Anda di halaman 1dari 19

PENANGANAN ANESTESI UNTUK BEDAH ORTOPEDI

Pemberian anestesi untuk bedah ortopedi membutuhkan pemahaman akan pentingnya


pengaturan posisi khusus (mengurangi resiko trauma saraf perifer), pengetahuan mengenai
adanya kemungkinan kehilangan darah yang banyak di dalam operasi dan teknik untuk
mengurangi dampak dari kejadian ini, serta pengenalan tentang pentingnya analgesia post
operasi dan ambulasi yang cepat (Horlocker TT, Wedel DJ: Anesthesia for orthopaedic surgery.
In Barash PG, Cullen BF, Stoelting RD [eds]: Clinical Anesthesia, pp 1112-1128. Philadelphia,
Lippincott Williams and Wilkins, 2006). Banyak prosedur bedah ortopedi yang menggunakan
bantuan anestesi regional, yang memberikan tidak hanya anestesi pada intra operatif tetapi juga
penanganan nyeri post operasi. Pasien yang akan menjalani operasi ortopedi mempunyai resiko
untuk trombosis vena dalam. Oleh karena itu, sangat penting untuk seorang ahli anestesi untuk
memperhatikan interaksi antara obat anti koagulan dan anti trombosit dengan obat-obat dan
teknik anestesi (terutama anestesi regional).
I.

Penanganan Preoperatif (Tabel 40-1). Pemeriksaan pasien dilakukan untuk memeriksa


adanya masalah klinis, riwayat komplikasi pemberian anestesi sebelumnya, kesulitan jalan
nafas, dan pertimbangan yang berhubungan dengan posisi pasien intra operatif.
Tabel 40-1 Penanganan preoperatif pada pasien bedah ortopedi
Masalah klinis yang muncul
-

Penyakit arteri koroner (pertimbangkan beta bloker post operatif)

Artritis reumatoid (penanganan dengan steroid)

Pemeriksaan Fisik
-

Mulut terbuka / ekstensi leher

Adanya infeksi dan abnormalitas anatomi pada daerah yang akan


diberikan anestesi regional.

II.

Penyakit artritis dan keterbatasan posisi pasien

Pemilihan Teknik Anestesi


1

(Tabel 40-2)
Tabel 40-2 Keuntungan anestesi regional dibandingkan anestesi umum pada prosedur bedah
ortopedi
-

Memberikan analgesia post operasi

Menurunkan kejadian mual dan muntah

Berkurangnya depresi terhadap pernafasan dan sirkulasi

Blok sistem saraf simpatis dapat mencegah pertusi

Mengurangi kehilangan darah intra operatif

Menurunkan tekanan darah

Mendistribusi aliran darah ke pembuluh-pembuluh darah besar

Menurunkan tekanan vena setempat

III.

Operasi pada Tulang Belakang


A.

Trauma Medula Spinalis


1.

Trauma medula spinalis harus dicurigai pada semua pasien yang


mengalami trauma (trauma vertebra servikal berhubungan dengan trauma kepala dan
dada, sedangkan trauma vertebra lumbal berhubungan dengan trauma abdominal dan
fraktur tulang panjang).

2.

Intubasi trakea
a.

Penanganan jalan nafas sangat penting karena sebagian besar


penyebab kematian terbanyak dengan trauma vertebra servikal akut adalah gagal
nafas.

b.

Semua pasien dengan trauma yang berat atau trauma kapitis harus juga
dicurigai mendapat fraktur servikal yang tidak stabil sampai terbukti sebaliknya
dengan pemeriksaan radiologi.

c.

Intubasi sadar dengan bantuan fiber optic mungkin diperlukan, hanya


dengan induksi dengan anestesi umum yang dilakukan hanya jika pasien dapat
melakukan pergerakan volunter ekstremitas atas dan bawah.

d.

Pada keadaan kegawatdaruratan yang sebenarnya, intubasi trakea oral


dengan laringoskop secara langsung (fleksi atau ekstensi minimal pada leher)
merupakan prosedur yang sering dilakukan.

3.

Pertimbangan dari aspek pernafasan termasuk ketidakmampuan untuk


batuk dan pembersihan sekret, yang dapat mengakibatkan infeksi dan atelektasis.

4.

Pertimbangan kardiovaskuler didasarkan pada tidak berfungsinya sistem


saraf simpatis (syok spinal) di bawah level transeksi medula spinalis (tidak
berfungsinya serat kardioakselerator [T1-4] yang mengakibatkan bradikardi dan
kemungkinan hilangnya respon takikardi jika terjadi kehilangan darah).

5.

Hiperkalemi yang disebabkan oleh suksinil kolin. Pemberian suksinil


kolin biasanya aman dalam 48 jam pertama setelah trauma medula spinalis (hindari
pada semua trauma medula spinalis setelah 48 jam).

6.

Kontrol suhu. Berkurangnya efek vasokonstriksi di bawah level


transeksi medula spinalis menyebabkan poikilotermi pada pasien (jaga suhu tubuh
dengan meningkatkan suhu udara lingkungan, cairan intra vena yang dihangatkan dan
gas inhalasi.

7.

Menjaga integritas medula spinalis


a. Komponen yang penting dari penanganan anestesi adalah menjaga aliran darah
medula spinalis (menjaga tekanan perfusi dan menghindari hiperventilasi yang
berlebihan pada paru-paru).
b. Pemantauan neurofisiologis (fungsi somatosensorik atau fungsi motorik) dan/atau
wake up dapat digunakan untuk mengenal iskemi saraf sebelum menjadi
ireversibel.

8.

Hiperrefleks autonom (Tabel 40-3)


Tabel 40-3 Ciri-ciri hiperrefleks autonom
-

Timbul pada 85% pasien dengan transeksi medula spinalis di atas T5

Hipertensi paroksismal dengan bradikardi (refleks baroreseptor)

Aritmia jantung

Vasokonstriksi kutaneus di bawah level transeksi dan vasodilatasi


kutaneus di atasnya.

Dipercepat oleh rangsangan yang keliru (distensi viskus yang kosong)

Penanganannya ialah dengan menetralkan rangsangan anestesi dan


administrasi dari vasodilator.

B.

Skoliosis
1.

Pertimbangan dari aspek pernafasan. Ventilasi post operasi pada paruparu pasien diperlukan jika kapasitas vital paru kurang dari 40% dari nilai yang
diperkirakan. Hipoksemia arteri yang memanjang, hiperkapni dan kontriksi pembuluh
darah paru dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi pulmoner
yang ireversibel.

2.

Pertimbangan kardiovaskuler. Hipoksia alveolar yang memanjang


sebagai akibat dari hipoventilasi dan perfusi-ventilasi yang tidak cocok yang
mengakibatkan vasokonstriksi yang ireversibel dan hipertensi pulmonal.

3.

Pendekatan dan posisi operasi


a. Posisi prone digunakan untuk pendekatan dari arah posterior dari vertebra (untuk
menghindari bahaya dari posisi prone, termasuk trauma pleksus brakialis (kepala
diputar ke arah tangan yang dalam posisi abduksi) tutup kedua mata dengan
plester ).
b. Pendekatan dari arah anterior dilakukan dengan pasien yang dalam posisi lateral,
biasanya dengan konveksitas bagian atas yang membentuk kurva (penting pada
pemindahan tulang iga, pipa endotrakeal paru yang mempunyai dua lumen
digunakan untuk mengempiskan paru pada bagian yang akan dibedah).
c. Kombinasikan pendekatan dari arah anterior dan posterior (satu atau dua tingkat,
meningkatkan morbiditas (kehilangan darah dan nutrisi)) jika digabung dapat
menghasilkan resiko yang lebih besar.

4.

Manajemen anestesi
a. Cadangan respirasi diperoeh melalui toleransi latihan, pengukuran kapasitas vital,
dan analisa gas darah arteri. Transfusi darah autolog biasanya direkomendasikan
(biasanya empat unit atau lebih dapat dikumpulkan dalam beberapa bulan
sebelum operasi).
b. Pertimbangan anestesi untuk operasi koreksi skoliosis dengan fusi vertebra dan
pengaturan alat harus dipertimbangkan (Tabel 40-4).\

5.

Memonitor (Tabel 40-5)

Tabel 40-4 Pertimbangan anestesi untuk bedah koreksi pada skoliosis


-

Penanganan dengan posisi prone

Hipotermi (disebabkan karena prosedur yang lama dan luasnya daerah


yang terkena)

Banyaknya kehilangan darah dan cairan

Menjaga integritas dari medula spinalis

Pencegahan dan penanganan emboli udara pada vena

Mengurangi kehilangan darah dengan teknik anestesi hipotetik

Tabel 40-5 Memonitor pasien yang menjalani operasi skoliosis


-

Kanulasi arteri radialis (pengukuran langsung tekanan darah dan


pemasukan gas darah)

Kateter vena sentral (terapi dengan mengevaluasi udara pada darah dan
cairan yang teraspirasi dapat menimbulkan emboli udara pada vena)

Kateter arteri pulmoner (hipertensi pulmonal)

Memonitor fungsi saraf (diagnosis yang tepat dari perubahan neurologis


dan intervensi dini)

Membangkitkan potensial somatosensorik

Potensial motor yang dibangkitkan

Tes bangun

C.

Penyakit degeneratif pada kolumna vertebralis.


1.

Stenosis spinal, spondilosis, dan spondilolistesis adalah bentuk-bentuk


penyakit kolumna vertebralis degeneratif yang dapat menyebabkan defisit neurologis
yang mempengaruhi tindakan operasi.

2.

Pendekatan dan posisi operasi


a. Laminektomi servikal paling sering dilakukan pada pasien dengan posisi prone
(Tabel 40-1).
b. Intubasi dengan bantuan fiber optic mungkin diperlukan pada pasien dengan
pergerakan servikal yang sangat terbatas.

c. Pendekatan dari arah anterior menempatkan insisi bedah (batas anterior dari otot
sternokleidomastoideus) di dekat struktur yang vital (arteri karotis, esofagus,
trakea [dapat terjadi edema dan trauma nervus yang rekuren]).
d. Keuntungan dari posisi duduk pada pasien laminektomi servikal yaitu
memungkinkan lapangan operasi yang bebas darah tapi beresiko untuk terjadinya
emboli udara pada vena (insidennya lebih kurang dibandingkan dengan
kraniotomi fossa posterior pada posisi duduk, tapi tetap membutuhkan
pengawasan dengan doppler prekordial).
3.

Manajemen anestesi
a. Anestesi umum paling sering dipilih pada operasi tulang belakang (menjamin
akses jalan nafas dan dipakai pada operasi yang memanjang). Pasien yang akan
menjalani laminektomi servikas, pada penilaian preoperatif harus dinilai daya
gerak servikal dan melihat adanya kemungkinan gejala neurologis pada saat
fleksi, ekstensi atau rotasi kepala (mungkin diperlukan intubasi secara sadar
dengan bantuan fiber optic).
b. Pemberian suksinil kolin dihindari jika didapatkan adanya bukti defisit neurologis
yang progresif.

D.

Pengawasan medulla spinalis


1.

Paraplesia adalah komplikasi yang ditakuti pada operasi tulang


belakang. Dua metode yang digunakan untuk mendeteksi efek intra operasi pada
fungsi medula spinalis adalah tes wake up dan pengawasan neurofisiologis.

2.

Tes wake up dilakukan dengan jalan membangunkan pasien intra operasi


setelah menyelesaikan instrumentasi vertebra. Pemberian anestesi pada pembedahan
(termasuk penggunaan opioid) dan penghambatan neuromuskuler boleh tidak
diberikan pasien diminta untuk menggerakkan tangan dan kakinya sebelum
pemberian anestesi dan dilakukan kembali pada waktu pemulihan. Pemanggilan
kembali dapat dilakukan kapan saja tapi bukan lagi menjadi hal yang tidak
menyenangkan, terutama jika pasien dberikan informasi sepenuhnya dengan jelas
pada waktu preoperatif.

3.

Pemantauan neurofisiologis (tambahan atau alternatif untuk tes wake up)


meliputi aksi potensial somatosensorik (penampakannya dapat berubah dengan

penggunaan gas anestesi, hipotermi, hipotensi, hiperkarbi), aksi potensial motorik,


(obat pelumpuh otot tidak dapat digunakan) dan elektromielograf.
a. Aksi potensial somatosensorik memperlihatkan bagian dorsal dari medula spinalis
(vibrasi dan propioseptif) yang diperdarahi oleh arteri spinalis posterior.
b. Aksi potensial motorik memperlihatkan jalur motorik dan bagian dari medula
spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
E.

Kehilangan darah
1.

Kombinasi dari agen hipotensi intravena dan gas anestesi dipakai secara
teratur dengan tujuan untuk menurunkan angka kehilangan darah selama operasi.

2.

Koagulopati peri operasi dari dilusi faktor-faktor pembekuan dan/atau


trombosit atau fibrinolisis dapat diprediksi dari penilaian PT dan APTT.

F.

Penurunan daya penglihatan setelah operasi tulang belakang. Sebagian besar


kasus dihubungkan dengan fusi instrumentasi yang kompleks yang biasanya dihubungkan
dengan hipotensi intra operatif yang memanjang, anemia, kehilangan darah yg banyak
saat operasi dan waktu operasi yang memanjang.

G.

Emboli udara pada vena


1.

Emboli udara pada vena dapat terjadi pada semua posisi yang digunakan
pada laminektomi karena lapangan operasi berada di atas level jantung.

2.

Gejala-gejala yang terjadi biasanya berupa hipotensi yang tidak dapat


dijelaskan dan peningkatan dalam konsentrasi end-tidal nitrogen.

H.

Perawatan post operatif


1.

Sebagian besar pasien dapat diekstubasi secepatnya sesudah operasi fusi


vertebra jika nilai kapasitas-vital preoperatif dapat diterima dan prosedurnya tidak
mengalami kemajuan. Adanya edema yang berat pada wajah dapat menunda
ekstubasi trakea.

2.

Penanganan fungsi paru post operasi yang agresif, termasuk spirometri


insentif, diperlukan untuk mencegah atelektasis dan pneumonia.

3.

Perdarahan yang berlanjut pada periode post operatif perlu mendapatkan


perhatian khusus.

I.

Anestesi epidural dan spinal setelah operasi tulang belakang

1. Perubahan struktur anatomi setelah operasi vertebra membuat penempatan jarum dan
kateter menjadi lebih sulit (Tabel 40-6)
2. Jika menggunakan teknik regional, teknik anestesi spinal mungkin bisa lebih
dipercaya dibandingkan anestesi epidural.
3. Pemberian anestesi regional sebaiknya dihindari pada pasien dengan stenosis spinal
post operasi atau perubahan degeneratif vertebra dan/atau timbulnya gejala.
IV.

Operasi pada Ekstremitas Atas


A.

Teknik anestesi regional sesuai untuk prosedur bedah ortopedi pada ekstremitas
atas. Blok saraf perifer dari ekstremitas atas dapat digunakan pada penanganan dan
pencegahan distrofi refleks simpatis. Pemasangan kateter yang berlanjut memberikan
analgesia post operasi dan dapat mempercepat mobilisasi ekstremitas.
1.

Pada prosedur bedah ortopedi, pasien sebaiknya diperiksa preoperatif untuk


melihat adanya defisit neurologis yang meliputi saraf perifer (transposisi nervus
ulnaris pada siku dan pergeseran nervus median pada carpal tunnel di pergelangan)
atau dapat menyebar ke struktur saraf yang lain (artroplasti bahu total atau fraktur
pada humerus proksimal). Posisi operasi yang tidak tepat, penggunaan torniket, dan
balutan konstriktif dapat juga menyebabkan iskemia neurologis peri operatif.

Tabel 40-6 Perubahan setelah bedah spinal mayor yang dapat mempengaruhi pada
pemberian anestesi spinal atau epidural
-

Perubahan degeneratif (spondilolistesis yang berada di bawah level fusi)


yang meningkatkan kejadian iskemi medula spinalis dan komplikasi neurologis pada
pemberian anestesi regional.

Trauma ligamentum flavum dari operasi sebelumnya menghasilkan


perlengketan dan kemungkinan hilangnya ruang epidural atau berpengaruh dalam
efek penyebaran anestesi lokal (patchy block).

Meningkatnya kejadian penusukan duramater yang tidak disengaja jika


ruang epidural berubah pada operasi sebelumnya (blood patch sulit dilakukan jika
sedang dibutuhkan)

Grafting tulang sebelumnya atau penyatuan dapat menghasilkan insersi


jarum pada midline.

2.

Pemilihan anestesi lokal harus didasarkan pada durasi dan derajat sensoris
dan/atau diperlukan blok motoris (anestesi yang panjang pada ekstremitas atas
dibandingkan dengan ekstremitas bawah bukanlah kontraindikasi untuk pemulangan
pasien).

B.

Operasi pada Bahu dan Lengan Atas


1.

Insiden yang signifikan dari defisit neurologis pada pasien yang akan
menjalani tipe operasi seperti ini memperlihatkan pentingnya pemeriksaan klinis
sebelum dilakukan anestesi regional.
1.

Artroplasti bahu total dapat dihubungkan dengan defisit neurologis


post operasi (trauma pleksus brakialis) yang berada pada level yang sama dari
batang saraf dimana dilakukan blok interskalenus (tidak mungkin untuk menilai
penyebab anestesi atau operasi). Sebagian besar dari trauma ini mewakili
neuropraksia dan diatasi setelah 3-4 bulan.

2.

Kelumpuhan nervus radialis berhubungan dengan fraktur korpus


humerus dan trauma saraf aksilaris berhubungan dengan fraktur humerus
proksimal.

2.

Pendekatan dan posisi operasi


1.

Biasanya pasien difleksikan pada pinggul dan lutut (posisi kursi


pantai) dan ditempatkan di dekat ujung dari meja operasi sehingga operator dapat
lebih leluasa untuk menangani ekstremitas atas.

2.

Kepala dan leher di jaga pada posisi netral karena rotasi berlebihan
atau fleksi kepala menjauhi bagian yang akan dioperasi dapat menghasilkan
trauma akibat teregangnya pleksus brakialis.

3.

Penanganan Anestesi
1.

Operasi pada bahu dan humerus dapat dilakukan di bawah


pengaruh anestesi regional (blok pleksus supraklavikula brakial dan interskalenus)
atau anestesi umum.

2.

Parese diafragmatik ipsilateral dan 25% kekurangan fungsi


pulmoner dihasilkan dari blok interskalenus. Oleh karena itu, dikontraindikasikan
pada pasien dengan penyakit pulmoner yang berat.

C.

Operasi pada Sendi Siku

1.

Teknik anestesi regional sesuai untuk prosedur operasi pada humerus


distal, sendi siku, dan telapak tangan.

2.

Blok supraklavikula pada pleksus brakialis lebih dapat dipercaya


daripada blok aksiler (kemungkinan tidak memblok nervus muskulokutaneus) tapi
dapat memberikan resiko pneumotoraks (biasanya bermanifestasi dalam 6-12 jam
setelah pemulangan pasien dimana pada saat itu, foto dada post operasi tidak banyak
membantu).

D.

Operasi pada tangan dan pergelangan tangan


1.

Blok pleksus brakialis (blok aksiler) lebih umum dipakai untuk prosedur
pembedahan pada pergelangan tangan, sendi siku dan tangan. Blok inteskalenus
jarang digunakan pada prosedur pembedahan tangan dan pergelangan tangan karena
adanya kemungkinan blok yang tidak komplit dari nervus ulnaris (15-30 % pasien),
sementara blok supraklavikula memberikan resiko terjadinya pneumotoraks.

2.

Anestesi regional intravena (Blok Bier) dapat menggunakan torniket, tapi


memiliki kekurangan yaitu berupa durasi yang terbatas (90-120 menit), kemungkinan
toksisitas sistemik dari anestesi lokal, dan hilangnya pengaruh anestesi yang cepat
(dan analgesia post operasi) saat torniket dilepas.

E.

Anestesi pleksus brakialis yang berlanjut


1. Kateter yang dipasang pada lapisan di sekitar pleksus brakialis memungkinkan infus
yang berlanjut dengan larutan anestesi lokal (bupivakain 0,125 % dapat mencegah
terjadinya vasospasme dan memperbaiki sirkulasi setelah replantasi anggota gerak
atau perbaikan vaskuler dan konsentrasinya yang tinggi memberikan analgesia dan
kemungkinan untuk mobilisasi yang cepat (prosedur bedah sendi siku yang terasa
nyeri) untuk anestesi pada ekstremitas atas yang berkepanjangan dan analgesia post
operasi.
2. Kateter dapat dibiarkan terpasang selama 4-7 hari post operasi.

V.

Operasi pada Ekstremitas Bawah


A. Prosedur ortopedi pada ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan pengaruh anestesi
umum atau regional walaupun anestesi regional dapat memberikan keuntungan yang
tersendiri.
B. Operasi pada panggul

10

1.

Pendekatan dan posisi operasi. Posisi lateral sering digunakan dalam pembedahan
artroplasti total sendi panggul, dan meja fraktur sering digunakan untuk operasi
perbaikan fraktur femur. Perubahan hemodinamik pasien harus diawasi dengan baik
saat memposisikan pasien di bawah anestesi umum atau regional (hidrasi yang
adekuat dan pergerakan bertahap mengurangi penurunan tekanan darah). Perhatikan
alas dan posisi lengan dan hindarkan dari penekanan pleksus brakialis (chest roll
diletakkan di kaudal aksilla untuk menyokong bagian atas dari toraks).

2.

Teknik anestesi. Anestesi epidural atau spinal cukup sesuai untuk tindakan
pembedahan pada panggul. Dengan anestesi umum, dapat diciptakan suatu hipotensi
terkendali yang mengurangi kehilangan darah saat pembedahan.

C. Artroplasti total sendi utut


1.

Pasien yang menjalani artroplasti total sendi lutut (TKA) merasakan nyeri yang
hebat post operasi. Hal ini dapat menghambat fisioterapi dan rehabilitasi.

2.

Teknik anestesi regional yang dapat digunakan untuk tindakan bedah lutut adalah
epidural, spinal, dan blok saraf perifer kaki. Anestesi spinal lebih sering dipilih,
sementara pada penanganan nyeri post operasi digunakan anestesi epidural yang
berlanjut (teknik analgetik regional post operasi yang agresif dalam 48-72 jam
mengurangi masa rehabilitasi dibandingkan dengan opioid sistemik).

3.

Pasien yang akan dilakukan amputasi pada anggota gerak bawahnya sering
diberikan anestesi umum, walaupun harus diberikan sedasi yang kuat.

D. Artroskopi sendi lutut dan perbaikan ligamentum krusiatus anterior (ACC)


1.

Diagnostik sendi lutut melalui artroskopi dapat dilakukan di bawah pengaruh


anestesi lokal disertai sedasi (dosis tunggal atau blok kontinu ekstremitas bawah tidak
dianjurkan pada sebagian besar pasien).

2.

ACC membutuhkan analgetik post operasi (pertimbangkan blok saraf perifer).

E. Operasi pada kaki dan pergelangan kaki (Tabel 40-7)


1.

Pemilihan teknik anestesi regional didasarkan pada lokasi pembedahan,


penggunaan torniket (penggunaan torniket tekanan tinggi selama 15-20 menit
memerlukan anestesi neuraksial atau umum) dan diperlukan analgesia post operasi.

2.

Blok saraf perifer (nervus femoralis dan sciatic) memberikan efek anestesi yang
cukup untuk pembedahan pada kaki dan pergelangan kaki.

11

F. Analgesia post operasi


1.

Analgesia sistemik. Pemberian opioid sering dilakuan pada pasien yang dapat
mengontrol sendiri rasa nyerinya tetapi nyeri yang timbul setelah penggantian sendi
secara keseluruhan (khususnya penggantian sendi lutut secara keseluruhan) sangat
berat dan analgesia yang adekuat sering disertai dengan

efek samping (sedasi,

nausea, pruritus).
2.

Blok neuroaksial dan perifer. Analgesia epidural lebih baik dalam mengurangi
nyeri dan rehabilitasi post operasi yang lebih cepat dibandingkan pasien yang dapat
mengontrol sendiri rasa nyerinya. Blok saraf femoralis yang berlanjut mungkin bisa
menjadi alternatif selain analgesia epidural.

3.

Anestesi lokal dengan injeksi intraartikuler dan/atau opioid sering dilakukan


setelah bedah artroskopi sendi lutut.

VI. Bedah Mikrovaskular (Tabel 40-8)


Tabel 40-7 Teknik-teknik anestesi untuk operasi umum pada kaki dan pergelangan kaki.
Tindakan
bedah
Kaki
bawah

Hallux valgus
Amputasi

Kaki
tengah
Kaki
belakang

Amputasi
transmetatarsal
Artroskopi
pergelangan
kaki
Perbaikan
tendo achilles
Fraktur
pergelangan
kaki
Triple
artrodesis

Teknik regional

Keterangan

Blok Metatarsal, pergelangan


kaki dan poplitea
Blok pergelangan kaki,
poplitea

Blok saraf suralis perlu untuk pembedahan


Blok poplitea merupakan teknik pilihan bila
ada infeksi atau pembengkakan.

Blok poplitea, pergelangan kaki


Anestesi spinal, epidural atau
anestesi umum

Tipe operasi yang membutuhkan relaksasi otot


yang baik untuk manipulasi; torniket paha

Anestesi spinal, epidural atau


blok poplitea

Anestesi spinal atau epidural bila dibutuhkan


torniket pada paha

Anestesi spinal, epidural atau


blok poplitea

Blok epidural dibutuhkan sampai blok L5-S1

Anestesi spinal atau epidural

Lebih dipilih teknik neuraksial untuk penanaman


graft tulang; blok poplitea untuk analgesia post
operasi.

Tabel 40-8 Pertimbangan anestesi untuk bedah mikrovaskuler pada operasi penyambungan
anggota gerak.
a.

Pertahankan aliran darah melalui anastomosis mikrovaskuler


(penting untuk viabilitas graft).

12

Cegah hipotermi (tingkatkan suhu kamar operasi sampai 210C; cairan

intravena dan hangat yang dihirup).


-

Pertahankan tekanan perfusi.

Hindari vasopressor.

Gunakan vasodilator (anestesi inhalasi, nitroprussid) dan blok sistem


saraf simpatis (anestesi regional).

Pertimbangan hemodilusi normovolemi.

Berikan anti trombotik (heparin) dan/ atau fibrinolitik berat molekul

b.

Pertimbangan posisi berhubungan dengan tindakan bedah yang


lama.

c.

Mengganti kehilangan darah dan cairan.

d.

Pilihan anestesi (anestesi regional sering dikombinasi dengan


anestesi umum)
- Anestesi regional
Simpatektomi membantu terapi bedah yang memanjang karena dapat membatasi
penggunaan teknik single-shot (pilihan yang dipakai adalah teknik yang berlanjut).
- Anestesi umum
Pastikan akses jalan nafas dan imobilitas pasien.
rendah dekstran.

VII. Bedah Ortopedi pada Pediatri


A. Teknik-teknik anestesi regional dapat diterima oleh pasien pediatri khususnya yang
berumur 7 tahun ke atas.
A. Anestesi regional intravena khususnya berguna pada pasien pediatri yang akan menjalani
tindakan bedah minor seperti reduksi tertutup pada fraktur lengan bawah.
1. Penggunaan krim anestesi lokal mengurangi ketidaknyamanan pada pasien selama
pemasangan kateter intravena.
2. Ukuran lengan bawah sering membutuhkan penggunaan torniket ganda pada
pasien pediatri namun membatasi durasi tidakan bedah 45-60 menit (pada saat ini
biasanya muncul nyeri arena torniket).

13

VIII. Pertimbangan lain.


A.

Anestesi untuk tindakan ortopedi non bedah


Beberapa tindakan minor (pemasangan gips dan ganti pembalut pada pasien pediatri serta
pengangkatan pin) membutuhkan sedasi ringan, dimana tindakan yang melibatkan
manipulasi tulang dan sendi (relaksasi panggul dan bahu serta reduksi tertutup pada
fraktur) biasanya membutuhkan anestesi umum atau regional.

B.

Anestesi regional pada pasien rawat jalan


Kriteria pemulangan pasien umumnya dilakukan jika intake oral, ambulasi, dan sistem
pembuangan pasien sudah pulih benar. Namun, pasien yang telah menjalani teknik
neuroaksial tidak diperbolehkan pulang sampai bloknya hilang secara menyeluruh
(keperluan untuk segera buang air pada pasien masih kontroversial).

C.

Torniket
1.

Ada perbedaan pendapat mengenai berapa tekanan torniket yang


diperlukan untuk mencegah perdarahan (biasanya 100 mmHg di atas tekanan
diastolik pasien di kaki dan 50 mm Hg di atas tekanan sistolik di lengan pasien).
Sebelum torniket dinaikkan, anggota gerak harus dielevasikan sekitar 1 menit dan
dibalut ketat dengan perban elastis dari distal ke proksimal. Oozing selain inflasi
torniket lebih sering dilakukan karena aliran darah intrameduler pada tulang-tulang
panjang.

2.

Durasi yang aman dari inflasi torniket masih belum diketahui (ternyata
1-2 jam tidak membuat perubahan yang ireversibel). Perfusi intermitten tiap 5 menit
selama 1-2 jam dapat memperpanjang penggunaan torniket.

3.

Transien asidosis metabolik sistemik dan peningkatan PaCO2 (1-8


mmHg) dapat timbul setelah deflasi torniket.

4.

Nyeri torniket di samping anestesi operatif yang adekuat timbul setelah


45 menit (dapat memberat karena serabut C cepat pulih saat blok berkurang). Selama
pembedahan nyeri ini dihilangkan dengan opioid dan hipnotik.

D.

Sindrom emboli lemak


1.

Pada pasien yang beresiko adalah pasien dengan cedera traumatik


multipel dan pembedahan fraktur tulang panjang serta instrumentasi intrameduler
dan/atau semenisasi, dan mereka yang menjalani bedah lutut secara keseluruhan.

14

Kejadian sindrom emboli lemak pada fraktur tulang panjang tertutup adalah 3-4% dan
tingkat mortalitasnya sekitar 10-20%.
2.

Gejala klinik dan laboratorium biasanya muncul 12-40 jam setelah


trauma dan gejalanya bervariasi, mulai dari dispnu ringan sampai koma (Tabel 40-9).

3.

Terapinya berupa stabilisasi fraktur dan bantuan oksigenisasi. Terapi


steroid dapat pula diberikan.

Tabel 40-9 Kriteria diagnosis sindrom emboli lemak


Mayor
- Peteki aksiler/subkonjungtiva
- Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg)
- Depresi sistem saraf pusat
(disproporsi sampai hipoksemia)

- Emboli lemak di retina


- Kencing disertai dengan kandungan lemak
- Penurunan trombosit
- Peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit
- Disseminated intravascular coagulation

- Edema paru

E.

Minor
- Takikardia (>100x/menit)
- Hipertermi

Methylmethacrylate
1.

Pemasangan semen ini mungkin dapat menyebabkan hipotensi, yang


juga berperan pada absorpsi monomer gas methylmethacrylate dan/atau embolisasi
udara (hentikan nitrous oksida sebelum memasang semen) dan sumsum tulang pada
saat femoral reaming.

2.

Hidrasi adekuat dan maksimalisasi oksigen akan mengurangi efek


hipotensi dan hipoksemia arterial pada semenisasi prostetik.

F.

Trombosis vena dalam dan emboli paru


1.

Resiko trombosis vena dalam yang berhubungan dengan artroplasti total


sendi panggul sebesar 20-80% (emboli paru adalah penyebab utama kematian pada
post operasi) dan 50% pada penggantian sendi lutut secara keseluruhan. Pemberian
profilaksis (antikoagulan oral, dekstran intravena, obat kompresi pneumatik

15

eksternal, heparin dosis yang disesuaikan) telah menurunkan tapi tidak meniadakan
komplikasi.
2.

Insiden trombosis vena dalam dan emboli paru pada pasien yang
menjalani artroplasti total sendi panggul atau penggantian sendi lutut secara
keseluruhan menurun jika digunakan anestesi epidural atau spinal (Tabel 40-11).
Belum ada bukti yang menyatakan bahwa anestesi regional adalah sebagai
tambahan terhadap profilaksis farmakokinetik dengan antikoagulan.

3.

Trombosis vena adalah penyebab utama kematian post operasi atau


trauma pada ekstremitas bawah. Tanpa profilaksis 40-80% pasien ortopedi akan
mengalami trombosis vena (insiden tertinggi emboli paru yang berat ada pada
pasien yang dioperasi karena fraktur pada panggul).

G.

Profilaksis anti trombotik berdasar atas identifikasi terhadap faktor-faktor


resikonya (Tabel 40-10).
Beberapa studi memperlihatkan penurunan insiden trombosis vena dalam dan
emboli paru pada pasien yang menjalani bedah panggul dan lutut di bawah pengaruh
anestesi epidural dan spinal (Tabel 40-10).

H.

Anestesi dan analgesia neuroaksial pada pasien yang mendapat terapi anti
trombotik.
1.

Selain keuntungan yang didapat dari teknik neuroaksial untuk bedah


panggul dan lutut (penurunan insiden trombosis vena dalam), pasien yang
mendapatkan antikoagulan post operasi dan terapi anti trombosit seringkali tidak
diperhitungkan sebagai kandidat untuk anestesi spinal atau epidural karena adanya
resiko defisit neurologik dari hematoma spinal atau epidural (Tabel 40-12).

2.

Pasien

harus

diawasi

ketat

pada

masa

perioperatif

terhadap

kemungkinan terjadinya paralisis. Jika dicurigai ada hematom spinal, terapinya


adalah laminektomi dekompresi (fungsi neurologi sudah ireversibel jika lebih dari
10-12 jam)

Tabel 10-10 Regimen anti trombosis untuk mencegah trombo emboli pada pasien bedah
ortopedi.

16

Artroplasti panggul dan lutut dan bedah fraktur panggul


1.

Heparin berat molekul rendah (LMWH) diberi 12 jam


sebelum pembedahan atau 12-24 jam setelah pembedahan, atau 4-6 jam setelah
pembedahan , setengah dosis biasa dan kemudian ditingkatkan menjadi dosis biasa
untuk resiko tinggi keesokan harinya.

2.

Fondaparinux (2,5 mg diberi 6-8 jam setelah pembedahan)

3.

Warfarin dosis-disesuaikan diberi perioperatif atau pada


malam hari setelah pembedahan (target INR 2,5 dan jangkauannya antara 2,0-3,0).

4.

Kompresi pneumatik intermitten merupakan alternatif dari


profilaksis anti koagulan pada pasien yang menjalani panggantian total lutut (bukan
punggung).

Cedera medulla spinalis


BerikanLMWH jika terbukti ada hemostasis primer
Kompresi pneumatik intermitten adalah alternatif jika antikoagulan di kontra
indikasikan pada awal post operasi. Selama masa fase rehabilitasi, ganti menjadi
warfarin yang disesuaikan dosisnya. (target INR 2,5 dengan jangkauan 2,0-3,0).
Bedah tulang belakang elektif
Pemberian trombofilaksis rutin, terpisah dari mobilisasi dini dan persisten, tidak
dianjurkan.
Artroskopi lutut
Tidak dianjurkan pemberian trombofilaksis rutin, terpisah dari mobilisasi dini dan
persisten.

Tabel 40-11 Penjelasan yang mungkin berhubungan dengan penurunan insiden trombosis vena
dalam pada pasien yang mendapat anestesi regional.

Perubahan reologic yang disebabkan hiperkinetik aliran darah ekstremitas bawah dan
berhubungan dengan penurunan stasis vena dan pembentukan trmbus.

Efek sirkulasi yang menguntungkan dari pemberian tambahan epinefrin pada larutan
anestesi lokal.

17

Perubahan respon koagulasi dan fibrinolitik terhadap pembedahan di bawah pengaruh


blok saraf menyebabkan turunnya tendensi pembekuan darah.

Tidak adanya ventilasi tekanan positif dan efeknya terhadap sirkulasi.

Efek langsung anestesi lokal (penurunan agregasi trombosit)

Tabel 40-12 Anestesi dan analgesia neuroaksial pada pasien ortopedi yang mendapat terapi
antitrombosis.

Heparin Berat Molekul Rendah (LMNH)


Pemasangan jarum dilakukan 10-12 jam setelah 1 dosis.
Kateter tetap neuraksial dapat diterima setelah pemberian satu dosis LMWH (bukan 2
kali sehari)
Optimalnya kateter tetap dilepas di pagi hari dan diberi LMWH pada malamnya untuk
memungkinkan normalisasi hemostasis timbul sebelum manipulasi kateter.

Warfarin
Kadar yang cukup dari semua faktor dependen vitamin K harus diberi saat pemasangan
dan pencabutan kateter.
Pasien dengan pemberian warfarin yang lama harus memiliki International Normalized
Rate (INR) yang normal sebelum dilakukan teknik regional.
Pemasangan waktu protrombin (PT) dan INR setiap hari.
Kateter dilepas bila INR <1,5.

Fondaparinux
Teknik neuroaksial tidak dianjurkan pada pasien yang diantisipasi akan menerima
fondaparinux.

18

NSAID
Obat tipe aspirin yang berhubungan dengan tidak adanya resiko yang signifikan dari
perdarahan oleh karena pemberian anestesi regional.
Untuk pasien yang mendapat warfarin atau LMWH, kombinasi efek antikoagulan dan
anti trombosit dapat meningkatkan resiko perdarahan perioperatif.

Terapi lain yang mempengaruhi fungsi trombosit (derivat thienophyridine dan glikoprotein
IIb / IIIa penghambat reseptor trombosit) harus dihindari.

19

Anda mungkin juga menyukai