Anda di halaman 1dari 4

Nama

: Loping

NIM

: 1701317420

Humanitarian Intervention History


Pada tahun 1994, genosida yang terjadi di Rwanda membunuh setidaknya 800.000
orang, perang di Yugoslavia pada tahun 1992 hingga 1995 membunuh setidaknya 250.000
orang dan memaksa ribuan sisa penduduknya untuk melarikan diri. Konflik-konflik yang
terjadi di Sierra Leone, Sudan, Haiti, Somalia, Liberia, Timor Timur, dan Republik
Demokratik Kongo serta tempat-tempat lainnya juga telah membunuh jutaan manusia.
Konflik yang terjadi di wilayah Sudan pada tahun 2008 juga menyebabkan sekitar tiga juta
orang kehilangan tempat tinggal. Yang lebih parahnya dari kasus-kasus di atas, sekitar 90%
dari korban jiwa bukan lah dari kalangan militer, melainkan dari kalangan warga sipil. Halhal di atas tentu memerlukan perhatian yang lebih intens bagi dunia internasional. Untuk itu,
Alex J. Bellamy, dalam tulisannya yang berjudul Humanitarian intervention, berusaha
mengangkat dan membahas kasus-kasus pelanggaran HAM serta solusinya.
Menurut R. J. Rummel, pada abad ke 20, tercatat sekitar 40 juta manusia terbunuh
karena perang dan 170 juta lainnya dibunuh oleh pemerintahnya sendiri dalam kasus-kasus
genosida. Melihat kepada sejarah, genosida berakhir dengan antara pasukan genosida berhasil
menghancurkan target genosida mereka, atau mereka kalah dalam perperangan. Genosida di
Rwanda berakhir dengan kekalahan pemerintahan Rwanda dan diambil alihnya kekuasaan
pemerintahan oleh Rwandan Patriotic Front; perang brutal di Bosnia berakhir ketika pasukan
pemberontakan terhadap pemerintah dibantu oleh kekuatan angkatan udara NATO. Kasus
tersebut dapat ditarik dengan kesimpulan bahwa warga sipil yang memenangkan pertarungan
atas genosida dari pemerintahnya dapat menang karena dibantu oleh dunia internasional
dalam memperjuangkan hak-haknya. Campur tangan NATO dalam kasus tersebut disebut
sebagai Humanitarian Intervention.
Hal-hal seperti itu memberikan tantangan yang sangat besar bagi dunia politik
internasional. Kesepakatan internasional bahwa suatu negara yang telah berdaulat memiliki
hak untuk dicampuri urusan dalam negrinya oleh pihak luar seperti yang tertulis dalam
piagam UN. Sistem ini balik menyerang para petinggi UN dengan adanya pernyataan bahwa
negara dianggap penting, dan pantas untuk dilindungi, sebab negara memberikan jaminan
1

kemanan kepada banyak individu. Dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut salah, mengingat
pelaku pembunuhan banyak warga negara sipil dalam kasus di bukan lah pihak dari luar,
melainkan pemerintah dalam negara itu sendiri. Hal ini pun mengangkat sebuah pertanyaan
apakah mungkin tedapat suatu keadaan di mana keamanan tingkat individu dalam skala besar
jauh lebih penting dibanding keamanan suatu negara?
Tulisan ini memberikan penjelasan singkat tentang evolusi perdebatan pertanyaan di
atas oleh pihak yang percaya bahwa keamanan individu dalam suatu negara menjadi prioritas
apabila mereka diserang oleh genosida dan pemerintah dalam negara tersebut tidak sanggup
untuk melindungi warga negaranya sendiri juga oleh pihak yang melawan pernyataan
tersebut. Alex J Bellamy sendiri berpendapat bahwa sejak akhir dari perang dingin, pihak
keamanan internasional telah mengembangkan suatu prinsip yang disebut responsibility to
protect (R2P), lebih spesifiknya pertama kali dikembangkan oleh International Commission
on Intervention and State Sovereignty pada tahun 2001. R2P menyatakan bahwa negara
memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari genosida dan
pembantaian masal, dan apabila mereka gagal untuk berbuat demikian, maka tanggung jawab
tersebut berpindah kepada komunitas internasional, terutama diwakili oleh Security Council.
Hal ini meninggalkan pertanyaan miris tentang apa yang akan terjadi ketika Security Council
memilih untuk tidak mengurusi kasus-kasus genosida, yang kemudian akhirnya membawa
perdebatan panjang di dunia internasional. Sebelum masuk terhadap benar atau tidaknya
interfensi NATO di kosovo, yang menjadi cikal bakal terbentuknya R2P, tulisan ini lebih
fokus kepada perdebatan yang terjadi antara dua pihak di atas serta perjalanan diskusi tentang
R2P dalam mencari jalan keluar dari perdebatan yang terjadi.
Sebelum lebih lanjut dalam menjelaskan R2P, Alex J. Bellamy berusaha memberikan
contoh-contoh kasus yang mendukung intervention dan kasus-kasus yang menentangnya.
Adanya kasus dilakukannya intervention pada daerah-daerah yang terjadi konflik sematamata karena ide aktor-aktor internasional yang memiliki pemikiran bahwa adalah kewajiban
dunia internasional untuk melawan tindakan genosida dan pembantaian masal. Mereka
berpendapat bahwa adanya kasus pelanggaran HAM merupakan kasus yang serius dan
mempengaruhi banyak aspek sosial antar negara dan dapat menjurus kepada pelanggaran
moral. Salah satu contoh tokoh yang pro terhadap intervention di sini adalah mantan Perdana
Menteri Inggris Tony Blair. Setelah intervensi NATO terhadap Kosovo pada tahun 1999,
Blair memberikan pidatonya yang bertema doctrine of the interntional community yang
menegaskan bahwa kedaulatan adalah tanggung jawab. Blair menambhakna, sistem
2

kedaulatan dalam dunia internasional harus diubah setelah melihat banyaknya keadaan di
mana kedaulatan disalahgunakan dan berubah bentuk menjadi tindakan anarki. Mereka
berpandangan bahwa kasus-kasus seperti genosida di Rwanda, pembantaian masal di Timor
Timur merupakan bentuk kegagalan UN dalam melindungi warga negara sipil. Maka dari itu,
Humanitarian Intervention dianggap sebagai salah satu hal yang harus dijalankan oleh UN.
Di sisi lain, terdapat juga negara-negara seperti Cuba, Iran, Venezuela, dan Zimbabwe
yang berargumen bahwa humanitarian intervention tidak terjamin efektifitasnya. Mereka
berpandangan bahwa humanitarian intervention tidak menutup kemungkinan adanya negaranegara dengan motif tertentu yang berkedok membela warga sipil di tempat genosida namun
pada kenyataannya bertujuan untuk mengambil alih wilayah tersebut setelah berhasil
menumpas genosida.Terdapat juga argumen bahwa humanitarian intervention secara tidak
langsung melegitimasi adanya perang. Perdebatan panjang pun dilakukan sepanjang tahun
hingga akhirnya menjurus kepada prinsip R2P.
Kemudian, pada tanggal 24 Maret 1999, NATO melakukan operasi intervensi ke
Kosoovo untuk melawan genosida yang dilakukan oleh pasukan serbia. Intervensi ini
dilakukan tanpa izin Security Council dan NATO tridak memberikan draft resolusi karena
Rusia menyatakan akan melakukan veto terhadap semua hal yang berkaitan dengan
intervensi. Kasus Kosovo pun menjadi titik balik karena beberapa negara di bawah NATO
melakukan intervensi yang bekerja di luar UN dan berhasil dalam misinya. UN pun
menganggap intevensi ini illegal but legitimate, yang berarti bahwa operisai itu tidak legal,
tetapi telah menjunjung tinggi nilai moral dan HAM. Dukungan pun mulai muncul terhadap
legalitas humanitarian intervention. Terdapat beberapa negara yang mengusulkan prinsip dan
norma baru yang akhirnya dikenal sebagai R2P, Responsibility to Protect. Namun tidak
semua negara dalam UN setuju dengan konsep yang ditawarkan. Krisis pendapat terjadi di
semua level rapat UN, bahkan di dalam Sekretariat UN sendiri pun terjadi perpecahan.
Setelah 6 tahun yang penuh perdebatan dan lobby yang sangat hati-hati, akhirnya pada tahun
2005 setiap pemerintah negara yang tergabung dalam UN menyatakan dalam World Summit
2005 bahwa mereka setuju dengan prinsip-prinsip R2P bahwa:
1. Semua negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari
genosida, pembantaian etnis, kriminal perang dan pelanggaran HAM
2. Komunitas internasional akan mendukung dan membantu negara-negara untuk
memenuhi kewajibannya.
3

3. Komunitas internasional akan melakukan usaha diplomatis maupun intervensi untuk


mengehentikan kasus genosida dan pelanggaran HAM.
4. Security Council UN akan menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi negaranegara yang gagal dalam menjalankan tugasnya dalam melindungi warga negaranya.
Sebagai kesimpulan, Alex J. Bellamy berusaha menjelaskan bahwa kasus-kasus genosida
yang terjadi di berbagai wilayah dunia telah memotivasi beberapa pihak untuk melakukan
upaya bantuan kepada pihak-pihak yang tertindas baik oleh organisasi genosida mau pun oleh
pemerintahnya sendiri. Mereka berpendapat bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk
melindungi warga negaranya dari kasus penindasan dan pelanggaran HAM. Meski pun
demikian, terdapat beberapa negara yang sempat meragukan efektifitas humanitarian
intervention. Mereka berargumen bahwa humanitarian intervention dapat menjadi modus
bagi negara yang memiliki tujuan untuk menjajah negara lain sekaligus merupakan bentuk
tidak langsung dari legitimasi perang. Setelah sempat terjadi perdebatan yang panjang,
akhirnya pada tahun 2005 tercapai kesepakatan antara pemerintah di seluruh dunia bahwa
setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari pelanggaran
HAM dan apabila negara tersebut ggal berbuat demikian, adalah tugas komunitas
internasional untuk mengambil alih dan menangani hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai