Anda di halaman 1dari 10

KEBIJAKAN PENDIDIKAN PADA MASA ORDE LAMA

Posted on Desember 8, 2012 by sditpuicibitung


KEBIJAKAN PENDIDIKAN PADA MASA ORDE LAMA
Dosen pembimbing : Prof. Didin Saefudin Bukhoro M.A

Di susun oleh :
Malik rahman
Much fajar
M hanafi AR
Mulyanti
Nuraeni

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat
manusia yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan
dengan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor atau diekspor. Ia harus

diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang
memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintah. Kebijakan-kebijakan
pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, awal dan
pasca kemerdekaan, hingga masuknya Orde Baru terkesan menganak tirikan
pendidikan Islam karena sebuah alasan Indonesia bukan negara Islam. Namun
berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya
berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan dapat diredam untuk sebuah
tujuan ideal yang tertera di dalam UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003,
yaitu: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari segi sejarahnya, pendidikan Islam sudah mulai dikenal sejak kedatangan
Islam ke Indonesia. Pendidikan ini memakai sistem sorogan atau perorangan dan
berlangsung secara sangat sederhana serta tidak mengenal strata atau tingkatan
seperti pendidikan pesantren, dan kemudian berkembang dengan sistem kelas
seperti dalam pendidikan modern
B. Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan (1945-1965)
Penyelenggaraan pendidikan agama pasca kemerdekaan mendapat perhatian
serius dari pemerintah, baik sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu
dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang
dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember
1945 menyebutkan:
Madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah suatu alat dan pencerdasan
rakyat jelata yang sudah berurat, berakar dalam masyarakat Indonesia pada
umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan
bantuan material dari pemerintah

Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah


menghadapi revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah berbenah terutama
memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital. Dan untuk itu
dibentuklah Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K), dan
dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Kementrian PP dan K pada saat itu
mengeluarkan instruksi umum yang isinya memerintahkan kepada para kepala
sekolah dan guru-guru, yaitu:
1. Mengubarkan bendera merah-putih setiap hari di halaman sekolah.
2. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
3. Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian
Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang.
4. Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang, serta segala ucapan dan istilah yang
berasal dari pemerintah Jepang.
5. Memberi semangat kebangsaan kepada semua muridSelain dari kebijakankebijakan tersebut, tindakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah Indonesia
adalah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat,
sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
2) Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur
dengan undang-undang.
Pada masa Orde Lama ini, ada beberapa peristiwa dalam bidang pendidikan yang
dialami oleh bangsa Indonesia, yaitu:
1. Dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan adalah UUD 1945 dan
falsafah Pancasila.
2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS), di bagian timur Indonesia menganut sistem pendidikan yang
diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.

3. Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUF 1945 dan


menetapkan manifesto politik RI menjadi haluan negara. Di bidang
pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardana..
4. Pada tahun 1965, seusai peristiwa G-30 S/PKI kembali lagi melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
5. Inilah sekilas perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada awal
kemerdekaan dan Orde Lama.
C. Berbagai Kebijakan Pemerintah RI dalam Bidang Pendidikan Islam
Setelah Indonesia merdeka, musuh-musuh Indonesia tidak tinggal diam, bahkan
berusaha menjajah kembali. Pada bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa
memproklamasikan perang jihad fi sabililllah terhadap Belanda atau sekutu.
Fatwa ini memberikan kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam.
Pahlawan perang barati dikategorokan sebagai syahid. Isi fatwa tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
2. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah dan wajib dibela dan
diselamatkan.
3. Musuh-musuh RI pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu
kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
4. Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah jihad fi sabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut sangat besar
sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah bahwa para ulama dan santrisantri dapat mempraktekkan dan mengaplikasikan ajaran jihad fi sabilillah yang
sudah dikaji dan dipelajari selama bertahun-tahun dalam kitab-kitab Fiqh di
pesantren-pesantren dan madrasah. Sehingga ajaran-ajaran tersebut tidak hanya
menjadi materi kajian-kajian ilmiah para ulama dan santri di Indonesia. Dan
dengan keluarnya fatwa ini, secara otomatis mempengaruhi kurikulum yang
diajarkan di pesantren-pesantren. Pesantren yang awalnya hanya mengajarkan
Islam melalui pengajian kitab-kitab kuning, dengan keluarnya fatwa tersebut
mereka mulai menambahkan pelajaran ekstrakurikuler berupa seni bela diri atau

hal-hal lain yang berkaitan dengan bela negara. Dan dapat dipastikan banyak dari
pesantren-pesantren yang mengirimkan santri-santrinya untuk turut serta dalam
mempertahankan negara secara langsung di medan perang.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina
pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan
pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada
Departemen Agama dan Departemen P dan K. Oleh karena itu, maka
dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut
untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun
swasta. Adapun pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen
Agama sendiri.
Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah
pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti
pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendirisendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan
bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR
(Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia
belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana
mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan
agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran
Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari
Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama.
Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran
agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh
Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia
makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof.
Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K,
hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951,

Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652


tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
1. Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama
mulai diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan
umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan
agamanya dimulai pada kelas IV SR.3. Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan
sebanyak dua jam dalam seminggu.4. Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam
satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan
agama ditanggung oleh Departemen Agama.

Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin


oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut
disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai
berikut: Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan
dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat
mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak
pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: Pendidikan agama menjadi
mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai
universitas. Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan
agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya.
Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah
membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam keputusannya di bidang
pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan

kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun
1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar
sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
D. Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong
oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai
respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat
Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai
akibat eksploitasi politik pemerintah Belanda. Langkah pertama diwujudkan
dengan kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial pada waktu itu
untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui bidang pendidikan,
namun tidak banyak membawa hasil, malah berakibat makin menumbuhkan
kesadaran para tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda. Dengan
sendirinya, kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh semangat keislaman dan
rasa nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan era baru di lapangan
pendidikan dan pengajaran. Dan lahirlah perguruan-perguruan nasional yang
ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir menurut istilah pada waktu itu) yang
berkembang pesat sejak awal tahun 1900-an, sekolah-sekolah itu semula memiliki
dua corak, yaitu:
1. Sesuai dengan haluan politik, seperti:
1) Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yodyakarta.
2) Sekolat Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis.
3) Ksatria Institut, yang didirikan oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di
Bandung.
4) Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
2.

Sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam, yaitu:


1) Sekolah-sekolah Serikat Islam.
2) Sekolah-sekolah Muhammadiyah.

3) Sekolah Thowalib di Padang Panjang.


4) Sekolah-sekolah Nahdhatul Ulama.
5) Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI).
6) Sekolah-sekolah Persatuan islam (Persis).
7) Sekolah-sekolah al-Jamiyatul Washliyah.
8) Sekolah-sekolah al-Irsyad.
9) Sekolah-sekolah Normal Islam.
10) dan masih banyak lagi sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi
Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan Indonesia, baik dalam
bentuk Pondok Pesantren maupun madrasah.
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara
instansional Departemen Agama diserahi tanggung jawab dan kewajiban terhadap
pembinaan dan pengembangan pendidikan agama. Lembaga pendidikan agama
ada yang berstatus negeri dan ada yang swasta.
Setelah keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri P dan K, sebagai tindak
lanjutnya adalah penyadiaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan
di sekolah-sekolah umum negeri. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam
itu, maka pada tahun 1950 Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru Agama
Islam (SGAI). Lulusan sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama di
sekolah dasar. Sedangkan untuk guru agama di sekolah menengah, maka didirikan
Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHA). Untuk memenuhi tenaga guru di
SGHA dan tenaga dosen agama Islam di perguruan tinggi umum, maka
Departemen Agama mendirikan PTAIN yang kemudian bernama IAIN.
PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan Septembar 1951 berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950, yang ditanda tangani Presiden RI. Pada
bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh
Departemen Agama berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1957.
tujuannya untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri, untuk menjadi
guru agama pada sekolah lanjutan atas atau menjadi petugas di bidang pendidikan

di lingkungan Departemen Agama. Dan pada bulan Mei 1960 Departemen Agama
menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN al-Jamiah al-Islamiyah alHukumiyyah
E. Beberapa Faktor Kebijakan Pendidikan Islam di Era Orde Lama
Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan
pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa
tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan
kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat
disimpulkan bahwa pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian
terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada
saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan
Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat
pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada
tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR
sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus
ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua
atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran
agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya
sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya
masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun
1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat
lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan
negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K
pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah
dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga
cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut
adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR
pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang
dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya

menyertakan syarat mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa atau orang
tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya. Barulah pada tahun 1966
setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali
siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama
menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia
Selanjutnya, yang paling menentukan perkembangan kependidikan agama
khususnya Islam adalah peran aktif sekolah-sekolah swasta yang berlatar belakang
Islam. Mereka dengan konsisten menjadikan pengajaran agama sebagai pelajaran
wajib yang diajarkan kepada para siswa sejak kelas I SR, meskipun pada waktu
itu pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa pengajaran agama dimulai dari
kelas IV SR.
Dengan banyaknya sekolah-sekolah Islam swasta itu, baik sekolah umum,
madrasah, ataupun pesantren, dunia pendidikan di Indonesia dapat terwarnai
dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka usung. Sehingga mereka dapat
menjadi penyeimbang terhadap sistem pendidikan nasional yang pada saat itu
belum terlalu memperhatikan aspek pendidikan agama.

DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan
Agama, (Jakarta; CV. Darmaga, 1980)
Djumhur, dan H. Danasuprata, Sejarah Pendidikan, (Bandung; Jakarta pen
Cerdas, 1961), cet. Ke-2
Djumhur, I., Sejarah Pendidikan,(Bandung; CV. Ilmu, 1979)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 1996), cet. Ke-2
Nata, Abuddin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; UIN Jakarta
Press, 2006),

Anda mungkin juga menyukai