Perda 2 2013
Perda 2 2013
1. Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1959
tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953
tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor
9) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1820);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana dirubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
3. Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Kutai Kartanegara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD memuat
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintah
dibidang
pertambangan
mineral
dan
batubara.
5. Bupati adalah Bupati Kutai Kartanegara.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara.
7. Satuan kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya dsingkat
SKPD adalah perangkat daerah pada Pemerintah Daerah
selaku pengguna anggaran/barang.
8. Pejabat adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas
tertentu di bidang pertambangan sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
9. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
pengusahaan mineral dan atau batubara yang meliputi
penyelidikan
umum,
eksplorasi,
studi
kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang.
10. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta
susunan kristal teratur atau gabungan yang membentuk
batuan baik dalam bentuk lepas atau padu.
11. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan
yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan.
12. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas
bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
g. pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat
setempat dalam usaha pertambangan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan;
penyampaian
informasi
hasil
inventarisasi,
penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi
dan eksploitasi kepada Menteri dan Gubernur;
j.
pada
ayat
(1)
Pasal 6
(1) Bupati dapat mengusulkan penetapan WP dan perubahan
WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan
penelitian.
(2) WP dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 tahun.
BAB IV
WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 7
(1) Bupati menunjuk SKPD terkait untuk melakukan
eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi
tentang peta potensi/cadangan mineral dan/atau
batubara.
(2) Hasil eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan dan dikoordinasikan kepada Gubernur dan
Menteri untuk penetapan WUP.
(3) WUP ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat laporan
dan berkoordinasi dengan Gubernur dan Bupati.
(4) Bupati dapat mengusulkan perubahan WUP kepada
Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian.
(5) Bupati memiliki kewenangan menetapkan WPR.
pertambangan
Pasal 8
(1) Bupati menetapkan WPR yang dapat ditambang maupun
yang tertutup untuk kegiatan pertambangan.
(2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, Bupati dapat
menutup wilayah pertambangan atau menutup sebagian
wilayah pertambangan yang sedang diusahakan.
(3) Wilayah pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) merupakan tempat/wilayah yang dianggap suci,
bangunan sejarah, tempat fasilitas umum dan tempat
yang menurut ketentuan perundang-undangan dilarang
untuk kegiatan pertambangan.
(4) Pada wilayah pertambangan apabila ditemukan bahan
galian lain yang berbeda dengan IUP yang diberikan maka
dapat diberikan IUP baru untuk bahan galian tersebut
melalui peraturan perundang-undangan.
(5) Pemegang IUP mempunyai hak prioritas untuk
mengusahakan bahan galian lain dalam wilayah kerjanya
dengan memenuhi ketentuan yang berlaku.
BAB V
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) IUP diberikan oleh Bupati apabila WIUP berada dalam 1
(satu) wilayah Kabupaten.
(2) Bupati
sebagaimana
dimaksud
ayat
(1)
dapat
melimpahkan sebagian atau keseluruhan kewenangannya
kepada SKPD tertentu untuk memberi IUP adapun tata
cara pelimpahan sebagian atau keseluruhan kewenangan
diatur dalam peraturan Bupati.
(3) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kegiatan usaha
pertambangan dengan kegiatan usaha selain usaha
pertambangan,
maka
prioritas
peruntukan
lahan
ditentukan oleh Bupati sesuai lingkup kewenangannya.
(4) IUP diberikan kepada :
a. Badan Usaha;
b. Koperasi, dan/atau
c. Perseorangan.
(5) IUP yang diberikan terdiri atas 2 (dua) tahap, yaitu:
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi dan studi kelayakan; dan
b. IUP
Produksi
meliputi
kegiatan
konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.
(6) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk
satu jenis mineral dan/atau batubara.
(7) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi
Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 10
Badan Usaha, Koperasi dan Perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) yang memegang IUP
Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi wajib memenuhi
persyaratan:
a.
administratif;
b. teknis;
c.
lingkungan; dan
d. finansial.
Pasal 11
(1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a untuk badan usaha meliputi :
a. untuk IUP Eksplorasi dan IUP Produksi mineral, logam
dan batubara :
1. Surat Permohonan;
2. Susunan Direksi dan daftar pemegang saham; dan
3. Surat Keterangan domisili.
b. untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan :
1. Surat Permohonan;
2. Profil Badan Usaha;
3. Akta Pendirian badan usaha yang bergerak di
bidang usaha pertambangan yang telah disyahkan
oleh pejabat yang berwenang;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak;
5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan
6. Surat Keterangan domisili.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a untukkoperasi meliputi :
a. untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
logam dan batubara :
1. Surat Permohonan;
2. Surat Pengurus; Dan
3. Surat Keterangan domisili.
b. untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral
bukan logam dan batuan :
1. Surat Permohonan;
2. Profil Koperasi;
3. Akta Pendirian Koperasi yang bergerak di bidang
usaha pertambangan yang telah disahkan oleh
pejabat yang berwenang;
4. Nomor Pokok Wajib Pajak;
5. Susunan Pengurus; dan
6. Surat Keterangan domisili.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a untuk orang perseorangan meliputi :
yang
bergerak
di
prasarana
iuran
tetap
(tiga)
tahun
j.
rencana
pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
l.
modal investasi;
j.
izin lingkungan;
perpanjangan IUP;
dan
keteknikan
d. kegiatan penyelidikan;
e. hasil penyelidikan;
f.
Pasal 32
WIUP pertambangan batuan diberikan kepada badan usaha,
koperasi, atau perseorangan dengan cara permohonan
wilayah kepada Bupati.
BAB IX
PERTAMBANGAN BATUBARA
Pasal 33
Pertambangan batubara meliputi golongan komoditas
tambang berupa bitumen padat, batuan aspal, batu bara dan
gambut.
Pasal 34
WIUP pertambangan batubara diberikan kepada Badan
Usaha, Koperasi, atau perseorangan dengan cara lelang.
Pasal 35
(1) Sebelum dilakukan pelelangan WIUP batubara, Bupati
sesuai dengan kewenangannya mengumumkan secara
terbuka
kepada
Badan
Usaha,
Koperasi,
atau
perseorangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sebelum pelaksanaan lelang.
(2) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh panitia lelang yang dibentuk oleh Bupati
yang beranggotakan 5 (lima) orang yang memiliki
kompetensi di bidang pertambangan mineral dan
batubara.
(3) Tugas dan wewenang panitia lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) serta persyaratan dan prosedur
lelang mengacu pada ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 36
(1) Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya yang
tidak sesuai dengan komoditas yang diberikan izin,
pemegang IUP wajib mengajukan permohonan IUP baru
kepada Bupati.
(2) Pemberian IUP baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan setelah berkoordinasi dan mempertimbangkan
pendapat dari pemegang pertama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP
baru pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang
Pasal 39
Perseorangan,
Kelompok
Masyarakat,
dan
Koperasi,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) yang
memegang IPR Eksplorasi dan IPR Operasi Produksi wajib
memenuhi persyaratan :
a.
administratif;
b. teknis; dan
c.
finansial.
Pasal 40
Pasal 42
Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada Pasal 39
huruf c berupa laporankeuangan 1 (satu) tahun terakhir dan
hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat.
BAB XI
PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI
SEKITAR WIUP
Pasal 43
(1) Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP.
(2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dikonsultasikan
dengan
Pemerintah
Daerah
dan
masyarakat setempat dan sedapat mungkin meliputi :
a. perbaikan infratruktur jalan desa maupun sarana dan
prasarana publik di sekitar WIUP;
b. bantuan modal usaha dan modal sosial dalam bentuk
hibah maupun pinjaman lunak kepada masyarakat di
sekitar WIUP;
c. beasiswa bagi pelajar berprestasi dan keluarga miskin
disekitar WIUP; dan
d. pemberian pendidikan dan pelatihan kepada pemilik
lahan, tokoh adat, pemuda dan Pemerintah Desa
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat di
sekitar WIUP.
(3) Besaran dan jumlah dana pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati.
Pasal 44
(1) Pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1)
diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP yang
terkena dampak langsung akibat aktivitas pertambangan.
(2) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi
biaya program pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat pada anggaran dan biaya pemegang IUP
setiap tahun.
(3) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh tim
koordinasi
untuk
mengkoordinasikan
kepentingan
masyarakat dan Pemerintah Daerah.
j.
melakukan
pengolahan
dan
pertambangan di Dalam Negeri;
pemurnian
hasil
memprioritaskan
tenaga
kerja
lokal
dipekerjakan dalam usaha pertambangan.
untuk
dan
keselamatan
kerja
Pasal 49
(1) Pemegang IUP dan IPR bertanggung jawab terhadap segala
kerusakan yang diakibatkan usaha pertambangan dalam
lingkup wilayah pertambangan maupun di luar wilayah
pertambangan baik disengaja maupun karena kelalaian.
(2) Kerugian yang diakibatkan oleh 2 (dua) atau lebih
pemegang IUP atau IPR dibebankan secara tanggung
renteng.
(3) Pemegang IUP atau IPR tetap bertanggung jawab terhadap
jumlah tunggakan pembayaran serta denda walaupun IUP
atau IPR telah berakhir.
BAB XIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 50
(1) Bupati melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan
usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang
IUP dan IPR.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud
dilakukan paling sedikit terhadap :
pada
ayat
(1)
a. administrasi pertambangan;
b. teknis operasional pertambangan;
c. penerapan
standar
pertambangan; dan
kompetensi
tenaga
kerja
j.
k. pengembangan
setempat;
l.
dan
pemberdayaan
masyarakat
dalam Pasal 51
(1)
Pasal 53
Pengawasan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a dilakukan oleh Inspektur
Tambang untuk :
a. IUP Eksplorasi dilakukan paling sedikit terhadap
pelaksanaan teknik eksplorasi
dan tata cara
penghitungan sumberdaya dan cadangan; dan
b. IUP Operasi Produksi paling sedikit terhadap perencanaan
dan pelaksanaan konstruksi termasuk pengujian alat
pertambangan,
perencanaan
dan
pelaksanaan
pertambangan, perencanaan dan pelaksanaan pengolahan
dan pemurnian, dan perencanaan dan pelaksanaan
pengangkutan dan penjualan
Pasal 54
Pengawasan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat (2) huruf b dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Bupati dan paling sedikit harus mengawasi :
a. realisasi produksi dan realisasi penjualan termasuk
kualitas dan kuantitas serta harga mineral dan batubara;
perencanaan anggaran;
b.
realisasi anggaran;
c.
d.
(2) Pemenuhan
kewajiban
pembayaran
dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :
a. iuaran tetap
batubara; dan
untuk
WIUP
mineral
sebagaimana
logam
atau
Inspektur
Tambang
berkoordinasi
dengan
pengawas
ketenagakerjaan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan melakukan pengawasan terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf f meliputi :
a.
keselamatan kerja;
b. kesehatan kerja;
c.
dengan
Pasal 61
(1) Inspektur Tambang melakukan pengawasan pemanfaatan
barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan
rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (2) huruf i yang dilakukan terhadap pelaksanaan
pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan
rekayasa dan rancang bangun.
(2) Penggunaan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dilaksanakan sesuai
dengan klasifikasi dan kualifikasi pelaksana usaha jasa
pertambangan mineral dan batubara serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 62
Pejabat yang ditunjuk Bupati melakukan pengawasan
pengembangan tenaga kerja teknis
pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf j paling
sedikit meliputi :
a.
dan
pemberdayaan
Pasal 65
Pejabat yang ditunjuk Bupati melakukan pengawasan
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf n paling sedikit
meliputi :
a. luas wilayah;
b. lokasi penambangan;
c. lokasi pengolahan dan pemurnian;
d. jangka waktu tahap kegiatan;
e. penyelesaian masalah pertanahan;
f.
a. memasuki tempat
setiap saat;
kegiatan
usaha
pertambangan
evaluasi
terhadap
laporan
dari
Apabila
penghentian
sementara
kegiatan
usaha
pertambangan
diberikan
karena
alasan
kahar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a
kewajiban pemegang IUP atau IPR kepada Pemerintah
Daerah tidak berlaku.
(2)
Apabila
penghentian
sementara
kegiatan
usaha
pertambangan diberikan karena sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b,dan huruf c, kewajiban
pemegang IUP atau IPR kepada Pemerintah Daerah tetap
berlaku.
BAB XV
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 72
a.
dikembalikan;
b. dicabut; atau
c.
Pasal 77
(1) IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut atau masa
berlakunya telahberakhir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 huruf a, huruf b, dan huruf c dikembalikan
kepada Bupati sesuai kewenangannya.
(2) WIUP yang IUP nya berakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditawarkan kepada Badan Usaha, Koperasi,
kepada perseorangan atau kepada masyarakat melalui
mekanisme sesuai dengan Peraturan Daerah ini.
Pasal 78
Apabila IUP atau IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib
menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil
Eksplorasi dan Operasi Produksi kepada Bupati.
BAB XVI
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA
PERTAMBANGAN
Pasal 79
(1) Hak atas WIUP dan WIPR tidak meliputi hak atas tanah
permukaan bumi.
(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan
pada tempat yang dilarang untuk kegiatan usaha
pertambangan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin
dari Bupati atau SKPD yang diberi kewenangan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 80
Pemegang IUP Eksplorasi hanya dapat melaksanakan
kegiatannya setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang
hak atas tanah.
Pasal 81
(1) Pemegang IUP sebelum melaksanakan kegiatan operasi
produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan
pemegang hak atas tanah.
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diserahkan sepenuhnya kepada pemegang IUP
dengan pemegang hak atas tanah.
Pasal 82
Hak atas IUP atau IPR bukan merupakan kepemilikan hak
atas tanah.
BAB XVII
REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG
Pasal 83
(1) Pemegang IUP Eksplorasi wajib melakukan reklamasi.
(2) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan
reklamasi dan pasca tambang.
Pasal 84
(1) Pemegang IUP Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan
eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi yang
dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya
eksplorasi.
(2) Pemegang IUP Eksplorasi yang telah menyelesaikan
kegiatan studi kelayakan harus mengajukan permohonan
persetujuan rencana reklamasi dan rencana pasca
tambang kepada
Bupati atau SKPD yang diberi
kewenangan.
(3) Rencana reklamasi dan rencana pasca tambang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan bersamaan
dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi.
(4) Rencana reklamasi dan rencana pasca tambang
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(3)
disusun
berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah
disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 85
(1) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
ayat (3) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
dibuat untuk masing-masing tahun.
(2) Bila umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana
reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
sesuai dengan umur tambang.
(3) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (I)
dan ayat(2) paling sedikit memuat :
a. tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang;
dan
tempat
c. jalan;
d. pabrik/instalasi pengolahan dan pemurnian;
e. bangunan/ instalasi sarana penunjang;
f.
b.
c.
d.
2.
3.
4.
pemantauan;
e.
f.
g.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Ditetapkan di Tenggarong
pada tanggal 7 Januari 2013
BUPATI KUTAI KARTANEGARA,
RITA WIDYASARI
Diundangkan di Tenggarong
pada tanggal
Plt. SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
EDI DAMANSYAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA TAHUN
2013 NOMOR
NO
1.
2.
3.
4.
PARAF
PENJELASAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
NOMOR 2 TAHUN 2013
TENTANG
PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
I. Umum
Mineral dan batubara adalah sumberdaya alam yang tidak terbarukan
sehingga pengelolaannya harus seoptimal mungkin, efisien, transparan,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini Sesuai
dengan amanat UUD tahun 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa
bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, telah diterbitkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Namun seiring dengan semangat otonomi daerah dan
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional
maupun internasional dan berbagai tantangan masa depan yang akan
dihadapi dalam proses pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
maka diterbitkannya UU No 4 tahun 2009 tentang pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara, hal ini dilakukan sebagai bentuk
reformasi yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, yang di
dalamnya memuat regulasi mulai dari proses penetapan wilayah
pertambangan, izin, pemberhentian izin, pemberdayaan masyarakat, hak
dan kewajiban sampai pada perlindungan terhadap lingkungan hidup dan
masyarakat sekitar tambang. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, daerah diberi kewenangan untuk
menyusun Peraturan Perundang-undangan Daerah di Bidang Pertambangan
dan Mineral.
Berdasarkan amanah tersebut maka kehadiran peraturan daerah
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara diharapkan dapat
memberikan pengaturan dalam rangka memberikan pelayanan dalam
usahapemanfaatan sumber daya tambang secara baik dan benar
termasukmemastikan terjaganya kondisi lingkungan di wilayah Kabupaten
Kutai Kartanegara
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (7)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah
akumulasipengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu
meander sungai.
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup jelasa
Huruf d
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
huruf g jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Jaminan
kesungguhan
dalam
ketentuan
ini
termasuk
biayapengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan
merupakansinkronisasi data milik pemerintah dan pemerintah
daerah.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk
jangkawaktu untuk sinkronisasi selama 2 (dua) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah
antaralain batu gamping untuk industri semen, intan dan batu
muliaJangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
termasuk jangkawaktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk
jangkawaktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
disertai dengan materai cukup dan dilampiri rekomendasi dari kepala
desa/lurah mengenai kebenaran riwayat pemohon untuk memperoleh
prioritas dalam mendapatkan IPR
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukp jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
tim
koordinasi
yang
dimaksudkan
untuk
memonitor,
mengkoordinasikan, mengevaluasi penyelenggaraan pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat di sekitar tambang antara lain melalui
program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan keadaan kahar (force majeur) dalam ayat ini,
antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa
bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan
manusia
Huruf b
Yang dimaksud dengan keadaan menghalangi dalam ayat ini, antara
lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar
kesalahan pemegang IUP atau IPR dan peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah yang menghambat kegiatan usaha yang sedang
berlangsung
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Pasal 80
Persetujuan dari pemegang hak atas tanah dimaksudkan untuk
menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan ekplorasi
seperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
NOMOR.