Anda di halaman 1dari 17

TUNAMI-CODE

Model Analisis Numerik untuk Pengamatan Tsunami


Universitas Tohoku

1. Pendahuluan
Belakangan ini pemodelan penjalaran tsunami dan run-up menggunakan
model numerik dengan komputasi modern. Disaster Control Research Center,
Universitas Tohoku menyediakan sebuah sumber kode model tsunami numerik
berdasarkan teori perairan dangkal non-linear sebagai kegiatan dari proyek TIME
(Tsunami Inundation Model Exchange ). Artikel ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai pemodelan tsunami numerik.
2. Teori Perairan Dangkal
2.1 Teori Perairan Dangkal 2-D
2.1.1 Persamaan Governing
Kami meninjau densitas fluida dengan persamaan kontinuitas (2.1) dan
persamaan Euler (2.2) dan (2.3) pada bidang 2 dimensi, yang menjelaskan bagaimana
kecepatan dan tekanan pada fluida yang bergerak mempunyai hubungan. Disini, kami
mengabaikan pengaruh dari viskositas fluida yang mana termasuk dalam persamaan
Navier Stokes.
=0

(2.1)
(2.2)
(2.3)

Ada dua variable bebas pada persamaan Euler, koordinat x dan z pada bidang
horizontal dan vertikal. Ada tiga variable terikat, tekanan p, dan dua komponen vector
kecepatan, komponen u pada arah x, dan komponen w pada arah z. Fx dan Fz adalah
gaya dari luar. Secara umum, gaya dominan pada dinamika gelombang lautan adalah
gravitasi yang mengakibatkan kenaikan pada gradient tekanan, gaya apung, pasang,
gaya koriolis yang bersumber dari pergerakan rotasi bumi, dan gesekan yang berasal
dari gerakan relatif antara dua parsel fluida seperti tekanan angin. Untuk lebih
sederhananya, kami hanya menggunakan gravitasi sebagai
.
2.1.2 Kondisi Perbatasan

Persamaan di atas harus memenuhi kondisi perbatasan berikut, (i) tekanan


atmosfer pada permukaan bebas adalah nol, dan (ii) partikel air pada permukaan
bebas atau dasar perbatasan pada waktu t harus tetap pada tiap-tiap perbatasan pada
saat waktu t+t. Dilihat dari sudut pandang kinematik, keadaan perbatasan ini
dideskripsikan sebagai turunan Lagrangian partikel air pada permukaan bebas ( z =
(x,t)) dan pada kemiringan dasar (z = h(x)) harus nol
1. Perbatasan Permukaan Bebas ( z=)
(a) Kondisi Perbatasan Dinamis
p=0
(b) Kondisi Perbatasan Kinematik
=

(2.4)
(2.5)

2. Dasar Perbatasan (z = -h)


(a) Kondisi Perbatasan Kinematik
(2.6)

2.1.3 .Pendekatan Perairan Dangkal


Pada pendekatan perairan dangkal, kita mengasumsikan bahwa percepatan vertikal
partikel air tidak perlu diperhatikan dibandingan dengan percepatan gravitasi.
Turunan Langrange dari kecepatan vertical menghasilkan persamaan (2.8)
|

| g

(2.8)

Gambar 2.1 : Sistem Koordinat


Asumsi ini mereduksi persamaan (2.3) menjadi bentuk yang mudah ;
1 p
0 g
(2.9)
z
Integral dari persamaan (2.9) oleh z dengan kondisi batas dari permukaan bebas mengantar
kepada deskripsi tekanan hidrostatik.
(2.10)
p g ( z )
Lalu, persamaan (2.2) termasuk p / x dapat ditulis seperti pada persamaan (2.11)

u
u
u

(2.11)
u
w
g
t
x
z
x
2.1.4 Integrasi dari persamaan governig
Persamaan (2.1) dan (2.11) adalah persamaan governing dari teori perairan dangkal 2-D
untuk dipecahkan dengan kondisi batas atas. Jika kita asumsikan kecepatan horizontal adalah
bukan fungsi dari kedalaman, kita bisa menggabungkan persamaan Governing melalui
kedalaman perairan untuk memperoleh persamaan gelombang perairan dangkal.
Integral dari persamaan kontinyu (2.1) melalui hasil kedalaman
u
u w

dz

h x z h x dz wx, , t wx,h, t 0

(2.12)

Mempertimbangkan kondisi batas kinematik pada permukaan bebas dan kondisi di batas
dasar, integral dari persamaan kontinyu dapat dijelaskan seperti berikut,
u
u
w
h x z dz h x dz wx, , t wx,h, t
(2.13)
u

h

z
u
u 0
h x
x
x
t
Aturan integral Leibniz digunakan untuk mengintegralkan syarat pertama dari persamaan
sebelah kanan (2.13). Pernyataan umum dari aturan integral Leibniz adalah
( x)
( x)

Q
x
,
y
dy

( x) xQx, y dy
x ( x )
(2.14)
x
x
Q x, x
Q x, , x
x
x
Oleh karena itu, persamaan (2.13) dapat ditulis menjadi
u
h
u w

dz

h x z h x dz t u x u x

h
z
z h

udz

u
x h
x
x

u
u

x
x
t

udz

0
x h
t

(2.15)

Selanjutnya, saat kita menetapkan flux keluar M dan rata-rata kecepatan u ,

M udz u h
h

Lalu pernyataan akhir adalah

(2.16)

0
t
x

(2.17)

Contoh :
Turunkan integral dari persamaan gerakan

M M 2

g h

0
t x h
x

(2.18)

2.2 Teori Perairan Dangkal 2-D


2.2.1 Persamaan kontinyu
Pertama kita pertimbangkan integrasi persamaan kontinyu (2.19) dari bawah menuju
permukaan air.
u v w

0
(2.19)
x y z
Seperti ditunjukkan sebelumnya, kita gunakan aturan integral Leibniz

u h v h

0
t
x
y

(2.20)

Atau
M N

0
t
x y
Dimana

(2.21)

M udz u h
h

N vdz v h
h

(2.22)
(2.23)

2.2.2 Persamaan dari Gerakan ( Persamaan Navier-Stokes)


Kedua, kita pertimbangkan persamaan Navier-Stokes dari gerakan bentuk 3-dimensi.

u
u
u
u
1 p 2u 2u 2u

u v w
v

t
x
y
z
x x 2 y 2 z 2

(2.24)

v
v
v
v
1 p 2v 2v 2v

u v w
v

t
x
y
z
y x 2 y 2 z 2

(2.25)

w
w
w
w
1 p 2 w 2 w 2 w

u
v
w
g
v

t
x
y
z
z x 2 y 2 z 2

(2.26)

dimana adalah viskositas kinematik ( / ). Menjadi berbeda dari persamaan Euler, gaya
viskous termasuk di dalam tiap komponen dari persamaan Navier-Stokes.

Seperti yang disebutkan di atas, kita asumsikan bahwa percepatan vertikal partikel air sangat
kecil dibandingkan dengan percepatan gravitasi. Oleh karena itu, persamaan (2.27) dan (2.28)
dapat diterapkan untuk menulis ulang persamaan (2.26) sampai (2.29).
|

(2.27)
(2.28)
(2.29)

Mengingat kondisi batas dinamis pada permukaan bebas ( p = 0 di z = ), kita peroleh


tekanan hidrostatiknya dari persamaan (2.29)
P = g ( - z)
(2.30)
Selanjutnya, kita ubah bentuk sisi kiri dari persamaan (2.24).

Kemudian kita dapatkan bentuk modifikasi dari persamaan (2.24).


(

arah x :

(2.31)

Dan juga untuk persamaan (2.25).


(

arah y :

(2.32)

Kita ikuti cara yang sama yang ditampilkan pada halaman 5 untuk mengintegralkan
persamaan (2.31) dan (2.32). Integral dari persamaan (2.31) lebih mendalam menjadi

(2.33)

dimana Txx, Tyx dan Tzx adalah tensor stress dalam suatu fluida yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2.2.
Penerapan hukum integral Leibniz dari persamaan (2.14) dan kondisi batas dinamis di
permukaan, kita peroleh bentuk modifikasi dari persamaan (2.33).

Gambar 2.2 Definisi tensor stress

}
{

}
(

(2.34)

Juga kondisi batas kinematis pada permukaan bebas dan bagian dasar dapat diaplikasikan
sebagai
(2.35)
(2.36)
Terapkan dua kondisi batas tersebut, persamaan (2.34) menjadi

Selain itu, dengan memperkenalkan faktor koreksi momentum,

(2.38)

(2.39)

Persamaan (2.37) dapat ditulis ulang sebagai

(2.37)

= -g( + h)

(2.40)

Catat bahwa faktor koreksi momentum dianggap satu. Maka persamaan (2.40) dapat
disederhanakan sebagai berikut

= -g( + h)

+ (

)
(2.41)

Atau dengan menggunakan fluks keluar,


M=

N=

Persamaan (2.41) dapat dinyatakan sebagai

)+

)=-

+ (

)
(2.42)

Di mana D adalah kedalaman air total D = + h


Kita anggap sisi kanan persamaan (2.42) dengan mengasumsikan (i) Txx dan Tyx tidak
bergantung pada z dan relatif lebih kecil daripada stress geser bawah dan (ii) stress di
permukaan bebas T(x,y,,t) = 0

)-

=(2.43)

Di mana Tbx = Tzx | z = -h


Akhirnya, persamaan momentum di arah x adalah

)+

)=-

(2.44)

Dengan langkah yang sama, persamaan momentum di arah y adalah

)+

( )=-

(2.45)

Di mana Tby = Tbz | z = -h


Maka bentuk integral dari teori air dangkal (Shallow water theory) adalah

=0

)+

)=-

)+

( )=-

Di mana
M=

(2.46)

N=

(2.47)

2.2.3 Syarat Gesekan Bawah


Untuk penggunaan dalam praktek modeling numerik, dari sebuah analogi ke aliran beraturan,
gesekan bawah Tbx / dan Tby / secara umum dinyatakan dalam

(2.48)

(2.49)
n adalah koefisien kekasaran Manning, yang mana dipilih berdasarkan kondisi dari material
bawah seperti ditunjukkan dalam tabel 1.
2.2.4 Persamaan akhir dari Teori Perairan Dangkal

=0
(2.50)

)+

)=-

(2.51)

Tabel 1 : Nilai dari koefisien kekasaran Manning n (Linsley dan Franzini, 1979)
Material Sumber
n
Semen murni, metal halus
0.010
Puing puing batu
0.017
Bumi halus
0.018
Sumber natural dengan kondisi bagus
0.025
Sumber natural dengan batu dan rumput
0.035
Sumber natural jelek
0.060
3. Skema Modeling Numerik
3.1 Metode Turunan tertutup
Turunan tertutup (Finite Difference) adalah wujud terpisah dari memperkirakan persamaan
diferensial. Dan metode turunan tertutup secara luas digunakan untuk analisis numerik,
memecahkan persamaan diferensial. Sebagai contoh, meninjau persamaan diferensial biasa,
df ( x)
f ( x)
f ( x) a
(3.1)
y

Untuk menyelesaikan persamaan numerik di atas, kita perlu memperkirakan operator


diferensial dengan sebuah operator beda (difference).
df ( x)
f ( x h) f ( x )

(3.2)
dy
h
Kemudian persamaan (3.10) adalah
(3.3)
f ( x h) f ( x) h( f ( x) a)
Persamaan (3.3) disebut persamaan turunan tertutup. Pemecahan persamaan ini memberikan
solusi perkiraan persamaan diferensial.
Dalam metode turunan tertutup, ada tiga bentuk utama : forward, backward dan central
differences.
Forward difference ditunjukkan dalam bentuk;
df
f ( x h) f ( x )

dx
h
Backward difference muncul ketika h digantikan oleh -h.
df
f ( x ) f ( x h)

dx
h
Begitu juga, Central difference ditentukan oleh
df
f ( x h / 2) f ( x h / 2)

dx
h
atau
df
f ( x h) f ( x h)

dx
2h

(3.4)

(3.5)

(3.6)

(3.7)

Error antara solusi perkiraan dan solusi yang benar ditentukan oleh error yang dibuat
dengan menulis ulang persamaan diferensial dari sebuah operator diferensial ke sebuah
operator beda. Error ini disebut error diskritisasi atau error pemotongan. Sebagai contoh,
perhatikan pendekatan operator diferensial berikut.
M ( x, t )
(3.8)
x
Metode turunan tertutup berdasarkan pendekatan ekspansi Taylor dari Persamaan
(3.8) ditunjukkan sebagai berikut.
M ( x x, t ) M ( x, t ) x

M ( x, t ) x 2 2 M ( x, t ) x 3 3 M ( x, t )

x
3!
x 2
x 3

(3.9)
dimana x adalah ukuran grid spasial. Dari persamaan (3.9),persamaan forward difference
diperoleh sebagai
M(x,t) M(x x,t) M ( x, t )

O(x)
x
x
(3.10)

Di sini, kita mendefinisikan perbedaan antara turunan parsial dan representasi turunan
tertutup nya sebagai error pemotongan, memiliki urutan x atau O (x).
Terlebih lagi, jika x diganti dengan + x / 2 dan -x / 2, ekspansi Taylor tersebut
dapat ditulis ulang sebagai persamaan (3.11) dan (3.12) untuk menghasilkan (3.13), yang
merupakan central difference dengan urutan kedua dari error pemotongan.
x M(x,t)
M(x x/ 2 ,t) M(x,t)
2
x

x2 2

x2 3

2 M(x,t)
x 2

3 M(x,t)

3!
x 3

(3.11)

x M ( x, t )
M ( x x / 2, t ) M ( x, t )

2 x

2x 2

2x 3

2 M ( x, t )
x 2

3!

3 M ( x, t )

x 3
(3.12)

M(x,t) M(x x / 2,t) M ( x x / 2, t )

O(x 2 )
x
x

(3.13)
Persamaan turunan tertutup (3.13) memiliki error dari orde kedua, sedangkan
Persamaan (3.10) memiliki orde pertama. Yang menarik adalah bahwa wujud dari turunan
tertutup (3.10) dan (3.13) sama, tetapi orde kesalahannya berbeda.
3.2. Skema StaggreredLeap-Frog
Pada pemodelan numerik tsunami, umumnya menggunakan skema Staggrered leap-frog
untuk mendekretisasi persamaan governing. Skema Staggrered adalah system grid untuk
menentukan variable pada bagian spasial secara acak. secara umum, variable skalar seperti
atau h ditempatkan pada tengah grid, variabel vector seperti M atau N pada tepi, seperti pada
Gambar 3.2. Disisi lain, skema Leap-Frog adalah skema central difference dengan
pemotongan kesalahan pada orde kedua. Keuntungan dan kerugian dari Skema Staggered
leap-frog adalah (i) sederhana tetapi mempunya kesalahan pada order kedua, (ii) mudah
untuk menentukan kondisi batas, (iii) sangat stabil dan tidak ada kesalahan disipatif dan (iv)
adanya kesalahan dispersif.

Gambar 3.1 : Geometri spasial dari skema Staggered leap-frog


Untuk langkah pertama, digunakan untuk menjelaskan skema numeric untuk
persamaan perairan dangkal linear 1-D (3.14) dan (3.15). Gambar 3.2 mengindikasikan
skema Staggered leap-frog untuk masalah ini.
(3.14)
(3.15)
Dengan menggunakan central difference, aturan pertama pada persamaan (3.14)
didiskritisasi sebagai persamaan (3.16) untuk mendapatkan ketinggian air pada saat
dengan menggunakan keadaan ketinggian air saat

(3.16)
Dimana
(3.17)

*(

(3.18)
Akhiran i pada posisi grid spasial (
waktu
, dimana
dan
berurutan

, dan k adalah posisi grid pada daerah bagian


adalah ukuran grid spasial dan temporal secara

Gambar 3.2 : Skema Staggered leap-frog pada domain x-t


Begitu juga, central difference pada syarat kedua pada persamaan (3.14) dapat ditulis sebagai
berikut.

(3.19)
Dengan cara yang sama, persamaan (3.15) didiskritisasikan sebagai

(3.20)

Dimana

Pada akhirnya, persamaan finite difference untuk menyelesaikan persaaman (3.14) dan (3.15)
sebagai berikut
(3.21)

(3.22)

3.3 Aturan linear 2-D


(3.23)

=0

Untuk

(3.24)

Untuk
(

(3.25)

Untuk
3.4 Skema numerik untuk syarat non-linear
Seperti dijelaskan sebelumnya, skema numerik untuk syarat linear cukup sederhana. Akan
tetapi, istilah non-linear yang sedikit rumit untuk diputuskan. Pertama, kita
mempertimbangkan skema leap-frog yang diatur secara acak untuk istilah konveksi dengan
skema melawan arah angin. Skema melawan angin menggunakan f(x, t), f (x-x, t) dan f (x +
t) untuk menghitung f (x, t + t), sesuai dengan arah arus.

(3.26)

( )

(3.27)

{
{

(3.28)

}
(

(3.29)

(3.30)

(3.31)

dimana

{
{
{
{

Gambar 3.3: Geometri dari skema upwind


3.5 Skema numerik untuk syarat gesekan bawah
Syarat gesekan bawah yang dijelaskan sebelumnya, juga dalam persamaan (2.48) dan
(2.49), adalah diatur secara acak dengan skema implisit untuk mempertahankan
stabilitas numerik.

Sederhananya, perhatikan persamaan momentum 1-D berikut ;

Skema implisit untuk persamaan (3.38) adalah :

Untuk menghasilkan ;
(

Kemudian,
(

3.6 Rangkuman
Skema numerik dari kode TUNAMI untuk gempabumi dengan kedalaman dangkal
dapat dirangkum sebagai berikut :
(

[(

)]

}
(

Dimana,
(
(

)
(

4. Kondisi Batas
4.1 Kondisi batas di lepas pantai
Dalam skema staggered leap-frog, variabel-variabel di sepanjang perbatasan tidak
dapat dihitung. Sehingga, kita menggunakan perkiraan sederhana untuk memperoleh nilai
batas dengan mengasumsikan hubungan antara ketinggian gelombang dan kecepatan arus
u dalam pergerakan sinusoidal gelombang air pada kedalaman konstan.

4.2 Kondisi batas yang bergerak untuk arus depan (surge front)
Dalam pemodelan tinggi run-up tsunami mencapai daratan, baik batas yang kering
maupun yang terendam tetap berpatokan pada kondisi berikut :
D=h+> 0
: Untuk batas yang terendam
0
: Untuk batas yang kering
Ujung gelombang seharusnya berada terletak di antara batas yang kering dan terendam. Jika
ketinggian tanah pada batas yang kering lebih rendah dibandingkan ketinggian air pada
bagian yang terendam, terjangan air yang melintasi batas antara dua garis tersebut dihitung.
Ada beberapa cara untuk memperkirakannya dalam kondisi batas yang bergerak. Dalam
skema Staggered leap-frog garis batasnya berkisar berdasar kecepatannya dan ketinggian air
yang mengasumsikan bahwa ketinggian tersebut telah dihitung sebagai sel komputasional.
Jika ketinggian air lebih tinggi dari yang dihitung sebelumnya, maka air dapat merendam
batas sel daratan. Gambar 4.2 menjelaskan cara untuk memperkirakan kecepatan terjangan
atau luapan.

Intinya adalah bagaimana luapan air tersebut harus dihitung. Sehingga, kita
menggunakan cara yang dikemukakan Imamura (1995) yang menghasilkan besar luapan air
dengan menerapkan secara langsung persamaan gerak untuk menjaga kedalaman total dari
batas kering tetap nol. Dalam prakiraan tersebut, kedalaman total D sebagai titik perhitungan
luapan dianggap sebagai selisih antara level tanah pada garis batas kering dan level air di
sebelahnya.
5 . Kesimpulan
Sebuah pemaparan dari metode turunan tertutup untuk penjalaran gelombang tsunami
dan tinggi run-up nya telah dijelaskan. Penulis menyarankan setiap pengguna untuk
mengikuti turunan dari teori-teori untuk lebih memahami model itu sendiri. Penulis juga
berharap bahwa usaha dalam pencegahan terhadap bencana tsunami dan persiapan dari pihak
penanganan bencana dapat berlangsung lancar untuk menghadapi kejadian tsunami
selanjutnya.

Oleh
Anggota

: Geofisika V
: Aditya Rahman
Anisa Nurbaeti R
Aprilia Nur Vita
Asyer Octhav
Bryan Fitzgerald
Isna Ayu M
Mahdi Kokab Z
Ricardo Alfencius S
Taufan Taufik
Vrieslend Haris B
Yusuf Hadi P

Anda mungkin juga menyukai