TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Advokasi
2.1.1.
Sebuah Definisi
Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar.
Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan
kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara
hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian
bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus
bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini
Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa
Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to
promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan
melakukan perubahan secara terorganisir dan sistematis.
Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan atau profesi
dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif
mendukung suatu maksud. Pengertian pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat
dalam membela seorang kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan.
Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan pengertian kedua lebih
bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan secara umum, memperjuangkan tujuan
atau maksud tertentu.
Berbicara advokasi, sebenarnya tidak ada definisi yang baku. Pengertian advokasi selalu
berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu
kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Setidaknya ada beberapa
pengertian dan penjelasan terkait dengan definisi advokasi, yaitu:
Beliau merupakan Direktur Lembaga Dakwah dan Pengabdian Masyarakat Yayasan KODAMA Yogyakarta,
Direktur Jogja Corruption Watch (JCW), dan Sekretaris LAZIS PWNU DIY.
9
Artikel ini merupakah hasil olah dari Power Point yang disampaikan oleh pemateri (Yusuf Effendi) pada sesi
materi Advokasi dan Manajemen Aksi dalam PKD PMII Komisariat Gadjah Mada di PP Sunan Pandan Aran, 18-20
April 2008.
10
11
12
13
http://bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B16&sub=B1601&prod=B160101&t=3&ty=2
http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html
Ibid
Ibid
Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat
bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.
Bagi sebagian orang yang telah berkecimpung dalam dunia advokasi, tentu mereka tidak
akan menanyakan kembali mengapa mereka melakukan hal itu. Namun, bagi sebagian lainnya
yang belum begitu memahami, atau bahkan belum pernah mengenal, seluk-beluk advokasi,
jawaban atas pertanyaan Mengapa beradvokasi? menjadi cukup relevan dan urgen untuk
dijawab. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang harus, dan diharuskan, untuk melakukan
kerja-kerja advokasi. Secara umum alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
Dari beberapa poin di atas ini kemudian melahirkan kesadaran untuk melakukan
perubahan, perlawanan, dan pembelaan atas apa yang dirasakan olehnya. Salah satu bentuk
perlawanan dan pembelaan yang elegan adalah advokasi.
14
Artikel ini disampaikan oleh pemateri (Elbiando Lumban Gaol) pada sesi diskusi tematis gemaprodem dalam
materi pengantar advokasi di Sekretariat gemaprodem ,Jamin ginting gg ganefo Padang Bulan-Medan 14 agustus
2006.
Tujuan dari kerja-kerja advokasi adalah untuk mendorong terwujudnya perubahan atas
sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai dengan yang diharapkan. Secara lebih
spesifik, dalam praksisnya kerja advokasi banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan
publik yang dibuat oleh para penguasa. Mengapa kebijakan publik? Kebijakan publik merupakan
beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap
kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi
agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan
pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya
cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan.
Siapa Pelaku Advokasi? 15
Advokasi dilakukan oleh banyak orang, kelompok, atau organisasi yang dapat
diklasfikan sebagai berikut:
ibid
Lapisan pertama mencakup permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan dalam praktik
kelembagaan dan program-programnya. Contoh, sekelompok anak jalanan dan gepeng
menolak Raperda yang telah dirancang kepada anggota dewan dan pejabat pemerintahan.
Lapisan kedua, mengembangkan kemampuan individu para warga, ormas, dan LSM. Dengan
penolakan dan penentangan adanya Raperda, anggota komunitas belajar bagaimana
mengkomunikasikan pesan mereka pada segmentasi yang lebih luas untuk memperkuat basis
dukungan kelembagaan mereka. Lapisan ketiga, menata kembali masyarakat. Kita mengubah
pola pikir dan memberdayakan masyarakat marjinal (gepeng dan anjal) untuk berinisiatif
16
ibid
melakukan perjuangan hak-haknya secara mandiri. Advokasi dikatakan berhasil apabila kita
mampu membuat komunitas kita lebih berdaya dan mampu meneriakkan aspirasinya sendiri.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan untuk memetakan dan
mengawal jalannya sebuah kebijakan sebelum disahkan menjadi hukum formal, yaitu:
1. Mengerti dan memahami isi dari kebijakan beserta konteksnya, yaitu dengan memeriksa
kebijakan apa saja tujuan dari lahirnya kebijakan tersebut
2. Pelajari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut. Siapa saja yang akan mendapat
manfaat dari kebijakan tersebut
3. Siapa yang akan dipengaruhi baik itu sifatnya merugikan ataupun menguntungkan
4. Siapa aktor-aktor utama, siapa yang mendorong dan apa kepentingan serta posisi mereka
5. Tentukan jaringan formal maupun informal melalui mana kebijakan sedang diproses.
Jaringan formal bisa termasuk institusi-institusi seperti komite legislatif dan forum public
hearing. Jaringan informal melalui komunikasi interpersonal dari individu-individu yang
terlibat dalam proses pembentukan kebijakan
6. Mencari tahu apa motivasi para aktor utama dan juga jaringan yang ada dalam
mendukung kebijakan yang telah dibuat
Perlu dipahami bahwa advokasi tidak terjadi seketika. Advokasi butuh perencanaan
yang matang. Agar advokasi yang dilakukan dapat terwujud secara maksimal, maka kita perlu
menggunakan beberapa strategi. Berikut beberapa strategi dalam melakukan advokasi:
2. Mempererat kokmunikasi dan kerjasama dengan para pejabat dan beberapa partai politik
yang berorientasi reformasi pada pemerintahan
3. Melakukan lobi-lobi antar instansi, pejabat, organisasi kemahasiswaan, organisasi
kemasyarakatan (NU dan Muhammadiyah)
4. Melakukan kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang publikasi
5. Melewati aksi-akasi peradilan (litigasi, class action, dan lain-lain)
6. Menerjunkan massa untuk melakukan demonstrasi
7. Advokasi kebijakan publik merupakan upaya pembelaan (pengawalan) secara terencana
terhadap rencana sikap, rencana tindakan atau rencana keputusan, rencana program atau
rencana peraturan yang dirancang pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan agar
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nilai-nilai utama yang terdapat dalam masyarakat
yang menjadi kepentingan seluruh anggota masyarakat haruslah diprioritaskan.
8. Keberhasilan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang memainkan peran
dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan
mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan untuk menjalin relasi politik dan
pengorganisasian kekuatan politik serta kemampuan membangun opini publik.
Upaya masyarakat atau kelompok masyarakat untuk memainkan peran advokasi dalam
mempengaruhi kebijakan publik akan menghadapi empat kendala pokok.
17
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/29/optimalisasi-peran-advokasi-dalam-mempengaruhi-kebijakan-publik/
Pertama, ada konflik nilai dalam pembuatan kebijakan publik. Konflik nilai bisa timbul
antara etika dan estetika yang dapat dilihat dalam RUU anti pornografi dan pornoaksi. Para
pendukung etika (tokoh agama dan pendidikan) menginginkan pembatasan yang ketat terhadap
publikasi dan prilaku porno, sebaiknya para pendukung nilai-nilai estetika (seniman, musikus,
sastrawan, dan pekerja seni) menilai pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno
bertentangan dengan hak asasi manusia. Mereka menganggap bahwa pelarangan pornografi
dapat membelenggu kebebasan berekspresi mereka untuk membuat karya-karya seni yang
merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Kedua, konflik antara etika dan ekonomi dapat tergambar dari kebijakan dibidang
perjudian dan pelacuran (prostitusi). Larangan perjudian dan pelacuran dalam kacamata hukum
pidana mungkin dianggap sebagai hal yang wajar, tapi perjudian dan pelacuran dengan beban
pajak yang cukup tinggi dapat menjadi sumber bagi pendapatan daerah.
Ketiga, kondisi masyarakat sipil yang tidak terintegrasi secara baik. Sebenarnya
kekuatan masyarakat sipil cukup memadai, baik dari kalangan komunitas perguruan tinggi,
kelompok profesi dan lembaga swadaya masyarakat, namun karena terlalu banyak isu-isu yang
diusung menyebabkan fokus gerakan masyarakat sipil menjadi terpecah-pecah. Bahkan
adakalanya terjadi konflik yang tajam di antara kekuatan masyarakat sipil.
2.2 Petani
18
http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html
Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi, terutama cara produksi tertentu.
Petani bukanlah satu golongan yang homogen. Petani hidup dalam suatu konteks ekonomi dan
politik agraria tertentu. Konteks itu mengkondisikan nasib petani. Nasib petani dalam konteks
feodalisme, berbeda dengan nasib petani dalam bangunan kapitalisme kolonial, dan berbeda pula
dengan nasib petani dalam kapitalisme pascakolonial.
Kedua, dalam cara produksi, petani selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi
petani selalu menggantungkan nasibnya terhadap golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali
menemukan petani yang semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja, kecuali pada
kantung-kantung masyarakat suku asli terisolasi. Dalam rezim feodalisme, nasib petani
penggarap tanah-tanah, bergantung pada mekanisme bagi hasil dan pajak yang dibebankan para
penguasa tanah (raja dan aparatnya). Dalam kapitalisme kolonial, nasib petani ditentukan oleh
program-program agraria penguasa kolonial. Dalam rezim Orde Lama, nasib petani ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang bertarung pada tingkat nasional. Sedangkan pada
Orde Baru, nasib petani ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara.
Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa
dibedakan. Ekonomi adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam
produksi, distribusi dan konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan
akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Pertemuan ekonomi
dan politik sangat jelas. Feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme adalah fenomena ekonomi
sekaligus politik.
Keempat, petani selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan (intervensi) yang datang
dari konteks luarnya. Para penguasa memiliki bias untuk selalu memobilisasi petani agar bisa
terintegrasi dengan program-program agraria yang dipraktekkannya. Sering dianggap, petani
sulit berintegrasi dengan usaha-usaha inovatif. Tingkat penolakan ini bisa berwujud menjadi
gerakan, bila bertemu dengan kondisi-kondisi pelengkapnya. Bentuk gerakan petani bukan hanya
bersifat pemberontakan yang terbuka. Banyak gerakan/pergerakan petani yang tertutup atau
tersembunyi dan diam-diam (sehingga sulit/tidak terdokumentasi) sebagaimana dikemukakan
James Scott.
Maka, petani bukanlah entitas eksklusif. Petani adalah entitas inklusif yang senantiasa
hidup dalam dan bahkan melalui aneka rupa dinamika interaksi dengan komunitas lain yang
bukan petani 19.
Petani juga memiliki kultur khas sendiri yang dari waktu ke waktu mengalami proses
adaptasi dan resistensi dengan dinamika kultur ekologi sosial dari entitas sosial di mana dan dari
19
mana petani berinteraksi. Dengan demikian petani bekerja dengan cara produksi tertentu (kultur
bertani/kultur agraris), hidup dalam lingkup konteks ekonomi politik tertentu (dinamika cara
pandang) yang pada gilirannya perspektif maupun konteks sosial yang menyertai petani akan
ikut mengubah petani sebagai sebuah entitas yang berdinamika secara khas.
Perspektif Scottian (penganut James Scott), resistensi petani selalu di dalam semangat
moral ekonomi subsisten yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Ciri utamanya,
masyarakat bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Maka etika yang dihayati
dan dikembangkan masyarakat petani subsisten yaitu safety first ethics dengan mekanisme risk
avoidance strategy. Para petani akan berusaha menghindari risiko dan karena itu resistensi pun
sedemikian rupa diupayakan untuk tidak mengorbankan moralitas subsisten.
Berbeda cara melihat dari kelompok Marxian (penganut Karl Marx). 21 Mereka menilai
petani tidak mungkin diajak melakukan resistensi yang lebih keras karena mereka takut
kehilangan tanah. Petani bukanlah elemen revolusioner, sebab meski mereka sangat miskin,
tetapi toh mereka masih memiliki akses dan kontrol atas tanah sepotong tempat tinggal mereka.
Buruh lebih sanggup melakukan revolusi, terutama terhadap ekspansi kapitalisme yang angkuh
dan serakah.
20
21
Sudah sejak Orde Baru, ekonomi politik di sini diorientasikan untuk mengabdi pada
pemilik modal. Akibatnya jelas. Petani tertindas dan tersingkirkan. Rezim penguasa tetap tak
selalu siuman, bukan karena mereka bodoh dalam pengertian tak bersekolah atau berpendidikan,
melainkan karena mereka telah terkena candu kapitalisme yang akut sehingga mereka tampak
bebal. Sehingga pikiran lain (the other alternative solution) tidak dimengerti karena mereka
sudah membusuk dalam nikmatnya pragmatisme uang 24.
2.2.3 Semangat Pembaruan Agraria 25
22
ibid
Teori ekonomi leninis
24
Sumber: http://222.124.164.132/article.php?sid=94912
25
http://frisztado.wordpress.com/2010/10/19/problema-agraria-dan-nasib-petani-pius-rengka-pos-kupang-com-22september%C2%A02010/
23
Semangat rezim pembaruan agraria jelas. Yaitu menolong dan merehabilitasi nasib
petani tertindas. Tetapi dalam skema itu mereka harus bersentuhan dengan sejumlah regulasi
yang diproduksi oleh mesin kekuasaan yang terdikte pragmatisme pasar modal kapitalis.
Regulasi diproduksi oleh intelektual tukang atau dalam bahasa Gramsci cendekiawan organik
yang berorientasi membela elit. Rezim pembaruan agraria juga berjumpa dengan sejumlah
kepentingan ekonomi politik di level nasional dan internasional.
Tesis pokok pembaruan agraria (agraria reform), tanpa ada pembaruan agraria tidak
akan ada demokrasi di desa. Dipercaya, demokrasi ekonomi akan memproduksi demokrasi
politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian.
Agraria reform lalu dengan sendirinya menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat.
Berkembangnya diferensiasi memproduksi berbagai profesi dan pekerjaan, yang selanjutnya
menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru. Jika asosiasi dan kelembagaan baru ini lahir dan
menguat, ia akan dengan sendirinya menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah
cerminan dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat pluralis. Pada
akhirnya akan tumbuh tatanan masyarakat sipil sebagai ganti dari masyarakat politik.
Tesis penganut agraria reform disambut sorak gembira kalangan masyarakat sipil dunia
(world civil society). Tetapi ada soal, karena pada saat bersamaan hampir semua negara miskin
terbimbing visi IMF. Juga negara-negara periferal itu ikut menandatangani GATT (General
Agreement on Trade and Tarift), WTO (World Trade Organization). Apalagi sejumlah blok
ekonomi regional seperti APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) maupun yang lebih kecil
seperti BIMEAGA (Brunay, Indonesia, Malaysia and Philipines East Asia Economic Growth
Area) mau tak mau, suka tak suka bertemu dengan kepentingan petani karena kebijakan nasional
akan terkait dengan masalah tanah. Maka tanah dan petani lagi-lagi jadi soal.
26
kritis tanpa ada keharusan mengabdi pada satu definisi tunggal, apalagi hegemoni struktural.
Bagi mereka, tudingan sepihak atau dominasi tunggal adalah penghinaan terhadap kreativitas
manusia. Bagi mereka, semua pikiran kaum positivistik harus digugat, dibongkar sekaligus
diperbaiki demi kepentingan manusia. Sebab positivistik view adalah instrumen akademik
oligarkhis yang dilegitimasi teori. Tidak boleh ada rezim teori yang mengklaim diri paling
benar, paling waras. Untuk petani, mereka berkotbah begini. Petani adalah komunitas dunia yang
berada di medan tugas tertentu yang bebas memperjuangkan kepentingannya sendiri secara kritis
seturut perspektif dan konteksnya sendiri. Tetapi, meski kotbah kaum Posmo demikian itu, toh
petani Indonesia tetap saja miskin, terpinggirkan, tertindas dan tetap saja menjadi obyek
mobilisasi politik. Lalu bagaimana?
Faktanya, petani pragmatis, mata duitan. Tambang dalam tanahnya ditukar dengan
problem masa depan (Dr. Oloan Sitorus 27). Pemerintah setempat kurang menguasai konteks,
sementara arus pengaruh oligarki global kian deras. Para politisi lokal sibuk menangkap dangkal
permukaan soal, sambil siap-siap diri re-election. Tanda tangan izin tambang bak pasar bebas
mendapat untung. Sebagian dipakai untuk mobilisasi dukungan politik, lainnya melayani
kepentingan daging sendiri. Penegak hukum, sama saja. Seolah-olah menegakkan hukum, tetapi
apa hasil? Pejabat, rutin upacara tanam batu atau disebut peletakan batu pertama bukan tanda
adanya development pertama, tetapi tanda envelopment pertama untuk selanjutnya diteruskan
26
sumber : home.unpar.ac.id/~hasan/doc
Dr. Oloan Sitorus, SH M.S Rachmat Riyadi, SSi, M.Si adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN), Yogyakarta.
27
dengan rangkaian envelop. Sementara istri pejabat, wah lebih gawat lagi. Perilakunya seperti
dialah pejabat itu. Andalannya rebonding dan seterika rambut. Namun, sekali lagi. Petani selalu
kalah bahkan kalah berkali-kali. Saat kebijakan import beras, petani secara eksistensial dibunuh,
karena impor beras itu terkait langsung dengan pelecehan terhadap tanah para petani yang
memproduksi padi dan beras. Mungkin, sekali waktu entah kapan dan di mana, mereka perlu
meneguk segelas anggur (wine) entah apa pula rupa warnanya (Rachmat Riyadi, SSi, M.Si).28
Dari pengalaman perjuangan kita beberapa waktu terakhir, di tengah kondisi bahwa
secara umum gerakan tani belum berdaya sebagai satu kekuatan yang diperhitungkan dalam
mendesakkan kepentingannya kepada Negara, tercapai kemajuan-kemajuan; terutama, pertama,
dalam segi-segi meningkatnya kesadaran bagaimana kekuatan tani dapat mengambil peran yang
lebih besar dalam persoalan ketatanegaraan. Artinya, gerakan tani bukan hanya menjadi gerakan
ekonomis yang sekedar bereaksi atas berbagai kebijakan politik pertanian yang dianggap tidak
menguntungkan, tapi juga bagaimana memastikan posisi Negara dapat sepenuhnya mengabdi
pada kepentingan mayoritas rakyat tertindas, terutama kaum tani. Proses ini sering diistilahkan
dengan perubahan dari gerakan sosial menuju gerakan politik. Salah satu contohnya adalah
keterlibatan kaum tani dalam praktek politik praktis, seperti dalam Pemilu, Pilkada hingga
Pilkades dan Pilkadus. Kedua, Adanya keinginan melakukan persatuan, dari tingkat terendah
hingga nasional. Kendati proses konsolidasi tersebut belum mampu memberikan andil yang
cukup untuk membesarkan dan meluaskan struktur organisasi secara merata di tiap territorial. 29
28
Ibid
29
Hukum Agraria Nasional membagi hak hak atas tanah ke dalam dua bentuk:
a . Hak primer, hak yang bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia, dapat dimiliki
seorang/badan hukum (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai).
b. Hak sekunder, hak yang tidak bersumber langsung dari Hak Bangsa Indonesia, sifat dan
penikmatannya sementara (Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Menyewa atas Pertanian).
Kemudian Pasal 16 UUPA hak atas tanah terbagi atas 731, yaitu:
Hak milik adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal
dunia, dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik
atas tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan
Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika: 1) Menjadi
tanah negara dapat terjadi karena: a. pencabutan hak, b. dilepaskan dengan sukarela, c. dicabut
untuk kepentingan umum, d. tanah ditelantarkan, e. dialihkan kepada warga negara asing; (2)
Tanahnya musnah.
30
31
Hak guna usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan
pertanian, perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk
melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal
28(1), (2), (3) UUPA. Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal
atau badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal
30 UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP
No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:1. jual beli; 2. tukar menukar; 3. penyertaan dalam
modal; 4. hibah; 5. pewarisan. Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No.
40/1996 terjadi karena 7 sebab, yaitu: 1) Berakhirnya jangka waktu; 2) Tidak terpenuhi syarat
pemegangnya; 3) Pencabutan hak; 4) Penyerahan suka rela; 5) Ditelantarkan; 6) Kemusnahan
tanahnya; 7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak
yang memenuhi syarat.
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan
dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang dapat
mempunyai HGB adalah: 1) Warga Negara Indonesia dan; 2) Badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36(1) UUPA). Tanah HGB
mempunyai sifat dan ciri-ciri yaitu wajib didaftarkan, dapat beralih, dapat dialihkan, jangka
waktunya terbatas, dapat dilepaskan oleh pemilik HGB sehingga menjadi tanah negara dan dapat
dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan undang-undang (Pasal 41(1) UUPA). Sifat dan ciri-ciri Tanah Hak Pakai yaitu
wajib
didaftarkan,
dapat
dialihkan,
dapat
diberikan
dengan
cuma-cuma
dengan
pembayaran/pemberian jasa berupa apapun, dapat dilepaskan dan dapat dijadikan jaminan
hutang dengan Hak Tanggungan.
Hak sewa adalah merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus (Penjelasan
UUPA Pasal 10(1)). Sifat dan ciri-ciri Tanah dengan Hak Sewa yaitu tidak perlu didaftarkan,
cukup dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta bawah tangan atau akta otentik, bersifat
pribadi (tidak dapat dialihkan tanpa izin pemiliknya, dapat diperjanjikan, tidak terputus bila Hak
Milik dialihkan, dapat dilepaskan dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak
Tanggungan.
Membuka hutan dapat diartikan sama dengan mengelola hutan dalam arti luas, karena
maksud dari pengelolaan hutan menurut Pasal 21 Huruf (b) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan
berkenaan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Hutan yang tidak dapat
dimanfaatkan secara simultan oleh masyarakat adalah hutan kawasan, seperti hutan lindung,
suaka, dan hutan konservasi.
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan) . Selain itu, masyarakat juga
berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal
68(2) huruf (a) UU Kehutanan).
UUPA memberikan banyak varian tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: Hak
Gadai (pasal 7 UU No. 56 Prp/1960) , Hak Bagi Hasil atas Tanah (PP No. 8/1953), Hak Sewa
Tanah Pertanian (berdasarkan musyawarah mufakat antara pengelola dan pemilik tanah), Hak
Menumpang (Hukum Adat dan Pasal 53 UUPA) dan Hak Pengelolaan (Penjelasan Umum bagian
A II (2) UUPA dan PP No. 40/1996.
Hak milik atas tanah secara kolektif tidak diatur dalam undang-undang karena pasal 10
UUPA menjelaskan, subyek hukum yang memiliki hak atas tanah adalah individu dan badan
hukum. Tanah ulayat adat (suku) hingga kini masih mendekati apa yang disebut dengan
kepemilikan hak atas tanah kolektif, namun sepanjang pengambilan hasil serta pengelolaannya,
hal terlihat khusus tanah adat (suku) jumlahnya tidak pernah berkurang. Karena hal ini tidak
dapat dimungkinkan adanya hak individu atas tanah di wilayah tanah adat (suku).
Hak Ulayat
Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan
dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat
yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang
merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat
adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan Pelaksananya adalah Penguasa
Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala Adat sendiri atau bersama-sama
para tetua adat masing-masing.
Didalamnya terkandung kriteria penentu keberadaan Hak Ulayat yang terdiri dari 3
unsur yaitu:
b. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil
keperluan hidup masyarakat hukum adat itu.
c. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Pengakuan terhadap
hak tersebut memberikan penghormatan kepada hak orang lain dan upaya
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat 32.
2.5 Pengakuan adat oleh Hukum Formal 33
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi
dalam tiga kelompok, yaitu:
1.
2.
Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum
perhutangan).
3.
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck
Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang
berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda)
yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup
dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van
Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi
Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga
hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat
(beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di
32
33
ibid
Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi
menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda,
Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya
daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 22 lingkungan adat berikut:
1.Aceh; 2. Gayo dan Batak; 3.Nias dan sekitarnya; 4. Minangkabau; 5.Mentawai; 6.Sumatra
Selatan; 7.EngganoMelayu; 8.Bangka dan Belitung; 9.Kalimantan (Dayak); 10.Sangihe-Talaud;
11.Gorontalo; 12.Toraja; 13.Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar); 14.Maluku Utara; 15.Maluku
Ambon; 16.Maluku Tenggaral; 17.Papua; 18.Nusa Tenggara dan Timor; 19.Bali dan Lombok;
20.Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran); 21.Jawa Mataraman; 22.Jawa Barat (Sunda).
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan
besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
34
1.
Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali
dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku
dipengaruhi agama Kristen.
2.
3.
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena
adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupakan identitas bagi bangsa, dan
identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah
Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah
pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai
alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala
satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman
mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam
Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan
putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. 35
35
36
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
1.
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat 38. Dalam prakteknya (deskritif)
sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di
lingkungannya 39.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi
dalam peranannya 40. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang
mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah 41.
37
2.6.1. Pengertian 42
Atau dalam pengertian lain disebutkan an art , a science , a profession that helps
people to solve personal , group (especially family) , and community problems and to attain
satisfying personal , group, and community relationships through social work practice. 44
Pengertian tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa pekerjaan sosial adalah aktivitas
professional , yang ditujukan untuk menolong orang , baik sebagai individu , kelompok ,
organisasi maupun masyarakat , dalam kerangka meningkatkan atau memperbaiki kemampuan
berfungsi sosial mereka dan menciptakan kondisi / lingkungan sosial yang memungkinkan orang
tersebut mencapai tujuannya.
2.6.2. Karakteristik
1. Konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial adalah menolong orang agar mereka mampu
menolong dirinya sendiri (To help people to help themselves).
42
a. Mikro , yaitu diarahkan untuk menangani permasalahan yang dialami individu dan keluarga.
4. Ilmu pekerjaan sosial merupakan eclectic sciences , ilmu yang dalam proses
pembentukannya mengadaptasi bagian-bagian dan konsep dari disiplin ilmu lainnya.
Untuk lebih memperdalam pemahaman soal pekerjaan sosial memang tidak cukup hanya
pengertian dan karakteristik pekerjaan sosial , masih perlu bicara soal tujuan dan fungsi
pekerjaan sosial. Berikut akan langsung dibahas secara garis besar mengenai advokasi dalam
perspektif pekerjaan sosial.
Seperti telah dikemukakan diatas , advokasi secara pengertian berada dalam dua faksi
besar. Advokasi pembelaan seperti yang dikerjakan oleh penegak hukum dan advokasi yang
tidak hanya membela tapi juga memajukan , mengemukakan , menciptakan dan merubah 46
Sementara itu , bila merujuk pada pengalaman masa lalu (baca: orde baru) , kegiatan advokasi
45
46
cenderung dikonotasikan sebagai upaya ekstrem dari kalangan tertentu khususnya aktivis Ornop
maupun Ormas dalam melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap kasus kasus rakyat 47.
Dalam konteks penanganan masalah atau kasus kegiatan advokasi biasanya dapat
dibedakan dalam 2 hal. Pertama , advokasi yang bersifat litigasi dan kedua , advokasi yang
bersifat nonlitigasi. Advokasi bersifat litigasi sepenuhnya diartikan sebagai upaya penanganan
kasus dengan menempuh jalur hukum dan pengadilan. Sementara advokasi secara nonlitigasi
erkaitan erat dengan upaya penanganan kasus melalui jalur lobby dan aksi yang bersifat
membangun opini publik , baik yang dilakukan dengan cara aksi demonstrasi , delegasi , unjuk
rasa , hingga kampanye baik secara lisan maupun tulisan. Idealnya kedua pendekatan ini dapat
saling kuat menguatkan dalam konteks penanganan kasus. Namun , faktanya adalah bahwa
kedua kegiatan ini tak selalu seiring sejalan. Karena tak jarang penanganana kasus melalui jalur
litigasi kurang mampu mengangkat akar permasalahan yang ada dan terhenti sampai persoalan
pidana semata , sementara perdata tidak terangkat ke permukaan.
47
48
idem
Buku Pintar Pekerja Sosial jilid 2 , Albert R. Roberts dan Gilbert.cetakan 1.2009.
Ada beberapa tahapan penting yang perlu diketahui berkaitan dengan proses advokasi
yang akan dilakukan 49. Antara lain :
Dalam konteks advokasi kasus tanah yang dialami oleh petani , strategi advokasi yang
dapat dilakukan adalah :
Makalah DPW SPI SUMUT dengan judul Sebuah Pendekatan dalam Penanganan Kasus Tanah. Dipresentasikan
dalam Sekolah HAM di Aula Fisip USU tertanggal 17-18 Mater 2011.
Keseluruhan prosedur
komitmen dan kesadaran kritis pada komunitas yang ada serta rasa saling percaya dan solidaritas
antara sesama petani maupun stakeholder yang tergabung untuk secara bersama sama
memperjuangkan nasib petani.
Perkembangan jaman yang tidak terbendung memaksa perluasan lingkup advokasi dari
yang selama ini terlokalisir dalam kajian hukum hari ini mulai merambah hingga ranah pekerjaan
sosial. Advokasi yang dahulu terkekang dalam pengertian pembelaan hukum , kini sampai pada
upaya perebutan keadilan sosial. Petani yang dalam kasus ini didudukkan sebagai objek (pihak
yang seperti biasanya tidak memiliki akses kepada sistem sumber) bersama SMAPUR
(Kelompok mahasiswa dan pemuda yang konsen pada advokasi petani) memperjuangkan hakhak normatifnya atas penguasaan lahan baik melalui skema advokasi secara litigasi (peradilan)
maupun nonlitigasi ternyata mampu mengangkat permasalahan sengketa lahan yang telah
berumur puluhan tahun. Satu hal yang selama ini terlihat begitu sulit dilakukan oleh advokatoradvokator berlisensi resmi.
Menarik untuk diteliti apa sebenarnya yang membedakan pola advokasi oleh SMAPUR
ini dengan pola advokasi lainnya yang kemudian penulis rasa akan sangat penting jika pekerja
pekerja sosial nantinya mampu mempelajarinya untuk kemudian menjadi bahan referensi
tambahan dalam metode pekerjaan sosial terkhusus advokasi dan community organization.
Gambar 2.1
SMAPUR
ADVOKASI PETANI
1. INVESTIGASI KASUS.
2. PENGKONSOLIDASIAN KEKUATAN.
3. PEMETAAN KAWAN DAN LAWAN.
4. PERUMUSAN ISSU , SASARAN DAN
STRATEGI.
LITIGASI
NONLITIGASI
2.8.
Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui advokasi petani Persil IV Dusun Tungkusan ,
Deli Serdang , dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari
Pekerjaan Sosial. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka
dirumuskan dan didefenisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu
persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur
tujuan penelitian.
Yang menjadi konsep penelitian ini adalah:
1.
Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk
membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih
baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum
formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi).
2.
Petani adalah orang atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah,
mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil
dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan
dalam konteks sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi
di atas empat hal berikut. Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi,
terutama cara produksi tertentu.
SMAPUR adalah suatu bentuk persatuan mahasiswa dan pemuda yang sengaja
dibentuk untuk kepentingan advokasi petani persil IV dusun Tungkusan , Deli
Serdang.
4.
INDIKATOR PETANI :
1. Kategori petani yang dapat diadvokasi.
2. Apa yang menjadi ketertarikan petani untuk diadvokasi.
3. Bagaimana sikap petani terhadap advokasi.
INDIKATOR SMAPUR:
1. Apa itu SMAPUR.
2. Siapa yang terlibat dalam SMAPUR.
3. Bagaimana SMAPUR berkerja (mengadvokasi).