Anda di halaman 1dari 32

Bab VI

PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH


6.1

Latar Belakang Masalah


Pada saat kegiatan pembelajaran matematika berlangsung siswa

seringkali mengalami kesulitan dalam menerapkan ketrampilan yang mereka


dapatkan di sekolah ke dalam kehidupan nyata sehari-hari, hal ini dikarenakan
ketrampilan yang diberikan dalam pembelajaran lebih banyak diterima dalam
konteks

sekolah

daripada

konteks

Wikandari,1998:39). Sementara itu

kehidupan

nyata.

(Nur

dan

Semiawan dalam Wulandari (2002:1)

menyatakan pendapatnya, meskipun para siswa mendapatkan nilai-nilai yang


tinggi dalam sejumlah mata pelajaran, namun mereka tampak kurang mampu
menerapkan perolehannya, baik berupa pengetahuan, ketrampilan, maupun
sikap

ke

dalam

pengetahuan,

situasi

namun

lain.

banyak

Para

siswa

memang

pengetahuan

itu

tidak

memiliki

sejumlah

bermakna

dalam

kehidupan sehari-hari dan cepat terlupakan.


Salah satu faktor penyebab yang mempengaruhi hal tersebut adalah
berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan sekolah masih
berjalan konvensional dan banyak di dominasi guru. Guru cenderung
memindahkan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa sehingga konsep,
prinsip dan aturan-aturan terkesan saling terisolasi dan kurang bermakna.
Banyak

pihak

merasa

tidak

puas

lagi

dengan

model

pembelajaran

konvensional. (Sinaga, 1999:1).


Untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran matematika, guru
dituntut mencari dan menemukan suatu cara yang dapat menumbuhkan
ketrampilan-ketrampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah

satunya

guru

diharapkan

dapat

mengembangkan

suatu

model

pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuam mengembangkan,

60

menemukan, menyelidiki dan mengungkapkan ide siswa sendiri.(Abbas,


2000:3). Dengan kata lain seorang guru diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan berpikir dan memecahkan masalah
siswa dalam matematika.
Leitze dan Mau dalam Abbas (2000:4) mengatakan : guru dapat
menggunakan kegiatan pemecahan masalah untuk beberapa tujuan, seperti
meningkatkan ketrampilan berpikir kritis, ketrampilan mengorganisasikan
data, ketrampilan berkomunikasi dan pengambil keputusan yang tepat, dan
membuat hubungan antar topik pada matematika. Jadi tugas guru tidak hanya
menuangkan informasi kepada siswa, tetapi mengusahakan agar konsepkonsep penting tertanam kuat dalam benak siswa. Belajar yang hanya
menuangkan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa tanpa memaknai
perolehan informasi itu tidak bermakna bagi siswa sehingga perlu alternatif
lain pembelajaran. Salah satunya adalah pembelajaran berdasarkan masalah (
Problem-Based Instruction ).
Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang
sangat efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi,
membantu siswa memproses pengetahuan yang telah dimiliki dan membantu
siswa membangun sendiri pengetahuan tentang dunia sosial dan fisik di
sekelilingnya. (Kardi dan Nur, 1999:16). Ibrahim dan Nur (2000:7) mengatakan
pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan ketrampilan
intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka
dalam pengalaman nyata dan menjadi pebelajar yang mandiri.
Resnick dalam Ibrahim dan Nur (2000:11), mengemukakan bahwa
bentuk pembelajaran berdasarkan masalah penting untuk menjembatani dua
kesenjangan antara pembelajaran sekolah formal dan aktivitas mental yang

61

lebih praktis dijumpai di luar sekolah. Pembelajaran berdasarkan masalah


sesuai dengan aktivitas mental di luar sekolah, seperti mendorong kerjasama
dalam menyelesaikan tugas, mendorong pengamatan dan dialog, melibatkan
siswa dalam penyelidikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (1999:133) pada siswa kelas
I SMUN 3 Ambon didapatkan bahwa siswa yang diajar dengan model
pembelajaran berdasarkan masalah secara signifikan memperoleh hasil yang
lebih baik dibandingkan siswa yang dikenai model pembelajaran konvensional
dan pembelajaran berdasarkan masalah efektif dalam mengajarkan bahan
kajian Fungsi Kuadrat. Wulandari (2002:36) yang melakukan penelitian pada
siswa kelas I SLTP Raden Rahmat Surabaya menemukan bahwa hasil belajar
siswa yang diajar dengan model pembelajaran berdasarkan masalah lebih baik
dari hasil belajar yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Dan
dapat dikatakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah positif dari segi
aktivitas guru dan siswa, kemampuan mengelola pembelajaran, dan respon
siswa terhadap pembelajaran pada bahan kajian ukuran pemusatan.
Berdasarkan latar belakang dan hasil penelitian yang dikemukakan di
atas, maka dapat dikatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah
dapat meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga

penulis

tertarik untuk

melakukan penelitian pada materi yang berbeda, guna mengetahui apakah


model

pembelajaran

berdasarkan

masalah

efektif

diterapkan

untuk

mengajarkan subpokok bahasan jajargenjang dan belahketupat.


Sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat merupakan pokok
bahasan yang diajarkan pada siswa kelas II SLTP semester 3. Dalam kehidupan
sehari-hari sering dijumpai bentuk-bentuk segiempat, misalnya jendela,
layang-layang, papan rambu lalu lintas, kaca dan sebagainya, sehingga
diharapkan siswa mampu untuk membedakan dan menentukan luas dari

62

masing-masing

bentuk

bangun

tersebut

dari

masalah-masalah

dalam

matematika itu sendiri maupun masalah-masalah yang ditemuinya dalam


kehidupan sehari-hari.

6.2 Hakikat Belajar Matematika


Matematika

berkenaan

dengan

ide-ide,

struktur

dan

hubungan-

hubungannya yang diatur menurut aturan yang logis, sehingga matematika


berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak. Suatu kebenaran matematika
dikembangkan berdasarkan alasan logis dengan menggunakan pembuktian
deduktif. Hudoyo (1988:3).
Dengan demikian matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai
sifat khas. Karena itu dalam mengajar matematika sebaiknya tidak disamakan
dengan ilmu yang lain. Selain itu karena siswa yang belajar matematika
berbeda-beda kemampuannya, maka kegiatan belajar dan mengajar haruslah
diatur dengan memperhatikan kemampuan masing-masing siswa.
Dalam proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan
kegiatan yang paling pokok. Belajar adalah suatu proses atau usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru

secara

keseluruhan

sebagai

hasil

pengalamannya

sendiri

dalam

berinteraksi dengan lingkungan. (Slamento dalam Lastiningsih, 1995:2)


Hudoyo (1988:1) menjelaskan bahwa seseorang dikatakan belajar bila
dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang dapat diamati
dan berlaku dalam dalam waktu yang relatif lama. Perubahan tingkah laku
yang relatif lama itu disertai usaha orang tersebut, sehingga orang itu dari
tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakannya. Tanpa
usaha,

walaupun

terjadi

perubahan

63

tingkah

laku,

bukanlah

belajar.

Mempelajari matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan


serta operasinya, melainkan juga berkenaan dengan ide-ide abstrak yang
diberi simbol-simbol dan tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif.
Bruner

dalam

Hudoyo

(1988:43)

berpendapat

bahwa

belajar

matematika ialah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika


yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara
konsep-konsep dan struktur matematika tersebut.
Uraian di atas memberi petunjuk bahwa hakikat belajar matematika
merupakan suatu kegiatan mental untuk memahami obyek-obyek dalam
struktur matematika serta hubungan-hubungannya sehingga didapatkan
pengetahuan baru.

6.3 Model Pembelajaran


Saripuddin dalam Abbas (2000:17) mendefinisikan model pembelajaran
sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis
dalam

mengorganisasikan

pengalaman

belajar

untuk

mencapai

tujuan

pembelajaran tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang dan


para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar
mengajar.
Kardi dan Nur (1999:9) menjelaskan bahwa model pembelajaran
mempunyai 4 (empat) ciri khusus, yaitu : rasional teoritis yang logis yang
disusun oleh para pencipta atau pengembangnya, landasan pemikiran tentang
bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai), tingkah
laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan
dengan berhasil, dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan
pembelajaran itu dapat tercapai.

64

Arends dalam Abbas (2000:18) menyatakan bahwa model pembelajaran


mengacu kepada pendekatan pembelajaran termasuk di dalamnya tujuan
pembelajaran, tahap-tahap kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran,
dan pengelolaan kelas.
Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa
model

pembelajaran

menggambarkan

merupakan

prosedur

yang

suatu

kerangka

sistematis

dalam

konseptual

yang

mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Penerapan setiap model


pembelajaran dapat menentukan keberhasilan tujuan pembelajaran. Model
pembelajaran tertentu dapat diterapkan pada materi tertentu sesuai dengan
tujuan pengajaran. Salah satu model pembelajaran yang bertujuan agar siswa
memiliki

ketrampilan

berpikir

dan

pemecahan

masalah

serta

dapat

menerapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran berdasarkan


masalah.

6.4

Model

Pembelajaran

Berdasarkan

Masalah

(Problem-Based

Instruction)
Model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) merupakan pola
pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalaah nyata yang dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari.

Model pembelajaran berdasarkan masalah

dicirikan oleh penggunaan masalah nyata. Model ini tidak dirancang untuk
membantu

siswa

menerima

informasi

sebanyak-banyaknya,

tetapi

dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan berpikir


dan ketrampilan memecahkan masalah. Selain itu,

belajar berbagai peran

orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau


simulasi, dan menjadi pembelajar yang mandiri. Lingkungan belajar dan sistem
manajemen pada PBM dicirikan oleh lingkungan kelas yang terbuka dan

65

peranan aktif siswa, sehingga guru dalam PBM ini berperan sebagai penyaji
masalah, penanya, mengadakan dialog dan pemberi fasilitas penelitian.
(Ibrahim dan Nur, 2000:7).
Jadi, pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pembelajaran yang
dicirikan penggunaan masalah nyata dan siswa dilibatkan untuk melakukan
penyelidikan sehingga mereka mampu menemukan sendiri penyelesaian dari
masalah yang diberikan.

Ciri-ciri Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBM)


Pengembang

pembelajaran

berdasarkan

masalah

seperti

Madden,

Dollan dan Wasik, Krajcik, Blumenfield, Mark dan Soloway, Slavin, Varderbitl
dalam Ibrahim dan Nur (2000:5-7) memerikan model PBM itu memiliki
karakteristik sebagai berikut.
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah
PBM mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah
yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk
siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata otentik, menghindari
jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk
situasi itu.
Menurut Arends dalam Abbas (2000:23) pertanyaan atau masalah itu
haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.

Otentik, yaitu masalah didasarkan dan diambil dari kehidupan


sehari-hari, sesuai dengan pengalaman siswa dan sesuai dengan prinsipprinsip akademik.

2.

Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak


menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan
penyelesaian siswa.

66

3.

Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah


dipahami siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa.

4.

Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang


disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut
mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan
waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah
disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran telah
ditetapkan.

5.

Bermanfaat, yaitu masalah yang disusun dan dirumuskaan haruslah


bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru
sebagai pemilik masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah
siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.

b. Keterkaitan dengan disiplin ilmu.


Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada
mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang
akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya,
siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
c. Penyelidikan otentik.
PBM
mencari

mengharuskan

penyelesaian

siswa

nyata

melakukan

terhadap

penyelidikan

masalah

nyata.

otentik

untuk

Siswa

harus

menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan


membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen

(jika

diperlukan),

membuat

inferensi,

dan

merumuskan

kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan,


bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.

67

d. Memamerkan hasil kerja.


PBM mengajak siswa menyusun dan memamerkan hasil kerja sesuai
dengan kemampuannya. Setelah selesai mengerjakan, beberapa kelompok
menyajikan hasil kerjanya di depan kelas dan siswa pada kelompok lain
memberikan tanggapan, kritik terhadap pemecahan masalah yang disajikan
oleh temannya. Dalam hal ini guru mengarahkan, membimbing, memberi
petunjuk kepada siswa agar aktivitas siswa menjadi terarah.
e. Kerjasama / Kolaborasi
PBM dicirikan dengan kerjasama antar siswa dalam satu kelompok kecil.
Kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dapat meningkatkan
ketrampilan berpikir dan ketrampilan sosial.
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, Arends dalam Ibrahim dan Nur
(2000:13) menjelaskan pengelolaan PBM mengikuti 5 (lima) langkah pokok
yang diawali dengan orientasi siswa pada masalah dan diakhiri dengan
menganalisis dan mengevaluasi hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut
disajikan pada tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1
Lima Langkah Pokok
Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Langkah
Langkah-1

Kegiatan Guru
menjelaskan
tujuan

Guru

Orientasi siswa kepada

menjelaskaan

masalah

dibutuhkan,

Langkah-2

aktivitas pemecahan masalah.


Guru membantu siswa mendefinisikan dan

Mengorganisasikan

mengorganisasikan tugas belajar yang

siswa untuk belajar

berhubungan dengan masalah tersebut.

sarana
memotivasi

68

dan

pembelajaran,
prasarana

siswa

terlibat

yang
pada

Langkah-3

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan

Membimbing

informasi yang sesuai, melaksanakan

penyelidikan individual

eksperimen, dan penyelidikan untuk

maupun kelompok

mendapatkan penjelasan dan pemecahan

Langkah-4

masalah.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan

Mengembangkan dan

menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,

menyajikan hasil karya

video, dan model serta membantu mereka untuk

Langkah-5

berbagi tugas dengan temannya.


Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi

Menganalisis dan

atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan

mengevaluasi proses

proses-proses yang mereka gunakan.

pemecahan masalah

6.5 Teori Belajar Yang Mendukung Pembelajaran Berdasarkan Masalah


Teori yang mendukung PBM salah satunya adalah teori konstruktivisme.
Von Glasersferd dan Matthew dalam Suparno (1997:18) menjelaskan bahwa
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan seseorang merupakan konstruksi diri mereka sendiri.
Dalam pembelajaran, teori konstruktivis memandang siswa secara
terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan

69

aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai


lagi. Teori ini menganjurkan peranan aktif siswa. Karena penekanannya pada
siswa sebagai siswa yang aktif, starategi konstruktivis sering disebut
pengajaran berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di dalam kelas
yang berpusat pada siswa peran guru bukan memberikan ceramah atau
mengendalikan

seluruh

kegiatan

kelas

melainkan

membantu

siswa

menemukan informasi-informasi penting bagi siswa. (Nur dan Wikandari,


1998:3).
Pendekatan konstruktivis dalam pengajaran lebih menekankan pada
pengajaran top-down daripada bottom-up. Top-down berarti siswa mulai
dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya
memecahkan

atau

menemukan

(dengan

bantuan

guru)

ketrampilan-

ketrampilan dasar yang diperlukan. Di dalam pengajaran top-down, siswa


mulai dengan suatu tugas yang kompleks, lengkap dan otentik. Otentik artinya
bahwa tugas-tugas itu bukan merupakan bagian atau penyederhanaan dari
tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, melainkan tugas itu merupakan
tugas

yang

sebenarnya.

Sedangkan

di

dalam

pengajaran

bottom-up,

ketrampilan-ketrampilan dasar secara bertahap dilatihkan kepada siswa untuk


mewujudkan ketrampilan-ketrampilan yang kompleks.( Nur dan Wikandari,
1998:6).
Teori-teori

pembelajaran

yang

mendasarkan

pada

pandangan

konstruktivis antara lain adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel, dan
teori Bruner.
a. Teori Piaget
Piaget adalah salah seorang pioner konstruktivis. Piaget dalam Hudoyo
(1988:45),

menyatakan

bahwa

proses

berpikir

manusia

sebagai

suatu

perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual konkrit ke abstrak

70

berurutan melalui empat periode. Urutan periode itu tetap bagi semua orang,
namun usia kronologis pada setiap orang yang memasuki setiap periode
berpikir lebih tinggi berbeda-beda tergantung pada masing-masing individu.
Piaget dalam Suparno (1997:47) menyebutkan bahwa perkembangan
struktur

kognitif

hanya

berjalan

bila

anak

mengasimilasikan

dan

mengakomodasikan rangsangan dalam lingkungannya. Ini terjadi mugkin bila


nalar anak dibawa ke situasi lingkungan tertentu sehingga ia bisa berinteraksi
dengan objek, mengamati dan meneliti, serta berpikir.
Piaget

dalam

Ibrahim

dan

Nur

(2000:17),

mengatakan

bahwa

pengetahuan tidak statis tetapi secara terus-menerus tumbuh dan berubah


pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka
membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Pembelajaran yang
baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi-situasi sehingga anak
dapat mandiri melakukan eksperimen, mencoba segala sesuatu untuk melihat
apa yang terjadi, memanipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan
menemukan sendiri jawabannya. Selain itu, juga mencocokkan apa yang ia
temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain,
membandingkan temuan-temuannya dengan temuan anak lain.
Pemanfaatan teori Piaget dalam PBM adalah guru memusatkan pada
proses berpikir anak atau proses mental anak lebih utama daripada sekedar
hasil.

Peran

aktif

siswa

dalam

pembelajaran

sangat

penting

untuk

perkembangan intelektualnya.

b. Teori Vygotsky
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky
yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan
pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan.

71

(Karpov dalam Nur dan Wikandari, 1998:3). Nur dan Wikandari (1998:3-5),
menyebutkan bahwa ada empat prinsip kunci yang diturunkan dari teoriteorinya, antara lain :
1. Menekankan pada hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky percaya
bahwa interaksi sosial dengan orang dewasa atau teman sebaya lebih
mampu memacu terbentukanya ide baru dan memperkaya perkembangan
intelektualnya siswa.
2. Siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona
perkembangan terdekat mereka. Anak sedang bekeja di dalam zona
perkembangan terdekat mereka pada saat mereka terlibat dalam tugastugas

yang

tidak

dapat

mereka

selesaikan

sendiri

tetapi

dapat

menyelesaikannya bila dibantu oleh teman sebaya atau orang dewasa.


3. Menekankan pada pemagangan kognitif (Gardner dalam Nur dan Wikandari,
1988:40). Istilah ini mengacu kepada proses ketika seseorang yang sedang
belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan
seorang pakar. Pakar itu bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau
kawan sebaya yang telah menguasai permasalahannya. Mengajar siswa di
kelas adalah suatu bentuk pemagangan. Penganut teori konstruktivis
menganjurkan

penggunaan

model

pembelajaran

melibatkan

aktivitas

sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas


kompleks maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan
melibatkannya dalam kelompok pembelajaran heterogen di mana siswa
yang

lebih

pandai

membantu

siswa

yang

kurang

pandai

dalam

menyelesaikan tugas-tugas kompleks tersebut.


4. Menekankan pada

scaffolding sebagai satu hal yang penting dalam

pemikiran teori konstruktivis modern. Interpretasi terkini terhadap ide-ide


Vygotsky adalah siswa diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistik

72

dan kemudian diberi bantuan secukupnya untuk menghasilkan tugas-tugas


ini.
Pemanfaatan dari teori Vygotsky dalam pembelajaran berdasarkan
masalah adalah guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok belajar,
kemudian menciptakan suasana kelas yang memungkinkan pertukaran ide
yang terbuka dan memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan kepada
siswa untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah.
c. Teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel, Novak dan Hanesian dalam Suparno (1997:53-54),
ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningfull learning) dan
belajar menghapal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses
belajar yang menghubungkan informasi baru dengan struktur pengertian yang
sudah dipunyai seseorang yang belajar. Belajar bermakna terjadi jika pelajar
mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan
mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep. Jika pengetahuan baru tidak
dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, maka pengetahuan baru
itu akan dipelajari melalui belajar hafalan. Hal ini disebabkan pengetahuan
yang baru tidak diasosiasikan dengan pengetahuan yang ada.
Dukungan penting teori belajar bermakana Ausubel pada PBM adalah
dalam hal menghubungkan pengetahuan yang sudah dipunyai siswa dengan
masalah

yang

akan

diselesaikan.

Untuk

menyelesaikan

masalah

yang

diberikan, siswa harus mampu menghubungkan pengetahuan yang ia miliki


dengan permasalahan yang dihadapi. Bila pengetahuan atau konsep yang
dimiliki siswa belum dapat digunakan untuk memecahkan masalah maka guru
perlu membimbing siswa untuk menemukan konsep tersebut.

73

Dengan demikian siswa akan mampu memecahkan masalah yang


diajukan apabila ia cukup memiliki pengetahuan yang terkait dengan masalah
itu sehingga pengetahuan baru yang didapatkan akan lebih bermakna.

d.Teori Bruner
Jerome

Bruner

merupakan

ahli

psikologi

yang

menganjurkan

pembelajaran dengan penemuan. Pembelajaran dengan penemuan merupakan


suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki
sejarah panjang dalam inovasi pendidikan (Nur dan Wikandari, 1998:7).
Pembelajaran penemuan merupakan suatu pembelajaran yang menekankan
pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu
disiplin ilmu. Dalam pembelajaran tersebut siswa perlu aktif terlibat dalam
proses

pembelajaran

dan

suatu

keyakinan

bahwa

pembelajaran

yang

sebenarnya terjadi melalui penemuan. (Ibrahim dan Nur, 2000:20-21). Belajar


dengan penemuan mempunyai beberapa keuntungan antara lain: memacu
keingintahuan siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya
sehingga mereka menemukan jawaban, dan belajar memecahkan masalah
secara mandiri serta melatih ketrampilan berpikir kritis. Hal tersebut terjadi,
karena mereka harus selalu menganalisis dan memanipulasi informasi.
Kaitan antara pembelajaran penemuan dan PBM sangat jelas. Pada
kedua model ini guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi
induktif lebih ditekankan daripada deduktif, dan siswa menemukan atau
mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri.
Guru yang menganut teori Bruner harus menjadikan siswa mampu
mandiri.

Guru

mendorong

siswa

untuk

memecahkan

masalah

yang

dihadapinya sendiri atau memecahkan masalah secara berkelompok, sehingga

74

siswa akan mendapat keuntungan jika mereka dapat melihat dan


melakukan sesuatu daripada hanya sekedar mendengarkan ceramah.
6.6 Pelaksanaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah, meliputi :
Pendahuluan
Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang materi pelajaran
yang lalu (membahas PR), memotivasi siswa, menyampaikan TPK, dan
menjelaskan model pembelajaran yang akan digunakan.
Kegiatan Inti
Tahap 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pada kegiatan ini, guru menyajikan masalah, kemudian meminta siswa
mencermati dan mengidentifikasi masalah. Guru memberikan penjelasan
mengenai

prosedur-prosedur

apa

yang

dilakukan

untuk

menyelesaikan

masalah tersebut. Guru juga menegaskan bahwa siswa dalam penyelidikannya


akan didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mengumpulkan informasi.
Guru akan bertindak sebagai pembimbing, namun siswa harus berusaha
memecahkan masalah yang diberikan dengan teman dalam kelompoknya.
Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada kegiatan ini, siswa dikelompokkan secara bervariasi baik dalam
tingkat kemampuan dan jenis kelamin yang didasarkaan pada tujuan yang
ditetapkan. Setelah kelompok terbentuk, guru meminta siswa untuk berbagi
tugas sehingga semua siswa dalam kelompok-kelompok terlibat aktif dalam
kegiatan penyelidikan (pengumpulan data) yang akan dilakukan. Dengan
bekerjasama diharapkan siswa dapat menyelesaikan masalah yang diberikan.

Tahap 3 : Membimbing penyelidikan secara mandiri atau kelompok

75

Pada tahap ini, guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan
mendorong siswa untuk melaksanakan kerja mental (eksperimen) sampai
mereka betul-betul memahami situasi masalah yang diberikan. Tujuannya
adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan
membangun ide mereka sendiri. Setelah siswa mengumpulkan data yang
diperlukan dan telah melakukan eksperimen, guru mendorong siswa untuk
memberikan penjelasan mengapa mereka berpikir seperti itu. Guru bisa
mengajukan pertanyaan yang membuat siswa memikirkan tentang kelayakan
hipotesis dan pemecahan masalah mereka. Selama tahap penyelidikan, guru
memberikan bantuan yang dibutuhkan siswa tanpa mengganggu untuk sampai
pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.

Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya


Pada kegiatan ini, guru meminta 2 orang siswa dari 1 atau 2 kelompok
untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompoknya dan guru
membantu jika siswa mengalami kesulitan. Kegiatan ini berguna untuk
mengetahui hasil sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap
materi jajargenjang dan belahketupat yang diberikan.

Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah


Pada

kegiatan

ini,

guru

membantu

siswa

menganalisis

dan

mengevaluasi proses berpikir mereka. Guru meminta siswa untuk melakukan


rekonstruksi pemikiran dan kegiatan selama tahap-tahap pembelajaran yang
telah dilewatinya.

Penutup

76

Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan memberikan


soal-soal untuk dikerjakan di rumah.

6.7 Kelebihan dan Kekurangan PBM


Beberapa kelebihan model PBM adalah :
1.

Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan, sebab


mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.

2.

Melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut


ketrampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.

3.

Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika, sebab


masalah-masalah yang diselesaikan dikaitkan dengan kehidupan nyata.
Hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap
matematika.

4.

Menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa.

Kekurangan Model PBM


1. Tidak dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran matematika. Hanya
materi

tertentu

saja

yang

dapat

diajarkan

dengan

pembelajaran

berdasarkan masalah.
2. Membutuhkan persiapan yang matang.
3. Memakan waktu yang relatif lama, sehingga dapat berakibat materi
pembelajaran kadang-kadang tidak tuntas penyelesaiannya.

77

Dengan adanya PBM diharapkan efektifitas pembelajaran dapat dibentuk.


Suharman (2000:1), mengatakan bahwa kefektifan belajar terjadi bila siswa
secara aktif dilibatkan dalam mengorganisasikan dan menemukan hubunganhubungan informasi. Berbeda dengan belajar yang pasif, siswa hanya
menerima pengetahuan dari guru yang sudah siap diberikan. Kegiatan belajar
yang efektif tidak hanya meningkatkan pemahaman dan daya serap siswa
pada materi pembelajaran tetapi juga melibatkan ketrampilan berpikir.
Menurut Slavin dalam Sinaga (1999:20) keefektifan pengajaran dapat
ditinjau dari 4 (empat) aspek, yaitu:
1. Kualitas pembelajaran, yaitu seberapa besar informasi atau ketrampilan
yang disajikan sehingga siswa dapat dengan mudah mempelajarinya. Kualitas
pembelajaran sebagian besar merupakan hasil dari kualitas kurikulum dan
pembelajaran itu sendiri.
2. Kesesuaian tingkat pembelajaran, yaitu sejauh mana guru memastikan
tingkat kesiapan siswa untuk mempunyai informasi baru (yakni harus memiliki
ketrampilan dan pengetahuan yang perlu berkaitan dengan informasi itu).
Dengan kata lain masalah yang dibicarakan tidak terlalu sulit dan tidak terlalu
mudah.
3. Insentif, yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas belajar dan mempelajari materi yang disajikan.
4. Waktu, yaitu banyaknya waktu yang diberikan kepada siswa untuk
mempelajari materi yang disajikan.
Pembelajaran yang aktif terjadi apabila siswa terlibat aktif dalam
menemukan sendiri konsep dan aktif memecahakan masalah dengan bantuan
guru sebagai fasilitator. Guru tidak boleh mendominasi siswa dalam belajar
dan tidak boleh sekedar memberi ceramah. Akan tetapi, guru dituntut untuk
mendorong siswa berpikir, memotivasi, memberi petunjuk dan mengamati

78

siswa

bekerja.

Sehingga,

dalam

kegiatan

mengajar

perlu

diperhatikan

bagaimana keterlibatan siswa dalam pengorganisasian dan pengetahuannya,


apakah mereka aktif ataukah pasif ?.
Aktivitas siswa diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian:
(1). Aktivitas Aktif
Indikator aktivitas siswa yang dikategorikan aktivitas aktif adalah jika
siswa melakukan aktivitas sebagai berikut :
a. Membaca atau mencermati (buku siswa, LKS, pemecahan masalah)
b. Bekerja dalam memecahkan masalah
c. Berdiskusi atau bertanya antar siswa atau kelompok atau guru
d. Menyajikan hasil pemecahan masalah
e. Mengkaji ulang proses atau hasil pemecahan masalah
f. Menyimpulkan hasil pembelajaran
(2). Aktivitas Pasif
Indikator aktivitas siswa yang dikategorikan aktivitas pasif adalah jika
siswa melakukan aktivitas sebagai berikut :
a. Mendengarkan atau memperhatikan penjelasan guru atau siswa
b. Kegiatan yang tidak relevan dengan KBM
Pembelajaran efektif menghendaki guru agar melibatkan siswa secara
aktif dalam pembelajaran sehingga siswa mampu menemukan hubungan
antara informasi baru dengan informasi yang telah ia punya dan akhirnya ia
mampu memahami informasi yang diberikan guru. Semakin aktif siswa akan
semakin efektif pembelajarannya.
Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sangat berpengaruh
terhadapa proses kegiatan belajar dan hasil belajar siswa. Guru sebagai
penyampai informasi tidak hanya memberikan informasi sebanyak-banyaknya
kepada siswa, akan tetapi guru diharapkan mampu mengelola pembelajaran

79

yang

dapat

meningkatkan

kemampuan

erpikir

siswa.

Keeektifan

dari

kemampuan guru mengelola pembelajaran, apabila nilai dari indikatorindikator pada setiap tahap pembelajaran yang diberikan telah memenuhi
criteria yang telah ditetapkan. Dalam PBM ini, guru dalam mengelola
pembelajaran dikaatakan memenuhi eektivitas jika nilai retaa-rata indikator
pada setiap tahap pengelolaan pembelajaran yang diberikan oleh pengamat
cukup baik atau baik ( 3).
Respon

siswa

merupakan

salah

satu

indikator

keefektifan

suatu

rancangan pembelajaran. Respon siswa dapat diekspresikan melalui suatu


pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai sesuatu hal
daripada hal lainnya. Dapat pula dilihat melalui partisipasi dalam suatu
aktivitas dan cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap
obyek tersebut. (Slamento dalam Siswono, 1999:17).
Dengan demikian perlu diungkap tanggapan siswa terhadap model PBM
tersebut apakah mereka berminat atau punya harapan positif dan suka
terhadap model PBM tersebut. Siswa dikatakan berminat terhadap model
pembelajaran

tersebut,

bila

rata-rata

persentase

jawaban

ya

dan

berminat harus lebih besar dari 80 %.


Dalam kegiatan pembelajaran, guru perlu memotivasi, memfasilitasi dan
membantu siswa dalam belajar. Untuk mengetahui bagaimana hasil belajar
siswa maka diadakan tes. Tes hasil belajar berkaitan erat dengan pencapaian
tujuan belajar. Jika hasil tes belajar tinggi, maka menunjukkan tingkat
pencapaian tujuan belajar yang tinggi pula. Tingkat pencapaian tujuan belajar
tidak lepas dari ketuntasan belajar. Belajar dikatakan tuntas jika apa yang
dipelajari siswa dapat dikuasai sepenuhnya atau siswa mencapai taraf
penguasaan tertentu mengenai tujuan pembelajaran yang ditetapkan dengan
standar norma tertentu pula. (Abdullah dalam Siswono, 1999:14).

80

Selanjutnya pengajaran dikatakan efektif apabila mampu mencapai


sasaran yang diinginkan baik dari segi tujuan pembelajaran maupun dari
prestasi belajar siswa yang maksimal. Berdasarkan hasil analisis deskriptif,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau dari
aktivitas guru dan siswa, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
dan respon siswa memenuhi kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil belajar siswa
belum mencapai ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun ketuntasan
tujuan pembelajaran .
Berdasarkan pada kriteria efektifitas pembelajaran berdasarkan masalah
disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah tidak efektif
dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat.
Kemungkinan tidak efektifnya model PBM disebabkan karena siswa- terbiasa
untuk meniru atau menerima apa yang diajarkan oleh guru atau meniru teman
yang

lebih

pintar

darinya.

Beberapa

siswa

penyelesaian masalah yang ditemukan temannya.

81

cenderung

meniru

cara

Daftar Bacaan

Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah


(Problem-Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU.
Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya.

Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:


Bumi Aksara.

Wahyudin Djumanta. 1999. Matematika Untuk SLTP Jilid 2. Bandung:


Multi Trust.

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP


Malang.

M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah.


Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2
Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.

Kardi

S.,

dan

M.

Nur.

2000.

Pengajaran

Universitas Negeri Surabaya.

82

Langsung.

Surabaya:

Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril


Marjohan). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan


Prestasi Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang
Surabaya, Skripsi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.

Mustangin. 2001. Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas


Islam Malang.

M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.

Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah


(PBI) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis
Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan


Masalah (Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.

Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta:


Kanisius.

83

Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo


Media Pratama.

Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan


Masalah (Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa
Kelas II SLTP Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

84

Daftar Bacaan

85

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis deskriptif, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran berdasarkan masalah ditinjau dari aktivitas guru dan


siswa, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dan respon
siswa memenuhi kriteria efektifitas. Akan tetapi hasil belajar siswa
belum mencapai ketuntasan belajar baik secara klasikal maupun
ketuntasan tujuan pembelajaran .
Berdasarkan pada kriteria efektifitas pembelajaran berdasarkan
masalah disimpulkan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah
tidak efektif dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan jajargenjang
dan

belahketupat.

Kemungkinan

tidak

efektifnya

model

PBM

disebabkan karena siswa- terbiasa untuk meniru atau menerima apa


yang diajarkan oleh guru atau meniru teman yang lebih pintar darinya.
Beberapa siswa cenderung meniru cara penyelesaian masalah yang
ditemukan temannya.

7 Saran
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
berdasarkan

masalah

belum

dapat

dikatakan

efektif

dalam

mengajarkan sub pokok bahasan jajargenjang dan belahketupat,


karena dari segi ketuntasan belajar belum memenuhi kriteria yang
telah ditetapkan. Namun, dari hasil analisis data mengenai aktivitas
guru dan siswa dan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
didapatkan

bahwa

pembelajaran

berdasarkan

masalah

mampu

mengaktifkan siswa dalam belajar dan guru tidak lagi mendominasi


pembelajaran. Untuk itu disarankan kepada :

86

1. Guru
a. Untuk

menerapkan

atau

mencoba

lagi

pembelajaran

berdasarkan masalah karena model ini dapat memotivasi siswa


aktif dalam belajar.
b. Sebelum

melakukan

mempersiapkan

kegiatan

kemampuan

pembelajaran

awal

dan

guru

mengecek

perlu
materi

prasyarat yang diperlukan siswa untuk belajar, sehingga siswa


mudah memahami materi yang diajarkan.

87

c. Karena ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal


belum tercapai

maka hendaknya guru melihat kembali

kesulitan siswa dan mengadakan pengajaran ulang.


2. Siswa
Dari segi ketuntasan TPK dan ketuntasan belajar secara klasikal
belum memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, maka hendaknya
siswa mengikuti atau mencoba lagi pembelajaran berdasarkan masalah
dan bekerjasama dengan kelompok sehingga siswa dapat aktif dalam
belajar.

Daftar Bacaan

Nurhayati Abbas. 2000. Penerapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah


(Problem-Based Instruction) pada Pembelajaran Matematika di SMU.
Tesis yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya.

Suharsimi Arikunto. 1996. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:


Bumi Aksara.

Wahyudin Djumanta. 1999. Matematika Untuk SLTP Jilid 2. Bandung:


Multi Trust.

88

Herman Hudojo. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP


Malang.

M. Ibrahim dan M. Nur. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah.


Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Syamsul Junaidi dan Eko Siswono. 2002. Matematika Untuk SLTP Jilid 2
Kurikulum 1994 Suplemen GBPP 1999. Jakarta: ESIS Erlangga.

Kardi

S.,

dan

M.

Nur.

2000.

Pengajaran

Langsung.

Surabaya:

Universitas Negeri Surabaya.

Jerold Kemp. 1994. Proses Perancangan Pengajaran (terjemahan Asril


Marjohan). Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Netti Lastiningsih. 1996. Studi Korelasi antara Alih Bahasa dengan


Prestasi Menyelesaikan Soal Cerita di Kelas V SD Negeri Ketintang
Surabaya, Skripsi yang tidak dipublikasikan. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.

Mustangin. 2001. Pengantar Metodologi Penelitian. Malang: Iniversitas


Islam Malang.

89

M. Nur dan Wikandari P.R. 1998. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan
Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya.

Bornok Sinaga. 1999. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan Masalah


(PBI) pada Kelas I SMU dengan Bahan Kajian Fungsi Kuadrat, Tesis
Tidak Dipublikasikan. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Tatag YE Siswono. 2003. Proses Berpikir Kreatif dalam Pengajuan


Masalah (Problem Posing) Matematika. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.

Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstrukitvis dalam Pendidikan. Jakarta:


Kanisius.

Turmudi. 2001. Matematika Untuk SLTP Kelas 2. Bandung: Grafindo


Media Pratama.

Emmy Nuniek Wulandari. 2002. Efektivitas Pembelajaran Berdasarkan


Masalah (Problem-Based Instruction) pada Ukuran Pemusatan Siswa
Kelas II SLTP Raden Rahmat Surabaya, Skripsi tidak dipublikasikan.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

90

Daftar Bacaan

BAB VI
PENGELOLAAN KELAS

6.1 Definisi Pengelolaan Kelas


6.2 Masalah dalam Pengelolaan Kelas
6.3 Cara dalam Menghadapi Pengelolaan Kelas
6.4 Rangkuman

91

Anda mungkin juga menyukai