Kongres I di Surabaya
Foto: Suasana Kongres I ANO di Surabaya 30
April s/d 2 Mei 1936
Kongres pertama di Surabaya baru dihadiri 8 Cabang dari Jawa Timur dan 2 Cabang dari
Jawa Tengah. Disebabkan karena saat itu sebagian besar cabang NU bukan belum
memiliki inisiatif, tetapi juga masih muncul pro-kontra pendirian ANO. Pada saat Muktamar
NU ke-11 (9-13 Juni 1936), baru kemudian merekomendasikan agar masing-masing NU
membentuk ANO.
Kongres II di Malang
Setelah ANO berdiri di berbagai daerah, PB ANO kemudian mengambil insiatif untuk
melaksanakan Kongres II. Salah satu keputusan penting kongres adalah mendirikan
Banoe (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama) yang kemudian disebut Banser. Selain itu juga
menyempurnakan Anggaran Rumah Tangga ANO terutama menyangkut Banoe.
Kongres III 1938
Langkah ANO sebagai organisasi pemuda semakin berkembang, dan Kongres III ini
dianggap sebagai Kongres paling bersejarah dan menyedot perhatian luas. Waktu itu,
setiap peserta kongres mengenakan pakaian seragam kebesaran. Sementara Banoe
menunjukkan keterampilannya dalam baris berbaris dan olah raga pencak silat, terkesan
solid dan tema yang diangkat sangat aktual. Memutuskan beberapa hal penting: (1)
meningkatkan pengamalan reglement; (2) memperingati hari lahir ANO setiap tahun di
semua cabang; (3) mendirikan banoe di semua cabang dan mengaktifkan Riyadlatul
Badaniyah serta latihan baris berbaris; (4) mengusahakan terwudnya taman bacaan di
setiap cabang; (5) mengesahkan Mars ANO al iqdam; (6) berusaha bersama NU
mendirikan poliklinik; (7) menginstruksikan kepada setiap cabang untuk mengaktifkan
confrentie found; (8) mengutus Thohir Bakri dan Abdullah Ubaid ke Muktamar NU ke-13 di
Menes, Banten.
Kongres IV: Gabungan 1939
Bahwa kongres ANO IV rencananya dilaksanakan di Madura (Pemekasan), oleh Muktamar
NU ke-13 di Menes, agar digabung dengan Muktamar NU ke-14 di Magelang (15-21 Juli
1939). Pada kongres kali ini, pro kontra tentang eksistensi ANO sudah bisa dikatakan
berakhir.
melainkan sudah menjadi organisasi pemuda terbesar di Tanah Air ini. Karenanya,
pengurus GP Ansor di semua jajaran hendaknya insafi akan dirinya bakal memikul amanat
ummat yang kini tengah berada di pundak NU.
Kongres VI 1963
Kongres VI GP Ansor berlangsung pada 20-25 Juli 1963 di Surabaya. Namun seperti telah
disinggung, sebelum memasuki medan kongres ini grafik Ansor justru meluncur ke bawah.
Di bidang politik, kritik-kritik panas dikemukakan buat mengoreksi realitas politik NU.
Sehingga penampilan Ansor terlihat lesu dalam aktivitas, tapi segar dalam menyuguhkan
kritik maupun koreksi.
Perkembangan politik sebelum dan sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menuntut NU
untuk lebih berhati-hati, dan lebih banyak menggunakan pertimbangan politis, tanpa
mengorbankan prinsip sebagai gerakan Islam. Misalnya, peristiwa politik (sebelum Dekrit)
mundurnya Drs. Mohammad Hatta dari jabatan Wakil Presiden (1 Desember 1956) disusul
sikap politik Masyumi menarik menteri-menterinya dari kabinet Ali-Roem-Idham (21 Januari
1957) dan, selanjutnya (14 Maret 1957) kabinet Ali-Idham menyerahkan mandat kepada
Presiden Soekarno. Semua peristiwa itu, sungguh mebikin panik partai NU.
Pihak yang kontra (KH. Bishri Syansuri, KH. M. Dachlan, Imron Rosyadi dan Achmad
Siddiq) mendasarkan alasannya bahwa, lembaga tersebut dibentuk secara demokratis dan
tidak memberi kesempatan golongan oposisi. Karena itu, aliran kontra ini berpendapat : NU
lebih baik berada di luar dulu, jangan keburu masuk.
Sedangkan pihak yang pro (KH. Wahab Hasbullah, KH. Masykur KH. Idham Chalid, Zainul
Arifin, Saifuddin Zuhri dan H.A.Syaikhu), mendasarkan alasan bahwa kalau berada di luar
justru tidak bisa melakukan hak control dan amar maruf nahi mungkar. Oposisi di luar
lembaga jelas tak mungkin, dan salah-salah bisa dicap reaksioner dan dibubarkan. Lebih
baik masuk dulu, lalu manggil Dewan Partai bersidang. Kalau Dewan memutuskan setuju
masuk, kita sudah di dalam. Tapi, jika Dewan Partai tidak setuju apa susahnya menarik
keluar?
Dekalarasi Sala 1962
Guna melicinkan jalan ke kongres VI, PP. GP.Ansor mengadakan konferensi Besar
(Kombes) 26-27 Desember 1962 di kota Sala. Dalam konbes ini berbagai kendala yang
menghadang aktifitas Ansor dikaji secara cermat. Hubungan Ansor-NU yang cenderung
memburuk dan diliputi berbagai prasangka ketidak setiaan Ansor terhadap induknya, juga
dibahas secara mendalam.
Nama-nama tokoh pucuk Pimpinan yang hadir dalam konbes antara lain, Yusuf Hasyim
(Ketua II PP.GP Ansor) Aminuddin Aziz (Ketua III) Chalid Mawardi (Sekretaris Umum),
Mahbub Djunaidi (anggota) Ansori Syam (anggota), Danial Tanjung (Anggota) dan H.
Qosim A. Gani (Anggota). Sedangkan dari pimpinan Wilayah yang hadir tercatat 17
Propinsi, antara lain: Sumatera (semua wilayah ), Kalimantan (semua wilayah), Sulawesi
(semua wilayah), Djambi, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Konbes kemudian mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Deklarasi Sala, yang
isinya memperkuat kembali persetujuan bersama PBNU PP GP Ansor tertanggal 2
September 1951, yang ditandatangani KH. Wahab Hasbullah (Rais Aam PBNU), KH.M
Dachlan (Ketua PBNU) dan Chamid Widjaja (Ketua Umum PP.GP Ansor).
Inti dari persetujuan bersama itu terdiri dari tiga point: (1) Bahwa dalam bidang politik GP.
Ansor tunduk kepada PBNU dan dalam bidang hukum apapun tunduk kepada PB Syuriah;
(2) Bahwa GP. Ansor adalah alat perjuangan NU; dan (3) Bahwa GP. Ansor tetap taat dan
setia kepada NU dalam waktu dan keadaan yang bagaimanapun juga selama NU (saat itu
Partai NU) tetap di pimpin oleh para Ulama Ahlussunnah wal jamaah.
Deklarasi tertanggal 27 Desember 1962 itu, ditanda tangani Yusuf Hasyim, Moh. Saleh dan
Chalid Mawardi atas nama Konferensi Besar.
Dengan demikian, dalam masa 11 tahun (1951-1962) Ansor telah dua kali mengatakan
Ikrar: tunduk, taat dan patuh kepada NU, Ibarat seorang anak, maka dalam kurun waktu 11
tahun Pemuda Ansor berlaku banal. Bahkan berkat kebinalannya itu timbul prasangka
sementara kalangan (baik di dalam maupun di luar Partai NU) akan kesetiaan Ansor
terhadap NU. Sehingga, ia harus menyatakan kembali komitmen dasarnya, yakni sebagai
kader NU dan kader Ahlussunnah wal jamaah.
Di Tengah Masa Sulit
Peristiwa G/30/PKI merupakan sejarah suram bangsa yang tidak bisa dilupakan oleh Ansor
terutama NU. Sebab, pengalaman pahit yang menimpa warga NU (Pemuda Ansor) dalam
aksi PKI di Madiun 1948, puluhan bahkan ratusan warga NU menjadi korban keganasan
palu arit. Karma itu seperti dikemukakan oleh KH.Saefuddin Zuhri, Perlawanan NU
terhadap PKI di lakukan di semua medan juang.
Antara PKI dan NU berhadapan sebagai lawan. PKI menggerakkan massanya, NU
mengorganisasi Pemuda Ansor dan Banser-nya. PKI mengerakkan Lekranya, NU
mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyajikan lagu Genjer-genjer yang penuh hasutan dan
sindiran, NU mengobarkan Salawat Badar. NU mengobarkan semangat perlawanan
terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948.
Di Jawa Timur misalnya, aksi sepihak PKI selalu gagal, Pemuda Ansor dan Banser
(Barisan Ansor Serbaguna)-nya senantiasa selalu berada di barisan paling depan dalam
menghalau aksi PKI seperti di kemukakan oleh Haji Yoesoef Zakaria. Bahwa sejak 1961,
GP. Ansor Jawa Timur di bawah pimpinan Hizbullah Huda, mengadakan kosolidasi
organisasi secara intensif. Bahkan sampai dengan tahun 1963, hampir seluruh Ranting
Ansor memiliki pasukan drumband dan Banser.
Peristiwa G/30/S/PKI di tahun 1960-an dipahami oleh banyak pihak, sebagai gerakan
terselubung yang berlindung di balik nama besar Bung Karno. Para kader dan anggota
Biro Khusus menyusup kedalam organisasi politik. Kader lainnya mengerakkan organisasi
buruh di berbagai bidang profesi dengan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia) sebagai wadah induk. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) juga tak putusputusnya mengeluarkan semboyan menarik; Seni Untuk Rakyat, Seni Untuk Revolusi.
Bahkan dalam buku Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, bahwa
saat itu PKI memainkan kartu As, sutradara politik yang memainkan hampir semua
kekuatan untuk mendukung cita-citanya. Infiltrasi politik di tubuh PNI misalnya,
berlangsung mulus hingga partai terbesar itu terbelah menjadi dua: PNI ASU (Ali
Surachman) dan PNI Osa-Usep. Keduanya saling berhadapan, bertarung dalam
menghadapi setiap isu-isu politik yang, notabene, diciptakan oleh PKI.
PKI benar-benar di atas angin, Bung Karno berhasil dikuasai. Partai politik saat itu tidak
bisa berbuat banyak lantaran takut terkena cap sebagai kontra revolusioner. Golongan
atau kekuatan apa saja yang menghalagi PKI di cap kontra revolusi. Akibatnya tentu saja,
dimusuhi Bung Karno, jika tidak dihabisi atau diberangus seperti lembaga kebudayaan
asing dan pencetus Manifes Kebudayaan tadi.
Masyarakat Indonesia sangat tidak sepakat dengan dasar-dasar pikiran PKI. Kalimat DN
Aidit yang selalu di jadikan pegangan, ketika DN Aidit berpidato di depan peserta
Pendidikan Kader Revolusi (1964), antara lain DN Aidit mengatakan bahwa sosialisme jika
sudah tercapai di Indonesia, maka Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu.
Padahal, Pancasila bagi kebanyak masyarakat Indonesia adalah dasar Negara yang masih
tetap ideal.
Secara perlahan dan pasti masyarakat juga curiga dengan Sukarno, karena dianggap
manuver politik PKI tidak jauh beda dengan pikiran Bung Karno. Sebagaimana isi pidato
Bung Karno dalam Kongres X PNI (28 Agustus-1 September 1963) di Purwokerto, antara
lain Bung Karno menegaskan: Marhaenisme dan Marxisme yang diterapkan di Indonesia,
yang intinya adalah sosialisme Indonesia Marhaenisme macam inilah yang akan dijadikan
dasar perjuangan.
Karena aksi massa PKI tidak terbendung lagi dan membuat masyarakat merasa khawatir.
Membuat ormas-ormas NU termasuk GP Ansor seperti yang telah dikemukakan Chalid
Mawardi juga khawatir dengan manuver PKI. Maka tidak heran jika bangkit mengimbangi
aksi-aksi itu. Kendati dengan resiko perkelahian, penculikan dan pembunuhan. Kontra aksi
massa dari ormas NU dipelopori oleh GP Ansor dengan backing massa dari Pertanu
(Persatuan Tani NU), Sarbumusi (Sarekat Buruh NU) dan Lesbumi (Lembaga Seni Budaya
NU) di bidang kebudayaan.
NU (termasuk didalamnya GP Ansor) semakin menemukan kebenaran perhitungan
politiknya, setelah RRI kembali menyiarkan berita bahwa Panglima KOSTRAD, Mayor
Jenderal Soeharto dan RPKAD berhasil merebut kembali RRI dan kantor telekomunikasi
serta berhasil mengiring para pelaku G 30 S/PKI ke Lubang Buaya, yang lebih
menyakinkan lagi adalah penegasan Mayjen Soeharto, bahwa Gestapu PKI adalah
perbuatan Kontra Revolusi yang harus diberantas. (pengumuman dikeluarkan pada malam
tanggal 1 Oktober 1965).
Sejak itu PKI mulai kedodoran. Operasi penumpasan G 30 S/PKI digerakkan di manamana. Tidak terkecuali juga dilakukan di lingkungan NU, tepatnya tanggal 2 Oktober,
pimpinan muda NU HM. Subchan ZE, membentuk organisasi Komando Aksi
Pengganyangan Kontra Revolusioner Gerakan 30 September disingkat dengan KAP
GESTAPU. Menyusul kemudian kesatuan-kesatuan aksi hingga melahirkan Front
Pancasila. Di dalamnya bergabung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI (berdiri
25 Oktober) disusul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KPPI), Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI) dan Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), serta kesatuankeasatuan lainnya yang anti komunis.
Kemudian, pada 5 Oktober 1965, NU dan semua ormas pendukungnya terutama GP.Ansor
mengeluarkan pernyataan resmi: Mendesak Presiden Soekarno untuk segera
membubarkan PKI dan antek-anteknya; Mencabut Surat Izin Terbit (SIT) semua media
cetak langsung maupun tak langsung membantu Gestapu PKI; menyerukan kepada
seluruh Ummat Islam agar sepenuhnya membantu kepada ABRI dalam upaya memulihkan
keamanan akibat Gestapu PKI.
Agaknya dikalangan Ormas Pemuda Gerakan Pemuda Ansor yang tak mungkin bisa
melupakan perannya ketika menumpas PKI. Sebab tidak sedikit anggota gerakan yang
gugur. Peristiwa Banyuwangi misalnya, menelan korban mati 40 anggota Ansor. Satu
kampung dikepung oleh PKI yang rata-rata dipersenjatai. Terjadilah pertempuran berdarah
hingga banyak menelan korban. Pertempuran penumpasan sisa-sisa PKI terus
berlangsung di semua daerah di Jawa Timur. Dan setiap penumpasan, GP.Ansor
merupakan tulang punggungnya. Tulang punggung bukanlah yang menumpang
dipunggung. Karena itu, jasa Ansor seringkali tidak terlihat kendati tak satu pun yang
berani menginkari peran Ansor kala itu.
Dan bukan penghargaan yang dicari,
melainkan yang utama adalah komunis
tetap musuh agama. Dan harus
diberantas.
Aparat
keamanan
segera
mengkoordinasikan kekuatannya. Ansor
tentu tak ketinggalan. Kapten Hambali
Pasi I Kodim Blitar menemui Kayubi
Komda GP. Ansor Kediri diruang BPH
Blitar. Hambali meminta agar GP.Ansor
bersedia mengenakan pakaian Hansip
dan ikut ke Blitar Selatan membantu
Operasi Trisula. Mengapa Ansor? Jawab Hambali. Sebab Pemuda Ansor tidak diragukan
lagi ke-pancasilaannya. Kalau menggunakan hansip regular, masih perlu penyaringan. Dan
itu sulit, Kayubi segera memberangkatkan Banser-nya ke gunung-gunung batu di selatan
sungai Brantas, di wilayah Blitar Selatan.
Catatan dari redaksi Ansor Online:
Bahwa kekerasan yang pernah dilakukan oleh Ansor tidak perlu menjadi kebanggan bagi
pengurus dan warga GP Ansor, sebab bagaimanapun juga yang dilakukan oleh Ansor
adalah suatu tindak kekerasan, yang dilakukan karena upaya balas dendam gerakan PKI.
Bahkan sekalipun pemberontakan PKI diakui oleh banyak pihak telah nyata-nyata
melakukan pelanggaran terhadap konstitusi RI.
Sebagaimana sikap kemanusiaan yang lebih humanis ditampilkan Gus Dur berhubungan
dengan pertistiwa 30 September 1965 bisa menjadi contoh buat keluarga besar NU.
Bahwa Gus Dur secara ikhlas meminta maaf kepada keluarga PKI terhadap peristiwa 30
September 1965, termasuk keterlibatan NU dalam pembantaian PKI.
Sikap kesatria Gus Dur bukan untuk mengakui kebenaran PKI dan menyalahkan kelompok
lain, tetapi semata-mata dilandasi dengan pemikiran yang lebih rasional, bahwa kekerasan
yang pernah dilakukan dengan sesama warga bangsa karena bingkai konflik poltik, tidak
perlu terulang lagi apalagi menjadi kebanggaan warga yang melekat di ingatan warga
Ansor.
suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut
bermotif ideologis dan strategis.
Menolak Kembalinya Kekuasaan Totaliter
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal
timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya
memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar
ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir
pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam
buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan
muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang
korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak
bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan
kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael
Edwards.
Masalah Toleransi Agama
Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan antar umat beragama.
Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan
dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut
agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama
sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya
timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada
waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam
maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi
bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan
di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam.
Dalm Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai
masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari
komitmen Ansor terhadap ideology Pancasila.
Bidang Organisasi
Dalam hal penyempurnaan organisasi, Jahja Ubaid mengemukakan, Ansor hanya
bergantung pada kekuatan Gerakan Sendiri. Tekad untuk mandiri ini sesungguhnya sudah
tercetus sejak Kongres VII. Jika kini GP.Ansor selalu menyatakan gagasan
kemandiriannya, sesungguhnya merupakan kelanjutan dari tekad yang telah dikobarkan
sejak lama itu.
Tekad itu tercermin dari beberapa keputusan, baik mengenai pemberian wewenang
maupun otonomi Pimpinan Wilayah dan Cabang serta upaya pembentukan badan usaha
Ansor. Sejak Kongres VII Pimpinan Wilayah diberikan wewenang mengesahkan pengurus
departemen di tingkat cabang, dan begitu pula Pimpinan Cabang terhadap pengurus
(departemen) di bawahnya. Selain itu, Pimpinan Wilayah di beri hak mengeluarkan kartu
anggota di wilayah masing-masing dengan petunjuk dari pucuk pimpinan (untuk
keseragaman).
Di bidang dana, Pimpinan Wilayah diperbolehkan mendirikan badan usaha untuk
menghidupi organisasi, sedang, di Pucuk Pimpinan telah dibentuk Yayasan Dharma
Pemuda yang akan mengusahakan dana bagi pembiayaan PP GP Ansor. Sedangkan
pengurus yayasan adalah: H. Anwar Hadisujanto (ketua), HA. Chalid Mawardi (Wakil
Ketua), H.Abdul Aziz (Wakil Ketua), H.M. Danial Tanjung (Sekretaris), Hadi Wurjan SH
(Wakil Sekretaris), dan Drs. Djawahir (Bendahara).
sudah tiada. Masyarrakat takut menyebut dirinya NU, mengaku dirinya Ansor. Inilah zaman
NU phobi dan Ansor phobia.
Kongres IX 1985
Kongres IX ini berlangsung sejak tanggal 19-23 Desember 1985 di Bandar Lampung.
Seperti telah disinggung, bahwa Kongres GP Ansor tak pernah sepi dari konflik
memperebutkan kedudukan Pucuk Pimpinan. Tidak terkecuali Kongres IX, persaingan itu
berlangsung begitu ketat. Baru berakhir setelah kongres memilih Drs.Slamet Effendi Yusuf
sebagai Ketua Umum. Terpilihnya Drs. Slamet Effendi Yusuf (sebelumnya Wakil Sekjen)
adalah jawaban dari adanya konflik.
Meski begitu, bukan berarti kongres pasca asas tunggal ini hanya didominasi konflik.
Beberapa keputusan penting, baik yang menyangkut program kerja, penyempurnaan
AD/ART (penetapan pancasila sebagai asas organisasi) dan pokok-pokok pikiran tentang
ideologi, pemilihan umum, pendidikan dan kepemudaan berhasil dirumuskan. Bahkan
sikap GP.Ansor terhadap ketiga kekuatan social politik pun digariskan dengan istilah
popular eguil-distance. Membikin jarak yang sama (dekat atau jauh) secara aktif.
Hal menarik dari kongres IX adalah dikukuhkanya Deklarasi Semarang dan Triprasetya
Ansor, dalam pokok program GP.Ansor periode 1985-1989 pada bidang doktrin dan
kepribadian. Ini berarti arah gerakan akan senantiasa mengacu pada tiga komitmen dasar
tadi. Konsekuensinya terhadap pengelolaan organisasi mesti ditempuh secara profesional
kepemudaan. Artinya, semua pengurus Gerakan di setiap eselon harus bersungguhsungguh mengelola organisasi, tapi tetap berpijak pada kepentingan kepemudaan, keIndonesiaan dan ke- Islaman atau keagamaan. (Diambil dari Buku Choirul Anam Mantan
(Ketua PWAnsor Jawa Timur), dengan judul Gerak Langkah Pemuda Ansor; Sebuah
Percikan Sejarah Kelahiran, Oleh: Tim Redaksi GP-Ansor Online)
Diantara manfaat yang telah dirasakan GP Ansor dari kondisi tersebut, adalah tersebarnya
kader GP Ansor di banyak posisi strategis. Kondisi ini berbeda dengan era 1970-an sampai
1990. Pada era tatanan politik yang monolitik itu sangat sulit menemukan kader Ansor
mendapat posisi strategis di Pusat atau di daerah. Paling banter kader Ansor menduduki
jabatan di Departemen Agama atau menjadi anggota DPR dengan jumlah yang sedikit dan
itupun sekedar pinggiran.Tapi kini di era demokrasi yang terbuka, kader Ansor sangat
mudah ditemukan memegang jabatan penting seperti Bupati/Wakil Bupati, anggota DPR
atau DPRD dan lain-lain.
Dalam wilayah politik praktis efek penyebaran ini terlihat dari terekrutnya kader Ansor di
hampir semua partai besar hasil Pemilu 2004. Penyebaran kader Ansor juga dapat
diartikan sebagai tingginya kepercayaan masyarakat terhadap organisasi kepemudaan NU
ini yang senantiasa konsisten menjaga jarak dengan semua kekuatan politik yang ada.
Berbagai perkembangan positif ini tidak membuat GP Ansor terlena. Sebaliknya, ini
memacu Ansor untuk meningkatkan potensi diri dan mengembangkan kiprah
pengabdiannya di masyarakat. Di sinilah kita semua menyadari bahwa peningkatan
kualitas sumberdaya manusia kader Ansor masih banyak yang perlu ditingkatkan. Para
kader yang lebih banyak berbasis di daerah, memiliki kelemahan dalam hal kualitas
sumberdaya manusia dan kelemahan dalam hal penguasaan sumberdaya ekonomi.
Kualitas sumberdaya manusia di tingkat Pimpinan Cabang, Wilayah dan Pusat memang
menunjukan gejala peningkatan. Bahkan tidak sedikit jajaran pengurus yang menempuh
jenjang pendidikan Pasca Sarjana. Mereka tentu membawa berbagai kemajuan baik
ditingkat pengayaan wacana maupun pelaksanaan program kerja, meskipun potensi yang
cukup baik tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Ansor.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan dan kekurangan tersebut, selama 5 tahun terakhir
GP Ansor telah merealisasikan berbagai program yang diarahkan pada peningkatan
kualitas sumberdaya manusia kader Ansor, dengan tujuan utama untuk mendukung
eksistensi dan peranan Ansor agar dapat terus mengkhidmatkan diri bagi upaya perbaikan
peri kehidupan bersama dalam bingkai negara yang bersatu dan bersaudara.
Sementara untuk mengimbangi masa transisi demokrasi yang berjalan cepat selama masa
5 tahun terakhir, GP Ansor melalui aksi-aksi nyata dan pengayaan wacana berusaha turut
menjaga agar perubahan itu dapat berjalan dinamis dan konstruktif. Ansor senantiasa
berada dalam posisi menjaga keseimbangan diantara berbagai keeseimbangan diantara
berbagai kesikap berimbang sulit ditemukan kejernihan dan kearifan dalam menyikapi
perubahan, sehingga bukan tidak mungkin wahana-wahana kebebasan yang diberkan oleh
zaman berubah menjadi lahan anarkhirme yang merusak tatanan hukum dan tatanan
kemasyarakatan kita.
Atas dasar kearifan dan kejernihan sikap Ansor, dan tentu saja komponen masyarakat
yang lain, akhirnya kita bersyukur bahwa kita semua dapat melewati masa-masa sulit
tersebut dengan tanpa pernah mengorbankan harga diri dan komitmen-komitmen dasar
organisasi.
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pengurus PP GP Ansor masa khidmat
2000-2005 senantiasa bertumpu pada hasil-hasil permusyawaratan pada Kongres
XII GP Ansor di Surakarta tahun 2000, yang terangkum dalam Sapta Khidmat GP Ansor
yang merupakan pokok-pokok program pengkhidmatan GP Ansor selama lima tahun masa
kepengrusan kami. Sapta Khidmat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meningkatan pelaksanaan kesadaran dan tanggungjawab berwarganegara dalam
wadah NKRI.
2. Pengembangan partisipasi aktif dalam pelaksanaan otonomi daerah.
3. Peneguhan pelaksanaan khittah nahdliyah secara utuh, konsisten dan konsekuen.
4. Pemberdayaan sumberdaya manusia dibidang ekonomi, politik, Iptek, sosial
budaya dan hukum.
Ansor insya Allah tetap terjaga untuk senantiasa taat dan patuh pada amanat khittah
tersebut.
Netralitas dan sikap kritis GP Ansor terhadap kekuasaan niscaya kita lakukan mengingat
GP Ansor didirikan dan dibesarkan oleh sejarah bukan untuk mendukung atau
menjatuhkan kekuasaan politik, melainkan sebagai bagian dari upaya dan cita-cita NU
untuk berkhidmah kepada perjuangan bangsa dan negara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peran politik GP Ansor adalah sebuah keniscayaan, namun peran tersebut dilaksanakan
dalam kerangka politik kebangsaan, yakni matra politik yang tidak ditujukan untuk
mencapai kepentingan golongan maupun kepentingan sesaat, melainkan matra politik
yang bertujuan jangka panjang melaksanakan amanat Pembukaan PD/PRT GP Ansor
yang mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang demokratis, adil, makmur dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengembangkan
ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah.
Terhadap Sapta Khidmat keempat, Pimpinan Pusat berupaya semaksimal mungkin
menjalankan tugasnya dalam kerangka pencapaian salah satu tujuan organisasi, yakni
membentuk dan mengembangkan generasi muda Indonesia sebagai kader bangsa yang
tangguh, memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, berkepribadian luhur, berakhlak
mulia, sehat, terampil, patriotik, ikhlas dan beramal sholeh. Hal ini kita lakukan dalam
berbagai bentuk kegiatan riil seperti penguatan dan pemberdayaan Koperasi Wirausaha
Nasional (Kowina) baik ditingkat pusat maupun di beberapa wilayah dan cabang,
menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Nasional Manajemen Koperasi, diskusi bulanan
untuk umum yang membahas berbagai tema dan penyelenggaraan kegiatan peringatan
hari besr keagamaan Islam secara kontinyu.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang kelima, Pimpinan Pusat meletakan masalah
konsolidasi organisasi sebagai sesuatu yang utama. Dalam lima tahun masa khidmat ini
tidak kurang dari 180 kegiatan konsolidasi ke daerah telah kami lakukan sehingga jika
dihitung secara statistik maka rata-rata dalam setiap bulan terdapat tiga kali kunjungan ke
daerah. GP Ansor juga telah menyelesaikan perumusan modul pelatihan kader dan
penyempurnaan perangkat aturan serta moedul pelatihan Banser. Berbagai peraturan
organisasi juga telah diputuskan pada forum Konferensi Besar di tempat ini pula pada
bulan April 2002 guna meningkatkan kualitas kinerja organisasi yang kita cintai ini.
Diatas semua itu, seiring dengan pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten/kota di
beberapa daerah di Indonesia, GP Anspr telah berhasil membentuk 93 Pimpinan Cabang
baru dan 5 Pimpinan Wilayah yang baru (Banten, Bangka Belitung, Kepulauan Riau,
Gorontalo dan Maluku Utara). Dua Pimpinan Wilayah baru sekarang dalam proses
pembentukan, yaitu Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Alhamdulillah, seluruh Cabang
dan Wilayah baru tersebut saat ini dapat berada di tengah-tengah kita semua dan menjadi
peserta penuh Kongres XIII karena telah memenuhi kualifikasi sebagaimana peraturanperaturan yang berlaku.
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat keenam, Pimpinan Pusat senantias menghadapi
setiap perubahan kehidupan kemasyarakatan yang beberapa waktu lalu diwarnai oleh
konflik horisontal bernuansa keagamaam di beberapa daerah, dengan tetap
mempertahankan sikapnya yang anti kekerasan dan menghindari pemaksaan kehendak
yang mengatasnamakan agama.
Pimpinan Pusat berkali-kali mengeluarkan seruan dan pernyataan sikap agar seluruh
warga GP Ansor pada khususnya dan umat Islam Indonesia pada umumnya
mengembangkan kehidupan beragama Islam yang toleran, damai, mengutamakan
kebersamaan, sesuai dengan faham ahlussunnah wal jamaah yang mengutamakan prinsip
dasar keseimbangan, toleransi, jalan tengah, dan prinsip keadilan. Pimpinan Pusat
senantiasa menjaga agar kita semua senantiasa berdiri di tengah masyarakat Indonesia
memandang
perbedaan-perbedaan
Dalam melaksanakan Sapta Khidmat yang ketujuh, GP Ansor tidak saja menjalin
hubungan sinergis dan dialogis dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang lainnya,
melainkan bahkan kita telah berkali-kali melaksanakan kegiatan bersama organisasiorganisasi kepemudaan yang lain. Bersama Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), GAMKI, Peradah, Gema Budhi dan lainlain GP Ansor melaksanakan program Pelatihan Resolusi Konflik yang bekerjasama
dengan Kedutaan Besar Inggris.
Pimpinan Pusat juga telah melaksanakan kegiatan Dialog Politisi Muda Indonesia Amerika
dan berbagai kegiatan kunjungan ke kedutaan besar negara-negara sahabat seperti
Kedutaan Besar Qatar, Australia, Amerika Serikat, China, Inggris dan lain-lain.
Disamping melaksanakan program dengan berpedoman pada Sapta Khidmat GP Ansor
hasil Kongres XII di Surakarta, Pimpinan Pusat juga melaksanakan beberapa program
improvisasi sebagai apresiasi GP Ansor atas berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini,
khususnya terhadap keadaan darurat dan bencana alam. Dalam hal ini, segera setelah
terjadi bencana gempa bumi dan gelombang tsunami dahsyat yang menimpa saudarasaudara kita di Nanggaro Aceh Darussalam, Pimpinan Pusat berupaya semaksimal
mungkin turut meringankan saudara-saudara kita yang tertimpa musibah dengan cara
mengirimkan bantuan pangan, bantuan obat-obatan, bantuan dana dan mengirim ratusan
personel Banser secara periodik selama beberapa angkatan ke beberapa daerah pusat
bencana. (Lihat juga Jejak Pengabdian Banser/Hernoe)
Tim Administrasi PAC. GP. ANSOR Kec. Krian
SUMBER : http://gp-ansor.org/