Anda di halaman 1dari 9

PENUGASAN BLOK SISTEM SARAF

PEMBAHASAN JURNAL CASE REPORT

Nama
NIM

: Dya Restu Saputra


: 09711121

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014

Bells Palsy as a Possible Complication of


Hepatitis B Vaccination in A Child
Handan Alp, Hseyin Tan and Zerrin Orbak
Abstrak
Bell Palsy adalah kelumpuhan sementara otot wajah unilateral secara tiba-tiba akibat
disfungsi saraf kranial ketujuh. Di sini dibahas seorang pasien anak wanita berusia dua tahun
dengan palsy wajah sebelah kanan dengan vaksinasi hepatitis B. Perhatian pembaca tertuju
pada penyebab yang jarang terjadi di Bells Palsy, yaitu komplikasi vaksinasi hepatitis B
Pendahuluan
Bell Palsy adalah kelumpuhan sementara otot wajah unilateral secara tiba-tiba akibat
disfungsi saraf kranial ketujuh. Epidemiology Bell Palsy adalah 20 / 100.000 orang per tahun,
dan tingkat kekambuhan 9% dari kasus. Meskipun Bell Palsy adalah penyakit yang sering dan
relatif umum, namun etiologinya masih belum jelas.Vaksinasi hepatitis B memiliki reaksi yang
serius namun jarang seperti demyelinasi myelitis, demyelinasi perifer dan system saraf pusat,
Vaskulitis, penyakit auto-immune, Bells palsy, dan abnormalitas oftalmologi.
Case Report
Pada 10 mei 2014, seorang anak perempuan berumur 2 tahun dilaporkan ke
departemen pediatric, fakultas kedokteran, Ataturk University, karna palsy wajah sebelah kanan.
Pada saat datang, anak terlihat baik, dan tidak ada demam. Tidak ada riwayat infeksi saluran
pernafasan atas. Pemeriksaan ardiovaskular, respirasi, abdominal dan otoskopi didapatkan
normal. Anak mempunyai gejala Beels Palsy pada wajah bagian kanan. Tidak ada kelainan
pada saraf kranial lain, dan pemeriksaan neurologi didapatkan normal.
Pemeriksaan hematologi dan urin normal. MRI menunjukkan tidak ada kelainan atau
normal. dan serologi darah negative pada Epstein-Barr virus, cytomegalovirus, herpes simplex
virus, rubella, toxoplasma, and Mycoplasma pneumonia. Enam hari sebelum datang, anak
diberikan vaksinasi rekombinan hepatitis B. Bells palsy dianggap merupakan sekuel dari
pemberian vaksinasi hepatitis B. Pasien tidak diberikan pengobatan, dan gejala membaik
secara spontan. Pasien mulai membaik pada hari ke 22 setelah onset pertama, dan 90 hari
setelah presentasi, Bells Palsy benar-benar hilang.

Diskusi
Selama lebih dari 30 tahun, para pakar sudah mendiskusikan dan memperingatkan akan
komplikasi neurologi dari berbagai vaksin. Vaksinasi terharap Hepatitis B virus sangat penting
untuk mengurangi angka insidensi infeksi HBV. Meskipun vaksinasi Hepatitis B merupakan
vaksin yang paling aman, namun tetap mempunyai efek samping. Shaw et al, melaporkan
sebuah penelitian, yang mencatat kejadian neurologi setelah pemberian vaksin Hepatitis B.
Kurang lebih 850.000 individu mendapatkan vaksinasi selama penilitian berlangsung. Mereka
menemukan 3 kasus brachial plexus neuropathy, 4 kasus transverse myelitis, 5 kasus optic
neuritis, 5 kasus lumbar radiculopathy, 9 kasus GBS, dan 10 kasus Bells Palsy. 700 laporan
mengenai efek samping vaksinasi Hepatitis B dikirim ke Vaccine Adverse Events Reporting
Systems (VAVERS). Enam belas persen dari laporan merupakan kerusakan myelin pada
nervus system. Terdapat 21 kasus paralisys wajah.
Etiologi dan pathogenesis Bells Palsy masih belum jelas. Ada kekhawatiran bahwa
reaktivasi dari infeksi geniculate ganglia nervus wajah yang disebabkan virus herpes simplek
mungkin salah satu penyebab Bells Palsy. Proses auto-imun juga dapat menyebab Bells Palsy.
Hipotesis bahwa immunomediated segmental demyelination mungkin berhubungan. Dan juga
diketahui bahwa hepatitis vaksin berhubungan dengan GBS dan penyakit demyelinisasi,
kemungkinan melalui mekanisme respon imun. Oleh karena itu, setidaknya secara teoritis
memungkin bahwa vaksin hepatitis B dapat memicu Bell Palsy melalui mekanisme serupa,
meskipun belum ada bukti untuk mendukung teori ini. Kami tidak menemukan salah satu
etiologi klasik penyebab Bell Palsy pada pasien kami. Satu-satunya penyebab yang dicurigai
adalah vaksinasi terhadap hepatitis B enam hari sebelum penyakit ini terdiagnosis. Prognosis
dalam kelainan ini sangat baik. Lebih dari 85% kasus sembuh spontan tanpa kelemahan wajah
seperti dalam kasus kami, hanya 5% yang menginggalkan kelemahan wajah yang permanen.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi apakah vaksin hepatitis B terkait
dengan peningkatan risiko Bell Palsy dan, jika demikian, dapat untuk menyelidiki detail dari
pathogenesis. Selain itu, kami sedang melakukan sebuah studi population-based controlled
untuk menentukan apakah hubungan ini adalah kausal atau co-insidentil.
Kami menyimpulkan bahwa Bell Palsy harus diperhatikan dalam semua pasien dengan
penyakit ini, dan juga vaksinasi hepatitis B tetapi Program pemberantasan hepatitis B tidak
boleh berubah.

Beels Palsy

DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya. Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar system saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy
adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion
genikulatum.
Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Sedangkan di
Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah
Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus
neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi padawanita daripada pria,
pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayatterpapar udara dingin atau angin
berlebihan
Patofisiologi
Patofisiologi maupun pathogenesis dari Bells Palsy masih belum jelas, ada beberapa
teori yang mecoba menjelaskan tentang teori terjadinya Bells Palsy
1. Teori Infeksi Virus Herpes Zoster
Salah satu penyebab munculnya Bells Palsy adalah karena adanya infeksi virus herpes
zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila radang herpes zoster ini
menyerang ganglion genikulatum, maka dapat melibatkan paralisis pada otot-otot wajah
sesuai area persarafannya. Jenis herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada
otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma Ramsay- Hunt atau Bells Palsy.
2. Teori Iskemia Vaskuler
Terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak langsung
menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kemungkinan terdapat respon simpatis
yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena pada bagian
bawahdari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya
menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese
nervus facialis

3. Teori herediter
Faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang
bersifat menurun
4. Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau telinga
rusak, sehingga terjadi proses transduksi dan mengakibatkan foramen stilomastoideus
bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan
yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan
atau lumpuh.
Etiologi
1. Idiopatik
Bells palsy

adalah penyakit autoimun, yaitu suatu keadaan dimana system imun

menyerang tubuh kita sendiri. dalam hal ini, system imun menyerang nervus fasialis
(saraf diwajah) sehingga menyebabkan kelumpuhan. Penyebab pasti autoimun tersebut
masih belum diketahui (idiopatik).
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetic
2. Kongenital

anomali kongenital (sindroma Moebius)

trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intracranial, dll)

3. Didapat

Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus

Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

Sindroma paralisis n. fasialis familial.

Gejala Klinik
Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya
dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau
sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah

1) Kelopak

mata

tidak

dapat

menutupi

bola

mata

pada

sisi

yanglumpuh

(lagophthalmos).
2) Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke
atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
3) Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh
dan mencong ke sisi yang sehat
Diagnosa
1) Anamnesa

Rasa nyeri

Gangguan atau kehilangan pengecapan.

Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.

Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

2) Pemeriksaan Fisik
Untuk menilai kelumpuhan atau kondisi simetris-asimetris dari Bells palsy yaitu dengan
UGO FISCH SCORE. Cara penilaian kondisi simetris-asimetris antara sisi sakit dibandingkan
dengan sisi sehat pada 5 posisi:
1. Kerutan dahi

: 10 point

2. Bersiul

: 10 point

3. Istirahat

: 20 point

4. Tutup mata

: 30 point

5. Tersenyum

: 30 point

Kondisi tersebut dikalikan dengan penilaian dengan kondisi dibawah ini:

0%

= asimetris komplit, gerakan involunter tidak ada

30%

= simetris, lebih dekat ke asimetris komplit dari pada normal

70%

= simetris cukup, sembuh parsial, lebih dekat ke normal

100%

= simetris normal atau komplit

Kemudian semua hasil dijumlahkan (dalam keadaan normal, jumlah point = 100)
3) Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis

multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan
adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion
genikulatum

Penatalaksanaan
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan
kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh
pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit
2) Perawatan Mata

Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.

Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan
tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah
pandangan kabur.

Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan
menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.

Pembahasan
Bell Palsy adalah kelumpuhan sementara otot wajah unilateral secara tiba-tiba akibat
disfungsi saraf kranial ketujuh. Meskipun Bell Palsy adalah penyakit yang sering dan relatif
umum, namun etiologinya masih belum jelas.
Pada jurnal diatas disebutkan bahwa adanya laporan seorang pasien anak berumur 2
tahun yang datang karna kelumpuhan pada wajah sebelah kanan dan Tidak ada riwayat infeksi
saluran pernafasan atas. Pemeriksaan ardiovaskular, respirasi, abdominal dan otoskopi
didapatkan normal, hanya didapatkan bells sign pada bagian wajah sebelah kanan, dikehatui
pasien mendapatkan vaksinasi Hepatitis B 6 hari sebelum terdiagnosis Bells Palsy. Tidak ada
nya riwayat infeksi dan etiologi klasik lainnya seperti infeksi Herpes simplek dan paparan dingin
pada pasien menimbulkan kecurigaan terhadap adanya hubungan vaksinasi hepatitis B dengan
terjadinya bells palsy.
Menurut etiologi meskipun belum jelas, bells palsy memiliki etiologi yang berhubungan
dengan proses autoimmune dimana menyerang N.VII atau N.trigeminus yang mempersarafi
bagian wajah. Dan vaksinasi hepatitis B dapat menimbulkan efek samping atau penyakit seperti
GBS dan penyakit demyelinisasi lainnya melalui proses autoimun. Sedikit banyak penjelasan
diatas bahwa bells palsy dapat dihubungkan dengan bagaimana vaksinasi hepatitis B dapat
menyebabkan bells palsy dengan cara yang sama yaitu proses autoimun, meskipun belum ada
penelitian

maupun

teori

yang

dapat

menjelaskan

hal

tersebut.

Salah satu bukti yang memperkuat adanya hubungan antara bells palsy dan vaksin
hepatitis B adalah penelitian yang dilakukan oleh Shaw et al dimana mereka melaporakan hasil
dari pemberian vaksin kepada 850.000 individu dan didapatkan 36 kasus dimana 10 kasus
merupakan kasus bells palsy, dan juga adanya 700 laporan dari Vaccine Adverse Events
Reporting Systems (VAVERS) tentang adanya efek samping dan 21 diantaranya merupakan
kasus paralisys wajah.
Walaupun bells palsy yang timbul pada pasien dapat sembuh spontan dan tidak
meninggalkan bekas yang berarti, hal ini tetap perlu konfirmasi dan penelitian lebih lanjut apa
dan bagaimana vaksinasi hepatitis B dapat menyebabkan bells palsy.

Anda mungkin juga menyukai