Anda di halaman 1dari 13

IMPLEMENTASI PROGRAM DESA PINTER

Studi di Desa-desa Penerima Program Desa Pinter (Desa Punya Internet)


di Prov. DIY, Jateng dan Bali
Tim Peneliti BPPKI Yogyakarta
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi program internet
perdesaan yang lebih dikenal dengan Program Desa Pinter. Wilayah penelitian di tiga
provinsi DIY, Jawa Tengan dan Bali dengan mengambil sasaran desa-desa penerima
program Internet Desa Pinter. Desa-desa tersebut adalah di DIY: Sidorejo, Kaligintung

dan Bokoharjo. Jawa Tengah: Sigeblog, Beji dan desa Jatingarang. Bali: Kemudian
di Bali lokasi di kecamatan Nusapenida, yaitu di tiga desa Klumpu, Batukandik dan
desa Pajukutan. Pendekatan penelitian menggunakan metode yang bersifat deskriptif
guna mendapat gambaran lebih detil fenomena yang terjadi dalam pengimplementasian program internet perdesaan. Teknik pengumpulan data dilakukan
menggunakan wawancara mendalam (indepth interview): observasi: penyebaran
quissioner kepada warga desa disekitar; dokumentasi dan kepustakaan.
Adapun hasilnya bahwa Implementasi kebijakan Program Desa Pinter
dalam realisasinya menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, karena yang
terjadi masih sebatas pada komitmen pemasangan infrastruktur. Sementara untuk
aspek penggunaan oleh masyarakat sebagai medium yang mulai dibutuhkan
kurang mendapat perhatian secara intens oleh fihak penyelenggara atau pelaksana
kebijakan. Ini terlihat dari tidak adanya koordinasi dengan fihak pemda cq. Dinas
terkait. Sosialisasi keberadaan internet desa bagi warga masyarakat belum
dilakukan, dan cenderung terbatas pada perangkat desa yang akan mengelolanya.
Tidak adanya upaya pelatihan bagi SDM pengelola secara khusus, tidak adanya
pendampingan bagi masyarakat yang masih rendah pemahaman TIKnya, dan
sebagainya. Sementara disisi lain, justru muncul pemasangan tarif (harga) sebagai
hal yang dapat menghambat warga enggan memanfaatkan internet desa.
Rekomendasi yang disampaikan antara lain bagi Kementerian Komunikasi
dan Informatika seyogyanya melakukan evaluasi secara komprihensif baik dari isi
kebijakan, mekanisme pelaksanaan dan manajemen pertanggung-jawaban
program Desa pinter. Perlu adanya adanya koordinasi yang melibatkan berbagai
unsur terkait, seperti pihak pemda cq. Dishubkominfo perlu dilibatkan dalam
pembinaan pengelolaan. Pengelolaan Internet desa perlu ditangani secara khusus
oleh tim yang memahami TIK. Perlu adanya tenaga pendampingan bagi warga
pengguna yang belum pintar mengakses internet. Diupayakan, pemanfaatan
internet desa dibebaskan dari biaya penggunaan (gratis).

PENDAHULUAN
1. Latarbelakang Permasalahan
Perkembangan global teknologi komunikasi dan informasi TIK, merupakan
asset yang sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat baik dari
aspek

peningkatan

pengetahuan

maupun

aspek

peningkatan

perekonomian

masyarakat. Dalam perkembangan ini, tentu terjadi dampak kesenjangnan informasi


bagi masyarakat desa dan kota, karena beberapa faktor, baik intelektual, maupun
ekonomi.
Namun demikian, fenomena kesenjangan informasi masyarakat desa dan kota
yang

selama

ini

mengemuka,

akan

terkikis

dengan

upaya-upaya

program

pembangunan yang berorientasi pada perluasan jaringan telekomunikasi hingga ke


pelosok-pelosok desa, bahkan ke desa-desa terpencil. Pada perkembangan teknologi,
dalam kaitan ini medium internet, pada awalnya, ada kecenderungan hanya digunakan
di daerah perkotaan, karena beberapa factor kelebihannya, seperti tingkat pendidikan
dan penghasilan sehingga mengantarkan masyarakat kota lebih berpotensi dalam
mengakses fasilitas TIK, termasuk internet.
Tetapi, untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan, internet
perdesaan (rural internet) sangat berpotensi bila digunakan di pedesaan. Seiring
dengan keinginan pengembangan desa internet, maka sesuai dengan Sasaran
Strategis Kementerian Komunikasi dan Informatika 2007 2009, beberapa Kegiatan
Prioritas Tahun 2009, yang telah dilaksanakan, antara lain: Perluasan dan Pemerataan
Aksesibilitas Masyarakat Atas Informasi dan Sarana Informasi dan Komunikasi, melalui
kegiatan: Universal Services Obligation (USO). Program Kewajiban Pelayanan
Universal Telekomunikasi (KPUT) atau dikenal USO terhadap Perkembangan Desa dan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, merupakan wujud keseriusan pemerintah
mengatasi kesenjangan (digital devide) yang ada tersebut.
Masyarakat desa yang selama ini dikonotasikan sebagai masyarakat yang
berpendidikan rendah dan berpengetahuan terbatas jika dijajarkan dengan
masyarakat kota -, maka dengan kemajuan TIK dan adanya upaya menggiring internet
masuk desa, tentu secara perlahan akan mengeliminir image masyarakat desa yang

lemah.

Itu sebabnya apa yang telah digagas dan direalisasikan dalam kebijakan

pembangunan di bidang komunikasi berkait dengan pembangunan internet perdesaan


menjadi peluang positif, karena dapat menjadi media transver pengetahuan bagi
masyarakat perdesaan. Dengan bertambahnya pengetahuan, diharapkan mampu
memberikan inspirasi bagi pengembangan sektor ekonomi perdesaan yang dapat
mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat.
Meski demikian, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak sertamerta
membawa perubahan positif tanpa kendala persoalan dalam implementasinya.
Bagaimana penempatan secara fisik apakah mempermudah masyarakat desa
mengaksesnya, dan bagaimana penyiapan konten yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat desa? Hal tersebut mengingat adanya isu terdapatnya distribusi fasilitas
komputer

dengan

koneksi

internet

di

pedesaan

mengalami

kendala

karena

penempatannya tidak pada tempat strategis, tetapi dipilih di rumah pejabat desa,
sehingga masyarakat desa sungkan mengunjunginya. Selain itu juga terjadinya efek
negatif pemanfaatan situs internet tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk
pengembangan diri meningkatkan pengetahuan dan yang bernilai ekonomis, tetapi
justru untuk kegiatan yang bersifat penyimpangan hukum atau kriminal.
Sementara, pembangunan fasilitas TIK dengan program Desa Pinter sebagai
bagian program USO adalah untuk mengatasi kesenjangan digital layanan informasi.
Tetapi jika implementasinya menghadapi kendala, tentu dikhawatirkan tidak akan
mencapai target sasaran yang seharusnya. Oleh karenanya, penting dilakukan
penelitian untuk melihat apakah kebijakan program Desa Pinter di sejumlah Wilayah
Pelayanan Universal Telekomunikasi (WPUT) yang memiliki kemampuan internet telah
diselenggarakan sebagaimana mestinya dan bagaimana efek penggunaannya oleh
masyarakat..

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan di atas, maka pertanyaan yang muncul
berkenaan dengan substansi masalah dalam penelitian ini, yaitu:
Bagaimana implementasi program USO, khususnya pembangunan internet pedesaan
(program Desa Pinter)?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi program
internet perdesaan.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah :
a. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan, dapat menjadi referensi kajian dan rujukan akademis serta
menambah wawasan bagi peneliti dalam perspektif analisis komunikasi
kebijakan publik.
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pembuat

kebijakan,

implementor

kebijakan

dan

semua

pihak

yang

bersinggungan dengan proses komunikasi dalam penerapan kebijakan public di


bidang penyelenggaraan infrastruktur media baru bagi masyarakat perdesaan.

5. Landasan Teori
Implementasi Program Desa Pinter sebagai sasaran (obyek) penelitian,
merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dari berbagai macam bentuk
kebijakan pemerintah yang ada. Guna mendekatkan kerangka pikir dan teori untuk
melihat implementasinya, perlu dikemukakan teori-teori terkait dengan kebijakan
publik, sebagai berikut:
Menurut H. Hugh Heglo dalam Abidin (2006:21) kebijakan adalah suatu
tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Anderson
dalam Islamy (1999:4) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku
atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Selanjutnya,
dikatakan bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan
melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu.

Menurut Edward III (1980) dalam Indiahono, D (2009), empat variabel yang
berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi :
1) Komunikasi (Communication); bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan
dengan baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan)
dengan para kelompok sasaran (target group)
2) Sumber daya (Resourcess); setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya
yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.
3) Disposisi (Dispotition); berkaitan dengan karekteristik yang menempel erat
kepada implementator kebijakan/program.
4) Struktur birokrasi (Bureaucratic structure); strukturbirokrasi mencakup dua hal
penting yaitu mekanisme dan strukturorganisasi pelaksana sendiri.

Dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas, peneliti melihat model


implementasi dari Edward III (1980), lebih mendekati untuk acuan pada penelitian ini.
Jadi dalam penelitian ini, di gunakan dua pendekatan teoritik yang penting dijadikan
dasar pijakan bagi pembahasan obyek penelitian. Pertama, Model implementasi
kebijakan publik sebagaimana di kemukakan Edward III (1980) dalam Indiahono, D
(2009) di atas, lebih dipilih sebagai acuan pembahasan dari aspek implementasi
kebijakan publik. Sementara, Kedua, teori yang akan mengupas lebih pada aspek
penggunaan atau pemanfaatan infrastruktur media Internet pedesaan bagi warga desa.
Dalam kaitan tersebut, teori use and gratifications dipandang mampu mengurai
bagaimana warga masyarakat melakukan pilihan media yang digunakan sebagai media
komunikasinya. Pendekatan Uses & Gratification merupakan salah satu landasan
teoritis yang tepat untuk meneliti tentang motif para pengguna media. Dikarenakan
asumsi dari teori tersebut adalah pengguna yang secara aktif memilih media yang
dipakai dan yang kedua adalah media yang digunakannya dapat memberikan
servis/gratifikasi terhadap tujuan yang akan dicapai, dan jika kedua asumsi tersebut
dapat terpenuhi maka sudah tentu pendekatan Uses & Gratification cocok untuk
digunakan.

6. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.


Pendekatan tersebut dipilih karena peneliti ingin memperoleh gambaran

lebih detil

fenomena yang terjadi dalam pengimplementasian program internet perdesaan.


Dengan menggunakan metode ini, peneliti berharap dapat mengetahui dan memahami
serta mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai pelaksanaan dari kebijakan.
Metode penelitian yang digunakan diharapkan dapat mengungkap kondisi riil
yang terjadi dalam implementasi program internet pedesaan dan menyingkap fenomena
yang tersembunyi (hidden values) dari seluruh dinamika masyarakat. Karena pada
dasarnya

penelitian

ini

akan

menggambarkan

secara

mendetail

mengenai

permasalahan yang diteliti.

Teknik Pengumpulan Data :


1. Wawancara Mendalam (Indepth Interview): teknik ini kami gunakan untuk
mengumpulkan data primer dari penelitian ini;
2. Observasi: Dimaksudkan untuk melihat kondisi lapangan dan organisasi pelaksana
kebijakan internet pedesan (Desa Pinter);
3. Dokumentasi dan Kepustakaan: digunakan untuk melihat struktur pelaksana
kebijakan, catatan-catatan yang berkait dengan proses implementasi;
4. Penyebaran Quissioner kepada warga desa disekitar lokasi internet desa pinter,
dimaksudkan untuk melihat respon warga masyarakat terhadap pemanfaatan
internet desa: yang telah dipasang.

7. Hasil Temuan
Penelitian ini dilakukan di desa-desa penerima program Desa Pinter, di tiga
provinsi wilayah kerja BPPKI Yogyakarta, yaitu Prof. DIY, Jawa Tengah dan Bali. DIY
mengambil tiga desa, Sidorejo, Kaligintung dan Bokoharjo. Sementara di Jawa Tengah,
juga tiga desa yaitu Sigeblog, Beji dan desa Jatingarang. Kemudian di Bali lokasi di
kecamatan Nusapenida, yaitu di tiga desa masing-masing Klumpu, Batukandik dan
desa Pajukutan.
Adapun hasilnya mengenai realisasi implementasi kebijakan program USO,
khususnya pembangunan internet pedesaan (program Desa Pinter) dan bagaimana

masyarakat desa memanfaatkannya, secara deskriptif kualitatif dapat digambarkan


sebagai berikut:
Aplikasi Terapan Model Implementasi Edward III
Dalam Kasus Desa Pinter Di Jawa Tengah, Yogyakarta Dan Bali
ASPEK

RUANG LINGKUP

KONDISI DESA PINTER

Komunikasi

a. Implementator dan
kelompok sasaran.

Implementator desa pinter adalah


aparat desa (kelurahan) sebagai
pengelola dan masyarakat desa
sebagai pengguna (kelompok
sasaran)
Tidak ada komunikasi antara
pengelola (aparat desa) dengan
masyarakat

b. Sosialisasi program /
kebijakan

Sumber
Daya

a. Kemampuan
implementator
Tingkat
pendidikan

Tingkat
pemahaman ICT
b. Infrastuktur
Jumlah PC

Pada
umumnya
tidak
ada
sosialisasi
program
internet
perdesaan
bagi
masyarakat,
sosialisasi hanya pada perangkat
desa melalui getok tular. Hanya
di desa Sigeblog telah melakukan
sosialisasi dengan mengundang
kelompok warga dan pihak-pihak
terkait.
Tingkat
pendidikan
pengelola
(aparat desa) pada umumnya
adalah SMA ke atas sedangkan
tingkat pendidikan masyarakat
pada umumnya masih rendah
(SLTA
kebawah)
hanya
di
Kelurahan
Bokoharjo
tingkat
pendidikan masyarakatnya sudah
cukup tinggi
Tingkat pemahaman ICT (internet)
pada umumnya masih rendah baik
pengelola maupun masyarakat.
Fasilitas internet yang disediakan
dirasa kurang karena hanya 1 PC
sedangkan
jumlah
masyarakatnya relatif banyak, bahkan di
Bokoharjo
komputer
yang
digunakan rusak dan diambil

kembali oleh kontraktor.

Disposisi

Struktur
Birokrasi

Jaringan internet

Jaringan internet menggunakan


parabola, hanya di desa bokoharjo
menggunakan modem USB

Akses

Akses menuju tempat internet


perdesaan relatif mudah karena
berada di kantor desa dan
sebagian ada petunjuknya.

Tempat

Komputer ditempatkan menyatu


dengan kantor desa sehingga
menyulitkan pengunjung untuk
menggunakan
internet
(tidak
nyaman)

c. Ketersediaan dana

Pada umumnya, desa hanya


dibebankan penggunaan listrik
sedangkan
untuk
internetnya
disubsidi pemerintah hingga tahun
2014 meskipun di Bokoharjo
subsidi hanya diberikan selama 6
bulan dari pemasangan.

a. Karakter masyarakat

Pada umumnya masyakat masih


kurang antusias dengan adanya
internet
perdesaan,
mereka
umumnya
masih
memikirkan
kebutuhan hidup.

b. Karakter pengelola

Dengan penguasaan ICT yang


masih kurang, pengelola kurang
mampu mengembangkan internet
perdesaan di daerah masingmasing

a. Struktur organisasi
pengelola.

Tidak ada struktur organisasi


dalam
pengelolaan
internet
perdesaan hanya disposisi lisan
dari kepala desa kepada aparat
bawahannya untuk mengelola
internet perdesaannya

b. Koordinasi
terkait

pihak

Tidak ada koordinasi dengan


pihak-pihak terkait misalnya dinas
infokom ataupun dari kecamatan
Tidak
ada
keterangan
keterlanjutan internet perdesaan
dari
pihak-pihak
yang

berwewenang baik infrastruktur


maupun pengelolaannya
Hasil dari implementasi internet perdesaan di Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta,
dan Bali adalah :

Pemanfaatan internet perdesaan tidak seperti yang diharapkan (kalau tidak bisa
dikatakan gagal), sebagian besar masyarakat desa tidak menggunakan internet
perdesaan. Beberapa alasannya, tidak mengetahui adanya internet gratis di
desanya, selain itu karena adalah tingkat pengetahuan ICT yang masih kurang.

Tidak adanya koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait menyebabkan sulitnya


mengatasi kendala-kendala yang ada meskipun pihak terkait bersedia membantu
mengatasi

kendala

yang

timbul

misalnya

menyediakan

info

mobilizer

(pendamping) dalam transfer pengetahuan ICT.

Demikian juga adanya persoalan teknis, mestinya seperti tenaga teknis dari Dishub
Kominfo di tiap daerah bisa membantu, karena mereka memiliki tupoksi yang
relevan. Seperti dipaparkan pejabat Dishubkominfo Kabupaten Purworejo, disini
(Dishub

Kominfo

Kabupaten

Purworejo)

ada

tenaga

teknis

yang

biasa

mengoperasionalkan komputer-internet, mestinya kami bisa membantu, jika kami


diberi tahu adanya program internet desa yang mengalami kendala.

Pentingnya relasi struktural di lingkungan pemerintah daerah, mulai dari organisasi


pemda di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa penting diwujudkan dalam setiap
aspek kegiatan yang berorientasi untuk memenuhi kepentingan publik. Sehingga
terjadinya permasalahan pada satu lingkup kegiatan dalam rangka realisasi
kebijakan, akan mudah diatasi, karena memang ada aturan main yang mestinya
dibangun.

Adanya

koordinasi lintas organisasi pemerintaha di daerah,

akan dapat

meminimalisir dampak persoalan sebagai ekses implementasi kebijakan. Hal ini


relevan seperti dikemukakan Islamy dalam Yuyun Ningsih (2004:28) mengatakan
bahwa Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa
dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun
yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain
pencapaian tujuan harus diupayakan pula untuk meminimalisir ketidakpuasan

(dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan


tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan
datang.

Dari perspektif komunikasi, keterbatasan penyediaan infrastruktur internet desa,


bagi warga masyarakat desa, yang berdampak pada kurangnya antusias warga
memanfaatkan medium ini, menjadi kendala untuk menerapkan teori Use and
gratifikation dalam proses komunikasi warga desa melalui medium internet desa.
Hal tersebut, mengingat masyarakat menjadi tidak memiliki motiv menggunakan
internet desa, karena berbagai kelemahannya. Pada awalnya peneliti memandang,
implementasi program desa pinter berjalan lancar sehingga mengantarkan wilayah
desa memiliki sarana komunikasi yang canggih dan multifungsinya. Sehingga
warga masyarakat berduyun mengunjungi lokasi dan memanfaatkannya, baik untuk
peningkatan pengetahuan, maupun kepentingan yang lebih prospektif di bidang
ekonomi, karena fasilitas internet sangat berpotensi meningkatkan dua aspek
tersebut. Tetapi, hasilnya dari implemnetasi kurang menunjukan kondisi yang
signifikan, maka penerapan teori uses and gratification menjadi kurang tepat.
Karena pengguna (warga desa) menjadi kuranmg aktif memilih media Internet desa
yang akan dipakai dan yang kedua adalah media yang digunakannya (internet
desa) menjadi tidak dapat memberikan servis/gratifikasi terhadap tujuan yang akan
dicapai. Kondisi demikian dapat dimaknai, bahwa program desa pinter (untuk saat
ini) belum mampu memberikan layanan penyediaan infrastruktur (internet desa)
yang benar-benar sesuai kebutuhan warga masyarakat, kemudahan aksesbilitas
atas informasi dan sarana informasi dan komunikasi. Ini artinya program Perluasan
dan Pemerataan Aksesibilitas Masyarakat Atas Informasi dan Sarana Informasi dan
Komunikasi, melalui kegiatan: Universal Services Obligation, Khususnya Internet
Desa sebagaimana dicanangkan pemerintah, kurang berhasil.
.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Implementasi

kebijakan

Program

Desa

Pinter

dalam

realisasinya

menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, karena yang terjadi masih sebatas

pada komitmen pemasangan infrastruktur, sehingga penggunaannya menjadi


berjalan kurang efektif.
. Sementara untuk aspek penggunaan oleh masyarakat sebagai medium
yang mulai dibutuhkan, kurang mendapat perhatian secara intens oleh fihak
penyelenggara atau pelaksana kebijakan. Ini terlihat pada realita tidak adanya
koordinasi dengan fihak pemda cq. Dinas terkait. Demikian juga sosialisasi
keberadaan internet desa bagi warga masyarakat secara luas tidak dilakukan,
tetapi hanya terbatas pada perangkat desa yang diharap akan mengelolanya.
Tidak adanya upaya pelatihan bagi SDM pengelola secara khusus, tidak adanya
pendampingan bagi masyarakat yang masih rendah pemahaman TIKnya, dan
sebagainya. Semua itu kurang mendukung proses implementasi kebijakan program
Internet Desa sampai masyarakat memanfaatkannya sebagai medium yang
dibutuhkan untuk akses informasi dan komunikasi.
Sementara disisi lain, justru muncul pemasangan tarif (harga) sebagai hal
yang dapat menghambat warga enggan memanfaatkan internet desa. Kasus di
beberapa tempat, di Bali, dengan alasan membantu biaya listrik yang membengkak,
sehingga warga pengguna dibebani biaya penggunaan (tidak gratis lagi). Kondisi
demikian tidak relevan dengan misi internet desa yang di canangkan untuk
mendorong

masyarakat

desa

membekali

diri

dengan

pengetahuan

untuk

peningkatan kesejahteraannya.

B. Rekomendasi

Bagi Pemerintah, Cq. Kementerian Komunikasi dan Informatika seyogyanya


perlu melakukan evaluasi secara komprihensif baik dari isi kebijakan, mekanisme
pelaksanaan dan manajemen pertanggung-jawaban program Desa pinter.

Pelaksanaan dilapangan, perlu adanya koordinasi yang melibatkan berbagai


unsur terkait. Pemda cq. Dishubkominfo perlu dilibatkan dalam pembinaan
pengelolaan.

Pengelola Internet desa perlu ditangani secara khusus oleh tim yang memahami
TIK.

Perlu diberikan tenaga pendampingan bagi warga pengguna yang belum pintar
mengakses internet.

Perlu adanya penelitian lanjutan yang lebih luas menyangkut berbagai aspek
untuk melihat

kemungkinan adanya faktor-faktor krusial yang menghambat

pelaksanaan implementasi dari sisi penganggaran, seperti adanya biaya


sosialisasi, diklat atau pelatihan manajemen pengelolaan dan teknis bagi SDM
pengelola yang belum dilaksanakan.

Diupayakan, pemanfaatan internet oleh warga masyarakat desa benar-benar


dibebaskan dari biaya (gratis).000

REFERENSI
AG. Subarsono, M.Si. MA, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Budi Winarno, Teori Dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta,
2002.
Edward III, George C., dalam Indiahono, Dwiyanto, Kebijakan Publik Berbasis
Dynamik Policy Analisys, Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Eugene Bardach, Dalam Leo Agustino S.Sos, MSi, Dasar-Dasar Kebijakan Publik,
Alfabeta, Bandung, 2008
Lexy J Moleong, MA, Metodologi Penelitian Kualitatip (edisi revisi), PT Remaja
Rosda Karya, Babdung, 2004.
Leo Agustino S.Sos, MSi, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, 2008.
Pudji Muljono, Pemanfaatan Internet Sebagai Media Komunikasi Di Indonesia
(Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FEMA,
2005), hal. 5.
Panuju, Redi,, 2002. Relasi Kuasa: Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan
peran dalam Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Robert Eyestone, The Threads of Policy: A Study in Policy Leadership, Indianapolis:
Bobbs Merril, 1971
Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, 2004.
Serverin, J, Werner dan JW Tankard Jr, 2005,Teori Komunikasi , Sejarah, metode
dan Terapan di Dalam Media massa, Kencana, Jakarta.
Sudarwan Darwin, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Bumi Aksara, PT, Jakarta,
2005.
Setyafi dkk., Teori Strukturasi, http://setyafi.multiply.com/journal/item/9/ TEORI_
STRUKTURASI_ Akses, 23-2-2010,
Supriadi, Dedi. 1992. Studi Tentang Profil Pelanggan dan Manfaat Sosial-Ekonomi
Telekomunikasi Pedesaan. Jakarta: PT. Telekomunikasi Indonesia.
Thomas R. Dye. Understanding Publikk Policy, New Jersey: Prentice Hall, 1992.
Prakosa, Adi, 2007, Uses & Gratification, http://adiprakosa.blogspot.com/-2007/
11/uses-gratification.html Akses, 14-2-2010
--------, http://kuliahkomunikasi.com/2008/11/penjabaran-internet-sebagai-perantaramedia/ akses, 27-3-2010.
LAMPIRAN II PERATURAN DIREKTUR JENDERAL POS DAN TELEKOMUNIKASI NOMOR :
247/DIRJEN/2008, TANGGAL : 10 OKTOBER 2008

Anda mungkin juga menyukai