: Loping
NIM
: 1701317420
kemanan kepada banyak individu. Dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut salah, mengingat
pelaku pembunuhan banyak warga negara sipil dalam kasus di bukan lah pihak dari luar,
melainkan pemerintah dalam negara itu sendiri. Hal ini pun mengangkat sebuah pertanyaan
apakah mungkin tedapat suatu keadaan di mana keamanan tingkat individu dalam skala besar
jauh lebih penting dibanding keamanan suatu negara?
Tulisan ini memberikan penjelasan singkat tentang evolusi perdebatan pertanyaan di
atas oleh pihak yang percaya bahwa keamanan individu dalam suatu negara menjadi prioritas
apabila mereka diserang oleh genosida dan pemerintah dalam negara tersebut tidak sanggup
untuk melindungi warga negaranya sendiri juga oleh pihak yang melawan pernyataan
tersebut. Alex J Bellamy sendiri berpendapat bahwa sejak akhir dari perang dingin, pihak
keamanan internasional telah mengembangkan suatu prinsip yang disebut responsibility to
protect (R2P), lebih spesifiknya pertama kali dikembangkan oleh International Commission
on Intervention and State Sovereignty pada tahun 2001. R2P menyatakan bahwa negara
memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari genosida dan
pembantaian masal, dan apabila mereka gagal untuk berbuat demikian, maka tanggung jawab
tersebut berpindah kepada komunitas internasional, terutama diwakili oleh Security Council.
Hal ini meninggalkan pertanyaan miris tentang apa yang akan terjadi ketika Security Council
memilih untuk tidak mengurusi kasus-kasus genosida, yang kemudian akhirnya membawa
perdebatan panjang di dunia internasional. Sebelum masuk terhadap benar atau tidaknya
interfensi NATO di kosovo, yang menjadi cikal bakal terbentuknya R2P, tulisan ini lebih
fokus kepada perdebatan yang terjadi antara dua pihak di atas serta perjalanan diskusi tentang
R2P dalam mencari jalan keluar dari perdebatan yang terjadi.
Sebelum lebih lanjut dalam menjelaskan R2P, Alex J. Bellamy berusaha memberikan
contoh-contoh kasus yang mendukung intervention dan kasus-kasus yang menentangnya.
Adanya kasus dilakukannya intervention pada daerah-daerah yang terjadi konflik sematamata karena ide aktor-aktor internasional yang memiliki pemikiran bahwa adalah kewajiban
dunia internasional untuk melawan tindakan genosida dan pembantaian masal. Mereka
berpendapat bahwa adanya kasus pelanggaran HAM merupakan kasus yang serius dan
mempengaruhi banyak aspek sosial antar negara dan dapat menjurus kepada pelanggaran
moral. Salah satu contoh tokoh yang pro terhadap intervention di sini adalah mantan Perdana
Menteri Inggris Tony Blair. Setelah intervensi NATO terhadap Kosovo pada tahun 1999,
Blair memberikan pidatonya yang bertema doctrine of the interntional community yang
menegaskan bahwa kedaulatan adalah tanggung jawab. Blair menambhakna, sistem
2
kedaulatan dalam dunia internasional harus diubah setelah melihat banyaknya keadaan di
mana kedaulatan disalahgunakan dan berubah bentuk menjadi tindakan anarki. Mereka
berpandangan bahwa kasus-kasus seperti genosida di Rwanda, pembantaian masal di Timor
Timur merupakan bentuk kegagalan UN dalam melindungi warga negara sipil. Maka dari itu,
Humanitarian Intervention dianggap sebagai salah satu hal yang harus dijalankan oleh UN.
Di sisi lain, terdapat juga negara-negara seperti Cuba, Iran, Venezuela, dan Zimbabwe
yang berargumen bahwa humanitarian intervention tidak terjamin efektifitasnya. Mereka
berpandangan bahwa humanitarian intervention tidak menutup kemungkinan adanya negaranegara dengan motif tertentu yang berkedok membela warga sipil di tempat genosida namun
pada kenyataannya bertujuan untuk mengambil alih wilayah tersebut setelah berhasil
menumpas genosida.Terdapat juga argumen bahwa humanitarian intervention secara tidak
langsung melegitimasi adanya perang. Perdebatan panjang pun dilakukan sepanjang tahun
hingga akhirnya menjurus kepada prinsip R2P.
Kemudian, pada tanggal 24 Maret 1999, NATO melakukan operasi intervensi ke
Kosoovo untuk melawan genosida yang dilakukan oleh pasukan serbia. Intervensi ini
dilakukan tanpa izin Security Council dan NATO tridak memberikan draft resolusi karena
Rusia menyatakan akan melakukan veto terhadap semua hal yang berkaitan dengan
intervensi. Kasus Kosovo pun menjadi titik balik karena beberapa negara di bawah NATO
melakukan intervensi yang bekerja di luar UN dan berhasil dalam misinya. UN pun
menganggap intevensi ini illegal but legitimate, yang berarti bahwa operisai itu tidak legal,
tetapi telah menjunjung tinggi nilai moral dan HAM. Dukungan pun mulai muncul terhadap
legalitas humanitarian intervention. Terdapat beberapa negara yang mengusulkan prinsip dan
norma baru yang akhirnya dikenal sebagai R2P, Responsibility to Protect. Namun tidak
semua negara dalam UN setuju dengan konsep yang ditawarkan. Krisis pendapat terjadi di
semua level rapat UN, bahkan di dalam Sekretariat UN sendiri pun terjadi perpecahan.
Setelah 6 tahun yang penuh perdebatan dan lobby yang sangat hati-hati, akhirnya pada tahun
2005 setiap pemerintah negara yang tergabung dalam UN menyatakan dalam World Summit
2005 bahwa mereka setuju dengan prinsip-prinsip R2P bahwa:
1. Semua negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara mereka dari
genosida, pembantaian etnis, kriminal perang dan pelanggaran HAM
2. Komunitas internasional akan mendukung dan membantu negara-negara untuk
memenuhi kewajibannya.
3