), ICP (Intracranial Presure), metabolisme
cerebral, dan BBB (Blood Brain Barrier).
Otak merupakan organ yang rentan untuk terjadi iskemia, karena otak mengkonsumsi
oksigen dalam jumlah tinggi dan hampir secara total bergantung pada metabolisme glukosa
secara aerob. Adanya gangguan pada perfusi serebral, substrat metabolik (glukosa), atau
hypoxemia berat yang terjadi akan mengganggu fungsi otak.Iskemik otak umumnya dibagi
menjadi fokal (inkomplit) dan global (komplit).
Brain protection merupakan suatu intervensi ditujukan untuk mengembalikan perfusi
dan oksigenasi otak agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Tujuan klinis umumnya untuk
mengoptimalkan CPP, menurunkan kebutuhan metabolisme (basal dan elektrikal), dan bila
memungkinkan memblok mediator pada kerusakan selular. Beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menurunkan metabolisme cerebral adalah membuat kondisi hipotermi, mempetahankan
CPP pada level yang adekuat, mengkondisikan glukosa darah agar perfusi adekuat, mengatur
PaCO2, dan mencegah kejang pada pasien. Selain itu dapat diberikan beberapa agen anestesi
yang dapat memeberi efek protektif pada cerebral.

DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G. Edward, Jr; Mikhail, Maged S; Murray, Michael J. Clinical Anesthesiology.
Edisi:4. McGraw-Hill: United States. 2006.
2. Baughman, Verna L. Brain protection during neurosurgery. Anesthesiology and

Neurosurgery, University of Illinois at Chicago, Elsevier: United States of America. 2002.


3. Patel, P. Brain Protection-The Clinical Reality. Conferencias Magistrales, Vol.30. University
of California: San Diego. 2007.
4. Stanley, B. An Anaesthesia Introduction for Neurosurgery. Norfolk and Norwich University
Hospital: UK. 2008.
5. Nortje, J. Cerebral Blood Flow and Its Control. Essentials of Neuroaneshesia and
Neurointensive Care. Elsevier: Philadelphia. 2008.

Anda mungkin juga menyukai