PENDAHULUAN
Melindungi otak dari iskemia selama pembedahan merupakan hal yang sangat penting
bagi anestesiologis. Telah banyak dilakukan penelitian dengan prospective randomized
controlled clinical trials yang membandingkan beberapa terapi untuk mendapatkan
terapi yang mampu memberikan efek protektif pada otak. Hasil penelitian tersebut
menjadi acuan dalam memberikan agen anestesi.
Sebelum memberikan agen anestesi, sangat penting untuk mengetahui dan
mengerti dasar-dasar fisiologi pada otak. Agen anestesi juga memberikan efek
pada metabolisme cerebral, aliran darah, perubahan cerebrospinal fluid (CSF), dan
volume serta tekanan intrakranial. Maka sangat perlu untuk mengetahui semua dasar tersebut
agar dapat memberikan penanganan anestesi yang tepat pada pasien.
BAB II
BRAIN PROTECTION
Sel-sel neuronal secara normal menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama.
Konsumsi glukosa pada otak sekitar 5mg/100g/menit, dimana lebih dari 90% dimetabolisme
secara aerobik. CMRO2 dalam keadaan normal paralel dengan konsumsi glukosa. Hal ini tidak
berlaku dalam keadaan kelaparan, ketika badan keton menjadi substrat energi utama. Meskipun
otak dapat menggunakan dan memetabolisme laktat, fungsi otak dalam keadaan normal
bergantung pada suplai glukosa secara kontinu. Keadaan hipoglikemia akut sama merusaknya
dengan keadaan hipoksia. Hiperglikemia dapat mengeksaserbasi kerusakan otak secara fokal
dan global dengan mempercepat terjadinya asidosis serebral dan kerusakan selular.
yaitu PaCO2. CBF secara langsung sebanding dengan PaCO 2 antara 20 dan 80 mm Hg.
Setiap 1 mmHg perubahan PaCO2, aliran darah berubah sekitar 12 mL/100 g/min. Efek
ini terjadi segera dan diperkirakan berefek sekunder pada perubahan PH di CSF dan
jaringan otak. Karena ion-ion tidak siap melewati the bloodbrain barrier, tetapi CO 2
mampu melewati BBB, perubahan akut terjadi pada PaCO2 mempengaruhi CBF. Akut
metabolik asidosis mempunyai sedikit efek pada CBF karena ion hydrogen (H+) tidak
siap melewati BBB. Setelah 24-48 jam, konsentrasi HCO 3 pada CSF menyesuaikan
untuk kompensasi perubahan PaCO2, sehingga efek hipocapnia dan hiperkapnia dapat
dihilangkan. Tanda hiperventilasi (PaCO2 < 20 mm Hg) merubah atau menggeser kurva
disosiasi oksigenhemoglobin ke kiri dan dengan adanya perubahan di CBF, akan
menghasilkan perubahan pada EEG yang menunjuk pada gangguan serebral.
Gambar 2. Hubungan cerebral blood flow dan tekanan gas pernapasan (PaCo2)
Temperatur
Perubahan CBF 57% per 1C perubahan temperatur. Hypothermia menurunkan CMR
dan CBF, dimana pyrexia mempunyai efek sebaliknya. Antara suhu 17C dan 37C, dari
penelituan didapatkan data bahwa rata-rata setiap peningkatan suhu 10 C membuat CMR
meningkat menjadi dua kali lipat. Sebaliknya, terjadi penurunan CMR 50% jika temperatur
otak turun 10C, misalnya dari 37C menjadi 27C, dan turun 50% lagi jika temperatur
turun dari 27C to 17C. Pada temperatur 20C, EEG menjadi isoelectrik, tetapi penurunan
temperatur lebih lanjut terus menurunkan CMR pada otak. Di atas temperatur 42C,
aktivitas oksigen mulai menurun dan dapat terjadi kerusakan sel.
Viskositas
Pada keadaan normal, perubahan pada viskositas darah tidak berpengaruh besar pada
CBF. Faktor yang penting pada viskositas darah adalah hematokrit. Penurunan pada
hematokrit akan menurunkan viskositas dan memperbaiki CBF, namun penurunan
hematokrit juga menurunkan kapasitas membawa oksigen dan berpotensial mengganggu
penghantaran oksigen. Peningkatan hematokrit, yang ditandai dengan polisitemia,
meningkatkan viskositas darah dan menurunkan CBF. Beberapa studi memperkirakan
penghantaran oksigen otak yang optimal terjadi pada hematokrit sekitar 30%.
pergerakan cairan melewati sawar darah otak menjadi bergantung pada tekanan hidrostatik
dibandingkan pada gradient osmotik.
E. Cerebrospinal Fluid (CSF)
CSF ditemukan pada ventrikel serebral dan sisterna, dan di ruang subaraknoid yang
melingkupi otak dan saraf tulang belakang. Fungsi utamanya adalah untuk melindungi sistem
saraf pusat dari trauma.
Mayoritas CSF dibentuk oleh pleksus choroid pada ventrikel cerebri. Sejumlah kecil
dibentuk secara langsung oleh barisan sel ependimal dan sejumlah kecil dari kebocoran cairan
ke dalam ruang perivaskular yang melingkupi pembuluh darah cerebral (kebocoran blood brain
barrier). Pada dewasa, total produksi normal CSF sekitar 21 ml/jam (500ml/hari), namun total
volume CSF hanya sekitar 150 ml. Aliran CSF dari ventrikel lateral melalui foramina
intraventrikular (of Monro) ke ventrikel ketiga, melalui the cerebral aqueduct (of Sylvius) ke
dalam ventrikel empat, dan melalui celah di tengah pada ventrikel empat (foramen of
Mangendie) dan celah lateral pada ventrikel empat (foramina of Luschka) ke dalam the
cerebellomedullary cistern (cisterna magna). Dari cerebellomedullary cisterna, CSF masuk ke
ruang subaraknoid, bersirkulasi di otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi dalam granulasi
araknoid pada hemisfer cerebri.
Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif sodium di pleksus koroid. Cairan yang
dihasilkan merupakan cairan isotonik dengan plasma meskipun rendah potassium, bikarbonat,
dan glukosa. Protein yang terkandung terbatas pada sejumlah kecil yang bocor ke cairan
perivaskular. . Carbonic anhydrase inhibitors (acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton,
furosemide, isoflurane, and vasokonstrictor menurunkan produksi CSF.
Absorpsi CSF melibatkan perpindahan cairan dari granulasi arachnoid ke dalam sinus
venosus cerebral. Sejumlah kecil diabsorbsi serabut saraf dan limfatik meningeal. Meskipun
mekanisme ini masi belum jelas, absorpsi diperkirakan sebanding dengan tingkat TIK dan
berbanding terbalik dengan tekanan vena cerebral. Karena otak dan spinal cord mengandung
sedikit limfatik, absorpsi CSF juga menjadi cara utama untuk protein perivaskular dan
interstitial kembali ke darah.
mempertahankan CBF. Volume darah cerebral diperkirakan mengalami kenaikan 0.05 mL/100g
pada otak setiap kenaikan PaCO2 sebanyak 1 mm Hg.
Kompensasi dapat ditentukan pada pasien dengan kateter intraventrikular dengan
menyuntikan salin steril. Peningkatan ICP lebih dari 4 mmHg diikiuti dengan injeksi 1 ml salin
mengindikasikan kompenasi yang buruk. Pada tahap ini, mekanisme kompensasi telah
mencapai batas dan CBF secara progresif berkompromi seiring peningkatan ICP lebih lanjut.
Pningkatan ICP dapat memicu terjadinya herniasi otak. Herniasi dapat terjadi pada 4 tempat
yaitu (1)gyrus cingulata di bawah falx cerebri, (2) gyrus uncinatus melalui tentorium cerebeli,
(3) tonsila cerebelar melalui foramen magnum, atau (4) daerah-daerah dekat dengan defek pada
tulang tengkorak (transcalvarial).
juga mengganggu pembersihan metabolit yang berpotensi toksik. Jika tekanan oksigen normal,
aliran darah, dan suplai glukosa tidak tercapai dalam 3-8 menit, cadangan ATP akan berkurang
dan akan segera terjadi kerusakan neuronal yang ireversibel. Pada iskemia, intraselular K+
menurun dan intraselular Na+ meningkat. Yang lebih penting adalah Ca2+ meningkat karena
kegagalan pompa ATP untuk memindahkan ion ke ekstraselular maupun ke intraseluler,
peningkatan konsentrasi Na, dan pelepasan neutransmiter glutamat.
Peningkatan yang menetap akan intraselular Ca2+ mengaktifkan lipase and protease,
yang menginisiasi dan memperbanyak kerusakan struktural neuron. Peningkatan konsentrasi
asam lemak bebas dan aktivitas sikloclooksigenase and lipoksigenase mengakibatkan
pembentukan prostaglandin dan leukotrien yang merupakan mediator poten untuk kerusakan
selular. Akumulasi metabolit toksik seperti asam laktat juga mengganggu fungsi selular dan
mengganggu mekanisme perbaikan. Yang terakhir reperfusi pada jaringan iskemik dapat
menyebabkan penambahan kerusakan jaringan yang mengacu pada pembentukan radikal bebas
dari oksigen.
fokal ataupun global. Tujuan klinis umumnya untuk mengoptimalkan CPP, menurunkan
kebutuhan metabolisme (basal dan elektrikal), dan bila memungkinkan memblok mediator pada
kerusakan selular.
1). Hipotermia
Hipotermia merupakan metode yang paling efektif untuk memproteksi otak selama
iskemia fokal dan global. Tidak seperti agen anestesi, hipotermia menurunkan kebutuhan
metabolisme basal dan elektrikal pada otak. Sebagai contoh pada keadaan normotermia, otak
cidera setelah 5 menit iskemia, sedangkan pada hipotermi pada suhu 16 oC dapat mentoleransi
iskemia sampai 30 menit. Studi terbaru menunjukkan bahwa mengurangi beberapa derajat suhu
akan mengurangi kerentanan otak terhadap cidera iskemik. Pada studi menggunakan tikus
dengan iskemia global, didapatkan kerusakan hippocampus pada 100% otak tikus dalam waktu
20 menit iskemia pada suhu 36 oC, kerusakan berkurang sebanyak 20% ketika suhu menjadi
34oC dan 0% pada sushu 33oC. Efek protektif dari hipotermia lebih besar pada keadaan dimana
aliran darah kembali setelah iskemia dibandingkan pada keadaan oklusi menetap. Pemberian
hipotermia antara suhu 32-34 oC setelah cedera kepala akan mengurangi TIK dan meningkatkan
keluaran neurologik. Hipotermia mudah dilakukan dan tidak diikuti dengan depresi miokardial
ataupun aritmia. Pasien juga mudah untuk dihangatkan kembali setelah resiko iskemia sudah
terhindarkan. Sebaliknya peningkatan temperatur otak dan setelah iskemia akan memperberat
kerusakan otak. Peningkatan 1oC sangat berpengaruh pada peningkatan kerusakan.
2). Cerebral Perfusion Pressure
CBF dalam keadaan normal diatur oleh autoregulasi pada tingkat CPP 60-150 mmHg.
Pada pasien hipertensi, batas bawah autoregulasi menjadi bergeser ke kanan. Pada kebanyakan
pasien normotensi juga pada pasien sehat dapat mempertahankan CBF dengan CPP di atas 60
mmHg.
CPP 70 mmHg merupakan tujuan bagian pasien dengan resiko tinggi mengalami iskemia
cerebral. Pasien dengan iskemik cerebral mendapat keuntungan dari peningkatan CBF yang
diinduksi hipertensi. Hipertensi terinduksi akan meningkatkan MAP 20 % di atas batas normal,
dan dapat memicu pada perbaikan klinis pada pasien dengan stroke akut tapi tidak tampak
adanya trombolisis. Hipertensi terinduksi dapat ditoleransi pasien untuk beberapa jam. Tekanan
darah ditingkatkan perlahan dan dipertahankan 10-15% di atas tekanan basal pasien. Sebaliknya
hipotensi mengakibatkan terjadinya iskemia otak. Hipotensi meningkatkan volume infark
cerebral secara signifikan dan hal ini perlu dihindari pada pasien yang menderita stroke.
Hipotensi juga berkontribusi pada hasil klinis yang buruk bagi pasien dengan cedera kepala.
Mempertahankan MAP da CPP yang adekuat menjadi hal yang sangat penting.
Meningkatkan MAP dengan agonis alfa seperti phenylepherine dapat dilakukan dengan asumsi
volume intravascular pasien adalah normal. Agen ini akan membuat vasokontriksi cerebral dan
akan meningkatkan MAP. Dan diketahui bahwa agonis alfa tidak menurunkan CBF.
3). Glukosa Darah
Pada keadaan normal dengan perfusi otak yang adekuat, glukosa dimetabolisme secara
aerobic. Produk akhir metabolism glukosa adalah air, CO 2 dan ATP. Ketika otak iskemik,
oksigen tidak lagi tersedia dan metabolism glukosa secara aerobic menjadi terhambat. Glukosa
akan dimetabolisme secara anaerobic melalui jalur glikolisis. Hasil akhirnya adalah asam laktat
dan ATP. Asam laktat yang diproduksi berkontribusi pada asidosis yang terjadi pada jaringan
iskemik. Otak tidak mempunyai cadangan glukosa,
Dalam keadaan hiperglikemia, suplai glukosa pada otak meningkat. Dalam keadaan ini,
cadangan glukosa pada neuronal akan meningkat. Sejumlah asam laktat dihasilkan dan PH
cerebral akan turun. Keadaan asidosis ini akan mengakibatkan nekrosis neuronal. Hiperglikemia
akut atau hiperglikemia diabetika berhubungan dengan peningkatan infark cerebral.
Hiperglikemia menambah buruk kerusakan cerebral dan memperburuk keadaan pasien dengan
stroke.
Hipoglikemia juga berkaitan dengan kerusakan cerebral. Dengan penurunan gula darah
secara bertahap sampai sekitar 40 mg/dl, terjadi pergeseran frekuensi EEG dari alfa dan beta
menjadi delta dan teta. Kadar glukosa di bawah 20 mg/dl akan terjadi supresi EEG yaitu
pendataran EEG. Hipoglikemia yang menetap akan menghasilkan aktivitas kejang dan
kerusakan neuronal, terutama ke hippocampus. Dari penelitian didapatkan bahwa target level
glukosa darah antara 100-180 mg/dl
4) PaCO2
Manipulasi pada PaCO2 mempunyai potensi dalam mempengaruhi CBF dan volume
darah cerebral. Hipocapnia dapat menurunkan CBF, CBV, dan ICP. Hiperventilasi sering
dilakukan pada pasien dengan lesi masa yang luas dan hipertesi intracranial juga pada ruang
operasi untuk menghasilkan relaksai otak. Hipocapnia pada pasien dengan iskemik dan trauma
CNS dengan CBF yang menurun akan memperburuk kerusakan. Hiperventilasi profilaktik tidak
menunjukkan keuntungan yang berarti pada pasien dengan stroke. Data laboratorium
menunjukan bahwa hipocapnia secara signifikan menurunkan CBF pada otak yang iskemik.
Pada cedera kepala, aplikasi hiperventilasi profilaktik berkaitan dengan prognosis yang buruk
pada 3 dan 6 bulan setelah perlukaan. Pada pasien tersebut, region otak yang iskemik meningkat
secara signifikan dengan terjadinya hipocapnia. Berdasar data ini, Brain Trauma Foundation
merekomendasikan agar hipervebtilasi profilaktik dihindari pada pasien cedera kepala tahap
awal.
5). Pencegahan Kejang
Kejang sering terjadi pada pasien dengan kelainan intracranial. Aktivitas kejang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas neuronal, peningkatan CBF dan volume darah cerebral,
dan cerebral asidosis. Kejang yang tidak diterapi akan menghasilkan nekrosis neuronal bahkan
pada keadaan perfusi cerebral yang normal.
Potential cerebral protective mechanisms
Decrease cerebral metabolism
Increase cerebral blood flow
Mild hypothermia
Prevent hyperthermia
Maintain normoglycemia
Inhibit release of excitatory neurotransmitters (eg, glutamate,
aspartate)
Enhance release of inhibitory neurotransmitters (eg, GABA)
Block neuronal calcium influx
Decrease nitric oxide formation
Decrease Neuronal free radical formation
Prevent apoptosis
Scavenge free radicals
Prevent Ca++ and Na+ influx
1). Barbiturat
Teori klasik untuk proteksi otak adalah dengan menurunkan kebutuhan metabolisme
cerebral, neuronal yang bertahan akan membaik selama periode CBF yang tidak adekuat.
Karena barbiturate menurunkan metabolisme cerebral, agen ini menjadi obat yang pertama kali
dipilih sebagai potensial proteksi otak. Barbiturate menurunkan aktivitas metabolism cerebral
tergantung dari dosis (dose dependent), dimana kana menghasilkan penurunan aktivitas pada
EEG, penurunan kebutuhan ATP, dan proteksi dari iskemia cerebral inkomplit. Ketika EEG
menjadi isoelektrik, konsumsi energy neuronal menjadi menurun hingga 50%. Dengan
barbiturate pada isoelektrik EEG selama iskemia, semua energy metabolic digunakan untuk
mempertahankan integritas selular.
The Brain Resuscitation Clinical Trial, menegaskan kekurangan proteksi barbiturate
pada pasien dengan kekurangan CBF komplit. Setelah resusitasi pada pasien dengan cardiac
arrest yang secara random mendapatkan tiopental (30 mg/kg) dan salin, tingkat kematian tinggi
pada kedua kelompok( 70% dan 80%). Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa barbiturate tidak
efektif untuk mencegah kerusakan pada iskemik cerebral dimana terjadi iskemia komplit (tidak
ada aliran darah ke otak). Maka barbiturate hanya bekerja pada iskemia inkomplit. Barbiturate
mengurangi cedera cerebral yang disebabkan oleh oklusi arteri cerebral media. Barbiturate
merupakan gold standar sebagai protektan diantara agen anestesi.
Meskipun sebagai gold standar, barbiturate tidak digunakan secara rutin. Barbiturate
dipakai pada kondisi dimana kerusakan karena iskemik tinggi ( misal pada aneurisma).
Barbiturat tidak dipakai pada carotid endarterectomy.
2). Etomidate
Merupakan hipnotik-sedatif intravena yang mirip dengan barbiturate dalam menurunkan
metabolism cerebral secara progresif sampai tercapai EEG isoelektrik. Tidak seperti barbiturate,
etomidate mempunyai efek yang sangat sedikit terhadap tekanan darah, dan durasi aksi yang
singkat. Agen ini dipakai dengan pertimbangan penggunaannya akan menurunkan sekitar 50%
kebutuhan oksigen cerebral sambil mempertahankan perfusi cerebral. Dari beberapa penelitian
didapatkan bahwa etomidate hanya efektif pada iskemia ringan sampai sedang. Etomidate dapat
mengurangi cidera iskemik pada iskemik gobal namun pengurangan ini sangat sedikit dan
hanya pada hippocampus. Pada iskemia fokal, etomidate dapat meningkatkan volume infark
otak, dikarenakan etomidat mengurangi nitic oxide yang penting daam aliran darah selama
iskemia. Pengurangan NO terjadi dengan menghambat NO sintase atau menghambat NO secara
langsung.
3). Propofol
Propofol diperkenalkan dalam praktis klinis pada akhir 1980, dapat mengurangi CMRO 2
(cerebral metabolism rate oxygen), mirip dengan barbiturate dapat menghasilkan isoelektrik
EEG pada dosis yang relevan. Propofol dapat menurunkan tekanan perfusi cerebral ketika dosis
besar diberikan pada periode waktu yang singkat. Agen ini dapat mengurangi isnfark cerebral
pada iskemia fokal, dan dapat digunakan sebagai neuroproteksi jangka panjang pada iskemia
yang ringan. Propofol menunjukkan hasil yang lebih superior dibandingkan fentanylnitrous
oxide anesthesia pada model percobaan tikus dengan iskemia inkomplit dan sama dengan
halotan pada iskemia cerebral regional. Sebagai tambahan, propofol memberikan proteksi otak
dengan potensi antioksidan atau dengan berperan sebagai antagonis glutamate pada reseptor Nmethyl-D-asparate (NMDA).
4) Anestesi Volatile
Seperti barbiturate agen volatile seperti isofluran, sevofluran dan desfluran dapat
mensupresi gelombang EEG pada dosis tinggi ( 2 MAC). Isoflura menunjukka efek
neuroprotektif pada iskemia fokal, hemisferikm dan pada kondisi hamper iskemia total. Data
menunjukan bahwa sevofluran dan desfluran dapat menurunkan kerusakan iskemik cerebral.
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa iskemia neuronal merupakan proses yang dinamis
dimana neuron tetap mati setelah beberapa lama kejadian iskemia awal. Para peneliti
mengemukakan bahwa usaha neuroprotektif setelah periode pemulihan tidak memberikan hasil
yang baik karena neorun tetap mati setelah periode post iskemik. Agen anestesi volatile
dikatakan dapat menunda kematian neuron namun tidak dapat mencegahnya. Maka agen
volatile dapat berguna sebagai neuroproteksi jangka panjang jika terjadi iskemia yang ringan.
BAB III
PENUTUP
Tedapat empat hal yang penting dalam fisiologi otak yang erat berkaitan dengan
neuroanestesi yaitu CBF (Cerebral Blood Flow), ICP (Intracranial Presure), metabolisme
cerebral, dan BBB (Blood Brain Barrier).
Otak merupakan organ yang rentan untuk terjadi iskemia, karena otak mengkonsumsi
oksigen dalam jumlah tinggi dan hampir secara total bergantung pada metabolisme glukosa
secara aerob. Adanya gangguan pada perfusi serebral, substrat metabolik (glukosa), atau
hypoxemia berat yang terjadi akan mengganggu fungsi otak.Iskemik otak umumnya dibagi
menjadi fokal (inkomplit) dan global (komplit).
Brain protection merupakan suatu intervensi ditujukan untuk mengembalikan perfusi
dan oksigenasi otak agar tetap dapat berfungsi dengan baik. Tujuan klinis umumnya untuk
mengoptimalkan CPP, menurunkan kebutuhan metabolisme (basal dan elektrikal), dan bila
memungkinkan memblok mediator pada kerusakan selular. Beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menurunkan metabolisme cerebral adalah membuat kondisi hipotermi, mempetahankan
CPP pada level yang adekuat, mengkondisikan glukosa darah agar perfusi adekuat, mengatur
PaCO2, dan mencegah kejang pada pasien. Selain itu dapat diberikan beberapa agen anestesi
yang dapat memeberi efek protektif pada cerebral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G. Edward, Jr; Mikhail, Maged S; Murray, Michael J. Clinical Anesthesiology.
Edisi:4. McGraw-Hill: United States. 2006.
2. Baughman, Verna L. Brain protection during neurosurgery. Anesthesiology and