Anda di halaman 1dari 14

KeracunanTimbalpadaPenyakitAkibatKerja

Lakwari Agthaturi
102011331 / C1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11510,
Email: lakwari.agthaturi@gmail.com

I.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Logam ditemukan ditemukan di alam dan tersebar dalam batu-batuan, biji
tambang, tanah, air dan udara sebagai senyawa anorganik atau organik yang
umumnya kadar dalam tanah,air dan udara relatif rendah. Berbagai jenis aktivitas
manusia dapat meningkatkan kadar ini. Masyarakat di kota besar dan berdiam
dipinggir jalan dengan transportasi kendaraan bermotor yag padat serta di lingkungan
industri adalah merupakan kelompok yang rentan terhadap pencemaran logam.
Sampai saat ini, logam berat tidak menujukkan adanya fungsi fisiologis dalam tubuh
manusia. Logam berat berpotensi menimbulkan resiko berat bagi kesehatan manusia.1
Timbal merupakan salah satu jenis logam alamiah yang tersedia dalam
bentuk biji logam. Peningkatan aktivitas manusia, seperti pertambangan, peleburan
dan penggunaan dalam bahan bakar minyak

telah menyebabkan timbal

menyebar di lingkungan.1 Keracunan timbal merupakan salah satu masalah


lingkungan di dunia yang bisa merusak kesehatan manusia. Sebagai salah satu
negara berkembang indonesia memiliki potensi yang besar untuk terkena
keracunan timbal. Khususnya bagi pekerja pabrik yang kurang memperhatikan
keselamatan dan kesehatan kerja nya dari aspek K3. Oleh karena itu perlunya di
berikan edukasi pada perusahaan pabrik dan para pekerja dengan resisiko tinggi
kontak, agar keracunan yang di sebabkan oleh timbal dapat di kurangi, sehingga
kesejahtraan baik pekerjaan dan perusahhan dapat tercapai.1,2
Rumusan Masalah
Laki-laki berusia 35 tahun dengan keluhan pusing, mengantuk dan lemas.
Hipotesis

Laki-laki tersebut menderita penyakit akibat kerja yaitu keracunan timbal.

II.

PEMBAHASAN
Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu

dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan


dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7
langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:3
1. Tentukan Diagnosis klinisnya3
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan

terlebih

dahulu,

dengan

memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya


dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik
ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut
berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.
2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini.3
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah
esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya.
Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara
cermat dan teliti, yang mencakup:
a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

penderita secara kronologis,


Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan,
Bahan yang diproduksi,
Materi (bahan baku) yang digunakan,
Jumlah pajanannya,
Pemakaian alat perlindungan diri (misal: masker),
Pola waktu terjadinya gejala,
Informasi mengenai tenaga kerja lain(apakah ada yang mengalami gejala

serupa),
i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dansebagainya).
3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut.
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung
pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita.
Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang
menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa
penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu
dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat
2

menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan


sebagainya).
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut.3
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu,
maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk
diteliti lebihlanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada
untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi.3
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya,
yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD,
riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat.
Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang
mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang
dialami.
6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit.3
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah
penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab
penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat
digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.3
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab
langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu
kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu
menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab
suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan
tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini.
Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit
telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya,
tetapi pekerjaannya atau pajanannya memperberat/mempercepat timbulnya
penyakit. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan
diagnosis Penyakit Akibat Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik,
tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan klinis
3

pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan) dan data


epidemiologis
Anamnesis
Anamnesis mengambil peran besar dalam menentukan diagnosis. Oleh sebab
itu, anamnesis harus dilakukan sebaik mungkin sehingga dapat mengambil diagnosis
dengan baik pula dan mampu memberikan pertolongan bagi pasien.
Ada 2 jenis anamnesis yang umum dilakukan, yakni Autoanamnesis dan
Alloanamnesis. Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan tehnik autoanamnesis
yaitu anamnesis yang dilakukan langsung dengan pasiennya. Pasien sendirilah yang
paling tepat untuk menceritakan permasalahannya. Ini adalah cara anamnesis terbaik
karena pasien sendirilah yang paling tepat untuk menceritakan apa yang
sesungguhnya dia rasakan.
Berdasarkan kasus pada skenario 1, maka dokter bisa melakukan
autoanamnesis kepada pasien. Pertama yang ditanyakan adalah identitas pasien, yang
meliputi nama, usia, pekerjaan, alamat, agama. Setelah itu yang perlu ditanyakan
adalah keluhan apa yang dialami, diketahui keluhan yang dialami adalah sering
merasa pusing, mengantuk dan lemas. Kemudian dapat kita tanyakan sejak kapan
keluhan tersebut dirasakan? Dikatakan sejak 6 bulan terakhir. Berkaitan dengan
keluhan, kita perlu menanyakan mengenai pekerjaannnya. Diketahui bahwa laki-laki
berusia 35 tahun ini bekerja di pabrik baterai, di bagian penyusunan material baterai
selama 5 tahun dengan waktu kerja 8 jam sehari dan waktu masuk kerja 5 hari dalam
satu minggu. Kita juga perlu menanyakan bagaimana kondisi lingkungan pekerjaan,
diketahui bahwa kursi kerja sudah sesuai, suhu untuk bekerja juga nyaman. Selain itu,
perlu juga ditanyakan mengenai relasi dengan atasan dan rekan kerja. Diketahui relasi
dengan atasan dan rekan kerja baik sehingga tidak didapatkan stres. Berkaitan dengan
pekerjaan laki-laki tersebut di bagian penyusunan material baterai, satu hal yang wajib
ditanyakan adalah penggunaan Alat Pelindung Diri. Diketahui bahwa APD berupa
masker dan sarung tangan diberikan oleh pihak pabrik akan tetapi tidak digunakan.
Anamnesis lain juga dapat ditanyakan seperti:
1.

Adakah tanda sistemik (misalnya malaise, muntah, demam) ?

2.

Apakah ada anggota keluarga yang pernah mengalami hal serupa?

3.

Apakah dahulu pernah mengalami hal yang serupa?


4

Pemeriksaan Fisik
Kulit yang pucat akibat anemia sklera atau kulit yang kuning akibat hemolisis
akut sering kali ditemukan pada para penderita intoksikasi timbal. Suatu garis
pigmentasi biru keabu-abuan kadang-kadang tampak pada gusi, yang disebutlead
line. Pada pemeriksaan neurologis, intoksikasi timbal sering kali ditunjukkan dengan
lemahnya otot rangka, terutama otot ekstensor bagian distal.2,4
Pemeriksaan Penunjang
Riwayat

kontak

dengan

bahan

toksik

merupakan

kunci

untuk

mendiagnosis penyebab pusing, lemas, dan mengantuk pada pasien dengan


intoksikasi. Namun harus ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium. Biasanya
tampak gambaran anemia normositik normokrom atau mikrositik hipokrom pada
darah tepi, kadang-kadang ditemukan sel darah merah abnormal seperti morfologi
daun semanggi serta gambaran basofil yang berbintik. Turut sertanya timbal dalam
penggabungan Fe menjadi bentuk Zn-protoporfirin (ZPP), dan produk hidrolisisnya
adalah eritrosit protoporfirin (EP). Pada urine, dengan adanya peningkatan kadar asam
delta-aminolevulinik dehidrase maka kenaikan kadar ZPP dan EP dapat diukur. Hal ini
merupakan indikator yang dapat dipercaya untuk pengukuran instoksikasi timbal.
Peningkatan kadar asam delta-aminolevulinik dehidrase dapat diukur secara langsung,
sebaliknya,

peningkatan

kadar

timbal

darah

hanya

dapat

diukur

dengan

spektrofotometri. Lebih dari 90% timbal dalam tubuh disimpan di tulang. Konsentrasi
timbal di tulang tersebut dapat diukur dengan menggunakan x-ray flourescence (XRF)
atau densitometri.2,4
Pada individu yang tidak terpajan timbal, kadar timbal di darah berkisar antara
515 g/dL dengan NAB <3 g/dL. Menurut standar OSHA, kadar timbal di darah
pada pekerja di sektor industri tidak boleh melebihi 40 g/dL.4,5 Gejala intoksikasi
timbal pada susunan saraf pusat dan tepi biasanya terjadi dengan kadar timbal 4080
g/dL, atau jika terjadi peningkatan kadar EP atau ZPP. Gejala lain timbul dengan
jelas bila kadarnya mencapai >80 g/dL. Pada individu dengan gejala intoksikasi
timbal yang jelas, tetapi sulit ditemukan riwayat pajanannya, tes mobilisasi
CaNa2EDTAPb dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.5
Working Diagnosis
Intoksikasi Timbal (Pb)
5

Timbal merupakan logam yang berwarna biru keabu-abuan, lunak, mudah


dibengkokkan, dan resistan terhadap bahaya karat. Timbal beredar di pasaran sebagai
biji logam dengan konsentrasi 1-11% dalam bentuk garam sulfit (galena), karbonat
(cerussite), dan sulfat (anglesite). Bentuk lain timbal, seperti pada asap knalpot
kendaraan bermotor dan pembakaran batu bara, merupakan sumber pencemaran
lingkungan.1,4
Penggunaan
Timbal terutama banyak digunakan pada industri batu baterai dan aki, serta
sebagai zat pewarna dan stabilizer pada industri cat dan plastik. Sifat tahan asam dan
kelembabannya menyebabkan timbal digunakan juga sebagai lapisan pipa dan kabel.
Keramik yang berlapis timbal juga akan terlihat lebih keras dan cemerlang. Selain itu,
timbal digunakan untuk melapisi ruangan agar kedap suara dan vibrasi, serta dapat
digunakan sebagai penangkal sinar radioaktif. Senyawa timbal tetraetil dan timbal
tetrametil digunakan sebagai anti-knock agent pada bensin.1,4,5
Pajanan
Pekerja di pertambangan timbal sangat berpotensi terpajan debu dan fume
yang banyak dihasilkan pada proses penggilingan/penggosokan biji timbal. Di
samping itu, pajanan timbal juga berpotensi terjadi pada pekerjaan pengelasan,
penyolderan, pelukis, pekerja di pabrik baterai, aki, dan cat, terutama pekerja yang
terkait proses penyemprotan, gelas, dan keramik. Pajanan di lingkungan dekat lokasi
peleburan timbal dapat terjadi akibat udara, tanah, dan air minum yang
terkontaminasi. Di daerah perkotaan pajanan terjadi akibat pencemaran lingkungan
akibat asap buangan knalpot kendaraan bermotor.4,5
Toksisitas Pb
Keracunan akibat kontaminasi Pb bisa menimbulkan berbagai macam hal diantaranya:
1. Menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb).4
2. Meningkatnya kadar asam -aminolevulinat dehidratase (ALAD) dan kadar
protoporphin dalam sel darah merah.4
3. Memperpendek umur sel darah merah.4
4. Menurunkan jumlah sel darah merah dan retikulosit, serta meningkatkan
kandungan logam Fe dalam plasma darah.4

Kadar Pb (g/ ml)


0 s/d 10

Anak
Penurunan kecerdasan
Gangg.

Dewasa
---

Pertumbuhan
6

tulang
10 s/d 30

Gangg. Metab Vit D

Gangg Sistolik Tek. Darah


Gangg Protoporphyrin eritrosit

30 s/d 50

Gangg. Sintesa Hb

Gangg. SSP
Gangg. Ginjal

50 s/d 100

Anemia

Infertilitas pada pria


Anemia

Gangg. Ginjal

Gangg. Sintesa Hb

Gangg. Otak & SSP


>100

Kematian

Kematian

Manifestasi Klinis
Efek toksik timbal terutama berpengaruh pada saluran pencernaan, darah, dan
sistem persarafan. Pada saluran pencernaan, biasanya terjadi kolik timbal akibat efek
langsung timbal terhadap lapisan otot polos saluran pencernaan. Hal ini menyebabkan
timbulnya rasa kram perut yang menyeluruh terutama di daerah epigastrium dan
periumbilikalis, serta sering disertai mual, muntah, anoreksi, dan konstipasi atau
kadang-kadang diare.5
Intoksikasi timbal juga akan memengaruhi sistem enzim sel darah merah,
sehingga anemia normositik normokrom atau mikrositik hipokrom, dan hemolisis
akut sreingkali terjadi. Enzim-enzim sel darah merah, seperti asam deltaaminolevulinik dehidrase yang dibutuhkan untuk konjugasi asam levulinik menjadi
porfobilinogen, dan ferrokelatase yang berperan menggabungkan Fe ke dalam
protoporfirin

dapat

terganggu

sehingga

memengaruhi

sintesis

menghambat pembentukan Hb dan menyebabkan anemia.5


Gejala meningginya tekanan cairan otak dalam

bentuk

heme

yaitu

iritabilitas,

inkoordinasi, gangguan tidur, rasa nyeri kepala, diorientasi, gangguan mental, ataksia,
sampai kelumpuhan saraf otak, kebutaan, serangan pingsan atau koma merupakan
manifestasi intoksikasi timbal pada susunan saraf pusat. Serangan ini disebut
ensefalopati timbal, yang biasanya merupakan tanda prognosis yang sangat buruk
karena sudah terjadi kerusakan otak yang serius. Selain itu, gangguan motorik seperti
wrist drop dan drop foot sering kali timbul sebagai manifestasi intoksikasi timbal pada
susunan saraf tepi.5

Timbal, bersama aliran darah, dapat melalui plasenta sehingga aborsi spontan
dapat terjadi pada wanita hamil yang terpajan timbal pada masa kehamilan.
Sedangkan pada laki-laki, timbal juga dapat mengurangi kesuburan karena timbal
diduga turut memengaruhi proses spermatogenesis. Manifestasi klinis timbal lainnya
adalah poliatralgia, kegagalan fungsi hati, dan gagal ginjal. Psikosis dapat terjadi
sebagai akibat intoksikasi tetraetil timbal dengan gejala insomnia, euforia, halusinasi,
dan kadang-kadang konvulsi.5
Patofisiologi
Keracunan timbal adalah akumulasi timbal yang berlebihan di dalam darah.
Timbal yang diserap kira-kira 40% dari asap Pb oksida yang dihirup, diabsorbsi ke
saluran pernapasan. Di dalam aliran darah, sebagaian besar Pb diserap dalam bentuk
ikatan dengan eritrosit. Plasma darah berfungsi dalam mendistribusikan Pb dalam
darah ke bagian syaraf, ginjal, hati, kulit dan otot skeletal/rangka. Sebagian besar
dengan keracunan timbal bersifat asimtomatik. Gejala akut keracunan timbal
umumnya tidak nyata sampai kadar timbalnya mencapai 50 g/dl atau lebih. Jumlah
timbal berlebihan diserap dan akan ditimbun di dalam tulang, jaringan lunak dan
darah. Penyerapan oleh jaringan lunak menjadi masalah besar karena dapat
menyebabkan toksisitas sistem saraf pusat (SSP) dan gagal ginjal reversibel. Timbal
dapat mengganggu enzim oksidase dan akibatnya menghambat sistem metabolisme
sel, salah satu di antaranya adalah menghambat sintesis Hb dalam sumsum tulang. Pb
menghambat enzim sulfidril untuk mengikat delta-amnolevulinik acid (ALA) menjadi
porprobilinogen, serta protoforfirin IX menjadi Hb. Hal ini menyebabkan anemia dan
adanya basofilik stipling dari eritrosit yang merupakan ciri khas dari keracunan Pb.5
Klasifikasi
Keracunan akut
Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal akut secara tidak
sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal asetat. Gejala keracunan akut mulai
timbul 30 menit setelah meminum racun. Berat ringannya gejala yang timbul
tergantung pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya senyawa
timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap timbal. Efek adstringen menimbulkan
rasa haus dan rasa logam disertai rasa terbakar pada mulut. Gejala lain yang sering
muncul ialah mual, muntah dengan muntahan yang berwarna putih seperti susu karena
Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Lidah berlapis dan nafas mengeluarkan
bau yang menyengat. Pada gusi terdapat garis biru yang merupakan hasil dekomposisi
8

protein karena bereaksi dengan gas Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna hitam
karena mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi. Sistem syaraf
pusat juga dipengaruhi, dapat ditemukan gejala ringan berupa kebas dan vertigo.
Gejala yang berat mencakup paralisis beberapa kelompok otot sehingga menyebabkan
pergelangan tangan terkulai ( wrist drop ) dan pergelangan kaki terkulai (foot drop).5,6
Keracunan subakut
Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali terpapar racun dalam
dosis kecil, misalnya timbal asetat yang menyebabkan gejala-gejala pada sistem
syaraf yang lebih menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan paralisis flaksid
pada tungkai. Keadaan ini kemudian akan diikuti dengan kejang-kejang dan koma.
Gejala umum meliputi penampilan yag gelisah, lemas dan depresi. Penderita sering
mengalami gangguan sistem pencernaan, pengeluaran urin sangat sedikit, berwarna
merah. Dosis fatal : 20 - 30 gram. Periode fatal : 1-3 hari.5,6
Keracunan kronis
Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi dibandingkan
keracunan akut. Keracunan timbal kronis lebih sering dialami para pekerja yang
terpapar timbal dalam bentuk garam pada berbagai industri, karena itu keracunan ini
dianggap sebagai penyakit industri. seperti penyusun huruf pada percetakan, pengatur
komposisi media cetak, pembuat huruf mesin cetak, pabrik cat yang menggunakan
timbal, petugas pemasang pipa gas. Bahaya dan resiko pekerjaan itu ditandai dengan
TLV 0,15 mikrogram/m3, atau 0,007 mikrogram/m3 bila sebagai aerosol. Keracunan
kronis juga dapat terjadi pada orang yang minum air yang dialirkan melalui pipa
timbal, juga pada orang yang mempunyai kebiasaan menyimpan Ghee (sejenis
makanan di India) dalam bungkusan timbal. Keracunan kronis dapat mempengaruhi
system syaraf dan ginjal, sehingga menyebabkan anemia dan kolik, mempengaruhi
fertilitas, menghambat pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang
dapat muncul kemudian.5,6
Evaluasi Lingkungan Kerja
Evaluasi lingkungan kerja harus dilakukan dilihat dari berbagai kondisi seperti
kondisi fisik, kondisi kimia, kondisi biologi dan kondisi ergonomi.2
Kondisi fisik
Memasang temperatur suhu untuk menjaga suhu ruangan.2
Pengelompokan alat-alat berdasarkan fungsinya.2

Adanya jalan-jalan atau gang yang bisa digunakan sebagai jalan darurat bila terjadi
kecelakaan.2
Tempat kerja harus bersih dengan penerangan yang cukup.2
Penetapan pengukuran kadar bahan-bahan kimia berbahaya dan kondisi fisik di
lingkungan kerja secara berkala.2
Pengkondisian suhu lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif bagi pekerja.2
Kondisi kimia
Memasang sistem ventilasi yang memadai dengan sirkulasi udara yang adekuat.2
Menyediakan tempat penyimpanan yang aman untuk bahan kimia berbahaya. 2
Mengontrol kadar debu di tempat kerja.2
Air untuk mandi dan cuci mata harus cukup tersedia terutama untuk membersihkan
bahan-bahan korosif.2
Bubuk yang tumpah harus diambil dengan alat penghisap vakum.2
Kondisi biologi
Sanitasi lingkungan kerja yang memadai (tempat cuci tangan, ruangan makan).2
Ruang pertolongan pertama yang terletak di lingkungan kerja.2
Terdapat fasilitas kesehatan.2
Ergonomi
Memposisikan pekerja sesuai dengan keahliannya.2
Peralatan disesuaikan dengan ukuran pekerja.2
Menyediakan ruang oksigenasi.2
Tersedianya waktu istirahat yang cukup.2
Penempatan mesin-mesin dan alat-alat industri yang tepat.2
Pada pekerja harus dilengkapi dengan alat pelindung diri, hal ini guna
mencegah terjadinya efek akibat pajanan yang ditimbulkan di tempat kerja. Adapun
alat-alat pelindung diri yang digunakan, yaitu:2,4
Kepala
: Pengikat rambut, penutup rambut, topi dari berbagai bahan
Mata
: Kacamata dari berbagai gelas
Muka
: Perisai muka
Tangan
: Sarung tangan
Kaki
: Sepatu
Pernafasan
: Respirator / masker khusus
Telinga: Sumbat telinga, tutup telinga
Tubuh
: Pakaian kerja dari berbagai bahan
Faktor individu
Faktor individu yang dilihat dalam status kesehatan fisik serta riwayat
alergi, riwayat penyakit dalam keluarga, higene dan alat pelindung diri dalam
bekerja sesuai kebutuhan. Dalam kasus ini diketahui bahwa pasien tidak
memiliki riwayat penyakit sebelumnya, pasien juga tidak memiliki kebiasaan
10

merokok. Pasien tidak menggunakan alat pelindung diri berupa masker dan
sarung tangan pada saat bekerja.
Faktor lain di luar pekerjaan
Mencari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab
penyakit. Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan

penyebab penyakit

misalnya pajanan di rumah atau pekerjaan lain. Dalam keadaan ini pasien
diketahui tidak punya pekerjaan sambilan lain juga tidak terdapat faktor resiko
dalam keluarga maupun lingkungan rumah.
Diagnosis okupasi
Diagnosis okupasi

ditegakkan

bedasarkan

langkah-langkah

di

atas

terutama pajanan yang berhubungan dengan pekerjaan. Diagnosis okupasi dalam


kasus ini dimana pasien laki-laki berusia 35 tahun dengan keluhan lemas,
mengantuk, dan

pusing

terkena penyakit akibat kerja yaitu

intoksikasi

yang

disebabkan timbal.
Upaya Kesehatan yang Baik
Upaya kesehatan yang baik antara lain sebagai berikut:2,6
1. Pekerja yang berkerja menghadapi bahaya harus diperiksa kesehatannya
setiap 6 (enam) bulan sampai setahun sekali sebagai penilaian efek
pekerjaan kepada kesehatan dan juga efektivitas upaya pencegahan
2. Alat-alat harus diperiksa tiap minggu atau tiap bulan untuk menilai
kemungkinan bahaya yang mungkin timbul. Antara lain harus dilakukuan
pengambilan sampel udara dan juga pemeriksaan sampel tersebut di
laboratorium
3. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja harus ditujukan kepada adanya
kemungkinan sakit pernapasan menahun, kelainan ginjal, atau penyakit
sistemik lainnya pada calon pekerja. Siapapun dengan penyakit tersebut
tidak diperkenankan bekerja pada pekerjaan yang mungkin kontak dengan
atau menghirup uap bahan berbahaya yang mungkin menimbulkan efek
yang memperburuk kelainan organ tubuh dimaksud
Pencegahan
Sanitasi lingkungan kerja, terutama kebersihan kantin, dan perilaku makan
yang sehat harus diperhatikan. Untuk proses yang berpotensi menghasilkan debu atau
fume timbal, perlu disediakan alat pelindung pernapasan yang memadai. Menurut
standar OSHA, program pengawasan medis pada pekerja perlu dilaksanakan bila
11

kadar timbal di lingkungan tempat kerja 30 g/m3 untuk lebih dari 30 hari/tahun.
Program ini disertai juga pelaksanaan tindakan berikut:2,5,6
1. Pemantauan biologis (kadar timbal dalam darah) pada masing-masing
pekerja:
a. Dilakukan setiap 6 bulan bila kadar timbal <40 g/dL.
b. Dilakukan setiap 2 bulan bila kadar timbal >40 g/dL, sampai
kadarnya mencapai <40 g/dL dalam 2 kali pemantauan secara
berturut-turut.
c. Bila kadar timbal >40 g/dL dan sudah tidak diperkenankan bekerja di
tempat pajanan maka pemantauan harus dilaksanakan setiap bulan.
2. Pemeriksaan medis
a. Dilakukan setiap tahun bila kadar timbal dalam darah >40 g/dL
b. Dilakukan setelah peninjauan lapangan bila kadar timbal di lingkungan
tempat kerja sama atau kadar timbal dalam darah mencapai >30 g/m3
c. Dilakukan sesegera mungkin bila seseorang pekerja timbul tanda
intoksikasi timbal yang mencurigakan.
3. Tidak diperkenankan bekerja di tempat pajanan
a. Pekerja dengan kadar timbal > 60 g/dL, kecuali kadarnya yang
terakhir masih <40 g/dL.
b. Pekerja dengan kadar timbal >50 g/dL pada pemeriksaan terakhir
selama tiga kali berturut-turut atau lebih dari 6 bulan, kecuali kadarnya
yang terakhir masih <40 g/dL. Pekerja ini baru dapat kembali bekerja
di tempat pajanan bila kadar timbalnya mencapai <40 g/dL dalam
pemeriksaan selama dua kali berturut-turut.
c. Pekerja yang memiliki kecenderungan gejala intoksikasi timbal yang
bertambah berat. Pekerja ini baru dapat kembali bekerja di tempat
pajanan tidak semata-mata bergantung pada kadar timbal di darah,
tetapi juga bergantung pada pertimbangan hasil pemeriksaan medis
yang menyeluruh.
Penatalaksanaan
Non medika mentosa
1. Menjauhkan dari tempat pajanan. Contoh: dipindahkan ke bagian lain atau
diistirahatkan sampai kadar Pb darahnya turun.7
2. Pekerja harus dilengkapi dengan alat pelindung diri, hal ini guna mencegah
terjadinya efek akibat pajanan yang ditimbulkan di tempat kerja.7
3. Berikan edukasi pada pasien.
Medika mentosa
12

Pengobatan awal fase akut intoksikasi Pb ialah secara suportif, dan selanjutnya
harus dicegah pajanan lebih jauh. Serangan kejang diobati dengan diazepam,
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dipertahankan, edema otak diatasi
dengan manitol dan deksametason. Kadar Pb darah harus ditentukan sebelum
pengobatan dengan kelator. Kelator harus diberikan pada pasien dengan gejala
atau pada pasien dengan kadar Pb darah melebihi 0,5 0,6 ppb. Tiga kelator yang
biasa digunakan dalam pengobatan intoksikasi Pb, kalsium disodium edetat
(CaNa2EDTA), dimerkapol dan D-penisilamin. CaNa2EDTA diberikan dengan
dosis 50 -75 mg/kgBB per hari dibagi dalam dua kali pemberian secara IM yang
dalam atau sebagai infus selama 5 hari berturut-turut. Interval pemberian
CaNa2EDTA dengan dimerkapol ialah 4 jam. Terapi dengan CaNa2EDTA tidak
boleh melebihi jumlah dosis 500 mg/kgBB. Dimerkapol dengan dosis 4 mg/kgBB
diberikan secara IM setiap 4 jam selama 48 jam, kemudian setiap 6 jam selama 48
jam berikutnya dan akhirnya setiap 6 12 jam selama 17 hari terakhir.
Penisilamin efektif diberikan secara oral dan dapat ditambahkan dalam rejimen
pengobatan dengan dosis empat kali 250 mg sehari selama 5 hari. Pada terapi
jangka panjang tidak boleh melebihi 40 mg/kgBB per hari.5,7

III.

PENUTUP
Sebagai kesimpulan, Timbal merupakan salah satu jenis logam alamiah

yang tersedia dalam bentuk biji logam. Peningkatan aktivitas manusia, seperti
pertambangan, peleburan dan penggunaan dalam bahan bakar minyak

telah

menyebabkan timbal menyebar di lingkungan. Keracunan timbal merupakan salah


satu masalah lingkungan di dunia yang bisa merusak kesehatan manusia. Timbal
(Pb) dapat masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan, minuman, udara, air, serta
debu yang tercemar Pb. Timbal adalah logam yang yang dapat merusak sistem syaraf jika
terakumulasi dalam jaringan halus dan tulang untuk waktu yang lama. Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan dapat berupa pemberian kalsium disodium edetat (CaNa2EDTA),
dan pencegahan berupa menjauhkan dari pajanan serta menggunakan alat pelindung diri

13

Daftar Pustaka
1. Agustina, H. Pengelolaan dan pengendalian limbah B3. Bogor: Departemen FMIPA
Biologi IPB; 2006.h. 4-6, 27-9.
2. Harrianto R. Buku ajar kesehatan kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008.h.72-77.
3. Sulistomo A. Diagnosis penyakit akibat kerja dan sistem rujukan. Cermin Dunia
Kedokteran No. 136, 2002. Hal 1-3.
4. Anonimus. 2009. Pencemaran Pb (Timbal). Diunduh dari:
http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-pengendalian/subid-pemantauanpencemaran/168-pencemaran-pb-timbal?start=3, 18 Oktober 2014.
5. Mitchell, Kumar, Abbas. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2006.h 255-8.
6. Rifai, Admal. November 2012. Analisa kadar timah hitam (Pb) dalam darah
karyawan pabrik baterai. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34378/4/Chapter%20II.pdf, 18
Oktober 2014.
7. Wiria M S. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan penerbit FKUI;
2011.h 843-4.

14

Anda mungkin juga menyukai