Di susun oleh :
Malik rahman
Much fajar
M hanafi AR
Mulyanti
Nuraeni
A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat
manusia yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan
dengan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor atau diekspor. Ia harus
diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang
memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintah. Kebijakan-kebijakan
pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, awal dan
pasca kemerdekaan, hingga masuknya Orde Baru terkesan menganak tirikan
pendidikan Islam karena sebuah alasan Indonesia bukan negara Islam. Namun
berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya
berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan dapat diredam untuk sebuah
tujuan ideal yang tertera di dalam UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003,
yaitu: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari segi sejarahnya, pendidikan Islam sudah mulai dikenal sejak kedatangan
Islam ke Indonesia. Pendidikan ini memakai sistem sorogan atau perorangan dan
berlangsung secara sangat sederhana serta tidak mengenal strata atau tingkatan
seperti pendidikan pesantren, dan kemudian berkembang dengan sistem kelas
seperti dalam pendidikan modern
B. Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan (1945-1965)
Penyelenggaraan pendidikan agama pasca kemerdekaan mendapat perhatian
serius dari pemerintah, baik sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu
dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang
dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember
1945 menyebutkan:
Madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah suatu alat dan pencerdasan
rakyat jelata yang sudah berurat, berakar dalam masyarakat Indonesia pada
umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan
bantuan material dari pemerintah
hal-hal lain yang berkaitan dengan bela negara. Dan dapat dipastikan banyak dari
pesantren-pesantren yang mengirimkan santri-santrinya untuk turut serta dalam
mempertahankan negara secara langsung di medan perang.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina
pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan
pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada
Departemen Agama dan Departemen P dan K. Oleh karena itu, maka
dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut
untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun
swasta. Adapun pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen
Agama sendiri.
Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah
pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti
pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendirisendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan
bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR
(Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia
belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana
mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan
agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran
Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari
Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama.
Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran
agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh
Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia
makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof.
Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K,
hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951,
kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun
1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar
sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
D. Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong
oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai
respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat
Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai
akibat eksploitasi politik pemerintah Belanda. Langkah pertama diwujudkan
dengan kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial pada waktu itu
untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui bidang pendidikan,
namun tidak banyak membawa hasil, malah berakibat makin menumbuhkan
kesadaran para tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda. Dengan
sendirinya, kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh semangat keislaman dan
rasa nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan era baru di lapangan
pendidikan dan pengajaran. Dan lahirlah perguruan-perguruan nasional yang
ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir menurut istilah pada waktu itu) yang
berkembang pesat sejak awal tahun 1900-an, sekolah-sekolah itu semula memiliki
dua corak, yaitu:
1. Sesuai dengan haluan politik, seperti:
1) Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yodyakarta.
2) Sekolat Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis.
3) Ksatria Institut, yang didirikan oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di
Bandung.
4) Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
2.
di lingkungan Departemen Agama. Dan pada bulan Mei 1960 Departemen Agama
menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN al-Jamiah al-Islamiyah alHukumiyyah
E. Beberapa Faktor Kebijakan Pendidikan Islam di Era Orde Lama
Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan
pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa
tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan
kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat
disimpulkan bahwa pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian
terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada
saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan
Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat
pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada
tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR
sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus
ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua
atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran
agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya
sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya
masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun
1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat
lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan
negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K
pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah
dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga
cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut
adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR
pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang
dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya
menyertakan syarat mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa atau orang
tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya. Barulah pada tahun 1966
setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali
siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama
menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia
Selanjutnya, yang paling menentukan perkembangan kependidikan agama
khususnya Islam adalah peran aktif sekolah-sekolah swasta yang berlatar belakang
Islam. Mereka dengan konsisten menjadikan pengajaran agama sebagai pelajaran
wajib yang diajarkan kepada para siswa sejak kelas I SR, meskipun pada waktu
itu pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa pengajaran agama dimulai dari
kelas IV SR.
Dengan banyaknya sekolah-sekolah Islam swasta itu, baik sekolah umum,
madrasah, ataupun pesantren, dunia pendidikan di Indonesia dapat terwarnai
dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka usung. Sehingga mereka dapat
menjadi penyeimbang terhadap sistem pendidikan nasional yang pada saat itu
belum terlalu memperhatikan aspek pendidikan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan
Agama, (Jakarta; CV. Darmaga, 1980)
Djumhur, dan H. Danasuprata, Sejarah Pendidikan, (Bandung; Jakarta pen
Cerdas, 1961), cet. Ke-2
Djumhur, I., Sejarah Pendidikan,(Bandung; CV. Ilmu, 1979)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 1996), cet. Ke-2
Nata, Abuddin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; UIN Jakarta
Press, 2006),