PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat.
Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi, memperpanjang atau memperpendek
aktivitas, atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Biasanya yang
terpikir oleh kita adalah antara satu obat dengan obat lain. Tetapi, interaksi bisa saja
terjadi antara obat dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan
obat injeksi dengan kandungan infuse. Karena kebanyakan interaksi obat memiliki efek
yang tak dikehendaki, umumnya interaksi obat dihindari karena kemungkinan
mempengaruhi prognosis. Namun, ada juga interaksi yang sengaja dibuat, misal
pemberian probenesid dan penisilin sebelum penisilin dibuat dalam jumlah besar.
Interaksi obat atau lebih di kenal dengan istilah drug interaction, merupakan
interaksi yang terjadi antar obat yang di konsumsi secara bersamaan. Interaksi obat dapat
menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan efek buruk
sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab terbanyak terjadinya kesalahan
pengobatan. Secara umum kesalahan pengobatan akibat interaksi pengobatan akibat
interaksi obat ini jarang terungkap akibat kurangnya pengetahuan kita, baik dokter,
apoteker dan pasien tentang hal ini.
Secara umum suatu interaksi obat dapat digambarkan sebagai suatu interaksi antar
suatu obat dan unsur lain yang yang dapat mengubah kerja salah satu atau keduanya, atau
menyebabkan efek samping tak diduga. Pada prinsipnya interaksi obat dapat
menyebabkan dua hal penting. Yang pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau
bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan
gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya efek samping dari
obat- obat tertentu. Risiko kesehatan dari interaksi obat ini sangat bervariasi, bisa hanya
sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.
Sudah sangat umum dalam kehidupan sehari-hari, seorang pasien / penderita
menerima resep dari dokter yang memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi
kebiasaan penderita yang pergi berobat ke beberapa dokter untuk penyakit yang sama
dan mendapat resep obat yang baru. Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah
akibat kebiasaan beberapa penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obat yang
dapat dibeli di toko-toko obat secara bebas. Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat
dicegah bila kita mempunyai pengetahuan farmakologi tentang obat-obat yang
1
dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang
kita sangka, mengingat jumlah interaksi yang mungkin terjadi pada penderita yang
menerima pengobatan cukup banyak serta mekanisme interaksi obat yang bermacammacam dan kompleks.
I.2
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk Menambah pengetahuan tentang
interaksi obat dan Membuka wawasan mengenai interaksi obat dengan metabolisme serta
upaya untuk menghindari terjadinya dampak yang merugikan dari interaksi obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau
dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan secara bersamaan. Kemungkinan terjadinya
peristiwa interaksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau
lebih diberikan secara bersamaan atau hampir bersamaan. Tidak semua interaksi obat
membawa pengaruh yang merugikan, tetapi beberapa interaksi justru diambil
manfaatnya dalam praktek pengobatan, misalnya peristiwa interaksi antara probenesid
dengan penisilin, di mana probenesid akan menghambat sekresi penisilin di tubuli
ginjal, sehingga akan memperlambat ekskresi penisilin dan mempertahankan penisilin
lebih lama dalam tubuh. Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau
terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan
upaya-upaya optimalisasi. Sehingga
penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor
lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).
II.2
Obat obat yang memenuhi ciri-ciri di atas dan sering menjadi obyek
II.3
Mekanisme Kerja
Mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan atas 3
mekanisme, yakni:
Interaksi farmasetik atau inkompatabilitas
Interaksi famakokinetik
Interaksi farmakodinamik.
II.3.1 Interaksi Farmaseutik atau Inkompatabilitas
Inkompatabilitas ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat
yang tidak dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan
terjadinya interaksi langsung secara fisik maupun kimiawi, yang hasilnya mungkin
terlihat sebagai pembentukan endapan, berupa warna dan lain-lain, atau mungkin
juga tidak terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat.
Sebagai contoh banyak obat suntik yang tidak kompatibel dengan obat suntik
lain, yaitu dengan bahan obatnya atau dengan bahan pembawanya. Misalnya
Gentamisin mengalami inaktifasi bila bercampur dengan karbenisilin, Penisilin G
bila dicampur dengan vitamin C.
II.3.2 Interaksi Farmakokinetik
Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME). Obat
yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami
absorbsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan
efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh.
Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak
seperti yang terlihat pada gambar 1.1 dibawah ini.
Di
dalam
tubuh
obat
6
mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di keluarkan lagi dari tubuh.
Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi),
dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat diberikan secara
bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi
dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan obat. Kemungkinan lain,
interaksi obat merupakan hasil dari sifat-sifat farmakodinamika obat tersebut, misal
pemberiaan bersamaan antara antagonis reseptor dan agonis.
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi,
metabolisme, distribusi dan ekskesi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok ini
termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal,
mengganggu ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihDalam kelompok ini
termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal,
mengganggu ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang
dan ekskesi dihalangambat atau dirangsang dan ekskesi dihalangi atau dipercepat.
Perubahan absorbsi pada gastrointestinal
Perubahan absorbsi sesuatu obat oleh obat lain dapat terjadi akibat :
a. Perubahan pH
b. Gangguan pada ssitem transportasi
c. Pembentukkan suatu kompleks
d. Perubahan aliran darah
Biotransformasi
Biotransformasi obat terutama terjadi dimikrosoma sel hati. Mikrosoma ini sangat
peka terhadap aksi obat berarti produksi enzim-enzimnya dapat bertambah atau
berkurang, perangsangan mikrosoma mengakibatkan aktivitas obat menurun
sedangkan penghambatan menyebabkan aktivitas obat meningkat atau bertahan lama.
Perubahan ekskresi
Bila suatu obat mempengaruhi ekskresi obat lain melalui ginjal, dapat terjadi
perubahan aktivitas dan lama kerja sesuatu obat.
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme atau ekskesi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua
meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penuh.
Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan afektifitas obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan
7
dengan obat yang berinteraksi. Sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat
segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifatsifat framakokinetiknya.
1) Absorbsi dan bioavalaibilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya, yang merupakan proses penyerapan
obat dari tempat peberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tesebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara
klinik, yang lebih penting ialah bioavalaibilitas,. Istilah ini menyatakan jumlah obat,
dalam pesen terhadap dosis , yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorbsi
dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagaian akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/ di hati pada lintas
petamanya melaluai ogan-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau
eleminasi lintas petama (fMetabolisme ini disebut metabolisme atau eleminasi lintas
petama (firs pass metabolism or elemination) atau eleminasi praisistemi. Obat
demikian mempunyai bioavalaibilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorbsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavalaibilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorbsi sekaligus metabolisme obta sebelum mencapai
sirkulasi sitemik. Eleminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan
cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitroglisein),
rektal atau memberikannya bersama makanan.
2) Interaksi obat dalam absorbsi disaluran cerna
Interaksi secara langsung. Interaksi secara fisika kimiawi antar obat dalam
lumen saluran cerna sebelum obsorbsi dapat mengganggu proses absorbsi. Interaksi
ini dapat dihindarkan / sangat dikurangi bila obat yang berinteraksi diberikan dengan
jarak waktu minimal 2 jam. Interaksi obat dalam absorbsi saluran cerna dipengruhi
oleh faktor-faktor antara lian :
a. Perubahan pH saluran cerna
Berkurangnya
pengrusakan
obat
keasaman
yang
lambung
tidak
tahan
oleh
asam
antasid
akan
sehingga
mengurangi
meningkatkan
bioavalibilitasnya, dan mengurangi absorbsi Fe, yang diabsorbsi paling baik bila
cairan lambung sangat asam.
8
b. Perubahan pengosongan lambung dan waktu translit dalam usus (motilitas saluran
cerna).
Usus halus adalah tempat absorbsi utama untuk semua obat terutama untuk
obat yang bersifat asam. Disini absorbsi terjadi jauh lebih cepat daripada
dilambung. Oleh kaena itu, makin cepat obat sampai diusu halus, Mkin cepat pula
obat diabsorbsinya. Dengan demikian obat yang memperpendek waktu
pengosongan lambung, misalnya metokloporamid, akan mempercepat absorsbsi
obat lian yang dibeikan pada waktu yang sama.
Sebaliknya obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung,
misalnya antikolirgenik, antidepresi trisiklik, antasid dengan garam Al dan
nalgesik narkotik, akan memperlambat absorbsi obat lain.
Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan
absorbsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorbsinya, ini berarti,
kecepatan pengosongan lambung biasnya hanya mengubah tinggi kadar puncak
dan waktu untuk mencapai kadar tersebut tanpa mengubah bioavalibilitas obat.
Sebagai pengecualian adalah (levedopa dan klorpromazin) kedua obat ini
kapasitas metabolismenya didinding halus harus lebih tebatas dibandingkan
kapasitas absorbsinya, maka makin cepat obat ini sampai diusus halus, makin
tinggi bioavalaibilitanya.
c. Waktu transit dalam usus
Biasanya tidak mempengaruhi absorbsi obat, kecuali untuk : (1) obat yang
sukar larut dalam cairan untuk saluran cerna misalnya digoksin dan kartikosteroid
sukar diabsorbsi misalnya dikumarol, sehingga memerlukan waktu untuk melarut
dan diabsorbsi. (2) obat yang diabsorbsi secara aktif hanya disatu segmen usus
halus, misalnya Fe dan riboflavin diusus halus. Obat yang memperpendek waktu
translit dalam usus misalnya antasid denga garam Mg, metoklopramid akan
mengurangi jumlah obat jadi. Sebaliknya obat yang mempepanjang waktu translit
usus (sama dengan obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung) akan
meninggalkan bioavalaibilitas obat tersebut.
1.
Interaksi dalam proses absorpsi dapat terjadi dengan berbagai cara misalnya,
Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh karena obat obat seperti
morfin atau senyawa-senyawa antikolinergik dapat mengubah absorpsi obat
2.
obat lain.
Tingkat pengikatan molekul obat obat tertentu oleh senyawa logam sehingga
absorpsi akan dikurangi, oleh karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak
9
Obat Objek
Fe
Obat
presipitan
(diabsorbsi Antasid
Mekanisme Efek
interaksi
Perubahan
yang Solusi
terjadi
Penurunan
pH
cairan
saluran
berinteraksi minimal 2
cerna
Perubahan
Penurunan
jam
Diberikan jarak waktu
absorpsi
saluran cerna)
digoksin
berinteraksi minimal 2
lambung keasaman
sangat asam)
lambung)
Digoksin (sukar Metoklopramid
waktu
pengosongan
usus
cairan absorpsi Fe
jam
lambung)
3) Distribusi
Setelah diabsorbsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan menjadi 2 fase berdasarkan penyebarannya
didalam tubuh. Distribusi fase pertama tejadi segera setelah penyerapan, yakni ke
organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase ke dua jauh lebih luas yaitu mencangkup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai kesetimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke
ruang interestisial jaringan terjadi karena celah antar sel endotel kapiler mampu
melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemak akam melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat
yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama dicairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan
obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdisfusi dan mencapai
kesetimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas
obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh
protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defesiensi protein.
10
Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-obat dengan ikatan
protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan ikatan protein yang lebih
lemah dari tempat ikatannya pada protein plasma. Akibatnya maka kadar obat bebas
yang tergusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala konsekuensinya,
terutama terjadinya peningkatan efek toksik. Sebagai contoh, misalnya meningkatnya
efek toksik dari antikoagulan warfarin atau obat-obat hipoglikemik (tolbutamid,
kolrpropamid) karena pemberian bersamaan dengan fenilbutason, sulfa atau aspirin.
Hampir sama dengan interaksi ini adalah dampak pemakaian obat-obat dengan ikatan
protein yang tinggi pada keadaan malnutrisi (hipoproteinemia). Karena kadar protein
rendah, maka obat-obat dengan ikatan protein yang tinggi akan lebih banyak dalam
keadaan bebas karena kekurangan protein untuk mengikat obat sehingga dengan dosis
yang sama akan memberikan kadar obat bebas yang lebih tinggi dengan akibat
meningkatnya efek toksik. Disamping itu interaksi dalam proses distribusi dapat
terjadi bila terjadi perubahan kemampuan transport atau uptake seluler suatu obat oleh
karena obat-obat lain. Misalnya obat-obat antidepresan trisiklik atau fenotiasin akan
menghambat transport aktif ke akhiran saraf simpatis dari obat-obat antihipertensif
(guanetidin, debrisokuin), sehingga mengurangi/menghilangkan efek antihipertensi.
Contoh interaksi obat dalam proses distribusi
Obat Objek
Obat Presipitan
Tolbutamid
Fenilbutazon
(ikatan
menggeser
Mekanisme
ikatan
protein
Dosis
antikoagulan
oleh
diperkecil.
dengan fenilbutazon
Warfarin
albumin plasma)
Fenilbutazon
(dapat Penggusuran
(ikatan
menggeser
protein 99%)
yang Solusi
terjadi
Hipoglikemia
(dapat Penggusuran
Efek
Perdarahan
Dosis
antikoagulan
diperkecil.
albumin plasma)
4) Biotransformasi/ Metabolisme
Biotransfomasi atau metabolisme obat ialah poses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul
obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
11
dalam lemak sehingga mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya
obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri
kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolismenya sama aktif, lebih aktif, atau tidak
toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (produk) justru diaktifkan oleh enzim
bitransformasi ini. Metabolit akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan atau
diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan dalam biotransformasi
obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya didalam sel, yakni enzim mikrosom yang
terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini
terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya
ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
Banyak interaksi obat disebabkan oleh perubahan dalam metabolisme obat.
Satu sistem yang terkenal dalam interaksi metabolisme adalah sistem enzim yang
mengandung cytochrome P450 oxidase. Sebagai contoh, ada interaksi obat
bermakna antara sipfofloksasin dan metadon. Siprofloksasin dapat menghambat
cytochrome P450 3A4 sampai sebesar 65%. Karena ini merupakan enzim primer
yang berperan untuk memetabolisme metadon, sipro bisa meninggikan kadar
metadon secara bermakna. Sistem ini dapat dipengaruhi oleh induksi maupun
inhibisi enzim, sebagaimana dibahas dalam contoh berikut.
Induksi enzim - obat A menginduksi tubuh untuk menghasilkan lebih banyak
obat yang memetabolisme obat B. Hasilnya adalah kadar efektif dari obat B akan
berkurang, sementara efektivitas obat A tidak berubah. Inhibisi enzim - obat A
menghambat produksi enzim yang memetabolisme obat B, sehingga peninggian obat
B terjadi dan mungkin menimbulkan overdosis. Ketersediaan hayati obat A
mempengaruhi penyerapan obat B. Sayangnya, karena jumlah obat yang beredar di
pasar sangat banyak, tidak mungkin bagi perusahaan obat manapun memeriksa
profil kompatabilitas obatnya denga obat lain secara lengkap. Oleh karena itu, klinis
sebaiknya memeriksa dengan seksama informasi peresepan sebelum memberikan
obat, khususnya obat yang baru dikenal.
Contoh-contoh interaksi pada proses metabolisme
Obat
Obat Presipitan
Mekanisme
Akibat
Solusi
Objek
warfarin
Fenobarbital
(larut Mempercepat
Klinik
Penurunan
Dosis
(banyak
lemak
dapat metabolisme
efek
diperbesar
antikoagulan
kali,
dan
warfarin
2-
tetapi
10
jika
12
hati)
Estradiol
enzim metabolisme di
fenobarbital
hati
dihentikan,
dan
mukosa
dosis
saluran cerna)
warfarin diturunkan
Rifampisin
Kegagalan
kembali.
Diberikan
kontrasepsi
waktu pemakaian.
Mempercepat
jarak
dan
mukosa
saluran cerna)
5) Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskesi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar
diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan
resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,
dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal
menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval
pemberiaan diperpanjang.
Bersihan kreatinin dapat diajadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau
inteval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air
susu dan rambut. Tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingTetapi dalam
jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu.
Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada
kedokteran forensik.
Interaksi obat pada proses ekskresi
Obat objek
Obat presipitan
Mekanisme
Digoksin
Kinidin,(dapat
interaksi
Menghambat
(ekskresi
menghambat
melalui
glikoprotein yaitu di
ginjal)
transporter
Metotreksat
Akibat klinik
Solusi
di ginjal
absorbsi
di
usus menjadi
ginjal)
Salisilat (ekskresi Menghambat
digoksin meningkat
kadar
metotreksat Dosis
13
(diekskresi
dalam
hanya
metabolitnya
di
melalui
melalui ginjal)
ginjal
ginjal)
sehingga metotreksat
kerusakkan
2) Reseptor Obat
Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor
dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya
perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat
farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat
dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik,
atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu,
molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk
sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3) Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi
ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler
fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor
yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan
messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di
membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat
dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4) Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim,
biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals),
dan jarang berupa ikatan kovalen.
5) Antagonisme Farmakodinamika
Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu
antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada
reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan
peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini
termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis,
sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum
obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang
mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor
15
Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obatobat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul
kecil, atau masuk ke komponen sel.
7) Efek Obat
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku
organisme hidup akibat kerja obat.
Pada interaksi farmakokinetik terjadi perubahan kadar obat obyek oleh karena
perubahan pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Pada
interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat obyek dalam darah.
Tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyek yang disebabkan oleh obat
presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat . Interaksi farmakodinamik
dapat dibedakan menjadi Interaksi langsung (direct interaction) dan interaksi tidak
langsung (indirect interaction). Interaksi langsung terjadi apabila dua obat atau lebih
bekerja pada tempat atau reseptor yang sama, atau bekerja pada tempat yang berbeda
tetapi dengan hasil efek akhir yang sama atau hampir sama. Sedangkan interaksi tidak
langsung terjadi bila obat presipitan punya efek yang berbeda dengan obat obyek,
tetapi efek obat presipitan tersebut akhirnya dapat mengubah efek obat obyek.
Obat
Obat
Mekanisme
objek
presipitan
interaksi
Digoksin Furosemida Peningkatan
ekskresi
dan
Akibat klinik
Furosemid
Penambahan
kalium menyebabkan
magnesium gangguan
sehingga
keseimbangan
mempengaruhi
elektrolit
kerja jantung.
mempengaruhi
digiksin
Solusi
diuretic
hemat
kalium
dan
pengukuran kadar
sehingga kalium
dan
magnesium dalam
yang darah.
menyebabkan aritmia.
16
Warfarin
Salisilat
Aspirin
Efek
koagulan Diberikan
jarak
menghambat
meningkat
agregasi
resiko
trombosit
meningkat.
pendarahan
sehingga
menyebabkan
terhambatnya
pembentukan
thrombus
terutama
ditemukan
pada
system arteri
17
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Interkasi Obat yang berhubungan dengan Metabolisme
Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh
organisme hidup, pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses
metabolisme obat merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan
intensitas khasiat farmakologis obat.
Metabolisme obat sebagian besar terjadi di retikulum endoplasma sel-sel hati.
Selain itu, metabolisme obat juga terjadi di sel-sel epitel pada saluran pencernaan,
paru-paru, ginjal dan kulit.
Terdapat dua fase metabolisme obat, yakni fase I dan II. Pada reaksi-reaksi ini,
senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih
polar. Proses ini dapat menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat.
Reaksi fase I, disebut juga reaksi nonsintetik, terjadi melalui reaksi-reaksi
oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi, dan desiklikasi. Reaksi oksidasi terjadi bila ada
penambahan atom oksigen atau penghilangan hydrogen secara enzimatik. Biasanya
reaksi oksidasi ini melibatkan sitokrom P450 monooksigenase (CYP), NADPH, dan
oksigen. Obat-obat yang di metabolisme dengan metode ini antara lain golongan
fenotiazin, parasetamol, dan steroid. Reaksi oksidasi akan mengubah ikatan C H
menjadi C OH, hal ini mengakibatkan beberapa senyawa yang tidak aktif secara
farmakologi menjadi senyawa yang aktif. Juga, senyawa yang lebih toksik/ beracun
dapat terbentuk melalui reaksi oksida ini.
Reaksi fase II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan reaksi
detoksikasi dan melibatkan gugus fungsional polar metabolit fase I, yakni gugus
karboksil (-COOH), hidroksil (-OH), dan amino (NH2) yang terjadi melalui rekasi
metilasi, asetilasi, sulfasi dan glukoronidasi. Reaksi fase II akan meningkatkan produk
yang tidak aktif. Hal ini merupakan kebalikan dari reaksi metabolisme obat pada fase
I.
Metabolisme obat di pengaruhi oleh faktor-faktor antara lain factor fisiologis
(usia, genetika, nutrisi, jenis kelamin) serta penghambatan dan juga induksi enzim
yang terlibat dalam proses metabolisme obat. Selain itu, factor patologis (penyakit
pada hati atau ginjal) juga berperan dalam menentukan laju metabolisme.
Banyak interaksi obat disebabkan oleh perubahan dalam metabolisme obat.
Satu system yang terkenal dalam interaksi metabolisme adalah system enzim yang
mengandung sitokrom P450 oksidase. Sebagai contoh, ada interaksi obat bermakna
18
Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatic yang terlibat
dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan
metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktifitas antikoagulannya. Pada
kasus ini dosis warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital
dihentikan dosis warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas.
Sebagai alternative dapat digunakan benzodiazepine. Fenobarbital juga
meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid.
Barbiturate lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin
juga menyebabkan induksi enzim.
Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit
aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine
tidak dapat melintas sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson.
Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan
levodopa, dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin.
b.
Penghambat metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak
memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh,
alupurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin
oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti
merkaptopurin dan azatiopurin. Penghambatan ksantin oksidase dapat secara
bermakna meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama
19
alupurinol, dosis merkaptopurin atau aziatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau
dosis.
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan
aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin,
fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine), oksazepam dan
temazepam, yang mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidine mempunyai efek
terhadap enzim oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidine
dan nizatidin tidak memperngaruhi jalur metabolisme oksidatif.
Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatic beberapa obat
seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat
golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas
teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama.
20
Zat A
(Obat objek)
Zat B
(Obat Presipitan)
Mekanisme
Interaksi
Solusi
Meningkatkan kadar
terfenadin,
Menghambat
1.
Terfenadin
Ketokonazol
metabolisme
terfenadin
menyebabkan
toksisitas berupa
perpanjangan interval
QT yang berakibat
Jangan di
berikan
bersamaan.
terjadinya aritmia
ventrikel yang fatal
Meningkatkan
Menghambat
2.
Triazolam
Eritromisin
metabolisme
triazolam
bioavaibilitas (AUC)
sebesar 12 kali, yang
berakibat efek sedasi
triazolam meningkat
Jangan di
berikan
bersamaan.
dengan jelas
Rifampisin
(menginduksi
3.
Estradiol
sintesis enzim
metabolisme di
hati dan mukosa
Mempercepat
metabolisme
estradiol.
Kegagalan
kontrasepsi
Diberikan
jarak waktu
pemakaian.
saluran cerna)
4.
5.
Levodopa
Siklosporin
Piridoksin
Rifampisin
Mempercepat
Efek antiparkinson
dekarboksilasi
menurun. Karena
levodopa
Diberikan
menjadi
jarak waktu
dopamine
otak untuk
pemakaian.
(metabolit
memberikan efek
aktifnya)
antiparkinson
Meningkatkan
Kadar siklosporin
Diberikan
metabolisme
menurun sehingga
jarak waktu
21
terjadi penurunan
siklosporin
efektivitas
pemakaian
imunosupresi
Asetaminofen
6.
Asetaminofen
(parasetamol)
Fenobarbital
Peningkatan
(diberikan secara
metabolisme
terus menerus)
asetaminofen
menjadi metabolit
reaktif sehingga
meningkatkan risiko
terjadinya
Pemberian
fenobarbital
dihentikan.
hepatotoksisitas
Meningkatkan
7.
Teofilin
Karbamazepin
metabolisme
teofilin
Menghambat
8.
Metoprolol
Kuinidin
metabolisme
metoprolol
Menghambat
9.
Diazepam
Simetidin
metabolisme
diazepam
Menghambat
10.
Fluvastatin
Ketokonazol
metabolisme
fluvastatin
Menurunkan efikasi
teofilin
Meningkatkan kadar
metoprolol, sehingga
terjadi bradikardia
hebat.
Meningkatkan kadar
diazepam
Jangan
diberikan
bersamaan.
Jangan
diberikan
bersamaan.
Jangan
diberikan
bersamaan
Jangan
diberikan
Meningkatkan kadar
bersamaan
fluvastatin
atau diberi
jarak waktu
pemakaian.
22
BAB IV
KESIMPULAN
Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan dalam
farmakokinetika obat tersebut seperti Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi
(ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat merupakan hasil dari sifat-sifat
farmakodinamika obat tersebut, misalnya pemberian bersamaan antara antagonis reseptor dan
agonis untuk reseptor yang sama.
Metabolisme obat terutama terjadi di hati yakni di membrane endoplasmaic reticulum
(mikrosom) dan di sitosol. Tempat metabolisme yang lain adalah pada dinding usus, ginjal,
paru, darah, otak, dan kulit, serta di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar menjadi polar agar
dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya di
ubah menjadi inaktif, namun sebagian menjadi lebih aktif (jika asalnya obat yang aktif),
kurang aktif, atau menjadi toksik.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme,
terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan sintesis enzim metabolisme hingga terjadi
peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan,
akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut. Inhibisi enzim metabolisme yaitu
hambatan terjadi secara langsung, dengan akibat peningkatan kadar obat yang menjadi
substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi langsung.untuk mencegah terjadinya
toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh
diberikan bersama penghambatnya (kontraindikasi) jika akibatnya membahayakan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit ITB,
Bandung.
Santoso B 1986 Makna klinik interaksi obat. Medika 12 (1):94-98.
Sulistia, dkk, 2007, Famakologi dan Terapi, 862-872, UI Press, Jakarta.
http://www.drugs.com/drug_information.html
brazier NC, Levine MA. Drug-herb interaction among commonly used professionals
American Journal of Therapeutics 2003; 10(3): 163-169
24