Anda di halaman 1dari 35

I.

KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA


Perkataan "Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat materiil", yaitu
segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Perkataan "perdata"
juga lazim dipakai sebagai lawan dari "pidana".
Ada juga orang memakai perkataan "hukum sipil" untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena
perkataan "sipil" itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari "militer," maka lebih baik kita memakai
istilah "hukum perdata" untuk segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum
dagang," seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan
(kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana
Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan
serta kekuasaan pengadilan.
II. SISTEMATIK HUKUM PERDATA
Adanya Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek vanKoophandel, disingkat W.v.K.) di
samping Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.) sekarang
dianggap tidak pada tempatnya, karena Hukum Dagang sebenarnya tidaklah lain dari Hukum
Perdata. Perkataan "dagang" bukanlah suatu pengertian hukum, melainkan suatu pengertian
perekonomian. Di berbagai negeri yang modern, misalnya di Amerika Serikat dan di Swis juga,
tidak terdapat suatu Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersendiri di samping pembukuan
Hukum Perdata seumumnya. Oleh karena itu, sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan
Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Memang, adanya pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata dalam perundang-undangan kita
sekarang ini, hanya terbawa oleh sejarah saja, yaitu karena di dalam hukum Rumawi yang
merupakan sumber terpenting dari Hukum Perdata di Eropah Barat belumlah terkenal Hukum
Dagang sebagaimana yang ter- letak dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang kita sekarang,
sebab memang perdagangan internasional juga dapat dikatakan baru mulai berkembang dalam
Abad Pertengahan.
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum tentang diri seseorang,
2. Hukum Kekeluargaan,
3. Hukum Kekayaan dan
4. Hukum warisan.
Hukum tentang diri seseorang , memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek
dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan

untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
Hukum Keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami
dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele. Hukum Kekayaan,
mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan kewajiban
orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian itu, biasanya
dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku
terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku
terhadap seorang atau suatu fihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat,
misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam
lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan
hak mutlak saja.
Hukum Waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal.
Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan' keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris
lazimnya ditempatkan tersendiri.
Bagaimanakah sistematik yang dipakai oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
B.W. itu terdiri atas empat buku, yaitu :
Buku I, yang berkepala "Perihal Orang", memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum
Keluarga;
Buku II yang berkepala "Perihal Benda", memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris;
Buku III yang berkepala "Perihal Perikatan", memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang tertentu;
Buku IV yang berkepala "Perihal Pembuktian dan Lewat waktu(Daluwarsa), memuat perihal alatalat pembuktian dan akibatakibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Sebagaimana kita lihat, Hukum Keluarga di dalam B.W. itu dimasukkan dalam bagian hukum
tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap
kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk mempergunakan
hakhaknya itu. Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian tentang hukum perbendaan, karena
dianggap Hukum Waris itu mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu
benda-benda yang ditinggalkan seseorang. Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa)
sebenarnya adalah soal hukum acara, sehingga kurang tepat dimasukkan dalam B.W. yang pada
asasnya mengatur hukum perdata materiil. Tetapi pernah ada suatu pendapat, bahwa hukum acara
itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan bagian formil. Soal-soal yang mengenai alat-alat

pembuktian terhitung bagian yang termasuk hukum acara materiil yang dapat diatur juga dalam
suatu undang-undang tentang hukum perdata materiil.
III. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM
Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum.
Sekarang ini boleh dikatakan, bahwa tiap manusia itu pembawa hak, tetapi belum begitu lama
berselang masih ada budak belian yang menurut hukum tidak lebih dari suatu barang saja.
Peradaban kita sekarang sudah sedemikian majunya, hingga suatu perikatan pekerjaan yang dapat
dipaksakan tidak diperbolehkan lagi di dalam hukum. Seorang yang tidak suka melakukan suatu
pekerjaan yang ia harus lakukan menurut perjanjian, tidak dapat secara langsung dipaksa untuk
melakukan pekerjaan itu. Paling banyak ia hanya dapat dihukum untuk membayar kerugian yang
berupa uang yang untuk itu harta bendanya dapat disita. Karena memang sudah menjadi suatu asas
dalam Hukum Perdata, bahwa semua kekayaan seseorang menjadi tanggungan untuk segala
kewajibannya. Juga yang dinamakan "kematian perdata", yaitu suatu hukuman yang menyatakan
bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi tidak terdapat dalam hukum sekarang
ini
(pasal 3 B.W.). Hanya- lah mungkin, seseorang sebagai hukuman dicabut sementara
hakhaknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua terhadap anakanaknya, kekuasaannya
sebagai wali, haknya untuk bekerja pada angkatan bersenjata dan sebagainya.
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia
meninggal. Malahan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga mulai orang itu
berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal mana penting sekali
berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada suatu waktu, di mana orang itu masih
berada di dalam kandungan. Meskipun menurut hukum sekarang ini, tiap orang tiada yang
terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan
bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya itu. Berbagai golongan orang, oleh undangundang telah dinyatakan "tidak cakap," atau "kurang cakap" untuk melakukan sendiri
perbuatanperbuatan hukum. Yang dimaksudkan di sini, ialah orang-orang yang belum dewasa atau
masih kurang umur dan orang-orang yang telah ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang
selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya.
IV. HUKUM PERKAWINAN
1. Arti dan syarat-syarat untuk perkawinan
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu
yang lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan,
demikian pasal 26 Burgerlijk Wetboek.
Apakah artinya itu? Pasal tersebut hendak menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah,
hanyalah perkawinan yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan.

Suatu asas lagi dari B.W., ialah polygami dilarang. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya
bila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :
a.
kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetap- kan dalam undang-undang,
yaitu untuk seorang lelaki
18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;
b.

harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak;

c.

untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu
sesudahnya putusan per- kawinan pertama;

d.

tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak;

e.

untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya.
*)

Tentang hal larangan untk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin
dengan saudaranya, meskipun saudara tiri; seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya;
seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
2. Hak dan kewajiban suami-isteri
Suami-isteri harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam bersama-sama, saling
memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu
"perkumpulan" (echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi kepala atau pengurusnya. Suami
mengurus kekayaan mereka bersama di samping berhak juga mengurus kekayaan si isteri,
menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya
memberikan bantuan(bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatanperbuatan hukum.
Yang belakangan ini, berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa
seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum.
Kekuasaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan "maritale macht" (dari bahasa
Perancis mari =suami).
3. Percampuran kekayaan
Sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri
(algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa Keadaan yang
demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. *) Jikalau orang
ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu
"perjanjian perkawinan" (huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini, harus diadakan
sebelumnya pernikahan
4. Perjanjian perkawinan

Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan
memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian
perkawinan(huwelijksvoorwaarden). Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-undang harus
diadakan sebelumnya pernikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain
pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua
larangan yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itu tidak melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan.
Suatu perjanjian perkawinan misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda saja (misalnya
satu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran.
Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang banyak terpakai, yaitu perjanjian
"percampuran laba rugi" ("gemeenschap van winst en verlies") dan perjanjian "percampuran
penghasilan" ('gemeenschap van vruchten en inkomsten"").
Pada umumnya seorang yang masih di bawah umum, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak
diperbolehkan bertindak sen- diri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Tetapi untuk
membuat suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang diadakan peraturan pengecualian.
Seorang yang belum dewasa di sini, diperbolehkan bertindak sendiri tetapi ia harus "dibantu"
("bijgestaan") oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk
kawin. Apabila pada waktu membuat perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia
yang diharuskan oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun mungkin
perkawinannya sendiri yang baru kemudian dilangsungkan sah. Selanjutnya diperingatkan,
apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan orang tua atau
wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka perjanjian itu batal dan
pembuatan perjanjian itu harus diulangi di depan notaris, sebab orang yang nanti harus memberi
izin untuk melangsungkan perkawinan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat
perjanjian perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat.
5. Perceraian
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak
kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat
tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan
dapat dihapuskan dengan perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak
dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami dan isteri,
tetapi harus ada alasan yang sah. Alasanalasan ini ada empat macam :
a)
zina (overspel);
b)

ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);

c)

penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan

d)

penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209B.W.).

Undang-undang Perkawinan menambahkan dua alasan, u. salah satu pihak mendapat cacad
badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; I).
antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara
perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk
mendamaikan kedua belah pihak (verzoeningscomparitie).
Selama perkara bergantung, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan ketetapan-ketetapan
sementara, misalnya dengan memberikan izin pada si isteri untuk bertempat tinggal sendiri
terpisah dari suaminya, memerintahkan supaya si suami memberikan nafkah tiap-tiap kali pada
isterinya serta anak-anaknya yang turut pada isterinya itu dan sebagainya. Juga hakim dapat
memerintahkan supaya kekayaan suami atau kekayaan bersama disita agar jangan dihabiskan oleh
suami selama perkara masih bergantung.
Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim diselundupi dengan cara
mendakwa si suami telah berbuat zina.
Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan
perkawinan telah dapat "dibuktikan" di muka hakim. Gemeenschap hapus dengan perceraian dan
selanjutnya dapat diadakan pembagian kekayaan gemeenschap itu (scheiding en deling).Apabila
ada perjanjian perkawinan, pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut.
6. Pemisahan kekayaan
Untuk melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan
bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undangundang memberikan pada si isteri suatu hak untuk
meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya
perkawinan.
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a)
apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan
bersama dan membahayakan keselamatan keluarga;
b)
apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, hingga ada
kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)
apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan
tanggungan yang oleh Undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena
pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa
dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk

menjaga kepentingankepentingan pihak ketiga, terutama orang-orang yang mempunyai piutang


terhadap si suami. Mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan
kekayaan.
Selain membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim berakibat pula, si isteri memperoleh
kembali haknya untuk mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan segala
penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum diputuskan, ia masih
tetap tidak cakap menurut undang-undang untuk bertindak sendiri dalam hukum.
BAB I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM
Tujuan Instruksional Umum / TIU
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan dan
memahaminya.
Sub Pokok Bahasan:
A.

Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Publik

B.

Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Dalam Arti Sempit

C.

Pengertian Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil

D.

Sistem Hukum Perdata di Indonesia

E.

Sistematika Hukum Perdata

Tujuan Instruksional Khusus / TIK


Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelasakn
dan menyebutkan pengertian:
A.

Hukum Perdata dan Hukum Publik

B.

Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan Arti Sempit

C.

Hukum Perdata Materiil dan Formil

D.

Sistem Hukum Perdata di Indonesia

E.

Sistematika Hukum Perdata

Pendahuluan
:
Pengantar tentang mata kuliah Perdata menjelaskan pengertianpengertian dan memberikan contoh-contoh.
Penyajian

: lihat buku

Evaluasi

: Mahasiswa disuruh merangkum apa yang sudah dikuliahkan.

Penutup
:
Bab I menjelaskan pengertian secara umum mengenai Hukum Perdata dan Bab
II menjelasakn apa yang termasuk ruang lingkup Hukum Perdata diantaranya Hukum Perorangan.
BAB I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA SECARA UMUM

Penyajian :
A. Pengertian Hukum Perdata dan Hukum Publik
Ada beberapa sarjana yang memberikan pengertian tentang Hukum Perdata, diantaranya :
1.

Subekti

Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
2.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan
yang ada dengan warga negara perseorangan yang lain.
3.

Wirjono Prodjodikoro

Hukum Perdata adalah suatu rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama
lain tentang hak dan kewajiban.
4.

Sudikno Mertokusumo

Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan
yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.
Pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak.
5.

Asis Safioedin

Hukum Perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan ketentuan hukum yang meliputi
hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain (antara subyek hukum yang satu dengan
subyek hukum yang lain) di dalam masyarakat dengan menitik beratkan kepada kepentingan
perorangan.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Perdata itu adalah
hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang/badan hukum yang satu dengan
orang/badan hukum yang lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepentingan
perseorangan (pribadi).badan hukum.
Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan umum/masyarakat.
Oleh karena itu Sudikno Mertokusumo menyebutkan perbedaan antara Hukum Perdata dan Hukum
Publik itu (menurut pembagian klasik) adalah sebagai berikut:
1.
Dalam Hukum Publik salah satu pihak adalah penguasa, sedangkan dalam Hukum Perdata
kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam Hukum
Perdatapun penguasa dapat menjadi pihak juga.
2.
Sifat Hukum Publik adalah memaksa, sedangkan Hukum Perdata pada umumnya bersifat
melengkapi meskipun ada juga yang memaksa. 3.
Tujuan Hukum Publik adalah melindungi
kepentingan umum, sedangkan Hukum Perdata melindungi kepentingan individu/perorangan.
4.
Hukum Publik mengatur hubungan hukum antara negara dengan individu, sedangkan Hukum
Perdata mengatur hubungan hukum antara individu.
Perbedaan-perbedaan tersebut, sekarang tidak bersifat mutlak lagi, karena sudah mengalami
perkembangan. Oleh karena itu Abdulwahab Bakri menyebutkan bahwa Hukum Perdata adalah

hukum yang mempunyai kedudukan yang sederajat, sedangkan Hukum Publik adalah hukum yang
mengatur hubungan antara dua subyek hukum atau lebih yang kedudukannya tidak sederajat. Jadi
dalam Hukum Publik ada atasan dan ada bawahan.
B. Pengertian Hukum Perdata Dalam Arti Luas Dan Dalam Arti Sempit Hukum Perdata dalam arti
luas adalah bahan hukum sebagaimana tertera dalam KItab Undang-Undang Hukum Perdata (BW),
Kitab UndangUndang Hukum Dagang (WVK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut
undang-undang tambahan lainnya.
Hukum Perdata dalam arti sempit adalah Hukum Perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW}.
Subekti mengatakan Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu
segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
Hukum Perdata adakalanya dipaki dalam arti sempit sebagai lawan Hukum Dagang.
Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata disebut
Hukum Perdata dalam arti sempit. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti luas termasuk
didalamnya Hukum Dagang.
Antara KUHPerdata dengan KUHDagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari
isi Pasal 1 KUHDagang, yang isinya sebagai berikut:
Adagium mengenai hubungan tersebut adalah specialist derogat legi generali artinya hukum yang
khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHPerdata.
C.
Pengertian Hukum Perdata Materil Dan Hukum Perdata Formal Hukum Perdata dilihat dari
fungsinya ada dua macam, yaitu:
1.
Hukum Perdata materil yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajibankewajiban perdata, yaitu mengatur kepentingankepentingan perdata setiap subyek hukum.
2.
Hukum Perdata formal yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan
hukum perdata materil.
Bagaimana tata cara seseorang menuntut haknya apabila diinginkan oleh orang lain, Hukum
Perdata formal biasa juga disebut Hukum Acara Perdata.
D. Sistem Hukum Perdata di Indonesia
Sistem Hukum Perdata di Indonesia bersifat pluralisme (beraneka ragam). Keanekaragamannya ini
sudah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda.
Hal ini disebabkan karena adanya Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) dan Pasal 131 IS.
Pada Pasal 163 IS disebutkan bahwa golongan penduduk di Indonesia dibagi 3, yaitu:
Golongan Eropah
Golongan Timur Asing
Golongan Bumi Putera
Pasal 131 IS mengatur mengenai hukum yang berlaku bagi golongan penduduk tersebut.

Untuk golongan Eropah berlaku Hukum Perdata Eropah (BW)


Untuk golongan Timur Asing Tionghoa berlaku seluruh Hukum Perdata
Eropah dengan beberapa pengecualian dan tambahan. Untuk golongan Timur Asing bukan
Tionghoa berlaku Hukum Perdata Eropah dan hukum adatnya masing-masing.
Untuk golongan Bumi Putera berlaku hukum adatnya masing-masing, kecuali yang mengadakan
perundukkan secara sukarela berdasarkan S.
1917 No. 12, yaitu:
a)

tunduk pada seluruh Hukum Perdata Eropah

b)

tunduk pada sebagian Hukum Perdata Eropah

c)

tunduk pada perbuatan tertentu

d)

tunduk secara diam-diam

Hukum Perdata/BW mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 dengan berlakunya asas
konhordansi/asas persamaan.
E.

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Sistematikan Hukum Perdata itu ada 2, yaitu sebagai berikut:


1.

Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan

2.

Menurut Undang-Undang/Hukum Perdata

Sistematika Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan terdiri dari:


a)

Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi (Personen

Recht)
b)
c)

Hukum tentang keluarga/hukum keluarga (Familie Recht)


Hukum tentang harta kekayaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda (Vermogen
Recht) d) Hukum waris/Erfrecht

Sistematika Hukum Perdata menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata
Buku I tentang orang/van personen
Buku II tentang benda/van zaken
Buku III tentang perikatan/van verbintenissen
Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa/van bewijs en verjaring Apabila kita gabungkan
sistematika menurut ilmu pengetahuan ke dalam sistematika menurut KUHPerdata maka:
Hukum perorangan termasuk Buku I
Hukum Keluarga termasuk Buku I
Hukum harta kekayaan termasuk Buku II sepanjang yang bersifat absolut dan termasuk Buku III
sepanjang yang bersifat relatif. Hukum waris termasuk Buku II karena Buku II mengatur tentang
benda sedangkan hukum waris juga mengatur benda dari pewaris.

Selain itu hukum waris dimasukkan dalam Buku II pewarisan merupakan salah satu cara untuk
memperoleh hak milik yang diatur dalam Pasal 584 KUHPerdata (terdapat dalam Buku II).
BAB II
HUKUM PERORANGAN
Tujuan Instruksional Umum / TIU
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
mengenai Hukum Perorangan.
Sub Pokok Bahasan:
A.

Pengertian Subyek Hukum

B.

Manusia sebagai Subyek Hukum

C.

Badan Hukum sebagai Subyek Hukum

D.
E.

Nama dan Kewarganegaraan


Domisili

F.

Keadaan Tidak Hadir (Afwezeigheid)

Tujuan Instruksional Khusus / TIK


Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat:
A.

Menjelasakn Pengertian Subyek Hukum

B.

Menjelaskan Manusia sebagai Subyek Hukum

C.

Menjelaskan Badan Hukum sebagai Subyek Hukum

D.

Menjelaskan Nama dan Kewarganegaraan

E.

Menjelaskan dan menyebutkan macam-macam Domisili

F.

Menjelaskan Keadaan Tidak Hadir (Afwezeigheid)

Pendahuluan : Menjelaskan secara garis besar dan mengadakan Tanya jawab dua arah.
Penyajian

: lihat buku

Evaluasi

: Memberikan soal-soal yang dijawab di rumah, terus dikumpulkan.

Penutup
:
Bab II ada kaitannya dengan Bab III karena manusia dalam kehidupannya
mengalami peristiwa-peristiwa penting di antaranya melakukan perkawinan, juga termasuk hokum
perdata.
BAB II
HUKUM PERORANGAN
Penyajian:
A. Pengertian Subyek Hukum

Menurut Subekti Subyek (ukum adalah pembawa hak atau subyek di dalam hukum, yaituorang .
Mertokusumo mengatakan bahwa Subyek (ukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh
hak dan kewajiban dari hukum . (anya manusia yang dapat jadi Subyek Hukum.
Syahran mengatakan Subyek (ukum adalah pendukung hak dan kewajiban .
Dari pendapat para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa Subyek (ukum itu adalah segala
sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban .
Segala sesuatu yang dimaksud di sini menunjuk pada manusia dan badan hukum.
B.

Manusia Sebagai Subyek Hukum

Kapan mulai dan berakhirnya seseorang sebagai Subyek Hukum? Seseorang mulai sebagai Subyek
Hukum atau sebagai pendukung hak dan kewajiban sejak dilahirkan sampai dengan meninggal
dunia dengan mengingat Pasal 2 KUHPerdata.
Pasal 2 KUHPerdata menyatakan:
1.
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
2.
Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah telah ada. Kalau kita lihat Pasal 2
ayat (1) di atas dapat dismpulkan bahwa anak yang masih di dalam kandangan seorang wanita juga
sudah dianggap sebagai Subyek Hukum atau pembawa hak dan kewajiban apabila kepentingan si
anak menghendakinya.
Hal ini erat hubungannya dengan Pasal 836 dan Pasal 899 KUHPerdata Pasal 836 KUHPerdata
adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai waris,
seorang harus telah ada, pada saat warisan jatuh meluang.
Pasal-pasal 899 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab UndangUndang ini, untuk dapat
menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan
meninggal dunia. Ketentuan ini tidak tak berlaku bagi mereka yang menerima hak yang menikmati
sesuatu dari lembaga-lembaga.
Terhadap Pasal 2 KUHPerdata ini ada para sarjana yang menyebut rechts fictie, yaitu anggapan
hukum. Anak yang berada dalam kandungan seorang wanita sudah dianggap ada pada waktu
kepentingannya memerlukan, jadi yang belum ada dianggap ada (fictie).
Selain itu ada para sarjana yang mengatakan bahwa Pasal 2 KUHPerdata merupakan suatu norma
sehingga disebut fixatie (penetapan hukum). Pembuat undang-undang menetapkan bahwa anak
yang ada dalam kandungan seorang wanita adalah Subyek hukum apabila kepentingan si anak itu
menghendaki/memerlukan. Hal ini demi adanya keadilan disamping kepastian hukum.
C. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum
Selain manusia juga badan hukum termasuk sebagai Subyek Hukum. Badan hukum menurut
pendapat Wirjono Prodjodikoro adalah sebagai berikut:

Suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan yang
mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang
lain atau badan lain. Sarjana lain mengatakan:
Badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendidrikan suatu badan
(perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu
(yayasan).
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan:
Baik perhimpunan maupun Yayasan kedua-duanya berstatus sebagai badan hukum, jadi
merupakan person pendukung hak dan kewajiban. Kalau kita lihat dari pendapat tersebut badan
hukum dapat dikategorikan sebagai Subyek Hukum sama dengan manusia disebabkan karena:
1.

Badan hukum itu mempunyai kekayaan sendiri

2.

Sebagai pendukung hak dan kewajiban

3.

Dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan

4.

Ikut serta dalam lalu lintas hukum.

Semuanya itu dilakukan melalui para pengurusnya.


Badan hukum (rechts/person) biasa juga disebut pribadi hukum (Soerjono Soekamto), pusara
hukum (Oetarid Sadino), awak hukum (malikul Adil).
Ada beberapa teori tentang hakikat badan hukum, yaitu:
1.

Teori Fiksi dari Freidrich Carl Von Savigny

Hanya manusialah yang menjadi Subyek Hukum, sedangkan badan hukum dikatakan sebagai
Subyek Hukum hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang
menghidupkannya dalam bayangannya Badan hukum itu ciptaan negara/pemerintah yang
wujudnya tidak nyata.
Untuk menerangkan sesuatu hal.
2.

Teori Organ dari Otto Von Gierke

Badan hukum adalah organ seperti halnya manusia yang menjelma dalam pergaulan hukum yang
dapat menyatakan kehendak melalui alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota) seperti halnya
manusia. Badan hukum itu nyata adanya.
3.

Teori Harta Kekayaan Bertujuan dari Brinz

Badan hukum merupakan kakayaan yang bukan kekayaan perorangan, tapi serikat pada tujuan
tertentu.
Badan hukum itu mempunyai pengurus yang berhak dan berkehendak.
4.

Teori Kekayaan Bersama dari Molengraaft

Apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya merupakan hak dan
kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum juga merupakan kekayaan
bersama seluruh anggotanya.
5.

Teori Kenyataan Yuridis dari Paul Scholter

Badan hukum itu merupakan kenyataan yuridis. Badan hukum sama dengan manusia hanya
sebatas pada bidang hukum saja.
Suatu badan atau perkumpulan atau badan usaha dapat berstatus badan hukum harus memenuhi
syarat-syarat materil maupun syarat formal.
Syarat materialnya adalah sebagai berikut:
Harus adanya kekayaan yang terpisah
Mempunyai tujuan tertentu
Mempunyai kepentingan sendiri
Adanya organisasi yang teratur
Syarat formalnya harus memenuhi syarat yang ada hubungannya dengan permohonan untuk
mendapatkan status sebagai badan hukum (diatur dalam KUHD).
Menurut Pasal 1653 KUHPerdata badan hukum dibedakan menjadi: Badan hukum yang didirikan
oleh pemerintah: propinsi, bank-bank pemerintah
Badan hukum yang diakui pemerintah; perseroan, gereja Badan hukum yang didirikan
untuk maksud tertentu; PT Badan hukum berdasarkan sifatnya:
Badan Hukum Publik: propinsi, kabupaten
Badan Hukum Keperdataan: Yayasan, firma
D. NAMA DAN KEWARGANEGARAAN
a.

Nama

Nama bagi seseorang adalah sangat penting. Nama selain untuk membedakan orang yang satu
dengan yang lain, juga untuk mengetahui apa hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang.
Selain itu juga nama merupakan tanda diri atau identifikasi seseorang sebagai subyek hukum.
Nama penting juga untuk mengetahui seseorang itu keturunan siapa, penting untuk urusan
pembagian harta warisan dan soal-soal yang ada hubungannya dengan kekeluargaan.
Mengenai nama ini di Indonesia diatur dalam UU No. 4 tahun 1961.
b.

Kewarganegaraan

Seperti halnya nama, kewarganegaraan seseorang juga sangat penting. Kewarganegaraan seseorang
merupakan satu factor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang.
Seperti kita lihat dalam Pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan:
Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Jadi tersimpul dari pasal tersebut di atas, warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki hak
milik atas tanah.
UU Kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia adalah UU No. 62 tahun 1958. Dalam undangundang tersebut jelas dibedakan siapa yang warga negara, siapa yang bukan, cara memperoleh
kewarganegaraan, hapusnya kewarganegaraan, dan apa hak dan kewajiban seorang warganegara.
E. Domisili/Tempat Tinggal

1.

Pengertian Domisili

Domisili adalah terjemahan dari Domicili atau Woonplaats yang artinya tempat tinggal.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan domisili atau tempat kediaman itu adalah:
Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan
memenuhi kewajibannya juga meskipun kenyataannya dia tidak di situ.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya,
kadang-kadang kotanya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap selalu mempunyai tempat tinggal
dimana ia sehari-harinya melakukan kegiatannya atau dimana ia berkediaman pokok.
Kadang-kadang menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah
(banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan antara tempat kediaman hukum
(secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya.
Tempat kediaman hukum adalah:
Tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-haknya
serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain
tempat.
Menurut Pasal 77, Pasal 1393; 2 KUHPerdata tempat tinggal itu adalah tempat dimana sesuatu
perbuatan hukum harus dilakukan .
Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap
dimana ia sungguh-sungguh berada.
2.

Macam-macam Domisili

a.
Tempat tinggal sesungguhnya yaitu tempat yang bertalian dengan hak-hak melakukan
wewenang perdata seumumnya.
Tempat tinggal sesungguhnya dibedakan antara:
Tempat tinggal sukarela/bebas yang tidak terikat/tergantung hubungannya dengan orang lain.
Tempat tinggal yang wajib/tidak bebas yaitu yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara
seseorang dengan orang lain.
Misalnya: tempat tinggal suami isteri, tempat tinggal anak yang belum dewasa di rumah orang
tuanya, orang di bawah pengampuan di tempat curatornya.
b. Tempat tinggal yang dipilih, yaitu tempat tinggal yang berhubungan dengan hal-hal melakukan
perbuatan hukum tertentu saja.
Tempat tinggal yang dipilih ini untuk memudahkan pihak lain atau untuk kepentingan pihak yang
memilih tempat tinggal tersebut.
Tempat tinggal yang dipilih ada dua macam yaitu:
Tempat kediaman yang dipilih atas dasar undang-undang misalnya dalam hukum acara dalam
menentukan waktu eksekusi dari vonis. Tempat kediman yang dipilih secara bebas misalnya

dalam melakukan pembayaran memilih Kantor Notaris (menurut Sri Soedewi M. Sofwan).
Menurut Subekti ada juga yang disebut rumah kematian atau domisili penghabisan , yaitu
rumah dimana seseorang meninggal dunia.
Rumah penghabisan ini mempunyai arti penting untuk:
Menentukan hukum waris yang harus diterapkan
Untuk menentukan kewenangan mengadili kalau ada gugatan
Tempat kediaman untuk Badan Hukum disebut tempat kedudukan badan hukum ialah tenpat
dimana pengurusnya menetap.
Menurut KUHPerdata domisili/tempat tinggal itu ada dua jenis, yaitu:
a.

I. Tempat tinggal umum terdiri dari :


Tempat tinggal sukarela atau bebas

Pasal 17 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal dimana
ia menempatkan kediaman utamanya. Dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat kediaman
utama maka tempat tinggal dimana ia benar-benar berdiam adalah tempat tinggalnya. b. Tempat
tinggal yang tergantung pada orang lain, misalnya:
Wanita bersuami mengikuti suaminya
Anak di bawah umur mengikuti tempat tinggal orangtuanya/walinya
Orang dewasa yang ada di bawah pengampuan mengikuti curatornya
mengikuti tempat tinggal majikannya

Pekerja/buruh

II.
Tempat tinggal khusus atau yang dipilih menurut Pasal 24 KUHPerdata ada dua
macam, yaitu:
a.

Tempat tinggal yang terpaksa dipilih ditentukan undang-undang

(Pasal 106 : 2 KUHPerdata)


b.

Tempat tinggal yang dipilih secara sukarela harus dilakukan secara tertulis artinya harus
dengan akta (Pasal 24 : 1 KUHPerdata), bila ia pindah maka untuk tindakan hukum yang
dilakukannya ia tetap bertempat tinggal di tempat yang lama.

3.

Arti Pentingnya Domisili Untuk Seseorang

Domisili itu penting untuk seseorang dalam hal sebagai berikut: Untuk menentukan atau
menunjukan suatu tempat dimana berbagai perbuatan hukum harus dilakukan, misalnya
mengajukan gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili (menurut Sri Soedewi M.
Sofwan).
Untuk mengetahui dengan siapakan seseorang itu melakukan hubungan hukum serta apa yang
menjadi hak dan kewajiban masing-masing (Ridwan Syahrani).
Untuk membatasi kewenangan berhak seseorang.
F.

KEADAAN TIDAK HADIR (AFWEZEIGHEID)

Kadang-kadang terjadi seseorang meninggalkan tempat tinggalnya selama waktu


tertentu(lama dan seterusnya) untuk suatu keperluan/suatu kepentingan atau suatu peristiwa
tanpa memberi kuasa terlebih dulu pada seseorang untuk mengurus kepentingannya. Dalam hal
demikian maka dikatakan ia sedang tidak ada di tempat atau tidak hadir, sehingga akan
menimbulkan kesulitan bagi pihak lain yang ada hubungan dengan orang tersebut.
Keadaan tidak hadir seseorang itu tidaklah menghentikan status sebagai subyek hukum. Oleh
karena itu demi adanya kepastian hukum harus ada pengaturannya.
Dalam Pasal 463 KUHPerdata disebutkan bahwa:
Seorang tidak hadir jika ia meninggalkan tempat tinggalnya tanpa membuat suatu surat kuasa
untuk mewakilinya dalam usahanya serta kepentingannya atau dalam mengurus hartanya serta
kepentingannya atau jika kuasa yang diberikan tidak berlaku lagi.
Dapat simpulkan bahwa jika seorang meninggalkan tempat tinggalnya sedang ia tidak atau tidak
sempurna mewakilkan kepentingannya pada seseorang.
Dalam KUHPerdata dikenal ada 3 masa (3 tingkatan) keadaan tidak hadir seseorang, yaitu:
1.

Pengambilan Tindakan Sementara

Masa ini diambil jika ada alasan-alasan yang mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian
harta kekayaannya.
Tindakan sementara ini dimintakan kepada Pengadilan Negeri oleh orang yang mempunyai
kepentingan terhadap harta kekayaannya.
Misalnya istrinya, para kreditur, sesame pemegang saham dan lain-lain, juga jaksa dapat memohon
tindakan sementara tersebut.
Dalam tindakan sementara ini hakim memerintahkan BPH (Balai Harta peninggalan) untuk
mengurus seluruh harta kekayaan serta kepentingan dari orang tak hadir.
Adapun kewajiban BHP adalah:
1.
2.

Membuat pencatatan harta yang diurusnya


Membuat daftar pencatatan harta, surat-surat lain uang kontan, kertas berharga dibawa ke
kantor BHP

3.

Memperhatikan segala ketentuan untuk seseorang wali mengenai pengurusan harta seorang
anak (Pasal 464 KUHPerdata)

4.

Tiap tahun memberi pertanggung jawaban pada jaksa dengan memperlihatkan surat-surat
pengurusan dan efek-efek (Pasal 465

KUHPerdata)
BHP berhak atas upah yang besarnya sama dengan seorang wali (Pasal 411 KUHPerdata).
2.

Masa Adanya Kemungkinan Sudah Meninggal

Seseorang dapat diputuskan kemungkinan sudah meninggal jika:


Tidak hadir 5 tahun, bila tidak meninggalkan surat kuasa (Pasal 467 KUHPerdata), di mulai pada
hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar terakhir diterima.

Tidak hadir 10 tahun, bila surat kuasa ada tetapi sudah habis berlakunya (Pasal 470 KUHPerdata),
di mulai pada hari ia pergi tidak ada kabar yang diterima dari orang tersebut atau sejak kabar
terakhir diterima.
Tidak hadir 1 tahun, bila orangnya termasuk awak atau penumpang kapal laut atau pesawat udara (
S. 1922 No. 455), di mulai sejak adanya kabar terakhir dan jika tidak ada kabar sejak hari
berangkatnya.
Tidak hadir 1 tahun, jika orangnya hilang pada suatu peristiwa fatal yang menimpa sebuah kapal
laut atau pesawat udara (S. 1922 No. 455), di mulai sejak tanggal terjadinya peristiwa.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975, dikatakan bahwa apabila salah satu pihak
meninggalkannya 2 tahun berturut-turut, pihak yang ditinggalkan boleh mengajukan perceraian.
Akibat-akibat dari masa kemungkinan sudah meninggal bagi para ahli waris dan penerima hibah
wasiat/legataris adalah:
1.
2.

Menuntut pembukaan surat wasiat


Mengambil (menerima) harta orang yang tak hadir dengan kewajiban membuat
pencatatan harta yang diambil serta memberi jaminan yang harus disetujui oleh hakim
(Pasal 472 KUHPerdata) 3.
Meminta pertanggung jawab oleh BHP bila BHP dahulu
mengurusnya

4.
Mengoper segala kewajiban dan gugatan orang tak hadir (asal 488 KUHPerdata). Para ahli
waris yang diperkirakan demi hukum menerima harta warisan secara terbatas (Pasal 277
KUHPerdata)
5.
Pada umumnya merka bertindak sebagai orang yang mempunyai hak pakai hasul (Pasal
474 KUHPerdata)
6.
Berhak mengadakan pemisahan dan pembagian dengan ketentuan harta tetap tidak dapat
dijual kecuali dengan ijin hakim (Pasal 478 dan
481 KUHPerdata)
Keadaan mungkin suadh meninggal berakhir:
1.

JIka orang yang tidak hadir kembali atau ada kabar baru tentang hidupnya

2.

Jika si tak hadir meninggal dunia

3.

Jika masa pewarisan definitive termaksud dalam Pasal

KUHPerdata di mulai .
3.

Masa Pewarisan Definitif

Masa ini terjadi apabila setelah lewat 30 tahun sejak tanggal tentang mungkin sudah meninggal
atas keputusan hakim, atau setelah lewat
100 tahun setelah lahirnya si tak hadir.
Akibat-akibat pemulaan masa pewarisan definitive:
1.

Semua jaminan dibebaskan

2.

Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta warisan sebagaimana telah
dilakukan atau membuat pemisahan dan pembagian definitive.

3.

Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli waris dapat diwajibkan
menerima warisan atau menolaknya.
Seandainya orang yang tidak hadir kembali setelah masa pewarisan definitive, ia ada hak untuk
meminta kembali hartanya dalam keadaan sebagaimana adanya berikut harga dari harta yang tidak
dipindatangankan, semuanya tanpa hasil dan pendapatannya (Pasal 486 KUHPerdata).
Akibat-akibat keadaan tidak hadir terhadap isteri adalah:
1.
Jika suami atau isteri tak hadir 10 tahun tanpa ada kabar tentang hidupnya, maka
isteri/suami yang ditinggal dapat menikah lagi dengan ijin Pengadilan Negeri (Pasal 493
KUHPerdata).
Sebelumnya pengadilan harus mengadakan dulu pemanggilan 3x berturut-turut.
2.
Waktu 10 tahun dapat diperpendek jadi satu tahun dalam masa mungkin sudah
meninggal S. No. .
3.

Dalam PP No. 9/1975 boleh kawin lagi apabila ditinggal 2 tahun berturut-turut.

4.
Jika ijin pengadilan sudah diberikan tanpa perkawinan baru belum dilangsungkan sedang
orang yang tak hadir kembali atau memberi kabar masih hidup, ijin untuk menikah dari pengadilan
gugur demi hukum. 5. setelah suami/isteri yang ditinggal menikah lagi dan kemudian orang yang
tak hadir kembali, maka orang yang tak hadir boleh menikah lagi dengan orang lain.
Akibat keadaan tak hadir bagi anak:
Untuk anak yang masih di bawah umur berlaku Pasal 300 : 2, Pasal 359 : 3, dan Pasal 374
KUHPerdata.
BAB III
PERKAWINAN MENURUT UU NO. I/1974
Tujuan Instruksional Umum / TIU
Setelah mengikuti kuliah pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan dan
memahami perkawinan menurut UU No. I/1974 dan melaksanakannya sesuai dengan UU yang
berlaku..
Sub Pokok Bahasan:
A.

Arti dan Tujuan Perkawinan

B.

Sahnya Perkawinan

C.

Asas Perkawinan

D.

Syarat-syarat Perkawinan

E.

Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

F.

Perjanjian Perkawinan

G.

Akibat Hukum Perkawinan

H.

Perkawinan Campuran

I.

Putusnya Perkawinan

J.

Perkawinan Menurut Hukum Islam

K.

Catatan Sipil

Tujuan Instruksional Khusus / TIK


Setelah mengikuti kuliah sub-sub pokok bahasan di atas diharapkan mahasiswa dapat:
A.

Menjelaskan Arti dan Tujuan Perkawinan

B.

Menjelaskan Sahnya Perkawinan

C.

Menjelaskan Asas Perkawinan

D.

Menjelaskan Syarat-syarat Perkawinan

E.

Membedakan antara Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

F.

Menjelaskan Perjanjian Perkawinan

G.

Menjelaskan Akibat Hukum Perkawinan

H.

Menjelaskan Perkawinan Campuran

I.

Menyebutkan Sebab-sebab Putusnya Perkawinan

J.

Menjelaskan Perkawinan Menurut Hukum Islam

K.

Membedakan Catatan Sipil yang dulu dengan Catatan Sipil yang sekarang berlaku

Pendahuluan : Menjelaskan dan memberikan contoh yang terjadi dalam masyarakat


Penyajian

: lihat buku

Evaluasi
: Tanya jawab dan ts tertulis
Penutup
: Bab III ada kaitannya dengan Bab IV karena manusia / orang yang sudah melakukan
perkawinan memerlukan harta untuk kelangsungan kehidupannya, oleh karena itu hokum benda
perlu juga dipelajari.
BAB III
PERKAWINAN MENURUT UU NO. I/1974
Sebelum berlakunya UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan, peraturan perkawinan di
Indonesia banyak macamnya seperti: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen, S. 1933 No. 74, Peraturan Perkawinan Campuran (RGHS S. 1898 No.
158) dan peraturan-peraturan lainnya.
Setelah diberlakukannya UU No. I Tahun 1974, peraturan-peraturan yang ada dinyatakan tidak
berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU tersebut.
UU No. I Tahun 1974 merupakan undang-undang yang bersifat nasional yang berlaku bagi
seluruh warga Negara Indonesia baik yang di luar negeri maupun dalam negeri.
UU No. I Tahun 1974 juga berlaku bagi semua pemeluk agama yang diakui di Indonesia.
A. Arti Dan Tujuan Perkawinan Pasal 1 menyatakan bahwa:

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut K. Wantjik Saleh, ikatan lahir bathin itu harus ada. Ikatan lahir mengungkapkan adanya
hubungan formal, sedang ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat.
Ikatan lahir tanpa ikatan bathin akan menjadi rapuh. Ikatan lahir bathin menjadi asar utama
pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal.
Kekal artinya perkawinan itu hanya dilakukan satu kali seumur hidup, kecuali ada hal yang tidak
dapat diduga sebelumnya.
Perkawinan itu harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan itu harus
berdasarkan atas agama.
Ali Afandi menyatakan bahwa:
Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
Persetujuan kekeluargaan yang dimaksud bukanlah seperti persetujuan biasa, tetapi mempunyai
cirri-ciri tertentu.
Subekti mengatakan:
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara.
B.

Sahnya Perkawinan

Menurut Pasal 2 UU No. I/1974 sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal
2 ayat 1).
Ayat 2 mengatakan:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kalau kita lihat Pasal 1 dan 2 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan di Indonesia
itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.
Perkawinan itu dinyatakan sah apabila menurut agama, baru setelah itu dicatata berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan secara Islam harus dicatat di Kantor Urusan Agama
(KUA), sedang mereka yang melangsungkan perkawinan di luar agama Islam dicatat di Kantor
Catatan Sipil.
Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu sebaiknya yaitu dilakukan dulu
pencatatan di Kantor Catatan Sipil, baru dilakukan secara agama kalau mau.
Menurut Pasal 26 KUHPerdata perkawinan itu hanya dipandang dalam hubungan-hubungan
perdata; artinya undang-undang menyatakan bahwa suatu perkawinan itu sah, apabila memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPerdata sedang syarat-syarat serta peraturan agama
tidaklah diperhatikan/dikesampingkan.

C. Asas Perkawinan
UU No. I/1974 menganut aas monogami tidak mutlak.
Hal tersebut dapat kita lihat dari isi Pasal 3 sebagai berikut:
(1)
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.
Sedang seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2)
Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Ijin pengadilan diberikan kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari satu orang apabila
memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif.
Syarat fakultatif adalah syarat yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2, yaitu: a.
dari isteri/isteri-isteri.

Adanya persetujuan

b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
c.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak
mereka.
Jadi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus memenuhi salah satu syarat
fakultatif dan semua syarat kumulatif yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga menganut asas monogami, tapi monogaminya adalah
mutlak.
Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 27 dan 28 KUHPerdata yang menyatakan bahwa asas
perkawinan adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan kata sepakat diantara para
calon suami isteri, melarang adanya poligami.
D. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat
mengenai syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat
perkawinan yang bersifat formil.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11, yaitu:
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
ijin kedua orang tuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal
dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Kalu ada penyimpangan harus ada ijin dari Pengadilan atau Pejabat yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya.

bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut:
1.
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung
sejak kematian suami.
2.
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan adalah 3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan
ditetapkan 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
3.
Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
4.
Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
1.

Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.

2.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan suadara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.
3.

Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.

4.
Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan.
5.
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dai isteri dalam hal
seseorang suami beristeri lebih dari seorang.
6.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin.
Syarat perkawinan secara formal menurut Pasal 12 UU No. I/1974 direalisasikan dalam Pasal 3 s/d
Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pemberiahuan dari yang akan melangsungkan perkawinan.
Penelitian dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pengumuman.
Pemberian akta perkawinan.
E.

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

a.

Pencegahan Perkawinan

Berdasarkan Pasal 13 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 suatu perkawinan dapat dicegah
berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dapat dijadikan alas an untuk adanya pencegahan
perkawinan disebutkan dalam Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974, yaitu:

Pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai batasan umur untuk dapat melangsungkan
perkawinan.
Apabila calon mempelai tidak (belum) memenuhi umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1)
tersebut, maka perkawinan itu dapat dicegah untuk dilaksanakan.
Jadi perkawinan ditangguhkan pelaksanaannya sampai umur calon mempelai memenuhi umur
yang ditetapkan undang-undang.
Melanggar Pasal 8, yaitu mengenai larangan perkawinan.
Misalnya saja antara kedua calon mempelai tersebut satu sama lain mempunyai hubungan darah
dalam satu garis keturunan baik ke bawah, ke samping, ke atas berhubungan darah semenda, satu
susuan ataupun oleh agama yang dianutnya dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal
ini perkawinan dapat ditangguhkan pelaksanaannya bahkan dapat dicegahkan pelaksanaannya
untuk selama-lamanya misalnya perkawinan yang akan dilakukan oleh kakak adik, bapak dengan
anak kandung dan lain-lain.
Pelanggaran terhadap Pasal 9 yaitu mengenai seseorang yang masih terikat perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali apabila memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 tentang
syarat-syarat untuk seorang suami yang diperbolehkan berpoligami.
Pelanggaran terhadap Pasal 10 yaitu larangan bagi suami atau isteri yang telah kawin cerai dua kali
tidak boleh melangsungkan perkawinan untuk ketiga kalinya sepanjang menurut agamnya
(hukum) mengatur lain.
Pelanggaran terhadap Pasal 12 yaitu melanggar syarat formal untuk melaksanakan perkawinan
yaitu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu dimulai dengan pemberitahuan, penelitian
dan pengumuman (lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Sedangkan yang boleh
melakukan pencegahan berlangsungnya suatu perkawinan adalah:
1.

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah 2.

Saudara

3.

Wali nikah

4.

Wali

5.

Pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan Pasal 20 UU Perkawinan No. I Tahun 1974 pegawai pencatat perkawinan tidak boleh
melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila dia mengetahui adanya
pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini.
Bahkan pegawai pencatat perkawinan berhak dan berkewajiban untuk menolak melangsungkan
suatu perkawinan apabila benar-benar adanya pelanggaran terhadap Undang-undang ini (Pasal 21
ayat (1)). Jadi pencegahan perkawinan itu dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan.
Akibat hukum dari pencegahan perkawinan ini adalah adanya penangguhan pelaksanaan
perkawinan bahkan menolak untuk selamalamanya suatu perkainan dilangsungkan.
b.

Pembatalan Perkawinan

Seperti halnya pencegahan, pembatalan perkawinan juga terjadi apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22).

Syarat-syarat yang tidak dipenuhi dimuat dalam Pasal 26 ayat (1) yaitu: 1.
dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.
2. Dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
3.

Perkawinan yang

Tidak dihadiri oleh dua orang saksi.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1) tersebut di atas dapat digugurkan pembatalannya apabila suami/isteri
yang mengajukan pembatalan tersebut sudah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akta perkawinan yang cacat hukum tersebut supaya perkawinan itu dapat
diperbaharui sehingga menjadi sah.
Berdasarkan Pasal 23, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
1.

Para keluarga dalam garis keturunan harus ke atas dari suami/isteri.

2.

Suami atau isteri.

3.

Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

4.

Pejabat berdasarkan Pasal 16 ayat (2).

5.

Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut asal perkawinan itu telah putus. Seorang suami/isteri dapat juga mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila:

1.

Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

2.
Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.
Pembatalan suatu perkawinan dimulai setelah adanya Keputusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pembatalan perkawinan terjadi setelah perkawinan dilangsungkan sedang akibat hukum dari
adanya pembatalan perkawinan adalah:
1.

Perkawinan itu dapat dibatalkan.

2.

Perkawinan dapat batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak ada perkawinan,
misalnya suatu perkawinan yang dilangsungkan dimana antara suami isteri itu mempunyai
hubungan darah menurut garis keturunan ke atas atau ke bawah ataupun satu susuan.
Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap anak, suami atau isteri dan pihak ketiga tidak
berlaku surut:
1.

Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap merupakan anak yang sah.

2.
Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam point 1+2 sepanjang mereka memperoleh
hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum
tetap.
F.

PERJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I Tahun 1974.

Perjanjian Perkawinan adalah:


Perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/isteri mengenai kedudukan harta setelah mereka
melangsungkan pernikahan.
Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal
maupun harta bersama suami dan isteri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.
UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu: Harta
asal/harta bawaan
Harta bersama (Pasal 35)
Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/isteri ke dalam perkawinan, dimana
pengurusannya diserahkan pada maisngmasing pihak.
Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkainan.
Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya
perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami isteri tetap terpisah dan tidak
terbentuk harta bersama, suami isteri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama
perkawinan.
Dalam penjelasan Pasal disebutkan bahwa taklik-talak tidak termasuk dalam perjanjian
perkawinan.
Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak
yang disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan.
Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan
juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut.
Perjanjian perkawinan itu mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh
dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga
yang tersangkut.

G. AKIBAT HUKUM PERKAWINAN


Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami isteri, harta
kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a.

Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri

1.
Suami isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). 2.
Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3.

Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2).

4.
5.

Suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Suami isteri menentukan tempat kediaman mereka.

6.

Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.

7.

Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan
kemampuannya.

8.

Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

b.

Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

1.

Timbul harta bawaan dan harta bersama.

2.

Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan
untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 3.
Suami atau isteri harus selalu ada
persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan
36).

c.

Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri

1.

Kedudukan anak

a.

Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42).

b.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan ibunya saja.
2.

Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

a.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut
kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
b.

Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.

c.
Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas
sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
3.

Kekuasaan orang tua

a.

Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang
tua.
Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

b.
c.

Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin.

d.

Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:

Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak.


Ia berkelakuan buruk sekali.
e.
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:

Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
1.

Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.

2.
Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum di dalam maupun di
luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
Kekuasaan orang tua berakhir apabila: a.
b.

Anak itu kawin.

c.

Kekuasaan orang tua dicabut.

Anak itu dewasa.

H. PERKAWINAN CAMPURAN
a.

Pengertian Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran yang diatur dalam UU No. I/1974 berbeda dengan perkawinan campuran
yang terdapat dalam S. 1898/158.
Menurut Pasal 57 UU No. I/1974 pengertian perkawinan campuran adalah:
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran
yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.

Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita.

2.

Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.

3.

Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan.

4.

Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.

Contoh : Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki Warga Negara
Asing atau sebaliknya.
Sedangkan perkawinan campuran menurut S. 1898/158 Pasal I nya menyebutkan:
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukumhukum yang berlainan.
Contohnya: Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki Warga Negara
Asing atau sebaliknya atau seorang wanita beragama Islam kawin dengan seorang laki-laki
beragama selain Islam.
Kalau dibandingkan perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. I/1974 dengan perkawinan
campuran menurut S. 1898/158 adalah sebagai berikut:
Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. I/1974 ruang lingkupnya lebih sempit karena
hanya berbeda kewarganegaraan dan hanya berbeda kewarganegaraaan dan salah satu pihaknya
harus Warga Negara Indonesia.

Perkawinan campuran menurut S. 1898/158 ruang lingkupnya lebih luas karena selain berbeda
kewarganegaraan juga perkawinan dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat, dan
golongan.

b.

Syarat-syarat Perkawinan Campuran

Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang
berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 ayat 1 UU No. I/1974).
Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
(1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(2)

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang keduaduanya beragama Islam dicatat
di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda agama di Kantor Catatan Sipil.
c.

Akibat Perkawinan Campuran

Menurut Pasal 58 UU No. I/1974 akibat dari perkawinan campuran yang berlainan
kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59 ayat (1) UU No. I/1974 menyebutkan:
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum public maupun mengenai hukum perdata.
Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti
kewarganegaraan ayah atau ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hukum keluarga.
I.

PUTUSNYA PERKAWINAN

a. Pasal 38 UU No. I/1974 menyebutkan putusnya perkawinan dapat disebabkan karena:


Kematian
Perceraian
Atas keputusan pengadilan
Mengenai kematian tidak akan dibahas di sini, karena akibatnya timbul pewarisan. Hukum Waris
dibahas dalam mata kuliah Waris dan
Perorangan.
Perceraian biasa disebut cerai talak dan atas keputusan pengadilan disebut cerai gugat .
Cerai talak adalah perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya yang
perkawinannya dilaksankan menurut agama Islam (Pasal 14 PP No. 9/1975).

Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaaan itu selain agama Islam (Penjelasan Pasal 20
ayat (1) PP No. 9/1975).
Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP
No. 9/1975).
b.

Alasan-alasan Perceraian

Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilaksanakan apabila memenuhi salah satu syarat di bawah
ini, yaitu:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa ijin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 19 PP No. 9/1975).
c.

Akibat Perceraian

Seperti halnya perkawinan, perceraian juga membawa akibat kepada:


Anak dan Isteri
Harta kekayaan
Status para pihak
Ad.a. Akibat perceraian pada anak dan isteri
1.

Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anakanak Pengadilan memberi keputusannya.

2.

Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya

pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu keajiban bagi bekas isteri (Pasal 41 UU No. I.1974).

Ad.b. Akibat perceraian terhadap harta kekayaan


Apabila terjadi perceraian, harta bawaan masing-masing tetap dikuasai dan menjadi hak masingmasing.
Harta bersama apabila terjadi perceraian diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UU
No. I/1974).

Ad.c. Akibat perceraian terhadap status para pihak


1.
Kedua belah pihak tidak terikat lagi dalam tali perkawinan dengan status duda atau janda.
2.
Keduanya boleh melakukan perkawinan dengan pihak lain. Khusus untuk isteri berlaku
waktu tunggu (Pasal 39 PP 9/1975).
3.
Keduanya boleh melakukan perkawinan lagi sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang atau agama yang mereka anut.
J.

PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM

a.

Perkawinan

Perkawinan menurut UU No. I/1974 banyak persamaanya dengan perkawinan menurut hukum
Islam, oleh karena itu yang akan dibahas dalam diktat ini hanyalah perbedaan-perbedaannya.
Pengertian-pengertian yang perlu diketahui antara lain:
1.
Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
2.
Taklil talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
3.
Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan
atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. 4.
Mufah adalah pemberian bekas suami
kepada isteri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiiddan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
yang selanjutnya disebut KHI).
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan
rahmat (Pasal 3 KHI).
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat Pegawai Pencatat Nikah, kalau
tidak ada dapat mengajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI). Istbat nikah yang
diajukan hanya ternatas mengenai:
a.

Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

b.

Hilangnya akta nikah.

c.

Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d.

Perkawinan sebelum berlakunya UU No. I/1974.

e.

Perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. I/1974.

Mereka yang boleh mengajukan itsbat nikah:


suami/isteri anak-anak wali nikah
pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu
Rukun dan syarat perkawinan
Untuk melaksanakan perkawina harus ada:
calon suami calon isteri wali nikah dua
orang saksi
Ijab dan Kabul (semua termasuk rukun) (Pasal 14 KHI).
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak untuk menikahkannya.
Syarat wali harus seorang laki-laki, akil dan baligh, yang terdiri dari : wali nasab dan wali hakim
(Pasal 19, 20 KHI).
Perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat:
Laki-laki muslim
Adil
Akil baligh
Tidak terganggu ingatannya
Tidak tuna rungu/tuli
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan (Pasal 24, 25 KHI).
Ijab Kabul dilakukan oleh wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu dan harus dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah atau dapat diwakilkan kepada
orang lain (Pasal 27, 28 KHI).
b.

Larangan Perkawinan

Seperti dalam Pasal 8 UU No. I/1974, larangan perkawinan dalam hukum juga sama ditambah:
Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
Seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Seorang pria dilarang kawin dengan bekas isterinya setelah ditalak tiga kecuali diselang dulu kawin
dengan orang lain.
Seorang pria dilarang kawin dengan bekas isterinya yang dilian Pasal
40, 43 KHI).
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam (Pasal 44 KHI).

Di dalam Hukum Islam dikenal dua macam perjanjian perkawinan, yaitu:


Talik talak
Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam (Pasal 45 KHI).
Suami yang mempunyai isteri lebih dari satu diperbolehkan, syarat utamanya harus dapat berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya dan harus mendapat ijin terlebih dahulu dari
pengadilan Agama (Pasal 55, 56 KHI).
c.

Batalnya Perkawinan

Perkawinan batal apabila (Pasal 70 KHI)


Suami melakukan perkawinan, padahal dia sudah mempunyai empat isteri.
Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah di liannya.
Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi talak tiga.
Perkawinan yang telah melanggar Pasal 8 UU No. I/1974
dan sesusuan.

hubungan darah, semenda

Isteri adalah saudara kandung atau bibi atau kemanakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Perkawinan dapat dibatalkan apabila:
seorang suami berpoligami tanpa ijin Pengadilan Agama.
perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
melanggar Pasal 7 UU No. I/1974. perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali/wali yang tidak
berhak. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan (Pasal 71 KHI).
d.

Putusnya Perkawinan

Menurut Pasal 116 KHI putusnya perceraian dapat disebabkan karena:


Alasan-alasan berdasarkan Pasal 19 PP No. 9/1975.
suami melanggar taklik-talak. karena murtad/berpindah
agama.
Talak karena putusnya perkawinan dalam hukum Islam ada beberapa macam, yaitu:
Talak Raji yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa
iddah.
Talak Bain Shughraa yaitu talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah , terjadi apabila:
a.

Talak yang terjadi qabla al dukhul.

b.

Talak dengan tebusan/khuluk.

c.
Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Talak Bain Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak ini tidak boleh dirujuk dan
tidak dapat dinikahkan kembali kecuali diselang dulu dengan perkawinan dengan bukan bekas

suaminya. Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Talak Bidi adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haidl atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 118
122 KHI). Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian dinyatakan di depan siding Pengadilan
(Pasal 123 KHI)
Lian putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya
(Pasal 125 KHI).
Akibat putusnya perkawinan karena talak:
Bekas suami wajib memberikan mutah yang layak pada bekas isterinya.
Bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isterinya selama iddah.
Wajib melunasi mahar yang masih terutang.
Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 149
KHI).
K. CATATAN SIPIL
Catatan Sipil (BS/Burgerlijk Stand) adalah:
Suatu lembaga yang mencatat kejadian-kejadian penting seseorang seperti: kelahiran, pengakuan,
perkawinan, perceraian dan kematian. Sedangkan tugas Catatan Sipil adalah memberikan informasi
kepada pihak ke III tentang kejadian-kejadian penting seseorang tersebut. Berdasarkan Pasal 80
KUHPerdata menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan:
Dihadapan Pegawai Catatan Sipil dan dengan dihadiri saksi-saksi, kedua calon suami dan isteri
harus menerangkan, yang satu, menerima yang satu sebagai isterinya dan yang lain menerima yang
satu sebagai suaminya, pula bahwa mereka dengan ketulusan hati akan menunaikan segala
kewajiban demi undang-undang ditugaskan kepada mereka sebagai suami isteri.
Pasal 81 KUHPerdata menyatakan:
Tiada suatu upacara keagamaan boleh dilakukan, sebelum kedua belah pihak pejabatn agama
mereka membuktikan bahwa perkawinan dihadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung.
Kalau kita baca kedua pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan itu sah apabila
dilakukan dihadapan Pegawai Catatan Sipil dan dicatat di Kantor Catatan Sipil.
Perkawinan secara agama tidak boleh dilakukan sebelum perkawinan itu dilakukan dan dicatat di
Catatan Sipil. Dulu dikenal adanya kawin BS. Perkawinan secara agama tidak menentukan sahnya
suatu perkawinan. Hal ini tidak berlaku lagi setelah berlakunya UU Perkawinan No. I Tahun 1974.
Perkawinan sah menurut UU No. I/1974, apabila dilakukan berdasarkan masing-masing agama dan
kepercayaannya itu baru didaftarkan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pegawai Catatan Sipil dulu boleh/dapat mengawinkan.
Setelah berlakunya Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Catatan Sipil,
Catatan Sipil tidak boleh mengawinkan lagi.

Fungsi Catatan Sipil berdasarkan Keppres tersebut adalah:


Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Kelahiran.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Perkawinan.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Percerain.
Pencatatan dan Penerbitan kutipan akta Pengakuan dan Pengesahan Anak.
Pencatatan dan penerbitan kutipan akta Kematian.
Penyimpanan dan pemeliharaan akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta pengakuan
dan pengesahan anak, harta kematian.
Penyediaan
bahan
dalam
rangka
perumusan
kebijaksanaan
di
bidang
kependudukan/kewarganegaraan.
Organisasi Catatan Sipil ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri yang mendapat persetujuan
tertulis dari menteri yang bertanggung jawab di bidang penertiban dan penyempurnaan
aparatur Negara. Gubernur Kepala Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Catatan
Sipil.
Penyelenggaraan Catatan Sipil dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang menunjuk Camat selaku
Pegawai Pencatatan Sipil di wilayah Kecamatan.

Anda mungkin juga menyukai

  • Yeyey
    Yeyey
    Dokumen18 halaman
    Yeyey
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Utspbb
    Utspbb
    Dokumen4 halaman
    Utspbb
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Pembagian CB Tk. 3
    Pembagian CB Tk. 3
    Dokumen33 halaman
    Pembagian CB Tk. 3
    Yogy Wira Utama
    Belum ada peringkat
  • Berita 1
    Berita 1
    Dokumen2 halaman
    Berita 1
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • GWGW
    GWGW
    Dokumen1 halaman
    GWGW
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Unknowen
    Unknowen
    Dokumen1 halaman
    Unknowen
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Etika PNS
    Etika PNS
    Dokumen1 halaman
    Etika PNS
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Menu Tempe
    Menu Tempe
    Dokumen5 halaman
    Menu Tempe
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • UU Nomor 17 TH 2003 Tentang Keuangan Negara
    UU Nomor 17 TH 2003 Tentang Keuangan Negara
    Dokumen18 halaman
    UU Nomor 17 TH 2003 Tentang Keuangan Negara
    Anif Faisal
    Belum ada peringkat
  • Strategi Bisnis Perusahaan
    Strategi Bisnis Perusahaan
    Dokumen8 halaman
    Strategi Bisnis Perusahaan
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Slip Perhitungan Pemungutan Pajak
    Slip Perhitungan Pemungutan Pajak
    Dokumen1 halaman
    Slip Perhitungan Pemungutan Pajak
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Strategi Bisnis Perusahaan
    Strategi Bisnis Perusahaan
    Dokumen8 halaman
    Strategi Bisnis Perusahaan
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Undangan
    Undangan
    Dokumen1 halaman
    Undangan
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • PIE - Contoh Soal
    PIE - Contoh Soal
    Dokumen10 halaman
    PIE - Contoh Soal
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat
  • Kerjasama Antar Umat Beragama
    Kerjasama Antar Umat Beragama
    Dokumen2 halaman
    Kerjasama Antar Umat Beragama
    Dicky Laksmana Antoro Putra
    Belum ada peringkat