Anda di halaman 1dari 21

PERSPEKTIF MODEL AGRO-BASED CLUSTER MENUJU

PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI1


Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.2
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Permasalahan
Perkembangan dunia yang terjadi belakangan ini mengarah kepada era
globalisasi dan perdagangan bebas menyebabkan perubahan yang cepat dan
memberikan pengaruh luas dalam perekonomian nasional maupun internasional yang
berdampak pada semakin ketatnya persaingan terutama di sektor industri. Agar sektor
industri dapat bertahan dan berkembang dalam situasi persaingan saat ini maka perlu
memiliki daya saing yang tinggi yaitu daya saing karena struktur yang kuat, peningkatan
nilai tambah dan produktivitas di sepanjang rantai nilai produksi yang tinggi, dan
dukungan sumber daya produktif dalam negeri.
Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2003/2004 terus
mengalami penurunan. Pada tahun 1999 Indonesia menempati peringkat 37, tahun 2000
turun menjadi peringkat 44, tahun 2001 peringkat 49, tahun 2002 peringkat 69, dan tahun
2003 kembali turun menjadi peringkat 72 dimana paling rendah dibandingkan dengan
negarar-negara ASEAN lainnya. Dalam peringkat tahun 2004/2005 posisi Indonesia
berada di urutan 69 dari 104 negara. Definisi daya saing menurut OECD adalah tingkat
kemampuan suatu negara menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan tuntutan
pasar internasional dan bersamaan dengan itu kemampuan menciptakan suatu
kesejahteraan berkelanjutan bagi warganya. Keunggulan daya saing atau dapat disebut
juga sebagai keunggulan kompetitif dapat ditingkatkan dengan peningkatan produktivitas
pada level individu, perusahaan, industri maupun pada level negara. Hal tersebut juga
perlu diimbangi dengan pengembangkan daya saing yang didasarkan pada kemampuan
dalam membaca keunggulan komparatif yang dimiliki.
Sektor industri yang diharapkan menjadi motor penggerak pembangunan
perekonomian nasional adalah sektor yang memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman
yang kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan dan tangguh di pasar
internasional. Industri-industri yang diprioritaskan pengembangannya di masa yang akan
datang menurut Departemen Perindustrian (2006) meliputi: (a) Industri berbasis agro; (b)
Industri alat-alat angkut; dan (c) Industri teknologi informasi. Kelompok industri tersebut
memiliki karakteristik industri berkelanjutan karena lebih mengandalkan pada sumber
daya manusia berpengetahuan dan terampil, sumber daya alam yang terbarukan serta
penguasaan teknologi.
Pertanian merupakan sektor berbasis agro yang telah berperan dalam
perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyediaan
pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan
kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor ini memiliki efek pengganda ke
depan dan ke belakang yang besar melalui keterkaitan input-output-outcome antar
industri, konsumsi, dan investasi baik secara nasional maupun regional karena sektor
pertanian merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh sebagian besar wilayah di
1

Edisi terdahulu makalah ini telah disajikan pada Seminar Meningkatkan Daya Saing Industri Indonesia:
Masalah dan Tantangan dalam rangka Pameran Produksi Indonesia, yang diselenggarakan oleh Departemen
Perindustrian, di Gedung Pusat Niaga Lt. 6 Arena PRJ Kemayoran, Jakarta 8 Agustus 2006.
2
Direktur Akademik Program Pascasarjana Manajemen & Bisnis - Institut Pertanian Bogor (MB-IPB),
Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, serta Direktur Ekonomi dan Lingkungan
Brighten Institute. Penulis berterimakasih pada Ir. Dwi Wahyuniarti P., MSi sebagai Asisten Peneliti di
Brighten Institute.

Indonesia. Pengembangan pertanian yang diharapkan adalah menghasilkan agro-based


commodity yang berdaya saing. Pengembangan produk resource-based yang memiliki
nilai tambah yang tinggi masih terbatas dimana ekspor pada umumnya terdiri dari produk
primer dan intermediet. Rendahnya tingkat produksi ditambah dengan supply yang tidak
konsisten menghasilkan banyak perusahaan agro-based yang beroperasi dibawah
kapasitas dan daya saing produk yang rendah. Oleh karena itu perlu adanya penguatan
dalam keterkaitan intra dan inter-sektoral terutama dengan dukungan sektor hilir.
Kesadaran akan perkembangan lingkungan baik tingkat domestik maupun global
membutuhkan inovasi dan efisiensi bagi keberlanjutan pembangunan sektor agro-based.
Tanggapan terhadap perubahan-perubahan tersebut dilakukan pemerintah
dengan mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) pada
tanggal 11 Juni 2005. Program ini merupakan salah satu strategi dalam rangka
pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan daya saing
perekonomian nasional. Upaya ini untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh
stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir dengan menempatkan pertanian
sebagai suatu sistem agribisnis dimana pertanian dipandang dalam arti luas dalam
bentuk aktivitas off-farm dan on-farm. Salah satu model pengembangan industri berbasis
agribisnis yang diharapkan memiliki daya saing adalah model Agro-based Cluster, yang
memperhatikan keterkaitan antara industri hulu, pertanian, industri hilir dan sektor jasa
yang terfokus pada satu atau sekelompok produk tertentu (core product).
1.2. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk membuka paradigma berfikir tentang pengembangan
pertanian sebagai sektor penghela utama perekonomian dengan membangun industri
berbasis pertanian yang didasarkan pada sistem agribisnis dengan model agro-based
cluster.
2. SISTEM AGRIBISNIS DAN AGRO-BASED CLUSTER
2.1. Sistem Agribisnis
Definisi agribisnis menurut Davis and Goldbergh, Sonka and Hudson, Farrel and
Funk (dalam Saragih, 2000) yaitu: Agribusiness included all operations involved in the
manufacture and distribution of farm supplies; production operations on the farm; the
storage, processing and distribution of farm commodities made from them, trading
(wholesaler, retailers), consumer to it, all non farm firms and institution serving them.
Agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis
yang terdiri dari subsistem-subsistem yang terkait satu dengan yang lain. Subsistemsubsistem tersebut adalah subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis usahatani,
subsistem agribisnis hilir termasuk pemasaran serta subsistem jasa penunjang.
Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan
jasa terkait dalam suatu cluster industri yang mencakup empat subsistem. Sebagai suatu
sistem, keempat subsistem agribisnis beserta usaha-usaha di dalamnya harus
berkembang secara simultan dan harmonis.
Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) meliputi semua kegiatan
untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas. Dalam sistem
ini termasuk kegiatan pabrik pupuk, usaha pengadaan bibit unggul, baik untuk tanaman
pangan, tanaman perkebunan, ternak maupun ikan. Juga termasuk pabrik pakan, pabrik
pestisida, serta kegiatan perdagangannya. Subsistem agribisnis usahatani (on-farm
agribusiness) merupakan kegiatan yang selama ini dikenal sebagai kegiatan usahatani.

Lingkupnya adalah kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak, dan nelayan, termasuk
kegiatan perhutanan yang merupakan kegiatan mengelola input-input berupa lahan,
tenaga kerja, modal, teknologi dan manajemen untuk menghasilkan produk pertanian.
Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yang disebut juga dengan
kegiatan agroindustri adalah kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian
sebagai bahan baku. Kemudian subsistem pemasaran serta perdagangan hasil pertanian
dan hasil olahannya untuk menyampaikan output kepada konsumen dalam negeri
maupun luar negeri. Subsistem terakhir adalah subsistem jasa penunjang (supporting
institution) adalah kegiatan jasa yang melayani pertanian. Kegiatan jasa tersebut
diantaranya adalah perbankan, infrastruktur, litbang, pendidikan dan penyuluhan atau
konsultasi, transportasi dan lain sebagainya.

Up-stream
Agribusiness
Pembibitan
Agro-kimia
Agro-otomotif

On-farm
Agribusiness
Tanaman pangan
Tanaman
holtikultura
Tanaman Obatobatan
Perkebunan
Peternakan
Perikanan
Kehutanan

Down-stream
Agribusiness
Intermediate
product
Finished
product
Wholesaler
Retailer
Consumer

Supporting
Institution
Agro-institution
Agro-service

Gambar 1. Prototipe Sistem Agribisnis


Suatu sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertikal
antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem komoditas. Pendekatan dengan
sistem agribisnis akan memperbesar potensi pertanian karena akan memberikan nilai
tambah yang lebih besar bagi produk-produk pertanian dan dapat mendorong
peningkatan efisiensi usaha. Integrasi vertikal dalam agribisnis menyebabkan perolehan
nilai tambah sektor pertanian akan berkait serta saling mempengaruhi dengan nilai
tambah yang dihasilkan oleh sektor industri, perdagangan, dan jasa. Perkembangan
pembangunan agibisnis di Indonesia saat ini masih digerakkan oleh kelimpahan faktor
produksi (factor driven) yaitu sumber daya alam dan tenaga kerja yang tidak terdidik.
Pada sisi teknologi produksi, peningkatan nilai produksi agregat masih bersumber dari
peningkatan jumlah penggunaan sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terdidik.
Sedangkan dari sisi struktur produksi akhir, umumnya masih menghasilkan produk yang

didominasi oleh komoditas primer (agricultural-based economy). Suatu perekonomian


yang hanya mengandalkan keunggulan komparatif yaitu berupa kelimpahan sumber daya
alam dan tenaga kerja tidak terdidik tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dan
menghadapi kompetisi global yang semakin ketat. Selain tidak mampu bersaing, manfaat
ekonomi yang dapat dihasilkan dan dinikmati relatif kecil dibandingkan manfaat yang
dapat diciptakan. Oleh karena itu perlu pembaharuan dalam pembangunan sistem
agribisnis Indonesia menuju tahapan berikutnya.
Pembangunan sistem agribisnis tahap selanjutnya adalah yang digerakkan oleh
kekuatan investasi melalui percepatan pembangunan dan pendalaman industri
pengolahan (agroindustri) serta industri hulu (agrokimia, agro-otomotif, perbenihan) pada
setiap kelompok agribisnis (agribusiness cluster). Pembangunan agribisnis pada tahap ini
akan menghasilkan produk-produk akhir yang didominasi oleh produk yang bersifat padat
modal dan tenaga kerja terdidik sehingga selain nilai tambah yang dinikmati bertambah
besar juga dapat memperluas segmen pasar. Jika tahapan ini berhasil maka
perekonomian Indonesia akan bergeser dari perekonomian berbasis pertanian kepada
perekonomian yang berbasis industri pada agribisnis (agroindustry-based economy).
Pada tahap ketiga pembangunan sistem agribisnis adalah tahap pembangunan
yang didorong oleh inovasi melalui peningkatan kemajuan tekonlogi pada setiap
subsistem dalam kelompok agribisnis yang disertai dengan peningkatan kemampuan
sumberdaya menusia lebih lanjut sehingga dapat menyesuaikan dengan perkembangan
teknologi yang terjadi. Ciri pada tahapan ini adalah produktifitas yang tinggi dari lembagalembaga penelitian dan pengembangan pada setiap subsistem agribisnis. Produk
agribisnis yang dihasilkan akan didominasi oleh produk-produk yang berdasarkan pada
ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik dengan semakin besarnya nilai tambah yang
dapat dinikmati. Jika tahap ketiga ini dapat dicapai maka perekonomian Indonesia akan
beralih dari perekonomian berbasis modal kepada perekonomian yang berbasis pada
teknologi (technology based economy).
2.2. Agro-based Cluster
2.2.1. Latar Belakang Teoritis
Suatu perusahaan merupakan bagian dari struktur rantai dual interconnections
yang menghubungkan konsumen akhir dengan pengumpul bahan baku dalam
konfigurasi bilateral. Hubungan tersebut membentuk suatu rantai supply (supply chain)
yang merupakan suatu sistem yang otonom namun inter-dipenden. Secara lebih luas
rantai supply disebut juga sebagai jaringan supply (supply network) yang merupakan
jaringan keterkaitan antar perusahaan-perusahaan yang memiliki manajemen yang
otonom dan berhubungan secara komersial. Hubungan dalam bentuk jaringan ini
memastikan keterkaitan antara bahan baku dengan konsumen akhir.
Kerjasama dalam jaringan permintaan dan penawaran merupakan suatu sistem
ekonomi dan sosial yang terdiri dari pemain-pemain dengan tujuan internal dan struktur
berbeda yang terkadang menyebabkan konflik sehingga butuh koordinasi dimana
koordinasi merupakan hal yang penting agar kerjasama menghasilkan nilai tambah.
Koordinasi yang dilakukan membutuhkan biaya yang tergantung pada keterlibatan
individu dan kondisi suatu sistem. Setiap individu dapat secara otonom melakukan pilihan
apakah akan bergabung dengan konsekuensi memiliki hak dan kewajiban dalam aturan
umum sistem jaringan tersebut. Pertemuan antara permintaan dan penawaran adalah
salah satu alasan yang dapat mendorong terjadinya suatu kerjasama. Berbagai bentuk
perilaku kerjasama dapat diperlihatkan oleh kasus cluster industri.
Bentuk dari perilaku penentuan lokasi suatu industri ada dua. Pertama, suatu
industri yang memusatkan aktivitasnya di suatu lokasi tertentu dari hulu sampai ke hilir.
Cluster yang terjadi adalah dalam bentuk kawasan industri atau kota industri. Kedua,

suatu aktivitas yang berbeda berada pada lokasi yang berbeda atau disebut juga dengan
spatial cluster. Ada beberapa model dari teori cluster yang menjelaskan pilihan lokasi
yang dilakukan suatu perusahaan.
Model Weber, menekankan pada biaya transportasi sebagai penentu lokasi
optimal. Suatu perusahaan umumnya secara periodik mengalami perubahan pada
supplier input dan pasar outputnya sebagai respon terhadap perubahan harga input dan
harga output di pasar serta biaya transportasi. Oleh karena itu lokasi optimal dari suatu
perusahaan akan selalu berubah. Namun secara aktual suatu perusahaan tidak akan
sering untuk memindahkan lokasinya. Suatu perusahaan akan melakukan relokasi hanya
jika biaya faktor pada lokasi alternatif lebih rendah walau pun jika terjadi peningkatan
pada biaya transportasi.
Model Moses, menyatakan bahwa suatu perusahaan dianggap berada pada
pasar bersaing sempurna. Perusahaan sebagai penerima harga dan pada saat telah
mencapai teknik produksi optimal dan lokasi optimal, perusahaan tidak akan merubah
perilakunya, ceteris paribus.
Model Hotelling, perusahaan pesaing menghasilkan produk dalam tipe yang sama
dan perusahaan-perusahaan tersebut menghadapi kompetisi non harga. Hal ini
mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk berlokasi di tempat yang berdekatan.
Jadi cluster industri dapat terjadi secara alami jika di tidak ada kompetisi harga dalam
pasar.
Suatu lokasi yang secara spesifik memiliki skala ekonomi tertentu disebut dengan
pemusatan ekonomi atau agglomeration economies. Pembentukan pemusatan ini
menurut Marshall adalah karena perusahaan yang berada di dalam cluster akan
mencapai increasing return to scale. Pencapaian skala ekonomi tersebut disebabkan
oleh tiga hal yaitu adanya kemudahan untuk mendapatkan informasi, ketersediaan local
non-traded input, dan kemudahan mendapatkan tenaga kerja.
Porter (1990) mendefinisikan cluster sebagai suatu kelompok perusahaanperusahaan yang terkait dalam aktifitas yang hampir sama dan berhubungan dalam
perekonomian nasional. Porter (1998) selanjutnya mendefinisikan cluster sebagai
konsentrasi secara geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusi yang saling
terkait pada sektor tertentu. Keterkaitan yang terjadi antara perusahaan-perusahaan
tersebut sangat penting dalam menghadapi kompetisi.
Sedangkan Schmitz (1992) mendefinisikan cluster sebagai suatu kelompok
perusahaan-perusahaan dalam suatu sektor yang sama dan saling berdekatan dalam
beroperasi. Cluster adalah gabungan dari perusahaan-perusahaan publik yang saling
melengkapi (di sektor produksi dan jasa), institusi penelitian dan pengembangan privat
dan semi-publik, yang saling terkait oleh pasar tenaga kerja dan/atau input-output
dan/atau keterkaitan teknologi. Lebih lanjut Steiner and Hartmann (1998) berpendapat
bahwa cluster memiliki tingkat kompetisi yang tinggi karena keterkaitan dikontrol oleh
mekanisme pasar dan struktur langsung dari organisasi tunggal.
Elsner (2000) lebih jauh mendefinisikan cluster sebagai suatu kelompok
perusahaan-perusahaan yang terkait secara fungsional baik vertikal maupun horizontal
dimana pendekatan fungsional merupakan bentuk hubungan yang terjadi antara
perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi pendukung suatu cluster, bentuk-bentuk
hubungan tersebut ditemukan di dalam pasar.
Penentuan lokasi suatu perusahaan individual merupakan keputusan yang
didasarkan pada perpaduan dari berbagai faktor yang mempengaruhi seperti biaya
transportasi, harga faktor lokal, kemungkinan produksi dan substitusi, struktur pasar,
kompetisi dan informasi. Suatu perusahaan akan memutuskan apakah akan
menguntungkan untuk berdiri sendiri atau memutuskan untuk berlokasi dekat dengan
perusahaan-perusahaan sejenis.

2.2.2. Agro-based Cluster Model


Pembangunan ekonomi domestik dihadapkan pada tantangan perubahan
ekonomi dunia ke depan. Perubahan pertama adalah adanya liberalisasi perdagangan
dunia yang akan meminimumkan hambatan perdagangan antar negara sehingga
memperluas akses perdagangan untuk produk-produk agribisnis. Hal ini menimbulkan
persaingan ketat antar produsen agribisnis di pasaran internasional. Meningkatkan
keunggulan bersaing adalah salah satu cara utama untuk dapat menang dalam
persaingan.
Kedua, terjadi perubahan yang cepat dalam preferensi konsumen terhadap suatu
barang yang dicerminkan oleh siklus produk yang semakin pendek. Hal tersebut
disebabkan oleh konsumen yang semakin menuntut dan kemajuan teknologi yang
mempermudah munculnya produk substitusi. Siklus produk yang semakin pendek
menuntut produsen dapat menghasilkan produk dengan atribut yang sesuai dengan
keinginan konsumen melalui cara yang cepat dan efisien dalam penyesuaian.
Tantangan berikutnya adalah meningkatnya tuntutan terhadap perlindungan
lingkungan hidup dan penghargaan pada hak asasi manusia. Kesadaran akan
pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan penghargaan pada hak asasi manusia
timbul disebabkan oleh globalisasi dan kemajuan teknologi informasi. Kesadaran global
tercermin dalam preferensi akan produk-produk yang dihasilkan tanpa melanggar hak
asasi manusia dan ramah lingkungan.
A. Cluster Industri
Cote (2002) mendefinisikan cluster industri sebagai kumpulan industri-industri
yang berkompetisi dan bekerjasama dalam satu wilayah jaringan kerja yang memiliki
hubungan vertikal dan horizontal yang melibatkan kesamaan dalam keterkaitan buyersupplier, dan bertumpu pada pendanaan dari lembaga-lembaga khusus. Cluster industri
akan membawa kemakmuran kedalam suatu wilayah dan membawa pada pertumbuhan
ekonomi wilayah. Pendapat lain menyatakan bahwa cluster adalah suatu kelompok
usaha dan lembaga-lembaga pada suatu wilayah geografis yang bertumpu pada sektor
tertentu yang mencakup jaringan organisasi-organisasi dengan tujuan kompetisi dengan
komponen berupa inovasi dan produktifitas ekonomi (Mullai et al., 2003).
Cluster industri juga didefinisikan sebagai suatu satuan sosial-ekonomi yang
dikarakteristikkan sebagai komunitas sosial dari suatu masyarakat dan populasi dari
agen-agen ekonomi pada lokasi yang berdekatan di wilayah geografis tertentu. Di dalam
cluster industri, bagian dari komunitas sosial dan agen-agen ekonomi bekerjasama
dalam aktivitas ekonomi yang saling terkait dalam bentuk persediaan produk, teknologi
dan pengetahuan untuk menghasilkan produk dan pelayanan yang unggul. Cluster
industri tercipta karena adanya gabungan dari kesamaan konsumen, supplier dan
penyedia jasa, infrastruktur seperti transportasi dan komunikasi, kumpulan tenaga kerja
terdidik, fasilitas pendidikan dan pelatihan, pusat penelitian dan teknologi, serta resiko
modal di dalam pasar yang sama.
Cluster industri menurut Richard (2005) adalah suatu kumpulan (aglomerasi)
berdasarkan letak geografis dari beberapa produsen, pembeli, dan supplier yang
beroperasi di dalam satu jenis industri tertentu. Integrasi dari cluster industri dalam rantai
nilai global diperlihatkan oleh gambar berikut.

Global customers
Large-scale, multioutlet retailers

Small-scale retailers

Global buyers
National boundary
Buyer and export
agents
Local customers

Large-scale or multiplant manufacturers

Small-scale
manufacturers

Small-scale
suppliers

Domestic industrial cluster

Gambar 2. Integrasi Cluster Industri di dalam Global Value Chain


Pembentukan cluster industri adalah untuk meningkatkan inovasi melalui
pertukaran pengetahuan yang intensif, menstimulasi inovasi dan proyek-proyek
kerjasama, serta mensinergikan antara permintaan perusahaan dengan kemampuan
lembaga-lembaga. Selain peningkatan inovasi, pembentukan cluster juga untuk
meningkatkan kerjasama antar supplier dan memperkuat posisi industri di dalam jaringan
global. Upaya dalam bentuk public relation dan komunikasi akan meningkatkan daya tarik
dari suatu industri, memudahkan akses terhadap dana pinjaman, serta penyesuaian yang
lebih baik antara kebijakan pemerintah di bidang industri dengan kebutuhan dari suatu
industri.
Kemampuan suatu perekonomian untuk mengatur cluster industri tergantung
pada beberapa hal diantaranya adalah adanya pembangunan ekonomi global;
meningkatnya persaingan antar negara, perusahaan dan produk; permintaan pasar yang
tinggi; keharusan adanya inovasi, penguatan kelembagaan; teknologi baru dan lain
sebagainya. Sedangkan manfaat dari pembentukan cluster industri adalah biaya bahan
baku yang lebih rendah, pembaharuan teknologi, akses terhadap kredit, pertukaran
informasi, kesamaan rencana pemasaran, kemudahan memasuki pasar baru, serta
peningkatan standard dan kualitas.
B. Agribisnis dalam Cluster
Upaya pengembangan agribisnis telah dilakukan oleh pemerintah namun masih
terdapat berbagai kendala terutama dalam menjaga kualitas produk yang memenuhi
standar pasar internasional serta kontinuitas produk sesuai dengan permintaan pasar
maupun untuk mendukung suatu industri hilir dari produksi pertanian.
Pemanfaatan keunggulan komparatif merupakan basis bagi kegiatan
perekonomian yang berkembang dalam bentuk pertanian dalam arti luas (tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan), industri hulu
pertanian (industri pembibitan, industri agro-kimia, industri agro-otomotif), industri hilir

pertanian (agroindustri), dan sektor yang menyediakan jasa baik bagi pertanian maupun
bagi industri hulu dan hilir pertanian. Keempat kelompok kegiatan ekonomi tersebut telah
membentuk cluster-cluster industri agribisnis yang terfokus pada satu atau sekelompok
produk sejenis.
Agro-based cluster adalah suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan
kegiatan agribisnis di suatu lokasi tertentu. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan
efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hilir sampai hulu dalam
produksi suatu komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu
kawasan tersedia subsistem-subsistem agribisnis dari subsistem agribisnis hulu,
subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir yaitu agroindustri, jasa penunjang dan
pemasaran. Pemusatan ini diharapkan dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya
transportasi antar subsistem yang terfokus pada komoditas tertentu.
Mengingat sebagian besar komoditas pertanian Indonesia di ekspor dalam bentuk
produk primer, maka dengan agro-based cluster diharapkan terbangun suatu industri
pengolahan hasil pertanian yang kuat dengan dukungan subsistem-subsistem agribisnis
lain sehingga nilai tambah suatu produk dapat ditingkatkan dan memperkuat daya saing
komoditas ekspor Indonesia sehingga transformasi perekonomian Indonesia dari
agricultural-based economy menjadi agroindustry-based economy secara bertahap dapat
terlaksana.
3. PENDEKATAN PENGEMBANGAN AGRO-BASED CLUSTER
3.1. Malaysia sebagai Benchmark
Pemerintah Malaysia dalam upayanya menghadapi perkembangan di pasar
global melakukan formulasi pada kebijaakan dan strategi perencanaan pembangunan
dengan mempersiapkan rencana jangka panjang dan jangka menengah, program
pembangunan dan anggaran proyek. Rencana ini digunakan sebagai alat untuk
mengawasi dan mengevaluasi pencapaian program pembangunan dan proyek-proyek.
Selain itu juga sebagai masukan bagi pemerintah mengenai permasalahan ekonomi.
Rencana tersebut merupakan tuntunan dalam menentukan arah ekonomi yang
dibutuhkan, sebagai landasan koordinasi dalam program privatisasi. Selain itu juga
sebagai dasar koordinasi dalam pembangunan kawasan pertumbuhan.
Tujuan dari rencana pembangunan tersebut adalah untuk memperlancar dalam
mencapai transformasi perekonomian dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat
dan untuk mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya. Bentuk transformasi
ekonomi yang diharapkan oleh pemerintah Malaysia adalah pergeseran perekonomian
agro-based menjadi industrial-based economy. Proses transformasi ekonomi yang terjadi
dapat terlihat dari kontribusi per sektor terhadap GDP nasional (Lampiran 1). Kontribusi
sektor pertanian dari produk-produk primer terus mengalami penurunan. Saat ini
perekonomian Malaysia didominasi oleh sektor manufaktur dan jasa yang menyumbang
89.5 persen (=31.4 persen + 58.1 persen) dari total GDP yang menunjukkan cukup
berhasilnya transformasi ekonomi yang dilakukan. Transformasi tersebut juga tercermin
dari diversifikasi produk ekspor Malaysia yang pada awalnya didominasi produk-produk
primer (Lampiran 2) dimana pada tahun 1970 produk manufaktur hanya 11.9 persen dari
total ekspor namun pada tahun 2005 produk manufaktur menguasai 80.5 persen dari
pangsa ekspor Malaysia.
Pemicu utama dari transformasi perekonomian Malaysia dari pertanian ke
eksportir produk industri adalah pembentukan cluster industri yang diawali dengan
penentuan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor pada awal tahun 1970-an.
Iklim investasi yang menarik dipersiapkan dengan menyediakan berbagai insentif dalam
bentuk pajak investasi yang menguntungkan, pelatihan dan bantuan dalam penelitian

dan pengembangan serta pendanaan-pendanaan lainnya. Strategi pembangunan dalam


memperbesar cluster industri antara lain dilakukan dengan:

Menggeser value chain dengan mendorong sektor manufaktur ke arah operasi


dengan teknologi tinggi.

Memperdalam supply chain dengan membangun kemampuan perusahaanperusahaan domestik.

Meningkatkan value added melalui akuisisi dan pembangunan teknologi.

Membangun suatu sinergi antara pemerintah dan industri.

Memperbesar perusahaan global domestik.


Tabel 1. Posisi Karet Malaysia (Ton), 2000 - 2005*
Sumber: International Rubber Study Group, 2006.

2000

2001

2002

2003

2004

2005*

Production of NR

927,608 882,067 889,832 985,647 1,174,593 1,124,687

Export of NR

977,978 820,854 886,873 945,889 1,106,086 1,127,687

Consumption of NR

363,715 400,888 407,884 420,775

Consumption of SR

95,000

96,000 122,000 123,000

402,462

386,301

139,100 165,200**

Karet alam (Natural Rubber, NR) merupakan salah satu komoditas andalan Malaysia.
Walaupun produksinya sempat menurun pada periode 2000-2002, dalam tiga tahun
selanjutnya produksi maupun ekspor NR Malaysia cenderung semakin meningkat (Tabel
1). Nilai ekspor Malaysia untuk produk-produk karet alam pada tahun 2000 mencapai 5.7
milyar RM (Tabel 2). Nilai terbesar adalah pada produk lateks. Nilai ekspor menurut
produk menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun dimana pada tahun 2003
mencapai 6.3 milyar RM. Nilai ekspor produk-produk karet Malaysia pada tahun 2005
mencapai nilai 8.5 milyar RM, dimana merupakan pencapaian tertinggi dari industri
produk karet. Tujuan ekspor produk karet Malaysia ke lebih dari 160 negara. Amerika
Serikat merupakan pasar terbesar dari produk karet Malaysia, mencapai 30 persen dari
total ekspor. Negara importir lain adalah Jepang dan Jerman dengan pangsa pasar
sebesar 7 persen dan 6.4 persen.
Tabel 2. Produk Ekspor Karet Malaysia (Juta RM), 2000 - 2005
2000
Tyres
Inner Tubes
Footwear
Latex Goods

2001

2002

2003

2004

2005*

243.6

249.7

261.4

310.5

458.0

501.8

13.6

15.6

17.3

15.8

23.2

26.5

313.5

288.2

303.1

460.2

862.3

469.7

4,480.8 4,272.2 4,361.2 4,841.2 5,832.2 6,309.3

Industrial Rubber Goods

152.9

136.2

146.0

153.5

275.2

547.2

General Rubber Goods

484.0

488.4

459.5

547.4

568.5

690.0

Grand Total

5,688.4 5,450.3 5,548.5 6,328.6 8,019.4 8,544.5

Sumber: DOS, Malaysia

Malaysia merupakan salah satu produsen utama dari produk karet alam. Khusus
adalah untuk produk sarung tangan karet, ekspornya dapat memenuhi 49 persen dari

permintaan sarung tangan karet dunia. Sarung tangan ini biasanya digunakan untuk
keperluan medis dan fasilitas pelayanan kesehatan, industri makanan, penata rambut
dan perkebunan. Malaysia juga merupakan produsen utama kateter dan produk-produk
lateks. Berbagai produk yang dihasilkan oleh industri karet alam di Malaysia diperlihatkan
pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Nilai ekspor Produk Karet Alam Malaysia Berdasarkan Jenis Tahun 2005
Produk Karet Alam
Gloves, other than surgical gloves

Nilai (Juta RM)


3,793.226

Catheters

706.867

Surgical gloves

647.709

Vulcanized rubber thread and cord

574.198

Piping and tubing

277.653

Sheath contraceptives

216.722

Procured tread of non-cellular rubber

115.780

Cellular rubber lined with textile fabric on one side

55.219

Belting

33.686

Balloons

32.260

Wire, cable and other electrical conductors

24.942

Finger stalls

9.513

Teats & soothers

9.296

Pipe seal rings of unhardened vulcanized rubber

3.429

Keunggulan dalam ketersediaan bahan baku, kestabilan di dalam negeri,


infrastruktur yang baik dengan didukung oleh pusat-pusat penelitian maka Malaysia
melalui penelitian dan pengembangan lebih lanjut berupaya untuk menjadi pemain utama
dalam memenuhi permintaan produk karet yang beragam. Industri karet alam yang
dibangun dari hilir sampai ke hulu menjadikan karet alam sebagai agro-based industri
yang berpusat di daerah-daerah penghasil karet.
A. Financial Services Cluster Labuan IOFC
Berbagai bentuk industri cluster telah dikembangkan di Malaysia. Salah satunya
adalah Financial Services Cluster Labuan IOFC yang terdiri dari 5,152 perusahaan
offshore dari 93 negara dimana LOFSA berperan sebagai lembaga pelayanan satu atap.
Labuan di promosikan sebagai IOFC yang unik dengan spesialisasi pada pendanaan
produk dan pelayanan pendanaan secara Islami. Upaya yang dilakukan diantaranya
adalah dengan memperkuat perundang-undangan dan petunjuk pelaksanaan.
Meningkatkan kompetisi untuk menjaga daya tarik, selain itu juga menawarkan insentif
untuk menarik perusahaan-perusahan luar yang kuat yang memiliki hubungan dengan
pasar global.
B. Palm Oil Industrial Cluster (POIC)
Lahat Datu POIC adalah suatu cluster industri yang didirikan untuk memberikan
nilai tambah kepada industri minyal sawit, menciptakan lapangan pekerjaan, dan
kesempatan usaha. Dirancang sebagai suatu cluster industri minyak sawit dan pusat

10

logistik bagi ASEAN timur. Lokasi ini dilengkapi dengan infrastruktur fisik yang memadai
untuk menarik investasi swasta pada industri up-stream dan down-stream.
C. Pusat Halal (Halal Hub)
Membangun suatu cluster industri bagi produk halal untuk menangkap pangsa
dari potensi pasar dunia produk halal. Keunggulannya adalah dimilikinya sistem
sertifikasi dan logo halal JAKIM yang kredibel dan dikenal luas, ketersediaan
sumberdaya dan dukungan pemerintah, industri halal yang sudah mapan, adanya
ketentuan-ketentuan insentif serta program-program bagi perbaikan kualitas produk dan
standar, pelatihan, promosi, branding dan akses pasar. Selain itu juga memiliki
International Malaysia Halal Showcase (MIHAS).
3.2. Strategi Pengembangan dan Penerapan Agro-based Cluster
Suatu perusahaan tidak dapat berdiri sendiri melainkan merupakan suatu bagian
dari suatu sistem produksi yang lebih besar yang membentuk rantai nilai tambah. Rantai
nilai tambah (value-added chain) terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan pertama adalah
supplier-supplier dan perusahaan-perusahaan jasa yang memberikan kontribusi dalam
produksi output akhir. Lapisan kedua terdiri dari perusahaan-perusahaan pesaing yang
menghasilkan produk akhir yang sama tetapi juga saling berbagi kebutuhan akan tenaga
ahli, teknologi dan infrastruktur. Lapisan terakhir adalah jasa-jasa berupa pendidikan,
penelitian dan pengembangan guna membangun suatu landasan ekonomi yang kuat.
Identifikasi cluster industri dapat dilakukan dengan membuat suatu peta cluster
untuk menspesifikasi stakeholder utama dalam cluster tersebut. Peta cluster harus dapat
menunjukkan tiga komponen utama sebagai berikut:

Sektor-sektor yang berorientasi ekspor (sektor yang menjual produk ke luar


wilayah cluster)

Sektor-sektor pendukung (sektor yang menjual produk utamanya ke sektor yang


berorientasi ekspor)

Komunitas yang berspesialisasi pada sarana infrastruktur (institusi lokal, aset dan
kemampuan lain untuk mendukung cluster).

Pengembangan model agro-based cluster membutuhkan dukungan dari berbagai


pihak, untuk itu perlu adanya koordinasi yang baik antar pihak yang terkait yang
berkepentingan. Pada tahap awal sebaiknya dilakukan suatu pemetaan komoditas
unggulan di setiap wilayah dan sarana prasaran pendukung yang telah tersedia untuk
mendapatkan gambaran kemungkinan pengembangan lebih lanjut yang prospektif.
Berdasarkan hasil pemetaan tersebut maka dapat diketahui komoditas dan subsistem
yang memiliki potensi di suatu wilayah yang akan menjadi dasar untuk pengembangan
subsistem terkait lainya. Pemetaan yang dilakukan untuk identifikasi tersebut menjadi
dasar arah dalam pengembangan agro-based cluster. Informasi-informasi yang
didapatkan kemudian digunakan untuk menyempurnakan sarana dan prasarana di
kawasan terpilih dan juga dukungan dalam hal kebijakan pemerintah daerah setempat
yang diharapkan tidak menghambat perkembangan cluster.
3.2.1. Kasus Jepang
Cluster ekonomi di Jepang memiliki karakteristik berupa tingkat perbedaan dalam
industri yang tinggi. Cluster tidak hanya terdiri dari satu industri tetapi terdiri dari banyak
industri manufaktur, dan perusahaan-perusahaan tersebut berkelompok pada suatu

11

wilayah untuk membentuk zona ekonomi heterogen. Proses pembentukan suatu cluster
diperlihatkan oleh bagan pada Lampiran 4.
Cluster industri di Jepang berlokasi pada tiga tempat yaitu Tokyo, Kanagawa, dan
Saitama. Ketiga kota tersebut merupakan cluster industri produk-produk elektronik, mesin
dan transportasi. Selain itu juga ada di Kobe yaitu proyek industri medis, bioteknologi
yang menghasilkan produk obat-obatan. Kemudian ada Kinki biocluster yang berisikan
perusahaan-perusahaan farmasi, kimia, pangan, dan tekstil.
3.2.2. Kasus Italia
Cluster industri di Italia dibangun secara bertahap, dalam tiga tahapan utama.
Tahapan pertama adalah dalam memulai suatu cluster diawali dengan jumlah pemain
yang dibatasi hanya pada pemain utama saja. Pembentukan cluster dalam hal ini diawali
dengan kerjasama yang memberikan hasil cepat.
Tahapan kedua adalah menyebarkan jaringan dan melibatkan lebih banyak
pemain dari industri-industri utama dan industri-industri terkait lainnya. Suatu cluster
terbuka bagi setiap anggota baru yang memenuhi kriteria, menerima aturan dan
membayar biaya yang telah ditetapkan. Pada tahapan terakhir, mulai dibangun suatu
hubungan dengan kawasan industri lain untuk membangun jaringan internasional.
3.2.3. Kasus Albania
Cluster industri yang diandalkan di Albania adalah industri
tekstil yang
menghasilkan pangsa terbesar dari total ekspor, tetapi secara absolut masih rendah.
Industri ini merupakan industri yang secara tradisional sudah terbangun dengan baik.
Akses pasar dari industri tekstil Albania adalah ke pasar negara-negara Uni Eropa.
Perusahaan-perusahaan tersebut secara geografis berlokasi pada pusat kota Albania.
Struktur produksinya terdiri dari pemrosesan produk impor setengah jadi dan
mengekspornya kembali.
Pemain-pemain dalam cluster industri tekstil terdiri dari pebisnis utama yang
terdiri dari 298 perusahaan yang beroperasi di dalam industri tekstil. Kemudian ada
pebisnis pendukung yang terdiri dari supplier peralatan, suplier input intermediet dan
primer, perusahaan-perusahaan jasa perbankkan, pelayanan hukum, dan perancangan.
Pendukung lain berupa soft infrastructure yang terdiri dari sekolah dan universitas
setempat, lembaga penelitian dan laboratorium, assosiasi komersial lokal, agen
pembangunan, hubungan legislasi. Terakhir adalah hard infrastructure yang mencakup
jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan.
Kendala yang dihadapi dalam cluster industri tekstil di Albania adalah: (1) pemainpemain memiliki keterkaitan beroperasi yang relatif terpisah; (2) kurangnya keterkaitan
antara supplier dan pembeli lokal; (3) faktor produksi dialokasikan pada tipe produksi
outward processing; (4) aktifitas utama adalah re-ekspor, konsekuensinya mengabaikan
permintaan domestik; (5) kurangnya pemasaran dan rancangan strategi menyebabkan
tidak mungkinya beroperasi pada tingkat nilai tambah yang lebih tinggi; dan (6) tidak
adanya integrasi vertikal.
Peran pemerintah dalam cluster industri adalah:

Menfasilitasi kerjasama antara institusi pemerintah, NGO, pihak swasta, dll;

Mengijinkan sektor swasta mengambil inisiatif dalam pembangunan cluster;

Mengutamakan sumber daya;

12

Memfasilitasi kerjasama antara individu atau kelompok perusahaan dengan pihak


berwenang;

Mengevaluasi kesempatan dalam pembangunan struktur bisnis penunjang.


Peran dari pelayanan publik dalam cluster industri adalah:

Menyediakan informasi tentang kondisi pasar, kecenderungan, kesempatan, dll;

Konsultasi;

Menyediakan penelitian, analisis, dukungan teknis, dll; dan

Menyediakan jaringan yang efisien antar pemain-pemain kunci.

3.2.4. Kasus Taiwan


Cluster industri di Taiwan dikenal sebagai mekanisme penting dalam membangun
industri skala kecil dan menengah (SMEs). Di dalam cluster tersebut, SMEs
mendapatkan pengetahuan tentang pemasaran, teknologi, dan pelaksanaan bisnis.
Cluster industri dapat mengurangi biaya transaksi, meningkatkat daya saing dan efisiensi
produksi. Industri yang menjadi andalan Taiwan adalah industri berbasis IT. Industri
tersebut umumnya menghasilkan produk-produk elektronik. Salah satu cluster industri
yang berkembang di Taiwan adalah Hsinchu Science Park yang didirikan pada tahun
1997 yang menarik 127 perusahaan dengan total investasi yang disetujui mencapai 40
triliun USD.
Kebijakan yang mendukung pembangunan cluster secara grafis diperlihatkan oleh
bagan berikut:

Gambar 3. Bagan Kebijakan Cluster Industri


1. Kebijakan dalam membangun taman ilmu pengetahuan adalah:

13

Penyediaan lahan yang sesuai;

Infrastruktur dan fasilitas

Pengurangan pajak dan pendanaan R&D;

Pelayanan satu pintu.

2. Keterkaitan antara industri, universitas, dan lembaga penelitian

Pusat kerjasama Industri-Universitas menyediakan kesempatan badi perusahaanperusahaan untuk melakukan penelitian bersama universitas dan menawarkan
pelayanan konsultasi di bidang telnologi;

Pusat transfer teknologi mempunyai kewajiban untuk mentransfer hasil-hasil


penelitian dari universitas kepada industri.

3. Kerjasama antar SMEs untuk membangun jaringan usaha yang mapan.

Dengan melakukan pertemuan-pertemuan antar SMEs

Mendorong cluster industri regional dalam mendukung pembangunan ekonomi


setempat

4. Kebijakan inkubator usaha

Terdapat 88 inkubator di Taiwan

Kebanyakan inkubator di Taiwan adalah inkubator akademis yang berlokasi di


universitas-universitas. Inkubator ini berperan penting dalam kerjasama antara
universitas dengan dunia industri, dan bertindak sebagai dasar yang penting
dalam kerjasama antar industri terkait dengan sistem inovasi

Inkubator menyebarkan pengetahuan dan teknologi dari akademisi kepada SMEs,


mengembangkan inovasi di dalam cluster dan membantu SMEs yang inovatif
untuk bergabung dalam cluster

5. Memperkenalkan keterkaitan supply chain kepada SMEs

Peluncuran proyek yang bertujuan untuk membantu SMEs dalam industri


komponen elektronik untuk membangun kapasitas e-commerce dimana terkait
dengan multinasional supply chain

Kebijakan cluster industri yang diadaptasi oleh Taiwan pada dasarnya dalam
bentuk orientasi pasar. Tujuan dari kebijakan ini adalah untul menciptakan mekanisme
pasar yang akan mengarah pada bentul cluster industri. Suatu cluster industri harus
dinamis dan terbuka bagi perusahaan-perusahaan baru. Keterbukaam ini adalah faktor
utama yang menjadi kunci sukses cluster industri di Taiwan. Pemerintah memberikan
dukungan bagi pembangunan cluster industri dengan menyediakan akses kepada
insfrastruktur transportasi, mendukung perusahaan-perusahaan untuk berlokasi di sekitar
cluster dan menciptakan komunikasi yang baik dengan cluster-cluster lainnya.
3.2.5. Strategi Pengembangan Agro-based Cluster Negara-negara Berkembang
Cluster di negara-negara berkembang dapat meningkatkan daya saing melalui
strategi yang pro-aktif. Strategi tersebut berupa inovasi dan pembelajaran. Dalam
pengembangan cluster industri, termasuk industri agro, diperlukan suatu kondisi
kerangka kerja yang mendukung, sumberdaya dan kesanggupan, serta hubungan bisnis
global (Lampiran 5). Secara umum, ada tiga hal yang dibutuhkan, yaitu (1) kebutuhan
dasar yang harus ada, (2) sumberdaya, pelayanan dan industri pendukung, dan (3)
sistem pendukung hubungan global. Masing-masing hal itu diuraikan sebagai berikut.
1. Kebutuhan dasar yang harus ada:

14

Kualitas dan stabilitas sistem politik

Sistem hukum yang dapat diandalkan dan efisien

Makroekonomi yang stabil

Kebijakan-kebijakan perdagangan, investasi dan persaingan

Sistem pajak dan regulasi usaha

2. Sumberdaya, pelayanan, dan institusi pendukung:

Kegunaan, infastruktur dan logistik

Sumber daya manusia dan pendidikan/ pelatihan

Pengembangan teknologi dan penelitian

Pelayanan kewirausahaan dan pengembangan usaha

Sumberdaya dan institusi pembiayaan

Informasi pasar dan industri

Standard produk dan lingkungan serta institusi pendukung

3. Sistem pendukung hubungan global:

Menarik investasi luar negeri

Promosi ekspor

Membangun kerjasama dengan pembeli global

Mengadaptasi teknologi-teknologi baru

Dalam penerapan strategi-strategi tersebut dihadapkan pada beberapa masalah


yang penting untuk diperhatikan diantaranya yaitu perubahan terus-menerus yang terjadi
pada tingkat global; banyaknya jumlah cluster dalam jenis-jenis industri yang berbeda;
institusi pendukung yang tidak dapat menanggapi dan memenuhi kebutuhan suatu
cluster; tidak terpenuhinya kebutuhan dasar suatu cluster; banyaknya jumlah departemen
dan institusi yang terlibat; dan kurangnya kepercayaan antara pemerintah, sektor swasta,
dan institusi pendukung.
Strategi pengembangan hendaknya didasarkan pada pandangan jangka panjang.
Kerangka strategi dan kebijakan ditujukan pada pengembangan daya saing dan inovasi
cluster di dalam semua jenis industri. Strategi harus dibuat fleksibel, berorientasi pada
tindakan langsung dan dengan pendekatan eksperimental dimana dilakukan penilaian
dan pengamatan hasil secara terus menerus. Implementasi strategi hendaknya dilakukan
melalui inisiatif dan kerjasama publik-privat sektor.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Pertanian merupakan sektor berbasis agro yang telah berperan dalam
perekonomian nasional. Pengembangan produk resource-based yang memiliki nilai
tambah yang tinggi masih terbatas dimana ekspor pada umumnya terdiri dari produk
primer dan intermediet. Sektor industri yang diharapkan menjadi motor penggerak
pembangunan perekonomian nasional adalah sektor yang memiliki struktur keterkaitan
dan kedalaman yang kuat serta memiliki daya saing yang berkelanjutan dan tangguh di
pasar internasional. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) pada

15

tanggal 11 Juni 2005. Program ini merupakan salah satu strategi dalam rangka
pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan daya saing
perekonomian nasional. Salah satu model pengembangan industri berbasis agribisnis
yang diharapkan memiliki daya saing
adalah model Agro-based Cluster, yang
memperhatikan keterkaitan antara industri hulu, pertanian, industri hilir dan sektor jasa
yang terfokus pada satu atau sekelompok produk tertentu (core product).
Agro-based cluster adalah suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan
kegiatan agribisnis di suatu lokasi tertentu. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan
efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hilir sampai hulu dalam
produksi suatu komoditi. Bentuk pemusatan yang dilakukan adalah dimana dalam suatu
kawasan tersedia subsistem-subsistem agribisnis dari subsistem agribisnis hulu,
subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir yaitu agroindustri, jasa penunjang dan
pemasaran. Pemusatan ini diharapkan dapat mengurangi biaya-biaya terutama biaya
transportasi antar subsistem yang terfokus pada komoditas tertentu.
Pengembangan cluster industri diberbagai sektor sudah banyak dilakukan oleh
beberapa negara. Pengembangan industri dalam bentuk cluster memberikan manfaat
dalam bentuk mengurangi biaya transaksi, pengembangan teknokogi, kemudahaan
akses pendanaan, kemudahan mendapatkan informasi, kemudahan dalam memasuki
pasar, meningkatkan standar dan kualitas, dan lain sebagainya. Strategi-strategi yang
diterapkan dalam pengembangan cluster industri umumnya memiliki kesamaan. Dimana
dalam pengembangan cluster industri diperlukan suatu kondisi kerangka kerja dasar
yang mendukung, sumberdaya dan kesanggupan, serta hubungan bisnis global. Strategistrategi tersebut kemudian dikembangkan dengan memperhatikan kendala-kendala yang
ada.
4.2. Saran
Penerapan dan pengembangan cluster industri di Indonesia sudah mulai
dilakukan. Beberapa hal yang dapat disarankan bagi keberhasilan pengembangan
cluster industri secara umum dan cluster berbasis pertanian (agrobased cluster) di
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar dari cluster industri harus dilakukan, antara lain:

Stabilitas sistem politik dalam negeri yang terjaga terkait dengan keamanan
berusaha.

Kepastian hukum yaitu terjaminnya penyelenggaraan proses hukum yang efisien


dan dapat dipercaya.

Menjaga stabilitas perekonomian makro (tingkat suku bunga dan nilai tukar mata
uang yang stabil).

Perbaikan kebijakan-kebijakan perdagangan, perpajakan, dan investasi agar lebih


efisien dan tepat sasaran dalam mengembangkan dunia usaha.

2. Penentuan jenis industri yang akan dikembangkan di dalam cluster dengan melihat
sumberdaya yang dimiliki oleh suatu daerah berdasarkan pemetaan dan identifikasi
keunggulan komparatif dan kompetitif.
3. Penyediaan sarana pendukung dengan pembangunan infrastruktur transportasi,
komunikasi, pendanaan sesuai dengan jenis cluster yang akan dikembangkan.
4. Kebijakan berupa insentif dalam perpajakan dan pengurusan perijinan.
5. Pembentukan pelayanan satu atap dalam hal perijinan, perpajakan, dan lain
sebagainya agar efisien dan mengurangi biaya.

16

6. Pembentukan suatu lembaga yang khusus untuk mengatur dan memperlancar


koordinasi lintas departemen dan lembaga, menangkap kebutuhan pengusaha dan
menerjemahkannya kepada lembaga terkait.
7. Mengembangkan penelitian dengan memberikan insentif memadai kepada lembagalembaga penelitian yang tentunya melibatkan akademisi.
DAFTAR PUSTAKA
Carvajal, C.A. and C. Watanabe. 2003. Lessons from Japans Clustering BehaviorEngines of the Emerging Economies in Asia: Dynamics of Manufacturing Sectors
in Japan. Tokyo Institute of Technology, Tokyo.
Chen, R.L. 2005. Creating a Favorable Environtment for SMEs Industrial Clustering.
Ministry of Economic Affairs, Chinese Taipei.
Cote, R.P. 2002. Eco-industrial Networking: A Typology with Examples. Dalhouse
University and Eco-efficiency Centre Halifax, Nova Scotia.
Husin, A.R. 2006. Malaysias Economic Development with Emphasis on Public-Private
Collaboration. Directoral General Economic Planning Unit Malaysia, Kuala
Lumpur.
International Rubber Study Group
http://www.rubberstudy.com.

(IRSG).

2006.

Posisi

Karet

Alam

Dunia.

Lembaga Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2006. Revitalisasi


Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. http://www.litbang.deptan.go.id.
McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press, New York.
Mullai, N., J. Menkulasi and P. Kastrati. FDI and In-Country Business Alliances: Case of
Albania. Ministry Of Economy, Albania.
Porter, M. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New York.
Porter, M. 1998. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business
Review, Nov-Dec. pp(77-90).
Richard, F. 2005. Strategic Industrial Governance for Enhancing Competitiveness and
Inovation in the New Global Setting. National Industrial Strategy for Enhancing
Competitiveness and Diversification First Steering Committee Meeting. Riyadh.
Saragih, B. 2001. Suara dari Bogor: Membangun Sistem Agribisnis. Usese Sucofindo,
Bogor.
Schmitz, H. 1992. On Clustering of Small Firms. IDS Bulletin, vol. 23, No.3, July.
Syahrani, H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dala Pembangunan Ekonomi
Daerah. Frontier, No.33, Maret.
Uzor, O. 2004. Small and Medium Scale Enterpries Cluster Development in SouthEastern Region of Nigeria. The Institute for World Economics and International
Management. University of Bremen, Bremen.

17

Lampiran 1. Transformasi Agro-based Economy ke Industrial-based Economy Malaysia

(GDP in RM billion at 1987 prices / Percentage to Total in italics)

RM billion

300

250
200
150

43.1 %

46.8 %

37.5 %

17.2 %

24.6 %

26.7 %

21.0 %

16.3 %

12.2 %

58.1%

31.9 %

30.8 %

31.4 %

8.9 %

8.7 %

8.2%

53.9 %

100
50

57.6 %

1970
Agriculture

1980
1990
2000
Construction
Manufacturing

2003
Mining

2005
Services

Sumber: Husin (2006).


Lampiran 2. Diversifikasi Ekspor Malaysia

18

Sumber: Husin (2006).

Lampiran 3. Persetujuan Proyek Investasi Manufaktur di Malaysia, 2001-2005


Industry
Resource-Based
Food Manufacturing
Beverages and Tobacco
Wood & Wood Products
Furniture and Fixtures
Paper, Printing and Publishing
Chemical and Chemical Products
Petroleum Products
Natural Gas
Rubber Products
Plastic Products
Non-Metallic Mineral Products
Non-Resource-Based
Textiles and Textile Products
Leather and Leather Products
Basic Metal Industry
Fabricated Metal Products
Machinery Manufacturing
Electronics and Electrical Products
Transport Equipment
Scientific and Measuring Equipment
Others
Total

Capital Investment (RM million)


Number
Domestic
Foreign
1,948
25,612 (46.2)
23,903 (31.0)
369
3,469 ( 6.3)
2,303 ( 3.0)
26
142 ( 0.3)
470 ( 0.6)
193
2,267( 4.1)
943 ( 1.2)
233
1,363 ( 2.5)
297 ( 0.4)
123
6,418 (11.6)
4,850 ( 6.3)
288
5,004 ( 9.0)
3,025 ( 3.9)
61
1,787 ( 3.2)
6,289 ( 8.2)
2
50 ( 0.1)
0 ( 0.0)
144
1,442( 2.6)
963 ( 1.2)
358
2,050( 3.7)
1,760 ( 2.3)
151
1,620( 2.9)
3,005 ( 3.9)
2,771
29,303 (52.8)
53,068 (68.8)
178
1,171 ( 2.1)
947 ( 1.2)
12
57 ( 0.1)
17 ( 0.0)
163
9,308(16.8)
5,502( 7.1)
487
2,059( 3.7)
2,177 ( 2.8)
443
1,961 ( 3.5)
1,535 ( 2.0)
1,051
8,084(14.6)
35,290 (45.7)
353
6,157(11.1)
5,388( 7.0)
84
506( 0.9)
2,212( 2.9)
93
559( 1.0)
181 ( 0.2)
4,812
55,474
77,152

Total
49,516 (37.3)
5,772 ( 4.4)
612 ( 0.5)
3,210 ( 2.4)
1,659 ( 1.3)
11,268 ( 8.5)
8,029( 6.1)
8,076( 6.1)
50 ( 0.0)
2,405( 1.8)
3,810( 2.9)
4,625( 3.5)
82,371(62.1)
2,117( 1.6)
74 ( 0.1)
14,810 (11.2)
4,236 ( 3.2)
3,496 ( 2.6)
43,374 (32.7)
11,545 ( 8.7)
2,718 ( 2.0)
740 ( 0.6)
132,626

Sumber: Husin (2006).


Lampiran 4. Proses Pembentukan Cluster di Jepang

19

Sumber: Carvajal and Watanabe (2004).


Lampiran 5. Sistem Strategi Pengembangan Cluster Industri

20

Sumber: Richard (2005).

21

Anda mungkin juga menyukai