Anda di halaman 1dari 19

Chapter 7.

5
Leprosy
Rudy F.M. Lai A Fat
Definisi
Kusta merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M.
leprae), dimana basil ditemukan oleh Armauer Hansen yang berkebangsaan Norwegia pada
tahun 1873.Penyakit ini dominan menyerang kulit dan saraf perifer tetapi, dalam beberapa
kasus, M. leprae dapat ditemukan pada seluruh organ kecuali sistem saraf pusat.

Sejarah
Deskripsi gambaran kusta sejati pertama kali datang dari India dan diteliti sekitar 600 tahun
sebelum masehi(1). Kusta sebelumnya disebut Kushta, diambil dari kata Kushnati, yang
berarti menggerogoti dalam bahasa sansekerta. Dari India, kusta menyebar ke Cina sekitar
500 tahun sebelum masehi, dan dari sana menuju Jepang. Kusta mungkin masuk ke daerah
Mediterania dibawa oleh tentara-tentara militer Alexander agung, yang kembali dari
perjalanan mereka ke India tahun 327-326 sebelum masehi. Penyakit ini disebut
elephantiasis Graecorum, yang mana sama dengan lepra Arabum. Selama abad pertengahan,
lepra mungkin menyebar di sepanjang jalur perdagangan dari Timur Tengah ke Afrika.Pada
abad pertengahan, penderita kusta diberikan bandul lonceng, sebuah terompet atau lonceng
untuk mengumumkan kehadiran mereka dan untuk meminta sedekah. Penyakit ini
diperkenalkan di New World(Amerika bagian tengah dan selatan) di pertengahan abad
keenam belas dari Eropa oleh penakluk Spanyol dan Portugis dan pada abad ketujuh belas
oleh budak Afrika, yang juga membawa penyakit ini ke negara Amerika Serikat bagian
selatan dan Karibia.(2)

Etiologi dan Patogenesis


Mycobacterium leprae, penyebab dari kusta atau penyakit Hansen, yang memilikit
sifat unik. Sekarang acid fast dan satu-satunya mycobacteriumyang kehilanganacid fastness
nyasetelah dilakukan pengobatan dengan piridin.M. leprae merupakan intraselular obligat
1

dan bermultiplikasi di makrofag dan sel Schwan. Bentuk basil tersebut mempunyai masa
tunas yang panjang (12-20hari) dan dapat di kultur pada in vivo binatang seperti mencit,
armadillo dan spesies monyet yang berbeda (1-$), tetapi bukan di in vitro.
Kusta terjadi di seluruh dunia. Setelah pengobatan multidrug dikenalkan (MDT) di
tahun 1982 (5), angka kasus kusta diperkirakan menurun dari 10-12 juta pada tahun 1970-an
sampai 1.7 juta kasus di tahun 1997, dan jumlah kasus yang terdaftar turun dari 5.4 juta di
tahun 1985 (6,7) sampai 458 000 di tahun 2003 (8). Namun, jumlah kasus baru meningkat
sekitar 560 000 di tahun 1994 (7) sampai 763 000 di tahun 2001 (8) dengan puncak sekitar
840 000 di tahun 1998 (7). Pada tahun 2002, jumlah kasus baru menurun sekitar 620 000, dan
di tahun 2003 sampai 514 000 (8).
Pada tahun 1991, World Health Organization (WHO) berkomitmen untuk
menghilangkan kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat, contoh mengurangi kelaziman
di setiap negara anggota sampai <1 kasus per 10 000 penduduk, pada tahun 2000 (9). Pada
akhir tahun 2000, kelaziman global di bawah 1 kasus per 10 000 penduduk. Di antara 122
negara dimana kusta diangkap endemis di tahun 1985, pada tahun 2000 tercapai eliminasi di
107 negara. Di 15 negara yang tersisa, terutama Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin,
kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, contoh kelazimannya lebih tinggi dari 1
kasus per 10 000 penduduk (7). Negara-negara utama dimana kusta tetap endemis, urutan
dalam mengurangi penyakit, adalah India, Brazil, Myanmar, Madagascar, Nepal dan
Mozambik (7).
Masa inkubasi dari kusta bervariasi dari 2 sampai 5 tahun. Penyakit ini sangat jarang
ditemukan pada anak-anak di bawah usia 2 tahun (10). Namun, bentuk pausibasilar dan
multibasilar kusta pernah dilaporkan didapati pada anak usia 18 bulan atau lebih muda oleh
beberapa penulis (11-17,18), mengindikasikan bahwa masa inkubasi kusta mungkin lebih
cepat dari 2 tahun. Penderita termuda dengan biopsi yang telah dikonfirmasi dengan kusta
multibasilar yaitu bayi perempuan berusia 2,5 bulan (16).Dan biopi yang telah dikonfirmasi
dengan kusta pausibasilar yaitu bayi perempuan berusia 2 bulan (17). Prevalensi kusta pada
anak usia 0-14 tahun bervariasi mulai dari 0,12 sampai 41,6 per 1000 (19-22).
Cara penularan kusta masih belum diketahui pasti.Sekarang ini dipercaya bahwa jalur
yang biasa menjadi tempat keluar ialah mukosa nasal dan sistem pernafasan atas.M.
lepraeakan tetap dalam droplet atau debu di luar tubuh, dimana tetap dapat hidup minimal 36
jam. Pada studi lainnya, Desikan dan Sreevatsa (24) dilaporkan bahwa M. lepraedapat hidup
2

di luar tubuh manusia samapi 46 hari pada kondisi tropical. Inhalasi droplet bacilli-laden
sekarang dianggap sebagai cara masuk yang palingl lazim ke dalam kontak.Transmisi
eksperimen melalui aerosol yang mengandung M. lepraepada tikus imunosupres mendukung
cara masuk M. leprae(25).Kusta juga dapat terjadi melalui transmisi kontak langsung
antarkulit yang lama dan erat (26).
Peran dari gigitan serangga seperti nyamuk telah memunculkan perhatian baru.
Banerjee et al.(27) mendemonstrasikan transmisi basil kusta yang viableoleh Aedes aegypti
melalui penderita kusta lepromatosa ke kulit tikus melalui terganggunya proses makan.Job et
al.(28) telah mendemonstrasikan bahwa luka melalui tusukan duri dapat membawa masuk M.
leprae ke dalam kulit dan mungkin merupakan mekanisme penting sebagai transmisi kusta
pada manusia.
Studi imunologikal telah mengindikasikan bahwa transmisi intrauterine dari M.
leprae benar terjadi (13,29-31).Kemungkinan cara lainnya dimana anak-anak dapat terinfeksi
melalui menyusui.Pedley (32) menemukan jumlah besar M. lepra dalam ASI aktif, pada
penderita kusta lepromatosa.

Imunologi Kusta
Berdasarkan dari rendahnya kelaziman di antara kontak penderita kusta, dianggap bahwa
kusta tidak begitu sangat menular. Bagaimanapun, menggunakan in vitro teknik
imunologikal, yang bernama the lymphocyte transformation test(LTT), menunjukkan bahwa
mayoritas kontak (rumah tangga dan personal medis) dari penderita kusta mengembangkan
cell-mediated immunity(CMI) secara efektif terhadap M. leprae dan tidak ada tanda-tanda
klinis. Jadi, mereka melewat infeksi subklinis.Sampai tahun 1970-an, satu-satunya cara untuk
mengukur CMI terhadap M. leprae adalah in vivo dengan tes lepromin.Lepromin merupakan
suspensi dari autoklaf M. leprae, yang diperoleh dari manusia (lepromin H) atau armadillos
(lepromin A). Dapat ditunjukkan bahwa lepromin A menimbulkan pola respon yang sama
dengan lepromin H (34,35). Pada tes lepromin,

0,1 mL lepromin (A/H) diinjeksikan

intradermal pada lengan dan dibaca setelah 48-72 jam (reaksi Fernandez) dan 3-4 minggu
reaksi mitsuda. Reaksi mitsuda tercatat sebagai berikut :
1. Negatif (-) : tidak ada yang dilihat atau dirasakan
2. Ragu-ragu (+/-) : indurasi < 3 mm dalam diameter
3

3. Positif (+) : indurasi 3-5 mm dalam diameter


4. Positif (++) : indurasi 6-10 mm dalam diameter
5. Positif (+++) : indurasi > 10 mm dalam diameter atau ulserasi
Tes lepromin bukanlah tes diagnostik tetapi membantu dalam klasifikasi imunologi
penderitayang dinyatakan kusta dan bernilai dalam menentukan prognosis. Tes tersebut tidak
dapat menunjukkan infeksi M. leprae tersebut baru atau lama.Secara histologi, tes lepromin
yang positif adalah contoh dari reaksi hipersentivitas tipe lambat (reaksi tipe IV oleh Gell and
Coombs). Tes lepromin sangat positif pada pasien tuberkuloid (+++), positif atau ragu-ragu
pada penderita borderline, tergantung pada tempat pada spektrum (borderline tuberculoid
positif (++); kusta dengan tipe borderline (+ atau +/-) dan negatinf padatipe lepromatosa.
Pada kusta yang bentuk tidak tetap dapat bernilai positif atau negatif, tergantung pada arah
dimana penyakit tersebut berkembang.
Myrvang et al. (36) mengukur CMI in vitro menggunakan LTT dan leucocyte
migration inhibitation test pada penderita dengan berbagai bentuk kusta.Mereka menemukan
penurunan yang berlanjut pada CMI dari bentuk tuberkuloid ke bentuk lepromatosa pada
akhir spektrum. Mereka juga mencatat penderita dengan berbagai macam variasi dalam grup
yang sama.Hasil dari tes in vitro berkorelasi baik dengan tes lepromin in vivo.Pada kusta
bentuk lepromatosa, suatu energi spesifik untuk M. leprae muncul, menyebabkan multiplikasi
dari M. leprae tidak terkontrol dan lesi secara luas tersebar. Dapat diterima bahwa penderita
kusta bentuk lepromatosa tidak memiliki pengrusakan yang sama dari CMI. Imunodefisiensi
spesifik untuk M. lepraeberlangsung setelah pengobatan dan oleh karena itu juga dianggap
beresiko tinggi terhadap penderita kusta lepromatosa relaps.
Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan defisiensi spesifik ini: (i)
kurangnya dari sirkulasi T limfosit dengan kemampuan untuk berespon terhadap M. leprae;
(ii) fungsi makrofag yang abnormal; (iii) depresi CMI oleh sel spesifik supresor (lihat dari
ulasan Harboe (37)).
Banyak studi populasi telah dilaksanakan untuk menentukan kemungkinan peran dari
faktor genetik dalam menentukan kedua-duanya baik kelemahan terhadap M. leprae dan
bentuk respon setelah terinfeksi oleh organisme ini dan juga untuk perkembangan dan tipe
penyakit klinis pada manusia.Hubungan antara HLA-DR3 dan kusta tipe tuberkuloid polar
telah didemonstrasikan pada populasi campuran Afrika-Kaukasoid dari Surinam dan Mexico
(38,39). Ini mengindikasikan bahwa HLA-DR3 atau HLA-DR3-associated factor yang
mengontrol bentuk dari penyakit yang berkembang setelah infeksi oleh M. leprae. Pada
4

penderita kusta lepromatosa terdapat hubungan dengan HLA-DQ1 (40).Berbeda dengan


CMI, respon imun humoral normal atau hiperaktif pada penderita kusta lepromatosa.Antibodi
untuk melawan antigen mikrobakteri telah dapat dideteksi pada sera dan kulit lesionaldari
penderita kusta melalui berbagai metode.Mereka ditemukan dalam jumlah yang banyak dan
persentase yang tinggi dari penderita kusta lepromatosa, sedangkan frekuensi dan jumlahnya
lebih rendah ke akhir spectrum tuberkuloid (37,41).
Enzyme-linked immunosorbent assays(ELISA) mendeteksi antigen spesifik M. leprae,
seperti phenolic glycolipid I (PGL-I) (42), dan antibodi terhadapap M.leprae-specific eiptopes
seperti penentu gula PGL-I dan epitope pada 36-kDa protein telah dikembangkan dan dapat
digunakan pada awal diagnosis, memonitor efek dari kemoterapi dan deteksi relaps (43-48).
Belakangan ini, dipstick assay telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi sampai ke M.
leprae PGL-I (49) dan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan penderita
kusta (50).
Pemeriksaan berdasarkan polymerase chain reaction(PCR) dilakukan pada penderita
kusta untuk mendeteksi sejumlah kecil M. leprae yang diambil dari usapan hidung dan
spesimen kulit, dan membuatkan mereka berguna sebagai pembelajaran epidemiologi.Bakteri
tersebut sangat sensitive dan spesifik tetapi dibutuhkan laboratorium yang canggih (50-54).

Patologi
Inderteminate leprosy
Pada lesi Inderteminate leprosy , dapat ditemukan infiltrasi non spesifik yang terdiri dari
makrofag dan limosit yang terdapat di kulit bagian luar. Diagnosis intermediate leprosy yaitu
ditemukan satu atau lebih basilus asam cepat pada serabut saraf, zona supepidermal, dan
muskulus erector pili.
Tuberculoid leprosy
Karakteristik histopatologi yang dapat ditemukan pada lesi ini adalah Epitheloid sel
granuloma. Granuloma-granuloma ini dapat ditemukan di seluruh dermis, tetapi lebih jelas
terdapat pada dermis dalam. Supepidermal localised granuloma dapat menyebabkan
kerusakan

epidermis,

dan

biasanya

tidak

ditemukan

zona

bebas

supepidermal.

Patognomoniknya adalah ditemukan granuloma-granuloma yang terlokalisasi di serabut saraf


5

besar di dermis dalam dapat menyebabkan kerusakan parsial atau komplit pada saraf.
Basilus asam cepat ditemukan kecil-kecil.
Granuloma epithelial sel terdiri dari limfosit, makrofag, sedikit sel langerhans besar dan
plasma sel. Dengan menggunakan teknik monoclonal antibodi dan imunoperoksidase,
ditemukan secara dominan t cell pada Limfosit di tuberculoid leprosy. Analysis menunjukkan
CD 4 positif ( helper dan inducer ) ditemukan di seminar Epitheloid sel, dam CD 8 positif
( suppressor dan cytotoxic ) sel secara dominan ditemukan pada limfosit cuff di sekitar
Epitheloid sel. Rasio CD 4 positif/ CD 8 positif adalah 2. B sel dapat ditemukan jumlah yang
kecil di granuloma.
Borderline leprosy
Pada Borderline leprosy, Granuloma terdiri dari Epitheloid sel yang tersebar secara difus,
limfosit, dan makrofag yang mengandung basil asam cepat. Serabut-serabut saraf
menunjukkan proliferasi moderate Schwann sel, tetapi sel-sel tersebut dapat dikenali. Basil
asam cepat dapat ditemukan pada Angka-Angka yang moderate.
Lepromatous leprosy
Granuloma yang difus pada lepromatous leprosy dipisahkan dari atropik epidermis dari zona
yang bebas dan terdiri dari makrofag-makrofag dengan cytoplasma yang berbusa yang terisi
oleh basil asam cepat. Paca figure 7.5.2 lepra dan sel virchow. Limfosit dan plasma sel sangat
kecil dan tersebar di sekitar makrofag. Limfosit pada lepromatous leprosy dominan oleh CD8
positif sel. Rasio CD 4 positif/ CD 8 positif kurang dari 1
Basil asam cepat dapat didemonstrasikan pada seksi histologi dan slit skin smear. Ini dibuat
dari 6 tempt yang berbeda pada dugaan kasus Leprosy. Yaitu 2 pada kasus lesi kulit, Lobus
telinga, nasal mukosa, dan pada jari belakang. Lalu smears diwarnai oleh basil asam cepat
menurut metode Fico Faraco dan diperiksa dengan menggunakan mikroskop a x100 oil
immersion objektif. Angka dari basili pada smear, BI direkam sesuai langkah scale Berikut:

Pemeriksaan persentasi basili yang diwarnai solid ( index morfologi/MI) sangat penting.
Untuk mengetahui MI, setidaknya 100 basili, jika mungkin 200 basili untuk diperiksa. Basil
yang

mati

ditandai

dengan

pewarnaan

yang

irregular

atau

fragmented.

MI adalah indikator yang berguna untuk mengetahui progres atau kemajuan pengobatan pada
pasien dan berubah lebih drastis dari BI
MI jatuh ke 0 setelah 6 minggu sampai ke 6 bulan dari pengobatan yang tidak terganggu,
tergantung dari pengobatan yang digunakan. Ketika obat bakterisida must supertitles
Rifampisin digunakan, MI jatuh ke 0 sekitar 5 minggu pengobatan sama halnya pada
penggunaan obat bakterisida lemah selection Dapsone yang digunakan 5 sampai 6 bulan
terapi.
Peningkatan MI terapi terjadi apabila adanya gangguan absorpsi dan obat atau basili yang
sudah resisten terhadap obat.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis leprosy dapat terjadi dengan mekanisme yang berbeda. Bentuk Manifestasi
bervariasi terjadi bukan karena infeksi dari strain M leprae, tetapi karena timbuktu refleks
dari hasil respon yang bervariasi dari jaringan terhadap host M leprae di tubuh. Jadi
manifestasi mereka terjadi karena hubungan Host-parasite.
Bukti klinis yang berbeda dari bentuk leprosy adalah bentuk sebuah spektrum dari
Tuberculoid Leprosy di di kedua ujung yang berbeda pada spektrum tersebut. Diantara kedua
sumbu ini adalah terdapat borderline tuberculoid, mid borderline dan bentuk borderline
lepromatous.
Dari klasifikasi yang dijelaskan oleh Ridley dan Jopling yang dihubungkan dengan imunitas,
terdapat 2 bentuk subpolar yang dijelaskan yaitu subpolar tuberculoid dan subpolar
lepromatous leprosy. Pada anak-anak didominasi oleh pausibasiler leprosy. Secara umm lesi
pada kulit sama dengan pasien dewasa, tetapi pada anak biasanya tidak begitu jelas, tampak
lebih kecil dan jumlah kurang dari orang dewasa.
Tuberculoid leprosy
Karakteristik tuberculoid leprosy adalah ditemukan satu/beberapa lesi yang jelas
menunjukkan central healing. Pada kulit yang hitam ditandai dengan hipopigmentasi, pada
kulit yang putih ditandai oleh warna merah kecokelatan. Pada lesi ini terjadi hilangnya
sensasi (hypaesthesia, anesthesia) kecuali bila terjadi lesi yang terlokalisir pada wajah dimana
terdapat banyak nervus sensoris. Permukaan lesi yang kering dapat terjadi karena keringat
yang berkurang, jumlah rambut yang berkurang sampai tidak ada sama sekali.
7

Pada tuberculoid leprosy, nervus perifer biasanya ditemukan solid, dapat ditebalkan dan
nyeri. Pada tingkat frekuensi, biasanya terjadi pada ulnar, posterior tibial, peroneal, radial
cutaneus dan nervus auricularis.
Hilangnya persepsi sensoris di area juga diikuti oleh pembesaran nervus. Paresis/paralysis
muskularis dengan atau tanpa kontrakture juga bisa ditemukan namun jarang pada anak-anak.
Dapat juga terjadi pembesaran nervus superficialis pada lesi kulit. Penemuan diagnostik yang
significant ini juga ditunjang oleh pemeriksaan bakteriological - / sedikit + ( 0-1+) , reaksi
mitsuda positif kuat.
Borderline tuberculoid leprosy.
Lesi kulit ini biasanya sama dengan tuberculoid leprosy. Pada borderline tuberculoid leprosy,
dapat ditemukan banyak lesi yang menunjukkan variasi dan bentuk yang simetris. Lesi
sedikit dapat ditemukan dengan area dimana marginnya Perlahan-lahan menjadi normal.
Keikutsertaan nervus lebih jelas tersebar secara Luas. Beberapa dari nervus perifer dapat
menjadi tebal yang irreguler dan asimetris. Kerusakan pada nervus adalah karakteristik
borderline tuberculoid leprosy yang menyebabkan anaesthesia dan atau otot yang
paresis/paralisis pada distribusi nervus yang rusak San akhirnya menyebabkan deformitas.
Mid border line leprosy
Borderline leprosy adalah bentuk yang tidak stabil di spektrum leprosy dan biasanya
menunjukkan progress Dari penyakit tersebut baik itu menurun atau sebaliknya. Penyakit ini
jarang dan manifest klinis Dari tuberculoid sama dengan lepromatous leprosy, dengan kata
lain 2 bentuk leprosy yang berbeda.
Banyak ditemukan lesi pada kulit, tetapi tidak sebanyak pada lepromatous leprosy. Lesinya
( macula, plaque, nodule ) dimana beer warna merah dan cokelat dapat bervariasi di ukuran,
bentuk dan distribusi. Kedalaman dapat dilihat dari 1 area dan sulit pada area yang lain.
Beberapa lesi menunjukkan bentuk yang irregular, adanya lesi satelit dan stream pada bentuk
geografisnya.
Bentuk ini sangat berkarakteristik tetapi jarang, maka disebut Swiss cheese punch out lession.
Pada lesi ini ditemukan plaq yang eritema dimana sukar diidentifikasikan dengan bentuk lain.
Bentuk luar dan punched out centre dengan kedalaman yang terpisah. Kerusakan dari nervus
8

ini sangat bervariasi pada bentuk ini. Pemeriksaan bakteriologi (+) ( 0,3-4+), reaksi mitsuo
(+) lemah.
Borderline lepromatous leprosy
Lesi kulit ( macula), plague, punched out lesi, Papule, nodule ) sama dengan yang ditemukan
pada lepromatous leprosy. Tetapi lesi pada borderline lepromatous leprosy secara Fisik lebih
terpisah, lebih bervariasi pada ukuran dan tidak tersebar secara simetris seperti pada
lepromatous leprosy, area pada kulit yang normal dapat ditemukan di antara lesi. Nervus
perifer yang besar semakin membesar daripada lepromatous leprosy. Pemeriksaan bakterisida
+ dan reaksi mitsuda yang meragukan + atau
Lepromatous leprosy
Ditandai oleh sumbu yang berbeda Dari spektrum pasien dimana pasien tidak dapat Melawan
penyakit, sehingga terjadi multiplikasi yang tidak terkontrol Dari basilus. Biasanya
ditemukan pada konsentrasi yang tinggi pada kulit, nervus, membran mukosa, upper traktus
respiratory, pembuluh life, spleen, liver, testis, san organ lainnya. Biasanya lesi awal adalah
macula yang terhitung dan terdistribusi simetris, sangat susah ditentukan, sedikit
hipopigmentasi

dan

eritematous

dan

memiliki

permukaan

yang

terang.

Ketika terjadi progres penyakit, lesinya tumbuh bersama Jadi seluruh tubuh terkena secara
uniform. Pada lesi awal tidak ada penurunan sensoris.
Pada stadium lanjut terjadi infiltrasi umum pada kulit dan menyebabkan plague, Papule,
nodule, sebastian menjadi ulser. Penebalan dan pelipatan Dari kulit sering ditemukan pada
muka menyebabkan fasies leonikia. Keterlibatan nervus yang terkena adalah bilateral dan
simetris menyebabkan tipe glove and stocking tipe anesthesia. Penemuan lainnya adalah
penurunan Dari bulu mata ( , gynecomastia, testicular atropi, edema pada tangan dan kuku
dan terjadi ulserasi.
Penemuan yang lebih serius adalah deformitas, collaps pada hidung, clawhand dan clawfeet.
BM smear + (BI 6+ ) reaksi mitsuda

Indeterminate leprosy
Penemuan Dari bentuk yang tidak stabil Dari leprosy ini muncul dimana status imunologi
yang tidak jelas. Karakteristiknya adalah 1 atau sedikit hypopigmentasi atau sedikit eritem
macula dengan ditemukan batas yang tidak jelas.
Keringat di macula mungkin sedikit dan penemuan hypaesthesia atau anaesthesia biasanya
tidak Ada. Lesi sangat terlokalisir biasanya pada Permukaan eksternal anggota tubuh atau
perut dan wajah.
Pada leprosy ini yaitu 1 Bukti penyakit yang terjadi pada 20-80 persen pada leprosy control
programme indeterminate leprosy sering didiagnosa yang berlebihan. Diagnosis yang tepat
adalah mendemonstrasikan basili pada lesi kulit. 75 persen pasien dengan leprosy tipe ini
dapat sebuah spontan, 25 persen dapat muncul kembali dengan tipe leprosy yang berbeda
tergantung Dari CMI mereka
Bentuk special
3 tipe leprosy cukup untuk mendeskripsikan perbedaan masing-masing. Faktanya tipe
tersebut sangat bervariasi untuk memberikan bentuk leprosy.
Pure neutral leprosy: di karakteristik oleh kerusakan dan pembesaran 1 atau lebih trunkus
nervus, tidak Ada lesi kulit, biopsi nervus menunjukkan pasien ini termasuk bagian dari
tuberculoid end Dari spektrum.
Histoid leprosy: bermanifestasi special Dari lepromatous leprosy dan pertama Kali
dideskrispkikan oleh wade 1963, karakteristiknya adalah papul yang tajam, serta nodule yang
kokoh. Manifestasi pasien dengan kasus yang relaps, adanya sebuah persentasi tinggi
dihubungkan dengan penggunaan dapsone. Jadi untuk mengaktivasi nodule, pasien harms
menunjukkan stigmata Dari lesi yang lama.
Nodule bisa meningkat dari lesi yang lama, lesi semula juga di daerah sebelumnya yang tidak
terkena seperti fossa popliteal, antecubiti, Aksila.
Pada pemeriksaan histology Dari nodul, ditemukan spindle sel yang berisi M leprae.
Pemeriksaan bakteriological + (B 16+) dan reaksi mitsuda

10

Luci leprosy ( lepra bonita) pertama Kali dideskrispkikan oleh Lucio dan Alvarado tahun
1852, dikarakteristik oleh infiltrasi yang terang can difus pada seluruh kulit tubuh, dengan
hilangnya sensoris seluruh tubuh.
Semakin lanjut stadium penyakitnya, bulu mata semakin tebal dan memberikan gambaran
pasien yang mengantuk dan sedih. Madarosis juga Salah satu Dari bentuk lesi ini. Pasien
biasanya mengeluhkan mati rasa pada tangan dan kaki, congesti nasal dan epistaksis, suara
parau dan udem kaki. Pada pasien tua, infiltrasi difus pada kulit menyebabkan muka yang
keriput menjadi licin, memberikan mereka kesan muka yang muda. Hal inilah yang
menyebabkan lepra lucio disebut lepra bonita (lepra yang cantik). Kulit mengandung
M.leprae yang sangat banyak/ Apusan bakteriologi sangat positif (BI 6+) dan reaksi Mitsuda
negative.
Untuk penegakkan diagnosis lepra, tanda cardinal yang penting adalah:
1. Mati rasa disepanjang lesi kulit yang dicurigai
2. Pembesaran, pelembutan dan sakit pada syaraf tepi, biasanya unilateral, dan
berhubunngan dengan kerusakan syaraf sperti kehilangan kemampuab sensori, paresis
dan paralisis
3. Pengujian dari apusan irisan kulit basilus asam, membrane mukosa dan atau biopsi
jaringan.
Biopsi kulit harus diambil dari lesi kulit yang paling mewakili untuk meyakinkan
diagnosis klinis untuk klasifikasi hitologik. Biopsi kulit tersebut harus menyertakan
dermis dengan kedalaman penuh dan harus diambil dari lesi yang aktif. Sel granuloma
epitel yang terbaik terdapat di lapisan dermis yang dalam. Biopsi syaraf diperlukan
apabila dicurigai terjadi lepra neural murni.
Prognosis
Lepra dapat disembuhkan. Awal perkenalan terapi multi obat (MDT) pada yahun 1982
menunjukkan hasil yang sangat drastic pada penyumbuhan lepra. Inilah kesusksesan yang
membawa WHO merencanakan tujuan untuk menghapuskan lepra sebagai masalah kesehatan
masyarakat pada tahun 2000. Setelah penyempurnaan dari MDT, keseluruhan peringkat
kambuh 0.1%. Namun, Jamet at al melaporkan adanya kekambuhan sebanyak 20% setelah
menindaklanjuti pasien multibasiler yang menggunakan regimen MDT WHO selama 6 tahun.
Derajat kekambuhan berkorelasi dengan BI dari pasien. Kekambuhan sering terjadi pada
11

pasien dengan BI=4 sebelum MDT atau BI=3 diakhir MDT. Beruntung, obat bakteriasidal
yang baru telah terbukti sangat efektif untuk pengobatan pada pasien lepra.
Pada anak-anak, lepra mengalami regresi spontan dekitar 33-75% kasus. Prognosa
pada anak yang berobat secara teratur adalah baik. Reaksi, deformitas dan kecacatan sangat
jarang pada anak.
Diagnosa Banding
Lepra bisa menyerupai banyak kelainan kulit dan syaraf. Lepra Makular harus
dibedakan dengan vitiligo, tinea versikolor, nevus anaemicus, naevus depigmentosis,
pityriasis alba dan onchocerciasis.
Perbandingan antar pityriasis alba dengan indeterminate lepra dapat menjadi sangat
sulit apabila lesinya terdapat di wajah (pityriasis alba faciei), karena kehilangan rangsangan
sangat sulit dibuktikan apabila lesinya terdapat di wajah. Onchocerciasis adalah penyakit
endemic yang terdapat di afrika barat dan tengah, Sudan, Meksiko dan Guatemala,
karakteristiknya adalah terdapatnya hipopigmentasi yang samar-samar di punggung dan paha.
Dan dapat dibedakan dari lepromatous leprosy dengan demontrasi microfilaria pada skin
snips.
Lesi anular lepra dapat menyerupai granuloma anulare, tinea korporis, likhen planus,
syphilis, dan granuloma multiforme (Penyakit Leikers). Penyebab dari granuloma
multiforme tidak diketahui. Terdapat di timur dan barat Frika serta Indonesia. Lesi awalnya
adalah papulonodular dan berkembang menjadi plak yang dapat dipisahkan dengan berbagai
ukuran dan bentuk dan lesi anular. Lokasinya berada di punggung tangan yang terlihat
sebagai granuloma anulare sangat jarang. Penyakit ini sering terdapat pada dewasa dan jarang
terlihat pada anak-anak. Tidak terdapat hilangnya rangsangan pada lesi dan tidak ada
pembesaran pada susunan saraf tepi. Pada histology, terdapat degenerasi dari kolagen
(nekrobiosis) dan banyak foreign body sel raksasa yang terdapat di dermis.
Lesi infiltrated leprosy dapat menyerupai lupus vulgaris, sarcoidosis, discoid lupus
erythematosus, cutaneus leishmaniasis, cutaneous lymphoma dan Kaposis sarcoma. Semua
kelainan yang disebutkan diatas tidak menunjukkan kehilangan sensasi dan penebalan saraf
tepi.

12

Kelainan Syaraf
Banyak kelaina syaraf yang menunjukkan simtomp seperti kehilangan rangsangan,
atropi otot, deformitas dan ulkus plantar, yang menandakan lepra. Pada umunya, hal tersebut
tidak berhubungan denga lesi di kulit. Diagmosanya harus berdasarkan dari uji syaraf. Karena
lepra tidak mempengaruhi susunan syaraf pusat, kehadiran dari symptom seperti kehilangan
reflex, refleks patologis dan lainnya akan menyingkirkan sangkaan lepra. Ketika ada
kehilangan sensorik dan fungsi motorik pada syaraf tunggal, trauma harus disingkirkan.
Kelainan syaraf yang akan dibedakan dari lepra termasuk neuritis dan polyneuritis, kerusakan
syaraf setelah trauma, entrapment neuropathi, poliomyelitis, syringomylia, sindroma Guillain
Barre, dan atropi otot neurogenik.
Pengobatan
Begitu dignosa lepra ditegakkan, pasien dan

atau keluarga hatus diberitahukan

tentang penyakit, pengobatan serta komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan
berlangsung. Selain itu, semua orang yang berhubungan dengan pasien harus diperiksa untuk
mengetahui terkena lepra juga atau tidak. Mereka harus diedukasi mulai dari gejala awal dari
penyakit dan diberitahukan untuk kembali apabila ada tanda seperti lesi di kulit, dan
kehilngan fungsi sensorik dan motorik.
Setelah penurunan resistensi dapson, kumpulan studi WHO merekomendasikan terapi
MDT untuk lepra pasa tahun 1982. Sejak itu, pengobatan ini diterima secara luas.
Anak-anak harus dibobati dengan obat yang sama dan dengan metode yang biasa
digunakan, dan dosisnya harus sesuai dengan umur dan berat badan dari anak tersebut.
Untuk Pausibasilar (apusan negative indeterminate tuberkuloid dan borderline
tuberkuloid leprosy)
1. Rifampisin 10mg/kgBB/hari, 1 kali sebulan, diawasi
2. Dapsone, 1-2mg/kgBB/hari, 1 kali sehari, diawasi
Pasien pausibasiler menjalani pengobatan selama 6 bulan.
Untuk Multibasilar (beberapa tuberculoid borderline, mid-boerderline, boerderline
lepromatous dan lepromatous leprosy)
1. Rifampisin, 10mg/kgBB/hari/bulan,diawasi
13

2. Dapsone, 1-2mg/kgBB/hari, 1 kali sehari, diawasi


3. Clofozamine, 1-2mg/kgBB/hari, 1kali sehari, tidak diawasi serta 1 bulan sekali dosis
awal yang diawasi tergantung dari berat badan anak tersebut (dosis awal dewasa
300mg/bulan)
Pengobatan ini dinberikan selama 24 bulan dan telah terbukti berhasil.
Pada tahun 1997, Seventh Expert Committee on Leprosy setuju untuk pemendekan
pengobatan dari 24 bulan menjadi 12 bulan. Komite juga memutuskan dosis tunggal dari
pengobatan kombinasi diantaranya 600mg rifampisin, 400mg ofloxacin dan 100mg
minosiklin (ROM) untuk pengobatan lesi tunggal lepra pausibasilar dan sangat efektif
sebagai regimen alternative. Karena ofloxasin dan minosiklin kontraindikasi pada anak-anak
maka ROM tidak diberikan untuk pasien ini.
Akhir-akhir ini obat baru dengan aktifitas bakterisidal telah digunakan. Beberapa yang
paling menonjol antara lain.
1. Floroquinolon, seperti ofloxacin, pefloxacin dan sparfloxacin. Ofloxasin 400mg
dan pefloxacin 800mg, dua-duanya denga dosis tunggal satu kali sehari, dan telah
sukses digunakan untuk pengobatan pasien lepromatous leprosy. Ofloxacin telah
digunakan senagai kombinasi dengan anti lepra lainnya dengan efek yang abik
dan tertoleransi. Sparfloxacin mungkin lebih aktif daripada ofloxacin dan telah
digunakan dengan dosis 100-200mg perhari untuk pengobatan pasien pausibasiler
dan multibasiler. Karen fluoroquinolons menghalangi pertumbuhan tulang rawan,
maka tidak boleh diberikan pada anak-anak dan wanita hamil.
2. Minocycline, jika dibandingkan dengan tetrasiklin yang lain, minosiklin sangat
aktif melawan M.leprae, mungkin karena bersifat lipofilik, obat tersebut dapat
berpenetrasi ke dinding sel basilus. Percobaan klinik menggunakan minosiklin
100-200mg perhari untuk mengobati pasinen lepra menunjukkan hasil yang baik.
Dosis yang direkomendasikan untuk mengobati pasien lepra adalah 100mg
perhari. Minosiklin kontraindikasi terhadapwanita hamil dan anak-anak karena
menyebabkan gigi menjadi berwarna. Efek samping yang lain adalah pigmentasi
kulit dan membrane mukosa, symptom gastrointestinal dan kelainan susunan
syaraf pusat seperti dizziness dan ketidakseimbangan. Beberapa kasus efek
samping yang serius menyebabkan hepatitis imunitas dan sindroma lupus
erythematosus.

14

3. Clarythromycin. Antibiotik ini termasuk golongan makrolide dan telah terbukti


berhasil mengobati pasien lepra dengan dosis tunggal 500mg. efeksampingnya
ringan dan jarang.
Studi klinis dari efikasi obat bakterisidal baru dengan kombinasi dengan obat anti
lepra lainnya, seperti: minosiklin dan rifampisin harian atau klaritomisin dan rifampisin
harian, telah digunakan untuk pengobatan lepra multibasilar terbukti aman dan tertoleransi.
Imunoterapi
Beberapa penelitian dengan imunoterapi masih dalam pengerjaan, tetapi sejauh ini
terdapat ketidaksesuaian data untuk menjadikan imunoteapi sebagai pengobatan pada
penyakit lepra. Sejauh ini imunoterapi sepertinya tidak akan menjadi terapi pilihan.
Imunoprofilaksis
Percobaan dengan menggunakan vaksin basilus Camette-Guerin (BCG) terbukti
berhasil. Efek proteksi BCG sangat tinggi di Uganda (80%), sedang di Malawi dan Papua
Nugini (45-55%) dan rendah di Myanmar dan india (20-30%). Baru-baru ini, percobaab BCG
tunggal atau BCG bersama dengan panas M.leprae telah dilakukan di Malawi dan Venezuela.
Dari kedua percobaan ini ditemukan BCG melindungi dubuh melawan lepra sekitar 50% dari
kasus. Dosis kedua atau pengulangan dari BCG menghasilkan perlindungan tambahan.
Bagaimanapun, penggunaan vaksin BCG tinggal tidak terbukti bias melindungi dari penyakit
lepra. Pengembangan generasi kedua vaksin yang berasal dari agen spesifik M.leprae atau
e[itopes mempunyai prioritas yang tinggi.
Komplikasi
Reaksi pada Lepra
Reaksi dapat diartikan sebagai episode akut yang terdapat pada suatu penyakit dan didasari
oleh mekanisme imun. Jarang terdapat pada anak-anak. Masih tidak ada consensus tentang
ketetapan dan klasifikasi pada reaksi lepra. Jopling membaginya menjadi reaksi tipe 1 dan 2,
untuk mencegah kebingungan dengan reaksi alergi klasifikasi gell dan coombs.
Reaksi Lepra Tipe 1
Reaksi Lepra tipe 1 sering terjadi pada pasien denga tipe borderline (borderline tuberculoid,
mid-borderline dan borderline lepromatous) yang mana status imunologiknya tidak stabil.
15

Perubahan pada imunitas selular pada pasien adalah petunjuk yang lain. Reaksi lepra tipe 1
dapat dibagi menjadi (i) reaksi reversal atau upgrading, yang mana terjadi kenaikan CMI; dan
reaksi downgrading yang mana terjadi penurunan CMI.
Reaksi reversal terjadi baik pada pasien yang melakukan pengobatan maupub yang
tidak. Penyebabnya masih tidak diketahui. Secara klinis, karakteristiknya antara lain kenaikan
oedem, eritem dan perlembutan dari lesi yang telah terjadi sebelumnya. Lesi yang berbeda
dapat muncul. Jika reaksinya berat, mungkin ada demam, ulserasi di lesi, pada muka anak
dan udem pada tangan dan kaki. Pada kulit, syaraf tepi yang besar juga dapat terkena. Kadang
reaksi neuritis terlihat tanpa ada manifestasi kulit.
Secara histologi, terdapat oedema, formasi sel epiteloid granuloma, arus dari limfosit
CD4+ dan penurunan indeks morfologi dan bakteriologi dari M.leprae. Secara imunologik,
ada kenaikan dari antigen M.leprae yang diukur secara in vitro dengan tes transformasi
limfosit. Dan tes migrasi inhibisi leukosit. Godal et al. menemukan respon in vitro limfosit
yang lebih tinggi pada M.leprae selama masa reaksi reversal dibandingkan dengan non
reactional fase pada pasien borderline tuberculoid. Sebelumnya, ditunjukkan pada
eksperimen pada binatang CMI mengalami kenaikan pada reaksi reversal. Reaksi reversal
adalah contoh dari reaksi hipersensitif tipe lambat dan berhubungan dengan reaksi tipe IV
Gell & Coombs.
Reaksi penurunan terjadi pada pasien yang menjalani pengobatan yang tidak adekuat.
Secara klinis, terdapat pergeseran dari kutub spectrum lepromatous. Lesi baru timbul ketika
lesi lama menjadi besar dan kehilangan pengertiannya. Pada beberapa kasus secara klinis
sulit dibedakan antara downgrading dan reaksi reversal.
Secara Histologik reaksi down gradding menunjukkan menurunan angka limfosit dan
peningkatan indeks morfologi dan bacterial.

Reaksi Lepra Tipe 2


Reaksi tipe ini biasanya dialami oleh pasien borderline lepromatous dan lepromatous.
Biasanya timbul secara spontan tapi biasa terlihat pada 6-12 bulan setelah inisiasi dari
pengobatan efektif. Sekitar 50% dari lepromatous dan 25% dari borderline lepromatous
bertahan dengan reaksi tipe 2 ini. Seajak diperkenalkannya MDT, terjadinya reaksi tipe 2 ini
16

sangat berkurang, mungkin karena clofazimine menjadi salah satu komponen dari regimen
MDT untuk lpera multibasiler. Pada reaksi tipe 2 ini, respons humoral dan CMI terlibat.
Biasanya manifestasi dari reaksi ini adalah Eritema Nodosum Leprosum (ENL), karakteristik
ENL ini tiba-tiba muncul, berwarna eritema cerah (pada pasien dengan kulit gelap, eritem
cenderung biru), noduls yang hangat dan kenyal yang hilang timbul. Dengan ukuran kecil dan
distribusinya simetris dan bilateral.Noduls bias muncul disemua permukaan kulit, terutama
wajah, fleksor lengan atas dan sisi medial paha. Pasien mengalami demam tinggi dan malaise.
Pada reaksi berat lesi ENL menjadi vesicular atau bula, nekrosis dan ulkus. ENL biasanya
diikuti dengan pneuritis perifer, arthritis, iridocyclitis akut, painful dacylitis, pembesaran hati
dan limpa, nefritis, limfadenitis dan epididimo-orcitis dan sering bersamaan dengan infeksi
virus, vaksinasi BCG, kehamilan dan stress.
Secara histopatologi, karakteristik lesi ENL adalah vaskulitis dengan degenerasi
fibrinoid dan infiltarsi perivaskular yang mengandung leukosit polimorfonuklear. Selain itu
terdapat juga vaskulitis dan pannikulitis. Selama terjadi reaksi, jumlah limfosit, sel CD4 +
menurun dan ketika reaksi reda maka CD8+ naik lagi. Imun kompleks mengandung antigen
bacterial, immunoglobulin dan komplemen dari contoh klasik fenomena Arthus.
Bagaimanapun, banyak data baru yang menjelaskan ENL lebih rumit daripada mekanisme
imunologik lainnya yang terlibat.
Fenomena Lucio
Fenomena lusio pada rekasi lepra yang akut terdapat pada pasien dengn lepra tipe lusio. Hal
ini sering terdapat di Meksiko, Amerika Tengah dan jarang di kelompok etnis yang lain.
Karakteristik fenomena lusio ditandai dengan lesi macular.. Predileksi lesi ini terdapat do
ekstremitas dan sembuh dengan meninggalkan bekas atropik stellate. Secara histologik,
nekrosis vaskulitis pada pembuluh dermal dapat terlihat, dan menghasilkan infark
padapermukaan kulit. Uji Imunofluoresensi mendapati fenomena lusio merupakan mediasi
dari deposisi dari kompleks imun pada pembuluh darah dermal.
Komplikasi pada Mata
Komplikasi pada mata didapat dari perkembangan lesi di mata yang menyebabkan keratitis
dan iridosislitis. Iridosislitis dapat terjadi selama reaksi lepra tipe 2. Selain itu, komplikasi
mata dapat menyebabkan paresis pada trigeminal dan/atau nervus fasial, yang menyebabkan

17

anestesi pada kornea dan konjungtiva serta laghoptalmus. Pada kedua kasus ini dapat
terekspos dan terjadi trauma dan infeksi, dan dapat menyebabkan kebutaan.
Deformitas
Deformitas bukan disebabkan oleh penyakitnya melainkan karena keterlibatan syaraf tepi.
Hal ini dapat terjadi selama berlangsungnya penyakit adan selama terjadinya reaksi, terutama
reaksi balik. Kerusakan dari syaraf tepi akan menyebabkan paralisis dan deformitas.
Terapi untuk Komplikasi
Reaksi lepra harus diobati untuk mengontrol dan mencegah agar tidak terjadi
komplikasi. Obat spesifik yang diberikan sebagai pengobatan harus diteruskan dengan dosis
penuh.
Reaksi ringan dapat diobati dengan aspirin dan atau dengan dapsone 200-300mg/hari.
Untuk reaksi balik yang parah, kortikosteroid adalah obat pilihan. Prednison atau prednisolon
30-40mg perhari dosis tunggal cocok untuk mengontrol reaksi. Dosis harus dilanjutkan
sampai perubahan kulit menghilang dan sakit neuritic menghilang. Dan dilakukan penurunan
dosis secara perlahan sampai dengan mencapai 10-15mg prednisolon perhari dan harus
diteruskan 3-4 bulan.
Terkadang, pembedahan syaraf dibutuhkan, terutama jika pasien mengalami kesakitan
syaraf yang tetap dan kelembutan yang disebabkan oleh pengobatan kortikosteroid.
Pada kasus reaksi lepra tipe 2 yang ringan gejala symptom bias diatasi dengan
analgetik dan tranquillizers. Pada beberapa kasus berat, thalomide adalah obat pilihan,
apabila dapat diperoleh dan tidak kontraindikasi dengan pasien. Thalomide dapat diberikan
denga dosis awal 100 mg 3-4 kali/hari, yang akan mengatasi reaksi sampai 48 jam. Dosis
harus dikurangi sampai (100mg/hari selama 1 minggu), jadi bias dihentikan dalamjangka
waktu 3-4minggu. Alternatif obat yang baik jika thalidomide tidak dapat ditemukan atau
pasien mempunyai kontraindikasi adalah kortikosteroid; 60mg prednisolone atau prednisone
perhari akan mengkontrol reaksi dan penurunan dosis harus dilakukan secara cepat
dibandingkan dengan reaksi lepra tipe 1. Pada beberapa kasus, ENL menjadi kronis dan
pasien membutuhkan pengobatan steroid yang berkelanjutan. Pada kasus ini, clofozimine
sangat berguna, berikan dosis 300mg/hari smpai steroid dihentikan. Dosis clofizimine dapat
diturunkan menjadi 50mg/hari.
18

Terapi untuk Fenomena Lucio


Reaksi bias dikendalikan dengan menggunakan kortikosterois. Tahlomide dan Clofazimine
tidak terbukti efektif. Jadwal yang telah dijadwalkan diatas ialah untuk diaplikasikan kepada
pasien dewasa. Nanak-anak mendapatkan dosis yang lebih rendah sesuai dengan umur dan
berat badan mereka (2-10 tahun: dosis setengah; <2tahun: dosis seperempat)

19

Anda mungkin juga menyukai