Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

UL

RETARDASI MENTAL

Oleh
Emilia Puspita Sari (092011101029)
Alvin Isnaini (092011101031)
Meilani Yevista Debora br. Pasaribu (092011101059)

Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ
dr. Alif Mardijana, Sp.KJ

SMF ILMU KESEHATAN JIWA RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

HALAMAN
JUDUL

RETARDASI MENTAL

REFERAT
diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Klinik Madya Lab/SMF Ilmu Kesehatan
Jiwa RSD dr. Soebandi Jember - Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Oleh
Emilia Puspita Sari (092011101029)
Alvin Isnaini (092011101031)
Meilani Yevista Debora br. Pasaribu (092011101059)

Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ
dr. Alif Mardijana, Sp.KJ

ii

SMF ILMU KESEHATAN JIWA RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
DAFTAR ISI
Halaman

Error: Reference source not found

iii

BAB 1. PENDAHULUAN

Masa kanak- kanak adalah masa keemasan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan baik fisik dan psikisnya. Pertumbuhan dan perkembangan ini
sangat penting diperhatikan guna membentuk manusia yang sehat fisik dan psikis
sehingga dapat mengaktulisasikan diri dengan maksimal di masa depan. Namun
dalam periode emas ini banyak sekali hal- hal yang dapat menjadi penyebab
timbulnya gangguan proses tersebut, yang tentunya dapat bermanifestasi menjadi
berbagai macam kelainan baik penyakt psikis maupun penyakit fisik. Salah
satunya adalah retardasi mental, yaitu merupakan kelainan cukup serius yang
dapat mempengaruhi keberlangsungan kemandirian dalam kehidupan masa depan
seorang anak.
Retardasi mental adalah suatu gangguan heterogen terutama gangguan
intelektual dan gangguan fungsi ketrampilan adaptif yang ditemukan sebelum
orang berusia 18 tahun. Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan
dan psikososial. Selama dekade terakhir, semakin dikenali faktor biologis,
termasuk kelainan kromosom kecil, sindrom genetika dan intoksikasi timbal
subklinis dan berbagai pemaparan toksin pranatal.
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira
kira 1 persen dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena
kesulitan mengenali onsetnya. Epidemiologi retardasi mental belum diketahui.
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari
populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan termasuk
ringan. Di Amerika serikat Tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 %
anak usia sekolah mendapat pelayanan retardasi mental. 5 Insidensi tertinggi adalah
pada anak usia sekolah, dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental
1,5 kali lebih sering pada laki laki dibandingkan dengan wanita. Pada lanjut
usia, prevalensi lebih sedikit karena mereka dengan retardasi mental yang berat
atau sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi yang disebabkan dari
penyulit gangguan fisik yang menyertai.1

iv

Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi


yang besar terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan angka
kejadian retardasi mental berat sekitar 0.3% dari seluruh populasi dan
hampir 3% mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai sumber daya manusia
tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan karena 0.1% dari anak-anak
ini memerlukan perawatan, bimbingan serta pengawasan sepanjang
hidupnya.3 Sehingga retardasi mental masih merupakan dilema,
sumber kecemasan bagi keluarga dan masyarakat. Demikian pula
dengan diagnosis, pengobatan dan pencegahannya masih merupakan
masalah yang tidak kecil.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Teori Perkembangan Anak


Pelbagai

teori

telah

berkembang

mengenai

perkembangan

anak.

Perkembangan anak merupakan hasil dari interaksi dinamik antara nature dan
nurture atau antara biologi dan lingkungan. Walaupun secara teoritik nature dan
nuture itu dapat dipisahkan, tetapi dalam kenyataannya keduanya selalu berada
bersama, saling berinteraksi, dan tumpang tindih. Faktor lingkungan dapat
mencetuskan berkembangnya fungsi-fungsi tertentu, mengatur dan memberikan
arah, percepatan atau sebaliknya, menghambat perkembangan fungsi-fungsi itu.
Di lain pihak, sifat-sifat tertentu dari organism itu sendiri dapat merangsang
respons lingkungan yang mendukung atau menghambat, atau menimbulkan
reaksi-reaksi idiosinkratik dalam perkembangan fungsi-fungsinya.
Teori perkembangan yang ada pada pokoknya mencoba menerangkan
bagaimana manusia itu berkembang dari seorang makhluk yang tadinya mutlak
bergantung pada lingkungannya, menjadi relative mandiri dan berguna bagi
lingkungannya. Teori tersebut mengakui bahwa perkembangan terjadi menurut
suatu pola tertentu, pola itu adalah universal, terdiri dari satu fase ke fase yang
lain. Lama berlangsungnya fase tersebut tidak sama antara masing-masing
individu, ditentukan oleh faktor genetik dan sosiokultural.2

Teori perkembangan Psikoseksual (Sigmund Freud)


Teori perkembangan psikoseksual merupakan dasar dari kebanyakan teori

perkembangan kepribadian yang berorientasi psikoanalitik lainnya. Teori ini


melengkapi teori-teori Freud lainnya, yaitu teori topografi, teori struktural, teori
insting, dan mekanisme defens. Teori psikoseksual menerangkan bagaimana libido
yang tadinya berbentuk difus tidak terdiferensiasi, berkembang mencapai
bentuknya yang dewasa yaitu seks genital; dari fase pragenital mencapai fase
genital primacy. Menurut teori ini, insting seksual dibawa individu sejak ia
dilahirkan. Namun manifestasinya tidak dalam bentuk seksualitas yang umumnya
diartikan orang dewasa (seks genital), melainkan dalam bentuk pragenital.
Pemuasan kenikmatan seksual disalurkan melalui peralihan zona-zona erotik di

luar genital anatomik, yaitu pada mulut anal uretral, dan falus, hingga akhirnya
mencapai pemuasan orgasme klimaktik genital dewasa.
Teori ini beranggapan bahwa perkembangan

ini

memengaruhi

perkembangan kepribadian manusia secara keseluruhan. Insting seksual ini


dianggap sebagai insting yang paling penting di antara lainnya (insting vital,
insting agresi, insting kematian) karena ia berada di bawah tabu umat manusia ke
dalam nirsadar sehingga ia cenderung direpresi, disangkal, dan karenanya sering
menjadi sumber konflik neurotik2.
Secara garis besar, perkembangan ini akan melalui fase-fase sebagai berikut:
- Fase oral (dari umur 0-2 tahun)
- Fase anal-uretral (dari umur 2-4 tahun)
- Fase falus (dari umur 4-6 tahun)
- Fase laten (dari umur 6-11 tahun)
- Fase genital (dari umur 12-remaja)

Teori perkembangan Psikososial (Erik H. Erikson)


Teori ini menggunakan dasar-dasar psikoanalisisi

Freud

dan

menambahkan unsur-unsur psikososial dalam konsepnya. Unsur-unsur psikososial


(nurture atau lingkungan) ini dianggap sama pentingnya dengan unsur-unsur
intrapsikik dan bawaan yang terhimpun dalam individu (nature atau biologi).
Teori

ini

menggunakan

prinsip

epigenetik

dalam

usaha

menerangkan

perkembangan kepribadian manusia, yaitu bahwa semua yang berkembang


mempunyai rancangan atau pola dasar yagn sudah ada sebelumnya; dan dari
rancangan dasar itu akan berkembang berbagai fungsi menurut waktunya sendirisendiri sebagai hasil interaksi antara manusia dengan lingkungannya, hingga
mencapai suatu kesatuan fungsional yang menyeluruh. Selagi individu melalui
proses perkembangannya, ia akan menghadapi dan mengalami titik-titik kritis
(developmental crisis), karena perkembangan itu menuntut adanya perubahanperubahan dalam kualitas fungsi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
perkembangan yang semakin kompleks.
Seorang anak dalam perkembangan menghadapi konflik dengan
lingkungan. Anak berusaha mengatasi konflik, anak dapat berhasil dan dapat
gagal dalam setiap fase perkembangan. Bila anak berhasil mengatasi konflik
tersebut, anak akan lebih mudah dalam mengatasi konflik di fase berikutnya.
a. Oral sensory stage : lahir-1- 1 1/2 tahun, basic trust vs basic mistrust

b.
c.
d.
e.

Muscular anal stage : 2-3 tahun, autonomy vs shame and doubt


Locomotor genital stage : 3-6 tahun initiative vs guilt
Stage of latency : 6-11 tahun, industry vs inferiority
Stage of puberty and adolescence: 11-18 tahun ego identity vs role

confusion.
f. Stage of young adulthood :18-30 tahun, intimacy vs isolation
g. Stage of adulthood : 30-45 tahun, generativity vs stagnation
h. Stage of maturity : 45 thn keatas, Integrity vs despair.

Teori Perkembangan Kognitif (Jean Piaget)


Perkembangan intelegensia anak berdasarkan atas rangkaian yang

progresif dari suatu pola dimana dasarnya adalah proses asimilasi dan proses
akomodasi Ada 4 faktor utama menurut Piaget, terjadinya perkembangan mental
a. Adanya pertumbuhan dan maturasi organik dari persyarafan dan sistem
endokrin.
b. Pengaruh dan peranan dari latihan dan pengalaman yang diperoleh dari
tindakan-tindakan yg dilakukan terhadap objek fisik
c. Adanya interaksi sosial dan transmisi sosial
d. Adanya daya upaya yang saling taut bertautan untuk mempertahankan
ekuilibrium.
Dalam setiap tingkatan perkembangan, persoalan dalam pembentukan
ekuilibrium, dimana konsep terdahulu akan merupakan dasar dalam pembentukan
kesanggupan selanjutnya, dan akan berakumulasi dalam pikiran logis pada saat
dewasa. Anak berada dalam suatu ekuilibrium konseptual, dan bila ia memperoleh
pengalaman yang tidak sesuai dengan ekuilibrium yang dimilikinya, anak akan
berada dalam unpleasant state, yaitu suatu keadaan disekuilibrium dan anak
akan mengadakan perubahan dalam kerangka konseptual yang dimilikinya,
sehingga ia berada dalam tingkatan yang lebih maju dalam menghadapi masalah
tersebut. Dan ini berarti anak kembali dalam state equilibrium, dan berarti anak
telah dapat menyesuaikan diri terhadap persoalan tersebut. Perkembangan mental
anak bergerak dari suatu tingkatan/dataran/plateau ke tingkat yang lebih tinggi,
dan anak mengadakan perubahan terhadap kerangka. Konseptual yg dimilikinya,
dengan melakukan proses akodasi dalam menghadapi masalah/pengalaman dan
kesulitan baru. Bila anak menerima persoalan atau pengalaman, akan tetapi masih
dalam tingkatan atau plateau yg sama, maka anak melakukan proses asimilasi.

Proses perkembangan Psikokognitif dari Jean Piaget melalaui empat peride sebgai
berikut :
1.
2.
3.
4.

Periode sensori-motor : lahir 2 tahun


Periode pikiran pra - operasional, terdiri dari :
a. fase pra - operasional : 2-4 tahun
b. fase intuitif : 4-7 tahun
Periode operasional konkrit : 7 - 12 tahun
Periode operasional abstrak atau operasional formal : 12 - 15 tahun
Teori perkembangan Moral (Lawrence Kohlberg)
Secara sederhana, moralitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

membedakan yang benar atau baik dan yang salah atau buruk. Namun dalam
kenyataan, tidaklah sesederhana itu karena konsep tersebut mencakup tiga aspek
kemampuan seseorang, yaitu : aspek kognitif, aspek efektif, dan aspek perilaku.
Kematangan moral akan tercapai pada akhir masa remaja, dan seringkali proses
maturasi masih berlanjut sampai usia dewasa. Panutan pada model sangat
mempengaruhi, karena itu figur-figur percontohan dalam lingkup keluarga dan
masyarakat sangat penting dalam proses perkembangan moral anak. Menurut
kohlberg, perkembangan moral itu terjadi secara gradual melalui 6 fase, menurut
orientasi maralitas yang digunakan :
Pre Konvensional :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi perhatian diri
Konvensional :
1. Kesesuaian interpersonal
2. Otoritas dan mempertahankan perintah sosial
Post Konvensional :
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etik universal
2.2
a.

Perkembangan Bayi-Remaja
Masa Bayi 0-1,5 tahun
Tuntutan perkembangan : Mendapatkan rasa percaya diri dan rasa aman.
Sarana
: Proses penyusunan

b.

Ciri-ciri
Kebutuhan
Tercapai

: Tidak berdaya, ketergantungan.


: rasa kasih sayang secara konsisten dan berkesinambungan.
: rasa aman dan kepercayaan terhadap sesama manusia.

Gagal

Tidak percaya terhadap lingkungan


Pesimis terhadap masa yang akan datang
Ketergantungan yang kuat
Menuntut kekuatan secara pasif
Goyah terhadap perkembangan selanjutnya.
Masa Asuhan 1,5-3 tahun
Tuntutan perkembangan : Mendapatkan rasa kemampuan diri
Sarana :
Rasa percaya diri dan aman yang kuat
Belajar mengguanakan anggota badan atas kemauannya

Kebutuhan

sendiri.
Menentang
Bandel
Egois
Sadis
Belum dapat berbagi
Senang main kotor
Mau mencoba semua

Pujian
Penghargaan
Dukungan
Dorongan
Pengertian

Tercapai :
Kemandirian
Kepercayaan diri
Gagal

c.

Rasa malu
Sikap ragu-ragu
Pengekangan diri secara berlebihan
Kekaburan antara cinta dan benci
Masa Prasekolah 3-6 tahun
Tuntutan perkembangan : Memperoleh rasa inisiatif

10

Sarana :

Rasa percaya diri dan aman


Rasa kemampuan diri
Ruang gerak yang meluas
Dinamika kehidupan keluarga
Proses belajar berperan

Ingin tahu
Banyak bertanya
Berkhayal
Aktif
Senang main bersama
Senang meniru
Iri atau cemburu terhadap jenis kelamin yang sama

Ciri-ciri :

Kebutuhan

:
Pengertian
persahabatan
Penerangan

Tercapai

:
Kemampuan bermasyarakat
Identifikasi seksual
Inisiatif

Gagal :

d.

Rasa bersalah
Takut berbuat sesuatu
Takut mengemukakan sesuatu
Masa Sekolah 6-12 tahun
Tuntutan perkembangan : Memperoleh rasa mampu menyelesaikan sesuatu
dengan sempurna dan mampu menghasilkan sesuatu
Sarana :
Rasa percaya diri dan aman
Rasa kemampuan diri
Modal inisiatif
Lingkungan lebih luas (sekolah, dll)
Ciri-ciri :
Belajar
Bertanggung jawab
11

Kebutuhan

Berkarya
Bersahabat
Keadilan
Kejujuran
:

Contoh yang baik


Keadilan
Kejujuran

e.

Tercapai

: Produktivitas

Gagal

Rasa tidak mampu berprestasi/bersaing dalam masyarakat.


Rendah diri
Kurang bertanggung jawab
Kurang bergairah
Masa Remaja 12-18 tahun
Tuntutan perkembangan : mencapai identitas diri
Sarana :
Modal : rasa percaya diri dan aman, rasa kemampuan diri,
inisiatif, mampu menghasilkan sesuatu.
Lingkungan : lebih luas
Ciri-ciri :
Pencarian identitas diri :
o Butuh bereksperimentasi
o Butuh bertean kelompok
o Krisis terhadap orang dewasa
o Tak suka dikritik
o Merasa dewasa dan ingin bebas
Pencarian identitas seksual:
o Merasa tertarik pada lawan jenis
o Mulai jatuh cionta/pacaran
Pencarian identitas sosial:
o Mulai memikirkan masa depan
o Mulai mencari sekolah yang cocok
o Mulai membangun cita-cita
Kebutuhan

: pengertian

Tercapai : Identitas diri


Gagal

: Kekacauan dalam peran.

12

2.3

Psikopatologi Anak
Kekhususan psikopatologi pada anak sangat terkait dengan faktor

perkembangan, karena anak adalah individu yang dalam proses tumbuh kembang.
Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan berkaitan dengan hal tersebut :
1. Ketergantungan. Ketergantungan pada anak pada orang lain yang begitu
besar, menyebabkan banyak hal mengenai dirinya akan ditentukan oleh
orang dewasa. Pertentangan atau konflik pun akan lebih banyak terjadi,
terutama bila orang dewasa atau lingkungan sekitar anak tidak sensitif dan
tidak mengerti akan berbagai kebutuhan perkembangan, kemampuan dan
keterbatasan anak pada setiap fase perkembangan.
2. Tekanan dan ketegangan dari proses perkembangan. Banyaknya tuntutan
dan tantangan internal maupun eksternal yang harus dihadapi anak dengan
berbagai kekurangan dan keterbatasan dalam kemampuannya.
Dalam menghadapi anak dengan gangguan psikiatrik harus diperhatikan :
1. Hubungan antara orang tua dan anak. Peranan orang tua dan suasana
emosional yang diciptakannya, mempunyai pengaruh nyata pada
pembentukan kepribadian anak, terutama pada anak dibawah usia 5-6
tahun.
2. Anak secara bertahap mengadakan pembentukan kepribadian menuju
kepribadian dewasa. Unsur yang didapat sejak lahir dan keadaan
lingkungan memegang peranan dalam perkembangan dan pematangan
kepribadian selanjutnya.
3. Anak bukan tabula rasa yang secara pasif menerima ramuan karakter
yang diolah oleh orang tuanya. Anak ikut memberikan konstribusi secara
aktif dalam pembentukan karakter tersebut
4. Hubungan antara kedua orang tua yang tidak harmonis dapat tercermin
pada gangguan mental emosional yang dialami anak.
Maka psikiatri anak dapat dinyatakan pula sebagai psikiatri keluarga.
Setiap anak dilahirkan dengan pembawaan intrinsik, sehubungan dengan batas

13

kemampuan dan potensi yang dimiliki dalam kesanggupan fisik dan psikologik.
Sifat tersebut mengalami perubahan dengan interaksi terhadap faktor lingkungan
(merupakan faktor ekstrinsik) yang dialami sejak lahir. Pada dasarnya faktor
intrinsik

adalah

hetero

konstitusional

dan

merupakan

matriks

untuk

perkembangan anak di masa mendatang. Faktor ekstrinsik mempengaruhi


penyesuaian diri dan perkembangan anak. Faktor ekstrinsik yang memegang
peranan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2.4

Sikap dan perhatian orang tua


Suasana emosional dalam keluarga
Norma dan etika yang berlaku
Kehidupan beragama dalam keluarga
Tingkat sosial ekonomi
Tingkat pendidikan orang tua
Definisi
Penggunaan terminologi lama, yaitu retardasi mental (mental retardation)

menjadi suatu stigma yang kurang baik secara sosial dan emosional. The
American

Association

on

Intellectual

and

Developmental

Disabilities

memutuskan mengganti istilah retardasi mental dengan istilah intellectual


disability (disabilitas intelektual), terutama pada kalangan profesional. Ada
beberapa perbedaan definisi antara retardasi mental (DSM-IV TR) dengan
retardasi mental (DSM-V).
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III
(PPDGJ III) retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang
terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh hendaya keterampilan
selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat
intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.4
The American Association on Intellectual and Developmental Disabilities
(AAIDD, 2002) mendefinisikan retardasi mental sebagai keterbatasan dalam
fungsi intelektual dan perilaku adaptif.
Menurut Diagnostic and Scientific Manual IV-TR (DSM IV-TR) retardasi
mental adalah suatu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan
yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun prilaku adaptif yang

14

diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis dengan batas


derajat IQ 70.2
Menurut Diagnostic and Scientific Manual V, disabilitas intelektual
(retardasi mental) adalah suatu gangguan dengan onset selama periode
perkembangan yang meliputi defisit fungsi intelektual dan adaptif dalam
konseptual, sosial, dan domain praktis; antara lain:

Keterampilan

akademik)
Keterampilan sosial (keterampilan interpersonal, tanggung jawab

sosial, rekreasi, hubungan pertemanan)


Keterampilan praktis (keterampilan sehari-hari, bekerja, rekreasi, dsb)

konseptual

(komunikasi,

bahasa,

waktu,

uang,

Perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri,


menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan
kelompok umur dan budayanya. Pada penderita retardasi mental, gangguan
perilaku adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan
masyarakat sekitarnya. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan tidak sesuai
dengan umurnya.
2.5

Epidemiologi
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 1 %

dari populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya tergolong ringan.
Di Amerika Serikat tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia
sekolah mendapat pelayanan retardasi mental. 6
Prevalensi retardasi mental ringan paling tinggi diantara anak-anak dari
keluarga miskin, sementara individu yang mengalami kecacatan yang lebih berat
diwakilkan secara sama pada semua kelompok masyarakat. Kira-kira 5% populasi
mengalami retardasi mental berat atau sangat berat.
Anak-anak dengan retardasi mental dapat didiagnosis juga dengan
gangguan lain seperti autisme dan cerebral palsy. Secara keseluruhan, prevalensi
retardasi mental dapat terjadi lebih tinggi pada laki-laki di banding perempuan
yaitu 2:1 pada golongan ringan dan 1,5 : 1 pada golongan yang lebih berat.6

15

2.6
a.

Etiologi
Kelainan Kromosom
i. Sindrom Down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya
kelebihan kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi
mental serta anomali fisik yang beragam. 1 Untuk seorang ibu usia
pertengahan (> 32 tahun), resiko memiliki anak dengan sindroma Down
adalah kira-kira 1 dalam 100 kelahiran. Retardasi mental adalah cirri yang
menumpang pada sindrom Down. Sebagian besar pasien berada dlam
kelompok retardasi sedang sampai berat., hanya sebagian kecil yang
memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down relative mudah pada anak
yang lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates. Tanda yang paling
penting pada neonates adalah hipotonia umum, fisura palpebra yang oblik,
kulit leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang pipi
yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal dan
lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari
kelingking pendek dan melengkung ke dalam.1

16

Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down

ii. Sindrom Fragile X


Sindrom fragile X merupakan bentuk retardasi mental yang
diwariskan dan disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X. 1 Diyakini
terjadi pada kira-kira 1 tiap 1000 kelahiran laki-laki dan 2000 kelahiran
perempuan. Derajat retardasi mental terentang dari ringan sampai berat.
Ciri

perilakunya

adalah

tingginya

angka

gangguan

defisit

atensi/hiperaktivitas, ganguan belajar, dan gangguan perkembangan


pervasive seperti gangguan akuisitik. Defisit dalam fungsi bahasa adalah
pembicaraan yang cepat dan perseveratif dengan kelainan dalam
mengkombinasikan kata-kata membentuk frasa dan kalimat.1
iii. Sindrom Prader-Willi
Kelainan ini akibat dari kehilangan kecil pada kromosom 15,
biasanya terjadi secara sporadic. Prevalensinya kurang dari 1 dalam
10000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan yang
kompulsif dan sering kali obesitas, retardasi mental, hipogonadisme,
perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki yang kecil. Anak anak
dengan sindrom ini seringkali memiliki perilaku oposisional yang
menyimpang.1

17

Gambar 2. Karakteristik Sindrom Prader-Willi

iii. Sindrom tangisan kucing (cat-cry [cri-du-chat] syndrome)


Anak-anak dengan sindrom tangisa kucing kehilangan bagian dari
kromosom 5. Mereka mengalami retardasi mental berat dan menunjukkan
banyak

stigmata

yang

seringkali

disertai

dengan

penyimpangan

kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letaknya rendah, fisura


palpebra oblik, hipertelorisme, dan mikrognatia. Tangisan seperti kucing
yang khas (disebabkan oleh kelainan laring) yang memberikan nama
sindrom secara bertahap berubah dan menghilang dengan bertambahnya
usia.1
iv. Kelainan kromosom lain
Sindrom penyimpangan autosomal lain yang disertai dengan
retardasi mental adalah jauh lebih jarang terjadi dibandingkan Sindrom
Down.1
b. Faktor Genetik Lain
Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan yang menghambat
metabolisme asam phenylpyruvic, menyebabkan retardasi mental kecuali
bila pola makan amat dikontrol.3 PKU ditransmisikan dengan trait Mendel
autosomal resesif yang sederhana dan terjadi pada kira-kira yang di
institusi adalah kira-kira 1 persen dalam setiap 10.000 sampai 15.000
kelahiran hidup. Bagi orang tua yang telah memiliki anak dengan PKU,
kemungkinan memiliki anak lain dengan PKU adalah satu dalam setiap
empat sampai lima kehamilan selanjutnya. Defek metabolisme dasar pada
PKU adalah ketidakmampuan untuk mengubah fenilalanin, suatu asam
amino esensial, menjadi paratirosin karena tidak adanya atau tidak
aktifnya enzim fenilalanin hidroksilase, yang mengkatalisis perubahan
tersebut.

18

Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami retardasi yang


berat, tetapi beberapa dilaporkan memiliki kecerdasan yang ambang atau
normal. Walaupun gambaran klinis bervariasi, anak PKU tipikal adalah
hiperaktif dan menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat
diramalkan, yang menyebabkan sulit ditangani. Mereka seringkali
memiliki temper tantrum dan seringkali menunjukkan gerakan aneh pada
tubuhnya dan anggota gerak atas dan manerisme memutir tangan, dan
perilaku mereka kadang-kadang meyerupai anak autistic atau skizofrenik.
Komunikasi verbal dan nonverbal biasanya sangat terganggu atau tidak
ditemukan. Koordiansi anak adalah buruk, dan mereka memiliki banyak
kesulitan perceptual.1

Gambar 3. Phenylketouria

c.

Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya
terjadi adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit
ibu

juga

dapat

menyebabkan

19

retardasi

mental,

seperti

sifilis,

cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu


selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian
dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anakanak yang ibunya minum alkohol selama kehamilan sering lahir dengan
sindrom fetal dan merupakan kasus paling nyata sebagai penyebab
retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen atau
cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, terkena
racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi menyebabkan
retardasi mental.3
d. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi prematur dan bayi
dengan berat badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami
gangguan neurologis dan intelektual yang bermanifestasi selama tahuntahun sekolahnya. Bayi yang menderita pendarahan intrakranial atau
tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap kelainan kognitif.
Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan
beratnya perdarahan intrakranial.1
e. Gangguan Didapat Pada Masa Anak-anak
Kadang-kadang status perkembangan seorang anak dapat berubah
secara dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara
retrospektif, kadang-kadang sulit untuk memastikan gambaran kemajuan
perkembangan anak secara lengkap sebelum terjadinya gangguan, tetapi
efek merugikan pada perkembangan atau keterampilan anak tampak
setelah gangguan. Beberapa penyebab yang didapat pada masa anak-anak
antara lain :1

Infeksi.
Infeksi yang paling serius mempengaruhi interitas serebral adalah
ensefalitis dan meningitis.

Trauma kepala
20

Penyebab cedera kepala yang terkenal pada anak-anak yag


menyebabkan kecacatan mental, termasuk kejang, adalah kecelakaan
kendaraan bermotor. Tetapi, lebih banyak cedera kepala yang
disebabkan oleh kecelakaan di rumah tangga, seperti terjatuh dari
tangga. Penyiksaan anak juga suatu penyebab cedera kepala.

Masalah lain
Cedera otak dari henti jantung selama anesthesia jarang terjadi. Satu
penyebab cedera otak lengkap atau parsial adalah asfiksia yang
berhubugan dengan nyaris tenggelam. Pemaparan jangka panjang
dengan

timbal

adalah

penyebab

gangguan

kecerdasan

dan

keterampilan belajar. Tumor intracranial dengan berbagai jenis dan


asal, pembedahan, dan kemoterapi juga dapat merugikan fungsi otak.
f. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural
Suatu bentuk retardasi mental dipengaruhi oleh lingkungan dengan
sosioekonomi rendah. Faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah
atau sosial yang miskin, yaitu yang memberi stimulasi intelektual,
penelantaran atau kekerasan dari orang tua, dapat menjadi penyebab atau
memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental pada anakanak.3 TIdak ada penyebab biologis yang telah dikenali pada kasus
tersebut.
Anak-anak dalam keluarga yang miskin dan kekurangan secara
sosiokultural adalah sasaran dari kondisi merugikan perkembangan dan
secara potensial patogenik. Lingkungan prenatal diganggu oleh perawatan
medis yang buruk dan gizi maternal yang buruk. Kehamilan remaja sering
disertai dengan penyulit obstetric, prematuritas, dan berat badan lahir
rendah. Perawatan medis setelah kelahiran buruk, malnutrisi, pemaparan
dengan zat toksin tertentu seperti timbale dan trauma fisik adalah serig
terjadi. Ketidakstabilan keluarga, sering pindah, dan pengasuh yang
berganti-ganti tetapi tidak adekuat sering terjadi. Selain itu, ibu dalam

21

keluarga tersebut sering berpendidikan rendah dan tidak siap memberikan


stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya.
Masalah lain yang tidak terpecahkan adalah pengaruh ganguan
mental parental yang parah. Gangguan tersebut dapat menganggu
pengasuhan dan stimulasi anak dan aspek lain dari lingkungan mereka,
dengan demikian menempatkan anak pada resiko perkembangan. Anakanak dari orang tua dengan gagguan mood dan skizofrenia diketahui
berada dalam resiko mengalami gangguan tersebut dan gangguan yang
berhubungan. Penelitian terakhir menunjukkan tingginya prevalensi
gangguan keterampialan motorik dan gangguan perkembangan lainnya
tetapi tidak selalu disertai retardasi mental.1
2.7

Diagnosis
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan

karakteristik yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah


besar ketrampilan khusus yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum
bahwa semua ketrampilan ini akan berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap
individu, tetapi ada ketimpangan (discrepancy) yang luas, terutama pada
penyandang retardasi mental. Orang yang demikian mungkin memperlihatkan
hendaya berat dalam satu bidang tertentu (misalnya bahasa) atau mungkin
mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas
visuospasial sederhana) pada retardasi mental berat. Hal ini menimbulkan
kesulitan klasifikasi pada golongan retardasi mental.
Saat ini, berdasarkan kriteria diagnostik DSM-V, ada tiga kriteria yang
harus dipenuhi sebelum penegakkan diagnosis retardasi mental (disabilitas
intelektual)8,9,10:
1.

Defisit dalam fungsi intelektual, seperti penalaran, pemecahan masalah,


perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, belajar akademik dan belajar dari
pengalaman, dan pemahaman praktis dikonfirmasi oleh penilaian klinis dan
tes intelegensi yang bersifat individual dan distandardisasi.

22

Fungsi intelektual diberikan secara individual dan valid secara


psikometri, komprehensif, sesuai dengan budaya, dan menggunakan dua
standar deviasi atau lebih dibawah rata-rata intelegensi populasi.
2. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan dalam
pemenuhan standar perkembangan dan sosial budaya terutama dalam
kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan lebih lanjut,
terjadi defisit adaptif dalam lebih dari satu aktivitas sehari-hari, misalnya
komunikasi, partisipasi sosial, hidup mandiri, dan dalam kegiatan baik di
rumah, sekolah, masyarakat, antara lain:

Keterampilan konseptual (komunikasi, bahasa, membaca, menulis,


matematika, logika, pengetahuan, daya ingat, waktu, uang, akademik;

terutama dalam penyelesaian masalah);


Keterampilan sosial (keterampilan interpersonal, tanggung jawab
sosial, empati, kesadaran akan pengalaman orang lain, rekreasi,

hubungan pertemanan dan sosial, skill komunikasi)


Keterampilan praktis (keterampilan sehari-hari, mengurus diri sendiri,
tanggung jawab pekerjaan, manajemen uang, manajemen waktu
bekerja dan sekolah, dsb)

3. Onset defisit intelektual dan adaptif dalam periode perkembangan.


Kode diagnostik dan derajat disabilitas intelektual menurut DSM V
adalah 3198,9,10, dan derajatnya dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat
berat; yang bukan lagi didasarkan pada skor IQ, melainkan pada tiga kriteria
keterampilan pada perilaku adaptif (konseptual, sosial, dan keterampilan
praktis)10.

DSM-IV TR
Skor IQ 70

Defisit

serentak

umum

atau

gangguan fungsi adaptif saat

DSM-V
Defisit pada kemampuan mental

Penurunan fungsi adaptif dalam


usia individu dan latar belakang

ini

23

Onset sebelum usia 18 tahun

Derajat

keparahan:

sosiokultural

ringan,

periode perkembangan

sedang, berat, sangat berat

berdasarkan skor IQ

Gejala memiliki onset dalam


Derajat
sedang,

keparahan:
berat,

ringan,

sangat

berat

berdasarkan perilaku adaptif


Diagnosis retardasi mental dapat dibuat setelah riwayat penyakit,
pemeriksaan intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan
bahwa perilaku anak sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang
diharapkan. Meskipun saat ini pemeriksaan intelektual bukanlah lagi kriteria
yang paling diutamakan, tetapi pemeriksaan intelektual dapat membantu
diagnosis.

Diagnosis

sendiri

tidak

menyebutkan

penyebab

ataupun

prognosisnya. Suatu riwayat psikiatrik adalah berguna untuk mendapatkan


gambaran longitudinal perkembangan fungsi anak, dan pemeriksaan stigma
fisik, kelainan neurologis, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk
memastikan penyebab dan prognosis.1
Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan
hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ. Dapat dihitung
dengan :3
IQ = MA/CA x 100%
MA = Mental Age, umur mental yang didapat dari hasil tes
CA = Chronological Age, umur yang didapat berdasarkan perhitungan
tanggal lahir
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit paling sering didapatkan dari orang tua atau
pengasuh, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, dan
kelahiran. Terdapat riwayat keluarga dengan retardasi mental, hubungan darah
pada orangtua, dan gangguan herediter. Juga dapat menilai latar belakang
sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien.1

24

Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah
sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan
verbal pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera
mungkin dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara
pengasuh dan pasien dan dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika
memeriksa pasien dan pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan
bahasa isyarat, pengasuh dapat sebagai penerjemah.
Orang dengan retardasi mental mungkin mengalami kecemasan
sebelum menjumpai pewawancara. Pewawancara dan pengasuh harus
berusaha untuk memberikan pasien suatu penjelasan yang jelas, suportif, dan
konkret tentang proses diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif
yang memadai. Dukungan dan pujian harus diberikan dalam bahasa yang
sesuai dengan usia dan pengertian pasien.
Pengendalian pasien terhadap pola motilitas harus dipastikan, dan
bukti klinis adanya distraktibilitas dan distorsi dalam persepsi dan daya ingat
harus diperiksa. Pemakaian bahasa, tes realitas, dan kemampuan menggali
dan pengalaman penting untuk dicatat. Sifat dan maturitas pertahanan pasien
(menundukkan

diri

sendiri

menggunakan

penghindaran,

represi,

penyangkalan, introyeksi, dan isolasi) harus diamati. Potensi sublimasi,


toleransi frustasi, dan pengendalian impuls (terutama terhadap dorongan
motorik, agresif, dan seksual) harus dinilai. Juga penting adalah citra diri dan
peranannya dalam perkembangan keyakinan diri, dan juga penilaian keuletan,
ketetapan hati, keingintahuan, dan kemauan menggali hal yang tidak
diketahui.
Pada umumnya pemeriksaan psikiatrik pasien yang teretardasi harus
mengungkapkan bagaimana pasien mengalami stadium perkembangan.
Dalam hal kegagalan atau regresi, juga dapat mengembangkan sifat
kepribadian yang memungkinkan perencanaan logis dari penatalaksanaan dan
pendekatan pengobatan. 1
Pemeriksaan Fisik

25

Berbagai bagian tubuh memiliki karakteristik tertentu yang sering


ditemukan pada orang retardasi mental dan memiliki penyebab prenatal.
Sebagai contoh, konfigurasi dan ukuran kepala memberikan petunjuk
terhadap berbagai kondisi seperti mikrosefali, hidrosefalus, dan sindroma
Down. Wajah pasien mungkin memiliki beberapa stigmata retardasi
mental yang sangat mempermudah diagnosis. Tanda fasial tersebut adalah
hipertelorisme, tulang hidung yang datar, alis mata yang menonjol, lipatan
epikantus, opasitas kornea, perubahan retina yag letaknya rendah atau
bentuknya aneh, lidah yang menonjol, dan gangguan gigi geligi. Lingkaran
kepala harus diukur sebagai bagian dari pemeriksaan klinis. Warna dan
tekstur kulit dan rambut, palatum dengan lengkung yang tinggi, ukuran
kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan batang tubuh dan ekstremitasnya
adalah bidang lain yang digali. 1
Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental,
sebagai contoh sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami
gangguan pendengaran empat kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal. Gangguan sensorik dapat berupa gangguan pendengaran dan
gangguan visual. Gangguan pendengaran terentang dari ketulian kortikal
sampai deficit pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat terentang
dari kebutaan sampai gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan, dan
konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan
pada tonus otot (spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan
gerakan involunter (koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil
ditemukan dalam kelambanan dan koordinasi yang buruk.1
Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental
adalah pemeriksaan urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik.
Penentuan kariotipe dalam laboratorium genetik diindikasikan bila
dicurigai adanya gangguan kromosom.

26

Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari


ruang amnion secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16
minggu, telah berguna dalam diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi,
terutama Sindroma Down. Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita
hamil berusia di atas 35 tahun.
Tes Karyotype terutama

ditujukan

untuk

melihat

jumlah

kromosom, duplikasi, delesi, atau translokasi kromosom. Tes molekuler


genetik untuk sindrom Fragile X tepat digunakan untuk laki-laki dengan
retardasi mental sedang, perawakan fisik yang tidak normal, dan/atau
memiliki riwayat retardasi mental pada keluarga; atau perempuan dengan
defisit kognitif ringan dengan sikap pemalu yang berlebihan dan memiliki
riwayat keluarga. Anak dengan gangguan neurologis yang progresif atau
perubahan perilaku tiba-tiba membutuhkan investigasi metabolik (asam
organik urin, asam amino plasma, laktat darah, enzim lisosom dalam
limfosit), anak dengan episode mirip kejang harus mendapatkan
pemeriksaan EEG. Anak dengan pertumbuhan kepala abnormal atau
asimetris dan temuan neurologis fokal harus menjalankan prosedur
neuroimaging.
Lebih kurang 6 % retardasi mental tanpa sebab yang jelas
kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas kromosom mikro yang
dapat diidentifikasi dengan penyatuan kromosom resolusi tinggi,
fluorescent insitu hybridization (FISH) atau penggambaran kromosom
untuk

pengaturan

subtelomeric.

MRI

dapat

digunakan

untuk

mengidentifikasi sejumlah marker disgenesis serebral pada anak dengan


keterbelakangan intelektual
Tes Psikologis dan Perilaku Adaptif
Tes psikologis yang paling umum digunakan untuk anak > 3 tahun
adalah Wechsler scales. The Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence-revised (WPPSI-III) digunakan untuk anak usia mental 2,5
7,3 tahun. The Wechlser Intelligence Scale for Children-4th edition (WISCIV) digunakan untuk anak dengan usia mental diatas 6 tahun. Kedua skala
tersebut terdiri dari beberapa subtest dalam area verbal dan keterampilan.
27

Meskipun anak dengan retardasi mental memiliki skor dibawah rata-rata


pada seluruh subscale scores, namun kadang mereka memiliki skor ratarata pada satu atau lebih area keterampilan.6
Tes perilaku adaptif yang paling umum digunakan adalah Vineland
Adaptive Behavior Scale yang melibatkan wawancara dengan orangtua
atau guru dan menilai perilaku adaptif dalam 4 domain utama:
komunikasi, keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi dan kemampuan
motorik. Biasanya terdapat hubungan antara skor intelegensi dan skor
adaptif. Kemampuan adaptif dasar (makan, berpakaian, hygiene) lebih
mudah diperbaiki dibandingkan dengan skor IQ.6
2.8

Klasifikasi Retardasi Mental/Retardasi mental


Saat ini di Indonesia, pembagian retardasi mental (retardasi mental) masih

berdasarkan DSM-IV yang menjadi dasar dari PPDGJ-III. Menurut PPDGJ-III


retardasi mental (retardasi mental) dibagi menjadi :4
F70 Retardasi Mental Ringan
Bila menggunakan tes IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50
69 menunjukkan retardasi mental ringan.
Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai
tingkat, dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan
kemandirian dapat menetap sampai dewasa. Walaupun mengalami keterlambatan
dalam kemampuan bahasa, tapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan bicara
untuk keperluan sehari hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam
merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah
tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat daripada normal.
Kesulitan utama biassanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat
akademis dan banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.
Etiologi organik hanya dapat diidentifikasikan pada sebagian kecil
penderita. Keadaan lain yang menyertai, seperti autisme, gangguan perkembangan
lain, epilepsi, gangguan tingkah laku, atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam

28

berbagai proporsi. Bila terdapat gangguan demikian, maka harus diberi kode
diagnosis tersendiri.
F71 Retardasi Mental Sedang
IQ biasanya berada dalam rentang 35 49. Umumnya ada profil
kesenjangan dari kemampuan, beberapa dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi
dalam ketrampilan visuo-spasial daripada tugas tugas yang tergantung pada
bahasa, sedangkan yang lainnya sangat canggung namun dapat mengadakan
interaksi sosial dan percakapan sederhana.
Tingkat perkembangan bahasa bervariasi, ada yang dapat mengikuti
percakapan sederhana, sedangkan yang lain hanya dapat berkomunikasi seadanya
untuk kebutuhan dasar mereka.
Suatu

etiologi

organik

dapat

diidentifikasikan

pada

kebanyakan

penyandang retardasi mental sedang. Autisme masa kanak atau gangguan


perkembangan pervasif lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus, dan
mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan yang
dibutuhkan. Epilepsi, disabilitas neurologik dan fisik juga lazim ditemukan
meskipun kebanyakan penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa
bantuan.
Kadang kadang didapatkan gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat
perkembangan bahasanya yang terbatas sehingga sulit menegakkan diagnosis dan
harus tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang mengenalnya.
Setiap gangguan penyerta harus diberi kode diagnosis tersendiri.
F72 Retardasi Mental Berat
IQ biasanya berada dalam rentang 20 34. Pada umumnya mirip dengan
retardasi mental sedang dalam hal :
-

Gambaran klinis

Terdapatnya etiologi organik

Kondisi yang menyertainya

Tingkat prestasi yang rendah

Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan


motorik yang mencolok atau defisit lain yang menyertainya,

29

menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan


yang bermakna secara klinis dari susunan saraf pusat.
F73 Retardasi Mental Sangat Berat
IQ biasanya dibawah 20. Pemahaman dan penggunaan bahasa terbatas,
hanya mengerti perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana.
Keterampilan visuospasial yang paling dasar dan sederhana tentang memilih dan
mencocokkan mungkin dapat dicapainya dan dengan pengawasan dan petunjuk
yang tepat, penderita mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas praktis dan
rumah tangga.
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus.
Biasanya ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi
mobilitas, seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada
gangguan perkembangan pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme
yang tidak khas (atypical autism) terutam pada penderita yang dapat bergerak.
F78 Retardasi Mental Lainnya
Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental
dengan memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena
adanya gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang
perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
F79 Retardasi Mental YTT
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup
untuk menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
2.9

Diagnosis Banding
Sebelum menegakkan diagnosis retardasi mental, kelainan-kelainan lain

yang mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku adaptif juga harus menjadi
pertimbangan, diantaranya kondisi yang mirip dengan retardasi mental dan
kondisi lain yang melibatkan keterbelakangan intelektual sebagai salah satu
manifestasinya. Defisit sensoris (kemampuan pendengaran yang buruk dan
kehilangan penglihatan), gangguan komunikasi, dan kejang tak terkontrol dapat
menyerupai

retardasi

mental;

gangguan

30

neurologis

progresif

tertentu

munculannya dapat menyerupai retardasi mental sebelum terjadinya regresi. Lebih


dari setengah anak-anak yang menderita serebral palsi atau autisme juga
menderita retardasi mental. Serebral palsi dengan retardasi mental tampak pada
kemampuan motoriknya, dimana pada serebral palsi kemampuan motorik lebih
dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan disertai adanya refleks
patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan adaptif sosial lebih
dipengaruhi dibandingkan kemampuan non verbal, dimana pada retardasi mental
biasanya terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial, motorik, adaptif
dan kognitif
2.10

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan

sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan
multidisiplin merupakan jalan yang terbaik.

6,7

Sebaiknya dibuat rancangan suatu

strategi pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan


potensi anak tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog
untuk menilai perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak
untuk memeriksa fisik anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit atau
kelainan yang mungkin ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang
diperlukan untuk menilai situasi keluarganya. Atas dasar itu maka dibuatlah
strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf
bila anak juga menderita epilepsi, serebral palsi, dll. Psikiater, bila anaknya
menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya membutuhkan
dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila diperlukan untuk
merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara, untuk
memperbaiki gangguan bicara atau untuk merangsang perkembangan bicara. Serta
diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi mental ini.7
Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan
anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadangkadang diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai
keadaaan anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka

31

perlu konsultasi pula dengan psikolog atau psikiater.7 Disamping itu diperlukan
kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang
siuran dalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga
lainnya juga harus diberi pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan.
Disamping itu masyarakat perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental,
agar mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar.7
Pendekatan Individual dan Keluarga
Retardasi mental umumnya merupakan kondisi seumur hidup dan tidak dapat
disembuhkan dengan pengobatan medis. Hal-hal berikut ini penting untuk
dipertimbangkan sebagai panduan dalam penatalaksanaan:
1.

Bukti Ilmiah: Penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa dengan


memberikan dukungan dan pelayanan yang tepat, adalah mungkin untuk
memastikan bahwa penderita retardasi mental dapat hidup sehat dan relatif
independen. Pelayanan yang dimaksud disini terdiri dari banyak bidang
seperti perawatan kesehatan, intervensi dini, pendidikan, pelatihan
kejuruan, dan sebagainya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penyakit
fisik maupun perilaku pada penderita retardasi mental disebabkan oleh
kurangnya perawatan yang tepat dan oleh karenanya dapat dicegah.

2.

Standar Kemanusiaan: Sebagai bagian dari masyarakat, merupakan hak


penderita retardasi mental untuk menjalani kehidupan mereka dengan
bermartabat.

Hal ini dapat dicapai dengan adanya kesadaran sosial,

tingkah laku dan kepercayaan yang positif dari lingkungan terkait


retardasi mental itu sendiri.
3.

Perspektif Keluarga: Masalah retardasi mental seringkali tidak dapat


dipisahkan dari masalah yang dihadapi keluarga. Pelayanan yang
teroganisir sangat dibutuhkan oleh keluarga untuk dapat beradaptasi
dengan baik dan menghadapi segala masalah dengan percaya diri.12

32

Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, professional dari berbagai bidang,


keluarga, organisasi pemerintah, LSM, dan masyarakat secara keseluruhan harus
saling bekerjasama.
Prinsip-prinsip berikut dapat membantu dalam membimbing dan mengarahkan
pengembangan pelayanan yang sesuai :

Normalisasi. Konsep ini berasal dari negara-negara Skandinavia. Secara


sederhana, normalisasi berarti memastikan bahwa kondisi lingkungan
kehidupan sehari-hari yang didapatkan para penderita retardasi mental
tidak berbeda dengan yang didapatkan orang normal lainnya. Hal ini juga
berarti

menyediakan

fasilitas-fasilitas

bagi

mereka

untuk

dapat

mengembangkan potensi yang dimiliki.


Integrasi. Penderita retardasi mental haruslah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat; mereka tidak boleh diisolasi ataupun
mendapat diskriminasi dalam hal apapun.

Perawatan di Rumah dengan Orangtua Sebagai Mitra.


Penelitian telah menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk tumbuh dan
berkembang bagi para penderita retardasi mental adalah keluarga mereka sendiri,
di mana mereka dapat diberikan pengasuhan dengan stimulasi yang sesuai. Oleh
karena itu, pelayanan yang terorganisir harus diberikan agar keluarga mendapat
dukungan, diperkuat dan diberdayakan dalam pengasuhan anggota keluarga
dengan retardasi mental. Keluarga memiliki kebutuhan yang berbeda pada
berbagai tahap dalam siklus kehidupan (masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa);
oleh karena itu harus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan dari tiap siklus
tersebut. Harus disadari juga bahwa keluarga tidak hanya penerima layanan tetapi
juga bertindak sebagai penyedia layanan. Dengan kata lain, mereka adalah
mitra dalam perawatan penderita retardasi mental.
Pendekatan Berbasis Masyarakat
Seringkali pelayanan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Untuk
mengatasi hal ini, pelayanan berorientasi masyarakat sangat diperlukan. Tidak ada

33

program yang dapat sukses terlaksana tanpa keterlibatan dan partisipasi dari
masyarakat.
Pelayanan untuk individu dengan retardasi mental:
1. Pelayanan Medis dan Psikologis (klinis)
Dibutuhkan fasilitas yang sesuai untuk evaluasi medis / kesehatan yang
baik dan diagnosis yang akurat. Dokter harus dalam posisi untuk mengenali dan
mengelola gangguan yang dapat diobati seperti hipotiroidisme. Masalah terkait
seperti kejang, gangguan sensorik dan masalah perilaku, dapat diperbaiki atau
dikendalikan dengan tatalaksana medis yang tepat. Diharapkan tersedia fasilitas
untuk penilaian psikologis dari kekuatan dan kelemahan dalam diri anak yang
dapat dijadikan dasar untuk pelatihan-pelatihan di masa depan. Psikoterapi dapat
diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut.
Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi
dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.
Semua anak dengan retardasi mental juga memerlukan perawatan seperti
pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh
kembangnya. Anak-anak ini sering juga disertai dengan kelainan fisik yang
memerlukan penanganan khusus. Misalnya pada anak yang mengalami infeksi
pranatal dengan cytomegalovirus akan mengalami gangguan pendengaran yang
progresif walaupun lambat, demikian pula anak dengan sindrom Down dapat
timbul gejala hipotiroid. Masalah nutrisi juga perlu mendapat perhatian.6,7
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan
ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi
mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga,
kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling pranikah dan pranatal.
Konseling orangtua yang memadai pada tahap awal sangatlah penting.
Dokter, perawat, psikolog dan pekerja sosial dapat membuat perbedaan besar bagi
orang tua dengan cara memberikan penjelasan yang benar mengenai kondisi dan
pilihan untuk pengobatan yang tersedia. Konseling juga memberikan dukungan
emosional dan bimbingan serta penguatan moral. Setelah orang tua mendapatkan

34

pemahaman yang benar mengenai kondisi anaknya, mereka perlu belajar cara
yang tepat dalam membesarkan dan melatih anak. Orang tua secara terus menerus
membutuhkan bantuan, bimbingan, dan dukungan, terutama selama masa remaja,
dewasa awal dan selama periode krisis.
2. Deteksi Dini dan Stimulasi Dini
Deteksi dan stimulasi dini pada retardasi mental sangat membantu untuk
memperkecil retardasi yang terjadi. Para orangtua biasanya membawa anaknya
pada dokter anak bila mereka mencurigai adanya kelainan pada anaknya. Oleh
karena itu dokter anak harus waspada pada setiap keluhan dari ibu, terutama
keluhan tentang keterlambatan perkembangan anaknya. Makin dini ditemukan,
dan makin dini diadakan stimulasi, makin besar kesempatan anak untuk mengejar
ketertinggalannya.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa mendeteksi retardasi mental pada
tahap awal, yaitu pada masa bayi, dan menyediakan

lingkungan yang

memberikan stimulasi dan penuh kasih sayang dapat membantu anak-anak ini
untuk berkembang lebih baik dan mencegah banyak komplikasi.
Beberapa kondisi medis yang terkait dengan retardasi mental dapat
dideteksi saat lahir. Dapat pula dilakukan pengelompokan bayi-bayi yang beresiko
menderita retardasi mental. Bayi-bayi tersebut merupakan bayi yang

lahir

prematur atau dengan berat lahir rendah (kurang dari 2 kg), atau yang menderita
asfiksia saat lahir, atau mereka yang menderita penyakit yang serius pada periode
neonatal. Metode yang dilakukan untuk deteksi dini adalah dengan mengikuti
perkembangan semua bayi sejak lahir dan amati apakah mereka mengalami
ketertinggalan secara konsisten. Pada umumnya, sebagian besar bayi dengan
retardasi mental yang berat bisa dikenali pada usia 6-12 bulan. Retardasi mental
ringan biasanya menjadi jelas pada usia dua tahun. Metode standar untuk deteksi
dini retardasi mental sekarang telah tersedia, dan dapat disesuaikan dengan
budaya manapun dengan modifikasi yang tepat. Ketika seorang bayi terdeteksi
atau diduga memiliki retardasi mental, penting untuk memberikan stimulasi yang
tepat untuk perkembangannya.

35

Bayi yang berisiko atau terdeteksi dengan perkembangan yang tertunda


harus mendapatkan stimulasi sensori-motor. Ini adalah teknik di mana orang tua
mendorong

dan

mengajarkan

bayi

mereka

untuk

menggunakan

dan

mengembangkan kemampuan sensorik mereka (penglihatan, pendengaran dan


sentuhan) dan kemampuan motorik (menggenggam, menggapai, memanipulasi,
dan memindahkan). Teknik ini juga meliputi aktif terlibat dengan anak dengan
membelai, berbicara, menunjukkan benda-benda terang, bermain untuk membuat
anak tertawa, menggelitik, memijat lembut, menempatkan anak dalam posisi dan
tempat yang berbeda, menggunakan mainan dan memainkan benda-benda untuk
membangkitkan minat anak, membimbing tangan anak untuk melakukan sesuatu
dan sebagainya. Stimulasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk perkembangan
normal.
3. Pelatihan Self-help, Keterampilan Praktis dan Keterampilan Sosial
Anak normal mempelajari keterampilan hidup sehari-hari (makan,
berpakaian, toilet training, dan keterampilan sosial seperti bermain, dan
berinteraksi dengan orang lain) dengan mudah, yaitu dengan mengamati orang
lain dan bimbingan orang dewasa. Tapi anak-anak dengan retardasi mental sering
tidak mampu mempelajari keterampilan-keterampilan tersebut. Melalui upaya
sistematis dan menggunakan teknik yang tepat, sangat mungkin untuk mengajar
dan melatih mereka melakukannya.

Teknik dengan modifikasi tingkah laku

sangat berguna dan efektif dalam penatalaksanaan anak-anak dengan retardaasi


mental, termasuk di antaranya :

Reinforcement positif dan pemberian reward: Memperhatikan, memuji


anak dan memberikan beberapa hadiah seperti permen atau mainan setiap
kali anak menunjukkan perilaku yang diinginkan atau berusaha untuk
belajar, dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar.

Modelling : Menunjukkan anak bagaimana cara melakukan sesuatu dan


mendorong anak untuk memulai melakukan hal yang sama merupakan
metode yang bagus untuk mengajarkan anak. Ini lebih baik daripada
hanya secara lisan mengatakan atau menginstruksikan anak.

36

Shaping: yaitu mengajarkan bentuk sederhana dari sebuah aktivitas yang


rumit, kemudian secara perlahan menaikkan tingkat kesulitannya.

Chaining: Sebuah kegiatan, seperti berpakaian, dapat dipecah menjadi


beberapa langkah kecil yang berurutan. Anak dapat diajarkan keterampilan
ini langkah demi langkah. Seringkali, back-chaining atau mengajarkan
terlebih dahulu langkah terakhir dan kemudian mundur merupakan cara
yang lebih efektif.

Physical guidance : Jika anak tidak dapat belajar dengan cara modelling,
ia dapat diajarkan dengan cara memegang tangan anak dan menunjukkan
mereka bagaimana suatu hal dilakukan. Setelah pengulangan seperti itu,
bimbingan secara fisik ini dapat perlahan-lahan ditarik sehingga anak
belajar untuk melakukan tugas secara independen.

4. Terapi Bicara
Bicara dan bahasa adalah fungsi yang sangat penting dan sangat khusus
bagi manusia.

Bicara dan bahasa memegang peranan penting dalam

mengkomunikasikan perasaan dan pikiran seseorang kepada orang lain. Retardasi


mental sering disertai dengan keterbatasan yang signifikan dalam perkembangan
bicara dan bahasa. Penelitian telah memperlihatkan bahwa aplikasi sistematis
teknik terapi wicara, efektif dalam meningkatkan kemampuan bicara dan bahasa.
Terapi bicara dibutuhkan pada anak dengan retardasi mental.
5. Pendidikan
Ketika mereka tumbuh dan menguasai aktivitas hidup sehari-hari, anakanak dengan retardasi mental perlu diberikan pendidikan seperti anak-anak
lainnya. Sekolah sangat penting bagi mereka bukan hanya untuk memperoleh
kemampun

akademik

tetapi

juga

untuk

beajar

disiplin,

keterampilan

sosial/interaksi, dan keterampilan praktis untuk kehidupan bermasyarakat.


Meskipun mereka lambat dalam belajar, pengalaman dan penelitian telah
menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik pendidikan yang tepat, sangat
mungkin untuk memberikan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung

37

bagi banyak anak dengan retardasi mental.

Pendekatan saat ini dalam hal

pendidikan, sebisa mungkin, menempatkan mereka di sekolah normal, daripada


mendirikan sekolah khusus (pendidikan inklusif). Hal ini terutama untuk mereka
yang memiliki bentuk ringan dari retardasi mental. Namun, anak dengan retardasi
mental yang lebih parah akan lebih baik ditempatkan di sekolah khusus.
Pendekatan lain, adalah dengan membuat kelas khusus untuk mereka di sekolah
normal (opportunity sections). Apapun pendekatan yang dipilih, penting untuk
menyadari bahwa bahkan anak-anak dengan retardasi mental pun membutuhkan
pendidikan, untuk menjamin perkembangan optimal dan kesejahteraan mereka.
Anak dengan retardasi mental ringan(IQ 50-70), yang disebut golongan
mampu didik, mendapatkan pelajaran setaraf sekolah dasar, namun dengan cara
dan kecepatan mengajar yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pengajar
haruslah guru khusus terdidik dalam bidang pendidikan mereka.
Anak dengan retardasi mental sedang (IQ 30-50) digolongkan ke dalam
kelompok mampu latih. Pada mereka lebih banyak diberikan latihan dalam
berbagai macam bidang keterampilan seperti menjahit, menyulam, memasak dan
membuat kue pada anak wanita, atau pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan
perkebunan pada anak laki-laki. Diharapkan bahwa dengan keterampilan tersebut
mereka dapat mandiri di kemudian hari, atau mereka dapat bekerja dalam suatu
shltered workshop. Di Indonesia belum ada sheltered workshop untuk
mempekerjakan anak-anak dengan retardasi mental.
Sekolah untuk anak tuna grahita ini disebut SLB-C. dahulu, sebelum
didirikan sekolah khusus ini, anak dengan retardasi mental dimasukkan ke sekolah
dasar normal. Mereka dengan sendirinya tidak mampu mengikuti pelajaran,
sehingga setiap kelas biasanya diulang beberapa kali. Biasanya mereka dicap
sebagai anak bodoh dan seringkali menjadi bahan cemoohan teman mereka. Hal
ini tentu saja tidak membantu perkembangan kepribadian anak tersebut yang
merasa makin kehilangan kepercayaan dirinya. Banyak yang kemudian mogok
sekolah dan samasekali menarik diri dari pergaulan.
Anak dengan kecerdasan yang rendah ini kurang dapat meberikan
penilaian tentang baik-buruknya suatu tindakan tertentu, misalnya mencuri,

38

merampas, melakukan kejahatan seksual dan sebagainya. Pendidikan dalam SLB


sedikitnya melindungi mereka terhadap hal-hal tersebut diatas.
Dengan makin majunya pendidikan maka ada beberapa anak yang sekolah
di SLB mendapat kemajuan sedemikian rupa, sehingga mereka dapat dipindahkan
kembali ke SD biasa. Bahkan di negara yang maju seperti di amerika sudah mulai
dilakukan pendidikan terpadu. Anak-anak dengan retardasi mental pada beberapa
pelajaran tertentu, seperti misalnya olahraga, keterampilan,

kesenian, diikut

sertakan dalam kelas SD yang normal.


Juga dianjurkan adanya sekolah terpadu, kelas bagi anak retardasi mental
berada dibawah satu atap dengan kelas anak yang normal. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menghapus stigma yang melekat pada anak dengan retardasi
mental, dengan membiasakan mereka bergaul bersama anak yang normal. Di
Indonesia pendidikan terpadu sulit dilaksanakan pleh karena sistem kurikulum
kita yang samasekali berbeda dengan yang ada di Barat. Juga masyarakat di
Indonesia perlu mendapatkan penerangan dan pendidikan tentang pengertian
retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak yang terbelakang tersebut
dengan wajar sebagaimana adanya.

6. Pelatihan Kejuruan
Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak muda dengan retardasi
mental dapat mengikuti pelatihan kejuruan dan kemudian dipekerjakan. Tapi ada
banyak rintangan.

Salah satu rintangan utama adalah adanya kecenderungan

untuk meremehkan kemampuan mereka.


Harus diingat bahwa mendapatkan pekerjaan juga akan berdampak baik
bagi kesehatan mental, kepuasan diri, dan status social dari para penderita
retardasi mental. Ada banyak contoh inovatif tentang bagaimanahal ini dapat
dicapai, misalnya, desa dapat menawarkan berbagai peluang di bidang pertanian
untuk mempekerjakan mereka.
2.11

Pencegahan

39

Prevensi primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya


penyakit, yang dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Memberikan
perlindungan yang spesifik terhadap penyakit-penyakit tertentu, misalnya dengan
memberikan imunisasi; (2) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi
yang baik, perumahan yang sehat, mengajarkan cara-cara hidup sehat, dengan
maksud meninggikan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Prevensi sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan
memberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada
susunan saraf pusat. Misalnya, identifikasi dini dan penanganan yang tepat
berbagai kondisi yang dapat ditanggulangi, seperti hipotiroidisme, dapat
mencegah terjadinya retardasi mental di kemudian hari. Intervensi yang cepat dan
tepat terhadap berbagai penyakit anak, seperti keracunan timah atau hematoma
subdural pascatrauma, mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan sel otak.
Diagnosis dan koreksi dini defek sensoris pada anak, dapat meningkatkan secara
maksimal kemungkinan anak tersebut untuk mendapatkan rangsangan sensoris,
sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi mental akibat defisiensi sensoris.

2.12

Prognosis
Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya

lebih baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya.
Anak dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit
kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang
normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah
kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.7
Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat
sejak dini. Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang
berlangsung seumur hidup. Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi
kriteria retardasi mental saat usianya masih dini, namun seiring dengan
bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja hanya menderita gangguan
perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow learner-intelejensia ambang

40

normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental ringan di saat masa
sekolah, mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan berbagai
keterampilan yang cukup baik sehingga mereka tidak dapat lagi dikategorikan
menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari peningkatan
maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori diagnosis ke kategori
lainnya (contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi retardasi mental ringan).
Beberapa anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik atau gangguan
komunikasi dapat berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan
berjalannya waktu. Ketika masa remaja telah dicapai, maka diagnosis biasnya
telah menetap.
Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab
dasarnya, tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan
medis terkait, dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan
dan training yang tersedia untuk anak dan keluarga. Saat dewasa, banyak
penderita retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan ekonmi dan
sosialnya secara mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi secara
periodik, terutama di saat mengalami masalah sosial maupun ekonomi.
Kebanyakan penderita dapat hidup dengan baik dalam masyarakat, baik secara
mandiri maupun dalam supervisi. Angka harapan hidup tidak terpengaruh oleh
adanya retardasi mental ini.6

41

BAB 3. PENUTUP

Retardasi mental disebabkan oleh berbagai faktor yang penyebab dasarnya


belum dapat dijelaskan secara pasti. Anak dengan retardasi mental akan banyak
mengalami hambatan dalam fungsi intelektual dan fungsi adaptif sosial.
Dalam menegakkan diagnosa retardasi mental berdasarkan DSM-V, tidak
lagi berdasarkan skor IQ, akan tetapi berdasarkan fungsi adaptif: fungsi
konseptual, sosial, dan praktikal. Diperlukan anamnesis riwayat

wawancara

psikiatrik, pemeriksaan fisik, psikologis, pemeriksaan laboratorium secara cermat


terhadap seorang anak. Observasi psikiatrik juga perlu dikerjakan untuk
mengetahui adanya gangguan psikiatrik disamping retardasi mental.
Dokter juga harus mampu memberi penerangan yang jelas kepada orang
tua mengenai keadaan anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang
diberikan. Serta penerangan yang jelas tentang retardasi mental kepada
masyarakat juga sangat diperlukan agar mereka dapat menerima anak tersebut
dengan wajar
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan
sangat individual. Oleh karena itu seorang dokter harus mampu membuat strategi
pendekatan dalam penatalaksaan yang komprehensif dengan melibatkan psikolog
yang berperan dalam menilai perkembangan mental anak terutama kognitifnya,
ahli rehabilitasi medis, ahli terapi wicara, dan guru sebagai pendidik anak
tersebut. anak yang retardasi memerlukan perawatan intensif dan khusus seperti
pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh
kembangnya serta masalah nutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010
3. Salmiah S: Retardasi Mental. Departemen Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Univeritas Sumatera Utara, Medan, 2010
4. Maslim R. F70-F79 Retardasi Mental. Buku Saku PPDGJ-III, Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, 2003
5. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal
Hingga Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani
DA, Hartanto H, Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20 th
ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 136-9.
6. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability).
In: Shreiner Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18 th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. 191-7.
7. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995.
8. American Psychiatric Association. 2013. Intellectual Disability. American
Psychiatric Publishing.
9. DSM-V: Diagnostic Criteria for Intellectual Disability
10. Zeldin,
A.S.
2014.
Intelectual
Disability.

diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1180709-overview pada 9 Maret 2014.


11. Harris, J.C. 2013. New Terminology for Medical Retardation in DSM-5 and
ICD-11. Curr Opin Psychiatry. 2013; 26(3):260-262

Anda mungkin juga menyukai