Anda di halaman 1dari 12

Anak Penderita Autis juga Mampu Belajar Matematika

Oleh: Wahyu Yuli Handayani


Matematika (4101412120)

Abstrak
Peningkatan jumlah anak autis di Indonesia sangat cepat, walaupun penyebabnya belum
diketahui secara pasti. Banyak definisi yang beredar tentang autis. Tetapi secara garis besar,
autis adalah perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat
seseorang tidak mampu mengadakan interaksi social dan seolah-olah hidup dalam dunianya
sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa penyebab autis karena ibu saat hamil
mengonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi merkuri. Namun semua itu belum bisa
dibuktikan kebenarannya. Anak autis dapat memperoleh pengetahuan matematika walaupun
terbatas. Matematika telah diperkenalkan pada anak didik sejak awal duduk dibangku
sekolah, begitu juga kepada anak autis. pengetahuan matematika muncul ketika anak autis
mengerjakan sesuatu dengan aktifitas fisik, seperti menyusun puzzle dan mengurutkan benda
sesuai dengan ukuran. Pengetahuan ini akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan
umur dan ketrampilan pengetahuan yang diberikan.
Kata kunci : anak autis, gangguan komunikasi, pengetahuan matematika, kecerdasan.
Pendahuluan
Latar Belakang
Telah jelas tertuliskan dalam pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 bahwa setiap
warga Negara berhak memproleh pendidikan yang layak. Dalam pasal 28C Undang-undang
Dasar 1945, juga menyebutkan bahwa setiap warga Negara berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas

dan demi kesejahteraan umat manusia. Hal ini berarti bahwa pemerintah harus memberikan
pemenuhan atas hak warga negaranya termasuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang
memadai antara lain pemenuhan sarana dan prasarana yang layak, kurikulum, tenaga
kependidikan yang kompeten dan komponen-komponen pendidikan lainnya.
Pemerintah berusaha memnuhi kebutuhan pendidikan warganya dengan kebijakan
wajib belajar Sembilan tahu. Kebijakan ini mengharuskan anak-anak wajib mengikuti
pendidikan dasar, yaitu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Pemerintah menanggung semua biaya penyelenggaraan kebijakan wajib belajar Sembilan
tahun ini sehingga pendidikan dasar dapat diikuti oleh semua anak-anak Indonesia.
Pelaksanaan wajib belajar Sembilan tahun, ternyata belum mencangkup pelayanan
untuk semua warga Negara Indonesia. Keberagaman peserta didik dalam hal kemampuan
fisik dan mental untuk memperoleh pendidikan seharusnya menjadi perhatian pemerintah.
Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau social juga
berhak memperoleh pendidikan khusus. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan khusus
untuk memenuhi tuntutan dari masyarakat tersebut. Pendidikan tersebut dilaksanakan pada
Sekolah Luar Biasa (SLB), pada tingkat SD diselenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB), pada tingkat SMP diselenggarakan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa
(SLTPLB) dan pada Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) untuk tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Anak-anak yang mengalami gangguan emosi atau perilaku termasuk didalamnya
adalah anak-anak autis. Anak autis harusnya mendapat perhatian luas dari masyarakat
karena jumlah anak autis yang meningkat sangat cepat. Autis terjadi pada 5 dari 10.000
kelahiran bayi, dimana jumlah penderita laki-laki empat kali lenih besar disbanding jumlah
penderita wanita. Penderita autis memiliki berbagai kesulitan dalam merespon terhadap apa
yang diterima oleh panca indera mereka. Penderita autis bias jadi terlalu sensitive terhadap
cahaya atau suara, dan hal tersebut membuat mereka kesuliatan untuk merespon apa yang
dilihat atau didengarnya. Mereka biasa saja menjadi pandai dalam suatu subjek, tetapi tidak
merasa nyaman pada hal lainnya.

Kebanyakan penderita autis akan selalu memiliki masalah untuk berhubungan


dengan orang lain. Akan tetapi dengan pengobatan sedini mungkin, penderita autis akan
sangat terbantu dalam proses mencapai potensi penuh diri mereka.
Pembahasan
Pengertian Autisme
Autis adalah gangguan otak yang sering membuat penderita sulit untuk
berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain karena beberapa wilayah otak gagal
bekerja sama. Istilah Autis / Autisme sebenarnya berasal dari kata Autos yang berarti diri
sendiri dan kata isme yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu
paham yang tertarik pada dunianya sendiri. Autism adalah keadaan dimana anak berbuat
semaunya sendiri, baik dari cara berfikir maupun bertingkah laku.
Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah
kesulitan membina hubungan social, komunikasi secara normal serta memahami perasaan
orang lain. Autism merupakan salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian
dari kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD).
Autisme bukanlah suatu penyakit kejiwaan akan tetapi lebih merupakan sindroma
(kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan social, kemampuan
berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autis hidup dalam dunianya
sendiri. Anak autis lebih memilih sibuk dengan dirinya sendiri dibnading bersosialisasi
terhadap sekitarnya, mereka terobsesi pada benda-benda mati, mereka tidak memiliki
kemampuan untuk menjalin hubungan persahabatan dan menunjukkan rasa empati. Anak
autis hanya memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan oleh tangannta sendiri senperti
menggerak-gerakkan jarinya. Dari segi perilaku anak autis cenderung melukai diri sendiri,
tidak mempunyai kepercayaan diri, terkesan agresif, menanggapi secara kurang atau
berlebihan terhadap suatu respon eksternal dan menggerakkan tubuhnya tidak wajar.

Kebanyakan tindakan ini mungkin berasal dari kurangnya kemampuan mereka untuk
menyampaikan keinginan serta harapan kepada orang lain, serta sebagia usaha untuk
melepaskan diri dari ketegangan dan gangguan lingkungan sekitarnya.
Sebagian besar penderita autis, yakni sekitar 75% termasuk dalam kategori
keterlambatan mental, sejumlah 10-20% dari mereka dapat digolongkan sebagai orang
jenius. Orang-orang semacam ini memiliki kemampuan luar biasa dalam berhitung, sains,
music atau kesenian. Albert Einsten dan Ishak Newton contohnya.
Penyebab Autis
Penyebab autis sejauh ini belum diketahui dengan pasti. Autism hadir bersama
sejumlah gangguan psikiatrik lainnya seperti sindrom Tourettes, obsesif-kompulsif dan
gangguan bipolar. Berdasarkan penelitian medis, autis disebabkan oleh Tuberous sclerosis,
kromosom yang tidak normal termasuk lemahnya kromosom X, kelumpuhan karena luka
pada otak, Rubella bawaan, lemahnya kemampuan indriawi, dan sindrom Downs. Sebanyak
25% penderita autis juga dapat menderita penyakit ayan.
Penyebab autis adalah gangguan neurobiologis yang mempengaruhi fungsi otak
sedemikian sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar
secra efektif. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Biasanya
gangguan ini terjadi dalam tiga bulan pertama masa kehamilan. Penyebabnya karena virus
(Toxoplasmosis, Cytomegalo, Rubella dan herpes) atau disebabkan oleh jamur (Candida)
yang ditularkan karena selama hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang
sangat polutif sehingga meracuni janin.
Kekurangan jumlah sel otak ini tidak mungkin diperbaiki dengan cara apapun,
namun ternyata setiap penderita autis mempunyai cara berbeda untuk mengatasi kekurangan
tersebut.

Gejala Penderita Autis


Gejala autis dapat muncul pada anak mulai usia tiga puluh bulan sejak kelahiran
hingga usia maksimal tiga tahun. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis
atau tidak, digunakan standar internasional tentang autism.ICD-10 (International
Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (diagnostic and Statistical Manual) 1994
merumuskan kriteria diagnosis untuk kasus autism infatil yang isinya sama, yang saat ini
dipakai diseluruh dunia.
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik.
Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini:
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai, seperti kontak mata
sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju;
b. Tidak bisa bermain dengan teman sebaya;
c. Tak ada empati (tidak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain);
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi.
Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
a. Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang.
Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal;
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi;
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang;
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru.
3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan
kegiatan.
Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :
a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan
berlebihan;

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada
gunanya;
c. Gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang;
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.
Selain gejala-gejala seperti yang disebutkan di atas, beberapa sifat lainnya yang biasa
ditemukan pada anak autis antara lain : sulit bergabung dengan anak-anak yang lain, tertawa
atau cekikikan tidak pada tempatnya. Menghindari kontak mata atau hanya sedikit
melakukan kontak mata. Menunjukkan ketidakpekaan terhadap rasa nyeri, jarang
memainkan permainan khayalan (imajinasi).
Anak yang menderita autis lebih senang menyendiri, mereka menarik diri dari
pergaulan, tidak membentuk hubungan pribadi yang terbuka. Lebih terpaku pada benda
tertentu dan sangat tergantung kepada benda yang sudah dikenalnya dengan baik. Secara
fisik terlalu aktif atau sama sekali kurang aktif. Tidak memberikan respon terhadap cara
pengajaran yang normal.
Anak autis tidak mau menerima atau mengalami perubahan, meraka tidak takut akan
bahaya, suka mengulang kata-kata atau suku kata yang biasa disebut ekolalia. Mereka tidak
mau dipeluk. Anak autis tidak memberikan respon terhadap kata-kata, bersikap seolah-olah
mereka tuli. Meraka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kebutuhannya melalui
kata-kata dan lebih senang meminta melalui isyarat tangan atau menunjuk. Apabila mereka
jengkel atau kesal, mereka akan membabi buta. Tampak sangat rusuh untuk alasan yang
tidak jelas, melakukan gerakan dan ritual tertentu secara berulang (misalnya bergoyanggoyang atau mengepak-ngepakkan lengannya).
Anak autis mengalami keterlambatan berbicara, mungkin menggunakan bahasa
dengan cara yang aneh bahkan tidak mau berbicara sama sekali. Jika seseorang berbicara
dengannya, dia akan sulit memahami apa yang dikatakan kepadanya. Anak autis tidak mau
menggunakan kata ganti yang normal (terutama menyebut dirinya sebagai kamu, bukan
sebagai saya). Pada beberapa kasus ditemukan perilaku agresif atau melukai diri sendiri.

Kemampuan motorik yang ganjil seperti halnya mereka tidak ingin menendang bola tetapi
dapat menyusun balok.
Kemampuan Anak Autis dalam Matematika
Anak yang menderita autisme sebenarnya tidak jauh berbeda dengan anak normal.
Bedanya, anak dengan autisme ketika merespons sesuatu terlihat lebih lambat dari anak
normal. Tapi bukan berarti anak dengan autisme mengalami kesulitan belajar. Keterbatasan
mereka dalam berkomunikasi dan berinteraksi social termasuk tingkah laku yang hiperaktif
menjadi suatu alasan sekolah untuk menolak keberadaan anak-anak autis. Karena
keterbatasan tersebut, anak autis memerlukan bimbingan dan perawatan yang insensif dan
efektif agar potensi dan kemampuannya bisa berkembang serta kebutuhan primer maupun
sekunder dalam hidupnya dapat terpenuhi.
Salah satunya yaitu kebutuhan belajar matematika, karena matematika merupakan
ilmu yang penting untuk dipelajari dan diperlukan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi anak-anak penderita autis dan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar matematik,
diperlukan penanganan dan strategi yang khusus. Hal ini disebabkan karena matematika
mempunyai bentuk abstrak, sehingga mereka akan mengalami kesulitan dalam
mempelajarinya.
Masalah belajar matematika bagi anak autis tidak dapat dipecahkan hanya dari dalam
matematika itu sendiri, tetapi juga terkait dengan aspek lainnya. Menurut Runtukahu (1988)
aspek tersebut antara lain kemampuan matematika dini, kemampuan hubungan ruang,
kemampuan motoric dan persepsi visual, kemampuan bahasa dan membaca, kemampuan
dalam konsep arah dan waktu, dan kemampuan anak dalam mengingat.
Anak autis mempunyai kemampuan dalam bidang visual yang lebih baik daripada
kemampuan yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak. Mereka lebih mudah
memahami hal konkret (dapat dilihat dan dipegang) dari pada suatu hal yang abstrak.
Salah satu kesulitan yang dihadapi anak autis dalam mempelajari matematika adalah
mereka tidak mampu mengorganisasikan pengetahuan yang dipelajarinya. Maksudnya

mereka belum mampu menghubungkan pengetahuan yang sudah di pelajari dengan


pengetahuan yang baru dipelajari, meskipun itu masih dalam satu pokok bahasan. Mereka
dapat belajar matematika bila kita memberikan pendekatan aktif dan terstruktur. Pengajaran
matematika bagi anak berkesulitan belajar dianjurkan meliputi 3 tahap, yaitu penanaman
konsep dengan objek konkret, penanaman konsep dengan pengertian dan pengajaran melalui
keterampilan atau latihan soal-soal.
Menurut Sussman (2000) ada 5 cara anak autis dalam belajar, yaitu :
1) Rote Learner, menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami arti
symbol yang mereka hafalkan;
2) Gestalt Learner, menghafalkan kalimat secara utuh, tanpa mengerti arti kata
perkata;
3) Visual Learner, mencerna informasi yang dapat mereka lihat, daripada yang
mereka dengar;
4) Hands-on Learner, mencoba-coba dan mendapat pengetahuan melalui
pengalamannya;
5) Auditory Learner, mendapat informasi melalui pendengarannya.
Sebuah sebuah menemukan kemampuan matematika anak yang menderita autis di
atas rata-rata. Kemampuan berhitung pada anak dengan autism yang di atas rata-rata ini
disebabkan adanya bagian otak khusus, yaitu otak yang berfungsi mengenali wajah dan
objek-objek visual. Sepertinya terjadi pola organisasi yang unik dan menyokong
kemampuan untuk memecahkan masalah pada anak autis.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Vinod Menon, seorang guru besar
psikiatri dan ilmu perilaku dari Stanford University yang mengamati 18 anak dengan autism
berusia 7 tahun hingga 12 tahun, dan membandingkannya dengan 18 anak tanpa autism.
Seluruh partisipan memperlihatkan kemampuan membaca dan berbicara yang normal ketika
diadakan tes. Namun, anak dengan autism justru mengungguli rekan-rekannya yang tidak
memiliki autism dalam tes matematika.

Selain itu seluruh partisipan diminta mengerjakan soal-soal matematikla, sementara


aktivitas otaknya dipantau dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hasil scan pada
anak autis menunjukkan pola yang tidak biasa pada area ventral temporal occipital cortex.
Area ini bertanggung jawab dalam hal mengingat wajah dan objek visual lainnya.
Anak yang menderita autis ternyata juga menggunakan cara menghafal dalam
mempelajari matematika, namun tanpa memahami arti kata perkata. Misalnya menghafal
bilangan tanpa memahami arti nilai tempat bilangan.
Dalam pembelajaran hafalan apapun yang akan dipelajari dapat dihafalkan walaupun
tidak mengetahui arti kata-kata yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, apabila
sebagian dari apa yang dihafalkan hilang dari ingatan, sukar sekali untuk menyusun kembali
materi itu walaupun dibantu materi lain yang masih teringat (Astini Suudi, 1990). Jadi untuk
para guru pengajar anak autis hendaknya mengurangi cara pembelajaran matematika yang
membuat siswa memahami matematika hanya dengan manghafal. Mungkin salah satu
caranya yaitu dengan menggabungkan hafalan dan teori matematika yang abstark sehingga
dalam menghafal hendaknya dilandasi dengan pemahaman terlebih dahulu. Misalnya
dengan mamperbanyak soal-soal yang merupakan penerapan struktural dalam berhitung.
Prinsip Pendidikan dan Pengajaran Matematika untuk Penderita Autisme
Pendidikan dan pengajaran anak autisme pada umumnya dilaksanakan berdasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Terstruktur
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autisme diterapkan prinsip terstruktur,
artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran dimulai materi yang
paling mudah dan dapat dilakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai,
ditingkatkan lagi ke materi yang setingkat diatasnya.
b. Terpola
Kegiatan anak autisme biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola dan
terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun

tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu dalam pendidikannya harus dikondisikan
atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Hal ini dapat dilakukan dengan jadwal
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Diharapkan pada
akhirnya anak lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dapat
berperilaku secara wajar dengan lingkungan sekitarnya.
c. Terprogram
Prinsip terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin
dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Sebab dalam pemberian materi
pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak.
d. Konsisten
Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autisme, prinsip
konsistensi mutlak diperlukan. Artinya : apabila anak berperilaku positif

dan

memberi respon positif terhadap susatu stimulan (rangsangan), maka guru


pembimbing harus cepat memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula
apabila anak berperilaku negatif (Reniforcement). Hal tersebut harus dilakukan
dalam secara tetap dan tepat, dalam arti respon yang diberikan harus sesuai dengan
perilaku sebelumnya.
e. Berkelanjutan
Pendidikan dan pengajaran bagi anak autisme sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Maka prinsip pendidikan dan pengajaran yang
berkesinambungan juga diperlukan bagi anak autisme. Pelaksanaan pendidikan tidak
hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindaklanjuti untuk kegiatan dirumah dan
lingkungan sekitar anak.
Pola Penanganan Anak Autis:
Anak autis butuh penanganan yang khusus, mereka butuh penanganan yang ekstra dan lebih
disbanding dengan anak yang normal, pola penanganan anak autis antara lain:
1. Pentingnya sikap mencintai dan menerima

Berusahalah untuk memasuki dan mempelajari dunia anak serta mendorong


timbulnya suatu ikatan yang spesial dan penuh cinta, menarik, dan menimbulkan
keinginan anak untuk ingin tahu lebih lanjut dan belajar banyak dari kita.
2. Anak sebagai anugerah
Bahwa anak adalah titipan dari Tuhan, dan Tuhan telah menunjuk orangtua
yang sesuai sebagai orang tua yang diberi anugerah anak spesial., maka kita
harus memberikan perhatian yang special kepadanya, juga pendidikan dan
keistimewaan dalam ,mengurus dia.
3. Orangtua sumber terbaik anak.
Orangtua adalah pembinmbing dan penolong yang paling baik dan
berdedikasi tinggi Orang tua harus mengetahui bagaimana cara mengarahkan
anak, agar anak dapat berkembang dengan baik.
4. Pertanyaan tentang harapan dan harapan yg salah
Tidak ada salahnya

mempunyai harapan yang positif selama anak itu

bernafas (hidup).
5. Anak sebagai guru
Dengan cara menarik informasi, pengertian, dan pandangan mereka akan
membantu mereka untuk berkembang dan membangun bakat mereka sendiri.
Dengan kita bergantian sebagai murid, mereka akan memiliki motivasi untuk
mengembangkan bakat dan minat yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing, begitu juga dengan anak yang menderita autism.
Anak yang menderita autism juga membutuhkan pendidikan dan pembelajaran yang akan
menunjang kebutuhan ilmu pengetahuannya. Dalam menangani penderita autis, seorang
guru tidak hanya diharapkan menjadi seorang pendidik, namun juga sebagai seorang partner
dalam proses berlangsungnya penyembuhan dan penanganan anak tersebut. Tujuan yang
diharapkan yaitu mengurangi gejala perilaku yang mempengaruhi perkembangan anak dan
mendorong perkembangan anak, seperti mengembangkan kemampuan berbahasa, tingkah
laku, penyesuaian diri, sosialisasi, dan ketrampilan diri.

Sebagai seorang yang mengerti dunia anak autis, baik terjun langsung dilapangan
maupun hanya mengetahui secara teori saja, yang dapat dilakukan adalah bagaimana
memikirkan, mengarahkan, dan mengajarkan kecerdasan tersebut agar nantinya dapat
berguna atau bermanfaat bagi anak tersebut dan orang lain disekitarnya. Pengajaran pada
anak autis didasarkan pada prinsip yang terstruktur, terpola, terprogram, konsisten dan
kontinyu. Selain itu untuk dapat mengajarkan anak autis butuh suatu komitmen dan
kesabaran serta keikhlasan yang tinggi, karena untuk mengajarkan sesuatu pada anak autis
butuh waktu yang lebih dari pada anak normal. Pengajaran dilakukan secara bertahap
sebagai usaha memahami cara mereka berpikir dan bertindak. Mengajarkan anak autism
memang sangat melelahkan namun saat mereka menunjukkan suatu perkembangan potensi,
dan intelektual, hal tersebut menjadi suatu hal yang memuaskan.
Daftar Pustaka
Berita.plasa.msn.com
Cae-indonesia.com
Deviamariani.wordpress.com
Dr. Mulyono Abdurrahman.2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Pt. Rineka
Cipta: Jakarta
Healt.kompas.com
Id.wikipedia.com
Kesehatan.kompasiana.com
Mirza Maulana. 2007. Anak Autis: Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain
Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Katahati: Jogjakarta
www.autis.info

Anda mungkin juga menyukai