Anda di halaman 1dari 17

Pasien Trauma Maxillofasialis:

Mengatasi Jalan Nafas yang Sulit


Amir A Krausz1, Imad Abu el-Naaj1 and Michal Barak2*

Abstrak
Membebaskan jalan nafas pada pasien trauma adalah salah satu hal yang mendasar
pada penanganannya. Kerusakan apapun pada jalan nafas dapat menyebabkan
kematian. Trauma maxilofasialis menyebabkan masalah yang kompleks terhadap
jalan nafas pasien. Lebih jelasnya, trauma tersebut dapat merusak jalan nafas pasien
dan hal tersebut harus dijaga. Dalam sebagian besar kasus, pasien trauma
maxilofasialis akan menjalani operasi sama halnya pasien trauma lainnya yang juga
dapat membahayakan hidup, dan membebaskan jalan nafas adalah langkah pertama
pada pengenalan anestesi umum. Pada pasien dengan trauma tersebut, kita
mengantisipasi intubasi endotrakeal yang sulit dan juga kesulitan pada ventilasi
dengan menggunakan sungkup. Selain itu, pasien juga biasanya mengeluhkan rasa
perut yang penuh dan adanya trauma pada tulang servikal yang dapat mempersulit
manajemen jalan nafas lebih jauh. Waktu yang dapat digunakan untuk pembebasan
jalan nafas sangat pendek dan kondisi pasien dapat memburuk dengan sangat cepat.
Baik untuk mengambil keputusan dan dalam tindakan biasanya sulit pada keadaan
seperti ini. Dalam pemahasan ini, kita akan membahas kesulitan dalam situasi
tersebut dan pendekatan dalam perawatan.

Pendahuluan
Prioritas utama dalam penanganan pasien trauma adalah pemeliharaan jalan nafas
dengan kontrol servikal. Ini didasarkan oleh konsep dari Advance Trauma Life
Support

(ATLS) untuk perawatan pasien dengan cedera yang membahayakan

hidup[1]. Menurut konsep tersebut, kerusakan pada jalan nafas dapat mematikan lebih
cepat daripada pasien yang gagal nafas ataupun ada masalah dengan sirkulasi. Maka
dari itu, intervensi untuk penyelamatan sebaiknya dimulai dengan pembebasan jalan
nafas saat dibutuhkan

[1,2]

. Tentu, masalah pada penanganan jalan nafas dapat

menyebabkan kematian pada pembedahan pada umumnya

[3,4]

begitu juga dengan

pasien trauma [5].


Pembebasan jalan nafas tidak terbatas pada fase awal dari triase atau pada resusitasi
pasien, Morbiditas dan mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit sering
disebabkan dari kesalahan perawatan yang kritis. Kesalahan perawatan yang paling
sering terjadi berhubungan dengan perawatan jalan nafas dan respirasi

[5,6].

Gruen et

al mempelajari 2594 pasien trauma untuk mengidentifikasi pola kesalahan yang


mengkontribusi pada pasien yang dirawat

[6].

Mereka mendapatkan kegagalan dalam

mengintubasi, mengamankan atau menjaga jalan nafas adalah faktor yan paling
sering berhubungan dengan mortalitas pasien, hal itu didapatkan pada 16% dari
pasien yan dirawat.
Maxillofasialis dan Trauma Cedera Jalan Nafas
Penanganan yang cepat pada cedera maxillofasial sangat dibutuhan pada saat
diperkirakan atau telah terjadi perdarahan yang sangat banyak yang dapat
membahayakan jalan nafas. Hutchinson et al

[7]

menyebutkan 6 situasi spesifik yang

berkaitan dengan trauma maxilofasialis, yang mana dapat mengganggu jalan nafas:
1. Perpindahan posteroinferior dari maxilla yang fraktur, berpindah secara paralel dari
dasar kranial mungkin menghalangi jalan nafas nasofaringeal.
2. Fraktur bilateral dari anterior mandibula yang dapat menyebabkan tulang simfisis
yang patah berpindah ke posterior bersama dengan lidah yang menempel melalui
insersi anterior. Pada pasien dengan cedera supine, dasar dari lidah dapat jatuh ke
belakang, dan akhirnya menutup orofaring.

3. Gigi yang patah atau lepas, patahan tulang, muntah dan darah serta benda asing
dapat menutup jalan nafas dimana pun di sekitar aerodigestif bagian atas.
4. Perdarahan, baik dari pembuluh darah pada luka terbuka atau perdarahan di hidung
yang parah dari pembuluh darah hidung yang rumit, juga berkontribusi pada obstruksi
jalan nafas.
Situasi ini harus segera ditangani dengan menggunakan berbagai macam teknik atau
alat, menurut dari langkah A dari protokol penanganan ABC yang disarankan ATLS
[1].

Intubasi endotrakeal sebaiknya dipertimbangkan bila tidak dilakukan lebih dahulu.

5. Pembengkakan jaringan lunak dan edema akibat trauma pada kepala dan leher
dapat memperlambat pemersihan jalan nafas.
6. Trauma pada laring dan trakea dapat menyebabkan bengkak dan pergeseran, seperti
epiglottis, kartilago arytenoid, dan pita suara, hal ini dapat meningkatkan resiko
obstruksi jalan nafas servikal.
Kecurigaan yang besar, pengujian fisik yang mendetail dan observasi yang ketat
terhadap pasien dapat membantu deteksi dini pada situasi seperti ini dan fasilitasyang
memadai serta manajemen waktu untuk menghindari komplikasi selanjutnya.
Begitu manajemen jalan nafas telah selesai dan semua perdarahan telah terkontrol,
perawatan tulang dan jaringan lunak yang cedera akibat trauma maxillofasialis dapat
disampingkan hingga luka dan organ yang membahayakan hidup telah ditangani.
Kerumitan dari situasi
Pasien dengan trauma maxillofasialis sering disertai kesulitan dari ventilasi dengan
menggunakan sungkup dan intubasi yang sulit. Trauma tersebut biasanya merubah
anatomi normal dan menyebabkan edema dan perdarahan pada kavitas oral. Sungkup
tidak dapat digunakan dengan baik di wajah, untuk mendapatkan ventilasi yang
cukup. Tantangan untuk mengintubasi meningkat terutama dari sulitnya untuk

melihat pita suara dengan laringoskopi konvensional. Kavitas oral, faring, dan laring
dapat dipenuhi darah, sekret, debris, jaringan lunak, dan patahan tulang, semuanya
dapat menutup penglihatan ke pita suara.
Disamping masalah yang diperkirakan dari jalan nafas, beberapa faktor lain dapat
memperbruk situasi:
Cedera tulang servikal
Seorang pasien dengan trauma pada supra klavikula

bisa diperkirakan untuk

mengalami cedera tulang servikal sampai terbukti sebaliknya. Perawatan servikal


yang komplit membutuhkan berjam-jam bahkan berhari-hari, dan hingga selesai
pasien harus menggunakan kerah leher serta menghindari pergerakan leher.
Pada saat intubasi seorang asisten melakukan fiksasi pada leher, untuk menjaga
kepala dan leher pasien tetap pada posisi dan mencegah flexi leher pada saat prosedur
berlangsung

[8].

Data terbaru menjelaskan, laringoskopi langsung dan intubasi jarang

membuat pergerakan leher yang signifikan, dan fiksasi posisi tidak selamanya
membuat segmen yang cederah tidak berpindah. Untuk tambahan, fiksasimanual
menurunkan penglihatan laringoskopi, yang mana,dapat membuat hipoksia dan
memperburuk prognosis pada cedera otak[9,10]. Pendekatan lainnya disarankan oleh
Robitaille et al, dengan menggunakan the GlideScope videolaryngoscopy untuk
mengintubasi daripada menggunakan pisau macintosh, untuk meminimalkan
pergerakan leher[11].
Perut penuh
Pasien dengan trauma maxillofasialis, seperti pasien trauma lainnya, diperkirakan
mempunyai perut yang penuh. Karena tidak adanya waktu untuk kumbah lambung
akibat intubasi. Untuk tambahan, pasien ini sering mengalami perdarahan dari traktus
aerodigestif bagian atas: darah tertelan dan berkumpul di perut, dan resiko muntah
dan aspirasi menjadi tinggi. Untuk menghilangkan resiko tersebut, mengeluarkan isi

perut dengan menggunakan nasogastric tube sebelum dilanjutkan dengan


pembersihan jalan nafas direkomendasikan. Bagaimanapun, insersi dari nasogastric
tube pada pasien yang kebingungan, tidak kooperatif, dan terkadang tidak sadar dapat
menyebabkan muntah. Beberapa menyarankan untuk menurunkan resiko aspirasi
dengan Sellicks Mannuver

[12]

Sellick menjelaskan sebuah teknik yang mana

dilakukan pada kartilago tiroid, yang akan mendorong esofagus ke tulang vertebra.
Jalur dimana isi lambung ke mulut disumbat dan aspirasi dicegah. Selama bertahuntahun itu manuver Sellick, atau tekanan krikoid, telah dimasukkan ke dalam
pendekatan secara keseluruhan disebut sebagai rapid sequence induction,
dimaksudkan untuk meminimalkan risiko aspirasi. Meskipun tekanan krikoid dan
rapid sequence induction banyak digunakan, efektivitas dan keamanan dari teknik ini
dipertanyakan

[13].

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan krikoid

secara signifikan dapat memperburuk tampilan laring, membuat intubasi endotrakeal


lebih sulit [14-16].
Situasi Darurat
Mengelola jalan napas dalam beberapa situasi dapat menimbulkan kesulitan
tambahan, dilihat dari fakta bahwa waktu untuk menyelesaikan tugas pendek dan
kondisi pasien dapat memburuk dengan cepat. Baik dalam mengambil keputusan dan
kinerja terganggu pada saat seperti itu. Kinerja intubasi mendesak atau muncul
dikaitkan dengan tingkat komplikasi yang sangat tinggi, yang dapat melebihi 20%
20].

[17-

Ini adalah hasil dari beberapa faktor, termasuk upaya intubasi berulang, melakukan

laringoskopi langsung tanpa relaksasi otot dan kurangnya pengalaman operator.

Pengalaman Personal

Setelah menghadapi kompleksitas pengelolaan pasien cedera rahang atas dan


memutuskan prioritas pengobatan, pelaksanaan rencana pengobatan harus dimulai.
Keuntungan dari keterbiasaan, berpengalaman telah didirikan di beberapa penelitian.
Schmidt et al mempelajari intubasi trakea

[21]

dan menemukan bahwa adanya

supervisis ahli anestesi dikaitkan dengan penurunan kejadian komplikasi. Namun,


dalam situasi darurat, perawat sering kurang berpengalaman. Ini adalah hukum
perawatan terbalik, yang berarti bahwa perawatan bagi mereka yang sakit paling
kritis disediakan oleh mereka yang tidak yang paling ahli [23]. Dengan cara yang sama,
tanggung jawab untuk manajemen jalan nafas akut sering jatuh ke tangan non- ahli
anestesi

[24].

Ini mungkin sia-sia, jika tidak, berisiko atau bencana bagi pasien trauma

maksilofasial. Dalam waktu dan tempat keterbatasan, kami percaya bahwa personil
paling berpengalaman harus melakukan tugas sulit manajemen jalan nafas pada
pasien trauma.
Pendekatan Pengelolaan Jalan Nafas Pasien Traum Maxillofasial
Evaluasi Jalan nafas dan Persiapan
Evaluasi Airway harus menyeluruh dan secepat mungkin , karena fakta bahwa jalan
napas pasien terganggu. Namun demikian, mendefinisikan kesulitan yang tepat yang
terlibat bisa mengarahkan dokter untuk pendekatan terbaik untuk pengelolaan jalan
napas

itu.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah :


Apakah pasien sadar ? Jika demikian , penggunaan sedasi atau analgesik harus
dilakukan hati-hati karena jalan nafas bisa hilang setelah penggunaan gegabah obat
tersebut [25].
Apakah pasien bernapas spontan? Jika demikian, ada waktu untuk tiba di rumah
sakit, sebaiknya ke ruang operasi, dan mengelola jalan nafas dalam kondisi terbaik
dan dengan personil yang paling berpengalaman. Usaha yang gagal di endotrakeal

intubasi oleh pengasuh non -kualifikasi dapat menyebabkan kerusakan yang cepat.
Memang, menurut American Society of anaesthesi (ASA) Pedoman Praktek untuk
pengelolaan jalan nafas sulit, pernapasan spontan harus dipelihara pada pasien
dengan diantisipasi sulit intubasi endotrakeal [26] .
Sejauh apa, komposisi dan anatomi tempat yang cedera? Gambar 1 menunjukkan
pasien dengan cedera yang sangat luas untuk wajah, di mana ventilasi mask tidak
mungkin dan intubasi trakea sangat sulit (Gambar 1).

Gambar 1.
Seorang wanita yang menderita cedera tembak tunggal. Dia tiba di rumah sakit
sadar dan bernapas spontan. Sungkup ventilasi dan intubasi mungkin susah dan
diantisipasi. Laringoskopi langsung dilakukan dan intubasi orotrakeal berhasil.
Bagaimana luas adalah kerusakan pada struktur tulang wajah? Dalam kasus cedera
besar, ventilasi masker mungkin mustahil, sementara cedera terbatas pada jaringan
lunak dapat memungkinkan ventilasi masker. Gambar 2 menunjukkan 3 dimensi CT
pasien dengan fraktur comminuted dari orbit yang tepat, zygoma dan mandibula
kanan.

Gambar 2.
Seorang pasien dengan kecepatan tinggi cedera jarak jauh, dengan kerusakan
jaringan lunak yang parah dari pipi kanan. 3 dimensi CT menunjukkan fraktur
comminuted dari orbit yang tepat, zygoma dan mandibula kanan.
Apakah ada keterbatasan dalam membuka mulut? Apakah batasan bahwa akibat dari
rasa sakit dan setelah sedasi mulut bisa dibuka lebih luas? Jawaban untuk pertanyaan
ini tergantung, antara lain, pada bukti klinis dan radiologis sendi (TMJ) cedera
temporo mandibular-. Jika keterbatasan dalam membuka mulut disebabkan oleh
cedera TMJ, sedasi tidak akan meningkatkan pembukaan mulut, tidak akan
membantu dalam mengelola jalan napas, dan dapat memperburuk skenario.
Apakah ada edema jaringan lunak dan tekanan pada jalan napas? Gambar 3
menunjukkan radiografi lateral pasien yang menderita cedera rudal kecepatan rendah
untuk cewek kiri. Radiograf menunjukkan lokasi peluru dan napas paten. Gambar 4
adalah x-ray lateral pasien dengan fraktur comminuted mandibula dengan
pembengkakan jaringan lunak besar leher dan penyempitan jalan napas.

Gambar 3.

Pasien laki-laki yang menderita cedera peluru kecepatan rendah di pipi kiri.
Radiografi lateral menunjukkan lokasi peluru. Perhatikan napas paten pada tampilan
lateral (panah putih).

Gambar 4.
Pasien laki-laki yang mengalami cedera kecepatan tinggi ke wajah bawah.
Trakeostomi dilakukan di Unit-Syok Trauma. Lateral x-ray menunjukkan fraktur
comminuted mandibula dengan pembengkakan jaringan lunak besar leher dan
penyempitan saluran napas (panah putih).
Seperti halnya dengan setiap situasi kesulitan jalan nafas , staf dan peralatan untuk
intubasi sulit harus disiapkan dan siap untuk digunakan . Pendekatan ini harus dipilih
sesuai dengan cedera pasien , status jalan napas dan pengalaman penyedia layanan
dengan peralatan dan prosedur tersebut.
Pilihan Pengobatan
Seperti yang dinyatakan sebelumnya , tantangan dalam melakukan intubasi
endotrakea muncul terutama dari kesulitan dalam memvisualisasikan pita suara.
Banyak perangkat napas dan peralatan telah dikembangkan untuk mengatasi kendala
ini [27]. Beberapa, seperti bronkoskopi fiberoptik , memungkinkan visualisasi langsung
dari pita suara. Lainnya, seperti laryng mask airway (LMA) atau Combitube (twinlumen jalan napas perangkat esofageal trakea), dimasukkan langsung dan tidak
memerlukan visualisasi pita suara dengan cara apapun

[28].

Opsi terakhir adalah

menciptakan napas bedah melalui cricithyrotomy atau tracheotomy, sehingga


melewati laring dan membangun akses langsung ke trakea.

Ruang lingkup dari kajian ini adalah terbatas dan oleh karena itu kami memilih untuk
fokus pada beberapa perangkat saluran napas prinsip dan menjelaskan kesesuaian
mereka untuk pasien trauma.
Visualisasi langsung dari pita suara
Intubasi fiberoptik fleksibel dengan anestesi lokal adalah teknik pilihan untuk
pengelolaan intubasi diantisipasi sulit dan masker ventilasi sulit pada pasien yang
menjalani prosedur elektif [26]. Pilihan untuk intubasi fiberoptik cocok untuk prosedur
elektif tetapi tidak praktis pada pasien trauma maksilofasial . Darah, muntahan dan
sekret di jalan nafas pasien menghalangi visi oleh instrumen fiberoptik . Selain itu,
mencapai anestesi lokal yang efektif di wilayah trauma sulit. Dan juga, kerja sama
pasien sangat penting untuk pendekatan semacam itu, tetapi tidak selalu mungkin
pada pasien trauma .
GlideScope adalah laringoskop video yang yang memungkinkan visualisasi langsung
dari epiglotis. Seperti banyak instrumen fiberoptik dan berbasis video langsung
lainnya, itu dikembangkan sebagai alternatif yang potensial untuk laringoskopi
langsung untuk kasus yang melibatkan intubasi sulit [29].
Instrumen Jalan Nafas
Laryng mask airway (LMA) adalah salah satu perkembangan yang paling penting
dalam perangkat manajemen jalan nafas. LMA ini dimasukkan secara buta dan
membutuhkan pengalaman minimal. Namun, LMA tidak memberikan napas efektif,
danmerupakan perangkat ventilasi supraglotic, dengan demikian dapat menyebabkan
inflasi perut dan berpindah ketika pasien dipindahkan dan dikelola. Oleh karena itu,
tidak cocok untuk mengelola pasien trauma. Namun, itu bisa memungkinkan ventilasi
pasien sampai jalan nafas definitif dicapai, berfungsi dalam menjembatani periode
pengobatan dini .

Combitube dimasukkan secara buta. Namun, kerusakan jaringan dan gangguan


anatomi meningkatkan risiko salah insersi dan kerusakan lebih lanjut ke jalan napas.
Selanjutnya, Insersi combitube dikaitkan dengan komplikasi serius pada saluran
aerodigestive atas, seperti yang ditunjukkan dengan penggunaannya dalam
pengaturan pra-rumah sakit, seperti laserasi esofagus dan perforasi, lidah edema,
cedera pita suara, cedera trakea, aspirasi pneumonitis dan pneumomediastinum [30] .
Bedah Jalan Nafas
Melakukan cricothyrotomy atau tracheostomy dengan anestesi lokal adalah pilihan
yang relatif aman untuk mengelola saluran udara [31]. Namun, pendekatan ini memiliki
kekurangan . Prosedur ini bisa menjadi tidak nyaman atau bahkan menyakitkan bagi
pasien , yang sudah mengalami sakit parah dan stres emosional. Tracheostomy
dengan sendirinya membawa risiko 5 % dari komplikasi, seperti perdarahan atau
pneumotoraks [32]. Namun demikian, jika trauma maksilofasial luas dan membutuhkan
fiksasi maxillo - mandibular selama beberapa minggu atau jika ventilasi mekanis
berkepanjangan kemungkinan, bedah saluran napas mungkin menjadi pilihan terbaik
dalam kasus tersebut. Pendekatan bedah juga digunakan sebagai prosedur
penyelamatan darurat, ketika pilihan lain telah gagal [33].
Laringoskopi langsung
Terakhir pendekatan klasik laringoskopi langsung . Pendekatan yang sederhana dan
mudah ini untuk jalan napas mungkin bisa berhasil di tangan yang berpengalaman,
meskipun risiko kehilangan kontrol pada saluran napas yang tinggi. Dengan
demikian, pendekatan ini harus disediakan untuk pasien dengan anatomi yang baik
dari leher , dan pada sat harus dilakukan cricothyrotomy atau tracheostomy, seorang
spesialis THT siap untuk melakukan .

Manajemen pasca-operasi
Pasien dengan jalan nafas yang sulit juga berisiko tinggi untuk komplikasi pada
periode pasca operasi. Setelah operasi, membran mukosa yang edema, jaringan lunak
bengkak dan jalur udara dapat dikompresi. Pergerakan sedikit dari leher dan bahkan
perdarahan kecil di wilayah tersebut dapat membahayakan saluran napas. Risiko
komplikasi saluran napas terkait selama periode peri-operatif dipelajari oleh Peterson
et al

[4].

Mereka menganalisis data American Society of anestesi untuk

mengidentifikasi pola-pola yang terkait dengan pengelolaan jalan nafas sulit. Mereka
menemukan bahwa komplikasi muncul selama periode peri- operatif : 67 % setelah
induksi, 15 % selama operasi, 12 % di ekstubasi, dan 5 % selama pemulihan.
Kesimpulan
Manajemen jalan nafas pasien trauma maksilofasial adalah kompleks dan
membutuhkan baik penilaian yang baik dan pengalaman yang cukup , yang diperoleh
dalam situasi darurat serupa. Personil terampil dan berpengalaman adalah wajib,
seperti kolaborasi dengan ahli anestesi, ahli bedah maksilofasial, spesialis THT atau
dokter bedah umum, dalam rangka untuk memiliki hasil dengan risiko minimal dan
keberhasilan maksimal. Penting untuk diingat bahwa manajemen yang tepat waktu,
tegas dan terampil jalan napas sering dapat membuat perbedaan antara hidup dan mati
atau antara kemampuan dan kecacatan dalam situasi seperti ini.

References
1. American College of Surgeons Committee on Trauma: Advanced Trauma Life
Support for Doctors ATLS. 7th edition. Chicago, IL; American College of
Surgeons; 2004.
2. Walls RM: Management of the difficult airway in the trauma patient.
Emerg Med Clin North Am 1998, 16:45-61. PubMed Abstract |
Publisher Full Text
3. Domino KB, Posner KL, Caplan RA, Cheney FW: Airway injury during
anesthesia: a closed claims analysis.
Anesthesiology 1999, 91:1703-1711. PubMed Abstract | Publisher Full Text
4. Peterson GN, Domino KB, Caplan RA, Posner KL, Lee LA, Cheney FW:
Management of the difficult airway: a closed claims analysis.
Anesthesiology 2005, 103:33-39. PubMed Abstract | Publisher Full Text
5. Garcia A: Critical care issues in the early management of severe trauma.
Surg Clin North Am 2006, 86:1359-1387. PubMed Abstract |
Publisher Full Text
6. Gruen RL, Jurkovich GJ, McIntyre LK, Foy HM, Maier RV: Patterns of
errors contributing to trauma mortality: lessons learned from 2,594
deaths.
Ann Surg 2006, 244:371-380. PubMed Abstract | Publisher Full Text |
PubMed Central Full Text
7. Hutchison I, Lawlor M, Skinner D: ABC of major trauma. Major
maxillofacial injuries.
BMJ 1990, 301:595-599. PubMed Abstract | Publisher Full Text |
PubMed Central Full Text
8. Crosby ET: Airway management in adults after cervical spine trauma.
Anesthesiology 2006, 104:1293-1318. PubMed Abstract | Publisher Full Text

9. Manoach S, Paladino L: Manual in-line stabilization for acute airway


management of suspected cervical spine injury: historical review and
current questions.
Ann Emerg Med 2007, 50:236-245. PubMed Abstract | Publisher Full Text
10. Santoni BG, Hindman BJ, Puttlitz CM, Weeks JB, Johnson N, Maktabi MA,
Todd MM: Manual in-line stabilization increases pressures applied by the
laryngoscope blade during direct laryngoscopy and orotracheal
intubation.
Anesthesiology 2009, 110:24-31. PubMed Abstract | Publisher Full Text
11. Robitaille A, Williams SR, Tremblay MH, Guilbert F, Thriault M, Drolet P:
Cervical spine motion during tracheal intubation with manual in-line
stabilization: direct laryngoscopy versus GlideScope videolaryngoscopy.
Anesth Analg 2008, 106:935-941. PubMed Abstract | Publisher Full Text
12. Sellick BA: Cricoid pressure to control regurgitation of stomach contents
during induction of anaesthesia.
Lancet 1961, 2:404-406. PubMed Abstract | Publisher Full Text
13. Ellis DY, Harris T, Zideman D: Cricoid pressure in emergency department
rapid sequence tracheal intubations: a risk-benefit analysis.
Ann Emerg Med 2007, 50:653-665. PubMed Abstract | Publisher Full Text
14. Levitan RM, Kinkle WC, Levin WJ, Everett WW: Laryngeal view during
laryngoscopy: a randomized trial comparing cricoid pressure, backwardupward-rightward pressure, and bimanual laryngoscopy.
Ann Emerg Med 2006, 47:548-555. PubMed Abstract | Publisher Full Text
15. Noguchi T, Koga K, Shiga Y, Shigematsu A: The gum elastic bougie eases
tracheal intubation while applying cricoid pressure compared to a stylet.
Can J Anaesth 2003, 50:712-717. PubMed Abstract | Publisher Full Text
16. Haslam N, Parker L, Duggan JE: Effect of cricoid pressure on the view at
laryngoscopy.

Anaesthesia 2005, 60:41-47. PubMed Abstract | Publisher Full Text


17. Mort TC: Complications of emergency tracheal intubation: immediate
airway-related consequences: part II.
J Intensive Care Med 2007, 22:208-215. PubMed Abstract |
Publisher Full Text
18. Li J, Murphy-Lavoie H, Bugas C, Martinez J, Preston C: Complications of
emergency intubation with and without paralysis.
Am J Emerg Med 1999, 17:141-143. PubMed Abstract | Publisher Full Text
19. Benedetto WJ, Hess DR, Gettings E, Bigatello LM, Toon H, Hurford WE,
Schmidt U: Urgent tracheal intubation in general hospital units: an
observational study.
J Clin Anesth 2007, 19:20-24. PubMed Abstract | Publisher Full Text
20. Mort TC: Emergency tracheal intubation: complications associated with
repeated laryngoscopic attempts.
Anesth Analg 2004, 99:607-613. PubMed Abstract | Publisher Full Text
21. Schmidt UH, Kumwilaisak K, Bittner E, George E, Hess D: Effects of
supervision by attending anesthesiologists on complications of emergency
tracheal intubation.
Anesthesiology 2008, 109:973-977. PubMed Abstract | Publisher Full Text
22. Hodzovic I, Petterson J, Wilkes AR, Latto IP: Fibreoptic intubation using
three airway conduits in a manikin: the effect of operator experience.
Anaesthesia 2007, 62:591-597. PubMed Abstract | Publisher Full Text
23. Boylan JF, Kavanagh BP: Emergency airway management: competence
versus expertise?
Anesthesiology 2008, 109:945-947. PubMed Abstract | Publisher Full Text

24. Kovacs G, Law JA, Ross J, Tallon J, MacQuarrie K, Petrie D, Campbell S,


Soder C: Acute airway management in the emergency department by
non-anesthesiologists.
Can J Anaesth 2004, 51:174-180. PubMed Abstract | Publisher Full Text
25. Peralta R, Hurford WE: Airway trauma.
Int Anesthesiol Clin 2000, 38:111-127. PubMed Abstract | Publisher Full Text
26. American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the
Difficult Airway: Practice guidelines for management of the difficult
airway: an updated report by the American Society of Anesthesiologists
Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology 2003, 98:1269-1277. PubMed Abstract | Publisher Full Text
27. Hagberg C, Lam N, Brambrink A: Current concepts in airway management
in the operating room: A new approach to the management of both
complicated and uncomplicated airways.
Curr Rev Clin Anesth 2007, 28:73-88.
28. Rabitsch W, Schellongowski P, Staudinger T, Hofbauer R, Dufek V, Eder B,
Raab H, Thell R, Schuster E, Frass M: Comparison of a conventional
tracheal airway with the Combitube in an urban emergency medical
services system run by physicians.
Resuscitation 2003, 57:27-32. PubMed Abstract | Publisher Full Text
29. Koerner IP, Brambrink AM: Fiberoptic techniques.
Best Pract Res Clin Anaesthesiol 2005, 19:611-621. PubMed Abstract |
Publisher Full Text
30. Vzina MC, Trpanier CA, Nicole PC, Lessard MR: Complications
associated with the Esophageal-Tracheal Combitube in the pre-hospital
setting.
Can J Anaesth 2007, 54:124-128. PubMed Abstract | Publisher Full Text

31. Helm M, Gries A, Mutzbauer T: Surgical approach in difficult airway


management.
Best Pract Res Clin Anaesthesiol 2005, 19:623-640. PubMed Abstract |
Publisher Full Text
32. Kearney PA, Griffen MM, Ochoa JB, Boulanger BR, Tseui BJ, Mentzer RM
Jr: A single-center 8-year experience with percutaneous dilational
tracheostomy.
Ann Surg 2000, 231:701-709. PubMed Abstract | Publisher Full Text |
PubMed Central Full Text
33. Dob DP, McLure HA, Soni N: Failed intubation and emergency
percutaneous tracheostomy.
Anaesthesia 1998, 53:72-74. PubMed Abstract | Publisher Full Text

Anda mungkin juga menyukai