RAHMAH
Apa arti keluarga skinah itu?
Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa
dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Namun, penggunaan
nama sakinah itu diambil dari al Quran surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Allah
SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap
yang lain.Jadi keluarga sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya
merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat,
dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.
Wa artinya dan,Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti ampunan, anugerah, karunia,
rahmat, belas kasih, rejeki. (lihat : Kamus Arab, kitab tariifat, Hisnul Muslim (Perisai Muslim)
Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan
melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah
atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih
sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya
iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan
adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk
mendapatkan ridha Allah SWT.
1. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran
dst); (a) memiliki kecenderungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang
tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan (e)
selalu introspeksi. Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa: empat hal akan menjadi faktor
yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mari), yakni (a) suami / isteri
yang setia (saleh/salehah), (b) anak-anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat , dan
(d) dekat rizkinya.
2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan
yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian
ada tiga, yaitu (a) menutup aurat, (b) melindungi diri dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami
terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri
mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga
sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga
sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil
membanggakan isteri, jangan terbalik jika saat keluar rumah istri atau suami tampil menarik agar
dilihat orang banyak. Sedangkan giliran ada dirumah suami atau istri berpakaian seadanya, tidak
menarik, awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati sedikitpun padanya. Suami
istri saling menjaga penampilan pada masing-masing pasangannya.
3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf),
tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara
bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus
diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4. Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan
bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya
harus tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul
saling menghargai, mempercayai, setia dan keduanya terjalin kerjasama untuk mencapai
kebaikan didunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga. Suami menunaikan
kewajiabannya sebagai suami karema mengharap ridha Allah. Dengan menjalankan kewajiban
inilah suami berharap agar amalnya menjadi berpahala disisi Allah SWT. Sedangkan istri,
menunaikan kewajiban sebagai istri seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain
sebagainya juga berniat semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang dilakukannya itu
diyakini sebagai perinta Allah, tidak memandang karena cintanya kepada suami semata, tetapi di
balik itu dia niat agar mendapatkan pahala di sisi Allah melalui pengorbanan dia dengan
menjalankan kewajibannya sebagai istri.
5. Semua anggota keluarganya seperti anak-anaknya, isrti dan suaminya beriman dan bertaqwa
kepada Allah dan rasul-Nya (shaleh-shalehah). Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah
terimplementasi dalam pergaulan rumah tangganya.
6. Riskinya selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Penghasilan suami sebagai tonggak
berdirinya keluarga itu selalu menjaga rizki yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya
tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan
kebutuhan dari harta haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.
7. Anggota keluarga selalu ridha terhadap anugrah Allah SWT yang diberikan kepada mereka.
Jika diberi lebih mereka bersyukur dan berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka
sabar dan terus berikhtiar. Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua
aspek kehidupan mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.
1. Pilih pasangan yang shaleh atau shalehah yang taat menjalankan perintah Allah dan sunnah
Rasulullah SWT.
4. Niatkan saat menikah untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk menghidari hubungan
yang dilaran Allah SWT
5. Suami berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dengan dorongan iman,
cinta, dan ibadah. Seperti memberi nafkah, memberi keamanan, memberikan didikan islami
pada anak istrinya, memberikan sandang pangan, papan yang halal, menjadi pemimpin keluarga
yang mampu mengajak anggota keluaganya menuju ridha Allah dan surga -Nya serta dapat
menyelamatkan anggota keluarganya dario siksa api neraka.
6. Istri berusaha menjalankan kewajibann ya sebagai istri dengan dorongan ibadah dan berharap
ridha Allah semata. Seperti melayani suami, mendidik putra-putrinya tentan agama islam dan
ilmu pengetahuan, mendidik mereka dengan akhlak yang mulia, menjaga kehormatan keluarga,
memelihara harta suaminya, dan membahagiakan suaminya.
7. Suami istri saling mengenali kekurangan dan kelebihan pasangannya, saling menghargai,
merasa saling membutuhkan dan melengkapi, menghormati, mencintai, saling mempercai
kesetiaan masing-masing, saling keterbukaan dengan merajut komunikasi yang intens.
8. Berkomitmen menempuh perjalanan rumah tangga untuk selalu bersama dalam mengarungi
badai dan gelombang kehidupan.
9. Suami mengajak anak dan istrinya untuk shalat berjamaah atau ibadah bersama-sama,
seperti suami mengajak anak istrinya bersedekah pada fakir miskin, dengan tujuan suami
mendidik anaknya agar gemar bersedekah, mendidik istrinya agar lebih banyak bersukur kepada
Allah SWT, berzikir bersama-sama, mengajak anak istri membaca al-quran, berziarah qubur,
menuntut ilmu bersama, bertamasya untuk melihat keagungan ciptaan Allah SWT. Dan lain-lain.
10.Suami istri selalu meomoh kepada Allah agar diberikan keluarga yang sakinah mawaddah wa
rohmah.
11. Suami secara berkala mengajak istri dan anaknya melakukan instropeksi diri untuk
melakukan perbaikan dimasa yang akan datang. Misalkan, suami istri, dan anak-anaknya saling
meminta maaf pada anggota keluarga itu pada setiap hari kamis malam jumat. Tujuannya
hubungan masing-masing keluarga menjadi harmonis, terbuka, plong, tanpa beban kesalahan
pada pasangannnya, dan untuk menjaga kesetiaan masing-masing anggota keluarga.
12. Saat menghadapi musibah dan kesusahan, selalu mengadakan musyawarah keluarga. Dan
ketika terjadi perselisihan, maka anggota keluarga cepat-cepat memohon perlindungan kepada
Allah dari keburukan nafsu amarahnya.
Wallahu Alam
Kata-kata itulah yang sering diucapkan atau ucapan yang diberikan kepada calon suami-istri
yang akan menikah.
Peranan agama dalam membentuk keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah sangat penting,
karena agama merupakan ketentuan-ketentuan Allah Swt yang membimbing dan mengarahkan
manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah Swt berperan ketika pemeluk-Nya
memahami dengan baik dan benar, menghayati, dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari
agama yang dianutnya, yaitu Islam.
Dalam pandangan Al-Quran, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan
keluarga sakinah, mawaddah warahmah antara suami dan istri bersama anak-anaknya.
Hal ini tercemin dalam Al-quran, Allah berfirman,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya (sakinah), dan
dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Ruum [30]: ayat 21)
Setiap jenis laki-laki atau perempuan, jantan atau betina, dilengkapi Allah dengan alat serta
aneka sifat dan kecenderungan yang tidak dapat berfungsi secara sempurna jika ia berdiri
sendiri. Kesempurnaan eksistensi makhluk hanya tercapai dengan bergabungnya masing-masing
pasangan dengan pasangannya sesuai dengan sunnatullah.
Memang benar bahwa sewaktu-waktu manusia bisa merasa senang dalam kesendiriannya,
tetapi tidak untuk selamanya. Manusia telah menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat
dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu
menghadapi tantangan. Karena alasan-alasan inilah maka manusia butuh pasangan hidup
dengan jalan menikah, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Ketenangan hidup
ini didambakan oleh suami istri setiap saat, termasuk saat sang suami meninggalkan rumah dan
anak istrinya.
Sakinah terlihat pada kecerahan raut muka yang disertai kelapangan dada, budi bahasa yang
halus, yang dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati,
serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat. Itulah makna sakinah secara
umum dan makna-makna tersebut yang diharapkan dapat menghiasi setiap keluarga yang
hendak menyandang Keluarga Sakinah.
Mawaddah ini muncul karena di dalam pernikahan ada faktor-faktor yang bisa menumbuhkan
dua perasaan tersebut. Dengan adanya seorang istri, suami dapat merasakan kesenangan dan
kenikmatan, serta mendapatkan manfaat dengan adanya anak dan mendidik dan membesarkan
mereka. Disamping itu dia merasakan adanya ketenangan, kedekatan dan kecenderungan
kepada istrinya. Sehingga secara umum tidak akan didapatkan mawaddah diantara manusia
yang satu dengan manusia yang lain sebagaimana mawaddah (rasa cinta) yang ada di antara
suami istri.
Rasa cinta yang tumbuh di antara suami istri adalah anugrah dari Allah Swt kepada keduanya,
dan ini merupakan cinta yang sifatnya tabiat. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki
rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan
kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Namun tentunya selama tidak melalaikan dari
berdzikir kepada Allah Swt, karena Allah berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan
kalian dari dzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orangorang yang merugi. (Al-Munafiquun [63]: ayat 9)
Allah Swt tumbuhkan mawaddah tersebut setelah pernikahan dua insan. Padahal mungkin
sebelumnya pasangan itu tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan yang mungkin
menyebabkan adanya rasa kasih sayang, apalagi rasa cinta.
Rasa sayang kepada pasangannya merupakan bentuk kesetian dan kebahagiaan yang
dihasilkannya.
Perlu digaris bawahi bahwa sakinah mawaddah warahmah tidak datang begitu saja, tetapi ada
syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang lebih utama, adalah menyiapkan
kalbu. Sakinah, mawaddah dan rahmah bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar
dalam bentuk aktifitas sehari-hari, baik didalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Memasuki dunia baru bagi pasangan baru, atau lebih dikenal dengan pengantin baru memang
merupakan suatu yang membahagiakan. Tetapi bukan berarti tanpa kesulitan. Dari pertama kali
melangkah ke pelaminan, semuanya sudah akan terasa lain. Lepas dari ketergantungan
terhadap orang tua, teman, saudara, untuk kemudian mencoba hidup bersama seseorang yang
mungkin belum pernah dikenal sebelumnya. Semua ini memerlukan persiapan khusus agar
tidak terjebak dalam sebuah dilema rumah tangga yang dapat mendatangkan penyesalan di
kemudian hari.
Beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan baru yang akan mengarungi bahtera
rumah tangga:
- Persiapan Mental
Perpindahan dari dunia remaja ke fase dewasa, di bawah naungan perkawinan akan sangat
berpengaruh terhadap psikologis, sehingga diperlukan persiapan mental dalam menyandang
jabatan baru, sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga. Ananda bisa
mempersiapkan mental ananda lewat buku-buku bacaan tentang cara-cara berumah tangga,
atau ananda dapat belajar dari orang-orang terdekat, yang dapat memberikan nasehat bagi
rumah tangga ananda mengenali pasangan hidup.
Kalau dulu orang dekat ananda adalah ibu, teman, atau saudara ananda yang telah ananda
kenal sejak kecil, tetapi sekarang orang yang nomor satu bagi ananda adalah pasangan ananda.
Walaupun pasangan ananda adalah orang yang telah ananda kenal sebelumnya, katakanlah
dalam masa pendekatan, tetapi hal ini belumlah menjamin bahwa ananda telah benar-benar
mengenal kepribadiannya. Keadaan sebelum dan sesudah pernikahan akan lain, apalagi jika
pasangan ananda adalah orang yang belum pernah ananda kenal sebelumnya. Disini perlu
adanya penyesuaian-penyesuaian. Ananda harus mengenal lebih jauh bagi pasangan ananda,
segala kekurangan dan kelebihannya, untuk kemudian ananda pahami bagaimana sebaiknya
ananda bersikap, tanpa harus mempersoalkan semuanya. Karena sesungguhnya ananda
bersama pasangan ananda hidup dalam rumah tangga untuk saling melengkapi satu dengan
yang lainnya, sehingga tercipta keharmonisan dalam berumah tangga.
- Adaptasi Lingkungan
Lingkungan keluarga, famili dan masyarakat baru sudah pasti akan ananda hadapi. Ananda
harus bisa membawa diri untuk masuk dalam kebiasaan-kebiasaan (adat) yang ada di dalamnya.
Kalau ananda siap menerima kehadiran pasangan ananda, berarti pula ananda harus siap
menerimanya bersama keluarga dan masyarakat disekitarnya. Awalnya mungkin ananda akan
merasa asing, kaku, tapi semuanya akan terbiasa jika ananda mau membuka diri untuk bergaul
dengan mereka, mengikuti adat yang ada, walaupun ananda kurang menyukainya. Sehingga
akan terjalin keakraban antara ananda dengan keluarga, famili dan lingkungan masyarakat yang
baru.
Karena hakekat pernikahan bukan perkawinan antara ananda dan pasangan ananda, tetapi,
lebih luas lagi antara keluarga ananda dan keluarga pasangan ananda, antara desaananda
dengan desa pasangan ananda, antara bahasa ananda dengan bahasa pasanganananda,
antara kebiasaan (adat) ananda dengan kebiasaan (adat) pasangan ananda, dan seterusnya.
- Musyawarah.
Persoalan-persoalan yang timbul dalam rumah tangga harus dihadapi secara dewasa. Upayakan
dalam memecahkan persoalan ananda mengajak pasangan ananda untuk bermusyawarah.
Demikian juga dalam mengatur perencanaan-perencanaan dalam rumah tangga, sekecil apapun
masalah yang ananda hadapi, semudah apapun rencana yang ananda susun. Ananda bisa
memilih waktu-waktu yang tepat untuk saling tukar pikiran, bisa di saat santai, nonton atau
dimana saja sekiranya pasangan ananda sedang dalam keadaan rilex dan segar bugar.
Demikian sekelumit artikel yang diidam-idamkan setiap keluarga agar tercapai keluarga yang
Sakinah, Mawaddah warahmahBaldatun thayyibatun warabbun ghaffurbahagia di dunia
maupun di akhirat..aamiin
Wassalamu'alaikum War.Wab.
Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. (Riwayat Abu Dawud : 2085)
Jika yang dimaksud dengan pernikahan siri adalah pernikahan yang telah terpenuhi rukun dan
syarat sah nikah (ada ijab dan qabul, keridhaan kedua mempelai, izin dari wali mempelai
wanita, mahar, dan saksi), akan tetapi pernikahan ini belum di daftarkan ke KUA, maka
pernikahan semacam ini sah menurut agama namun pelakunya berdosa karena tidak menaati
peraturan pemerintah. Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. (an-Nisa: 59)
Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad
pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk
mematuhinya dan tidak melanggarnya.
Bahkan, banyak sekali manfaat yang diambil dari pencatatan akad nikah secara resmi di
KUA. Antara lain, menjaga hak-hak pasutri dari kesia-siaan, solusi persengketaan pasutri,
menutup pintu pengakuan-pengakuan palsu dari pasutri, dan lain sebagainya.
Jika sang istri merelakan dirinya dimadu dengan cara yang dibenarkan syariat, apakah
bisa menjadi ladang pahala baginya?
Tidak bisa dipungkiri, terkadang wanita lebih dikuasai oleh rasa cemburu. Ia cemburu jika
harus membayangkan suami tersayang membagi kasih, cinta, dan kesenangan duniawi
lainnya bersama wanita lain. Terkadang seorang wanita merasa dunia ini akan runtuh saat
mendengar suaminya ingin menikah lagi. Ini adalah hal yang wajar, karena istri-istri para
nabi pun tidak terlepas dari rasa cemburu, itu semua karena besarnya cinta sang istri kepada
suami.
Namun, akankah wanita mendahulukan rasa cemburu dan emosinya? Bukankah di antara
hikmah poligami adalah dengan banyak istri akan memperbanyak jumlah kaum muslimin,
bagi laki-laki manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan untuk memperbanyak umat
ini, dan optimalisasi ini kemungkinan kecil terlaksana jika hanya memiliki satu istri saja.
Poligami juga terkadang untuk kebaikan wanita, karena sebagian wanita terhalang untuk
menikah dan jumlah laki-laki itu lebih sedikit dibanding wanita, sehingga akan banyak
wanita yang tidak mendapatkan suami. Terkadang pula poligami dapat mengangkat
kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menceraikannya, dengan menikah lagi ada
yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan dia dan anak-anaknya.
Bertolak dari beberapa hikmah poligami tersebut, jika seorang istri merelakan dirinya untuk
dimadu dengan tujuan-tujuan di atas, maka insya Allah akan menjadi ladang pahala baginya.
Jika seorang istri tidak rela untuk dimadu, kemudian menentang syariat poligami,
apakah ia termasuk menentang Al Quran?
Poligami sifatnya tidak memaksa, artinya kalaupun seorang wanita tidak mau dimadu atau
seorang lelaki tidak mau berpoligami, maka tidak ada masalah. Karena poligami hukum
asalnya adalah boleh, dan bisa menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram sesuai dengan
tujuan dan faktor yang mendorong ia berpoligami.
Namun, ketidakmauan untuk berpoligami jika diikuti memanggugat hukum poligami, maka
berarti ia telah menentang Al Quran yang jelas-jelas telah menyebutkan syariat poligami.
Adapun yang berkaitan dengan mengolok-olok suami yang telah meninggal, cukup dengan
menyebutkan firman Allah,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain,
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolokolokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh
jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolokolokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang
yang zhalim. [al-Hujurat:11].
Berkenaan dengan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan, Allah l melarang mengolok-olok orang lain.
Yaitu merendahkan dan menghinakan mereka. Sebagaimana disebutkan sebuah hadits dari
Rasulullah b bahwa Beliau bersabda, Sombong itu adalah menolak kebenaran dan
menghinakan orang lain. (Riwayat Muslim (I/93)). Wallahu alam, semoga bermanfaat.
Bukan hanya itu saja, ketika suami istri terus menuntut ilmu di tengah kesibukan yang mereka
berdua hadapi , niscaya hal ini menjadi modal utama untuk membina keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Dengan menuntut ilmu, pasutri akan mengenal hak dan kewajiban
mereka berdua, dan mereka berdua bisa mencari solusi atas segala problematika yang mereka
hadapi dengan solusi-solusi yang dibenarkan syariat islam.
Adapun sikap suami yang melarang istri untuk menuntut ilmu, apakah sikap tersebut dibenarkan
agama atau tidak? , maka perlu diperinci lagi. Apakah suami melarang istri untuk menuntut ilmu
tanpa alasan yang tepat atau memang suami melarang istri dari menuntut ilmu disebabkan halhal yang dibenarkan syariat, seperti keluar tanpa mahram, atau dikarenakan sang istri
melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga saat menuntut ilmu?
Apabila suami melarang istrinya untuk menuntut ilmu dikarenakan tidak ada mahram yang
menemaninya atau mengantarnya saat menuntut ilmu maka sikap suami di atas dibenarkan oleh
syariat, sebagaimana sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam,
Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar
perjalanan satu hari dan satu malam kecuali bersama mahramnya.
Kata wanita dalam hadits ini berbentuk nakirah (umum) dan terletak setelah kata larangan,
yang berarti umum. Jadi, maksud hadits ini adalah setiap wanita siapapun orangnya,
bagaimanapun keadaannya, kapanpun, di manapun dan segala jenis safar baik safar ketaatan,
rekreasi dan atau safar mubah. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain Syafiiyah,
mereka berpedoman dengan argumen yang amat rapuh untuk memperbolehkan wanita safar
tanpa mahram bersama wanita sesamanya. Seandainya Nabi membawakan hadits di atas di
hadapan kita semua dan kita pun mendengarnya dengan telinga kita kemudian kita ingin
berkilah, apakah yang akan kita lakukan pada beliau ?! Kita tidak boleh berkilah. Kewajiban kita
hanya mengatakan Kami mendengar dan taat.
Dan apabila suami melarang istrinya untuk menuntut ilmu karena kelalaian istri terhadap
kewajiban-kewajibannya di rumah saat menuntut ilmu, maka hal ini juga dibenarkan oleh syariat
karena di antara kewajiban istri kepada suaminya adalah mengatur rumah dan mengasuh anakanaknya.
Seorang istri
1.Suaminya
terpenuhi syarat-syaratnya,
mengajarinya
ilmu
jenis,
baik
dengan
guru
antara lain:
agama
maupun
murid.
Jika memang suami melarang istri untuk menuntut ilmu tidak berdasarkan alasan yang
dibenarkan syariat, maka sikap suami di atas adalah salah, karena menuntut ilmu itu hukumnya
wajib, bagi muslim dan muslimah. Bahkan, bisa dikatakan sang suami tidak menunaikan amanah
yang di pundaknya, karena suami adalah pemimpin bagi keluarganya, kepemimpinan suami
mencakup tanggung jawab dia dalam mendidik dan mengajarkan ilmu kepada istrinya, jika
memang dia tidak bisa mendidik istrinya sendiri, maka seyogianya dia memberikan fasilitas yang
bisa digunakan sang istri untuk menuntut ilmu.
Ketahuilah, sebaik-baik tempat bagi istri untuk menuntut ilmu adalah suaminya yang shalih,
penuntut ilmu dan bertakwa kepada Allah. Oleh karenanya, sebagai orang tua wanita,
seyogianya dia mencarikan bagi anak perempuannya, seorang suami yang shalih dan mampu
mengajarkan Al Quran dan fikih kepada putrinya.
Tidak mengapa apabila kedua orang tua menawarkan putrinya kepada seorang lelaki shalih,
penuntut ilmu, dan bertakwa kepada Allah. Bahkan hal ini telah dilakukan oleh para sahabat
semoga Allah meridhai mereka-.
Perhatikanlah kisah Umar bin Khattab yang menawarkan putrinya Hafshah kepada Abu Bakar
lalu beliau diam dan kepada Utsman lalu beliau pun diam. Beliau berdua diam karena pernah
mengetahui bahwa Rasulullah menginginkan Hafshah.
Para ulama pun juga meniti jalan para sahabat, perhatikanlah kisah Syekh Jamil Zainu ketika
ingin menikahkan putrinya, beliau berkata, Ketika saya di masjid, maka saya duduk di bagian
belakang untuk melihat shalatnya para pemuda sehingga saya memusatkan perhatian kepada
seorang pemuda yang paling baik shalatnya, paling khusyu, dan lama berdirinya. Kemudian
saya mencari lagi pada Shalat Shubuh dan Isya sehingga saya menemukan seorang pemuda
yang rajin dan tidak malas. Lalu saya mendatangi pemuda tersebut dan bertanya padanya,
Apakah Anda sudah menikah? Jawabannya, Belum. Saya bertanya lagi, Maukah engkau
saya nikahkan dengan putriku? Jawabnya, Subhanallah, siapa yang tidak mau?! Akhirnya saya
menikahkannya dengan putriku. Demikianlah selayaknya yang dilakukan oleh para orang tua.
Bagaimanakah sikap istri kepada suaminya yang melarang dirinya untuk menuntut ilmu?
Dan bagaimana solusinya?
Hendaklah sang istri memperhatikan faktor penyebab suaminya melarang dirinya untuk menuntut
ilmu. Jika suaminya melarang dirinya untuk menuntut ilmu dengan alasan yang dibenarkan
syariat, maka sang istri harus menerima dan menaati suaminya, kemudian meminta dari
suaminya dengan lemah lembut dan bijak untuk mengajarinya Al Quran dan ilmu-ilmu agama
lainnya. Jika suaminya tidak mampu mengajarinya sendiri, maka hendaklah sang istri meminta
suaminya menyediakan fasilitas yang membantu dirinya untuk menuntut ilmu di rumah, tanpa
bepergian atau melalaikan dirinya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai ibu rumah
tangga.
Namun, apabila sang suami melarang istri untuk menuntut ilmu tanpa alasan yang dibenarkan
syariat serta tidak memberikan fasilitas yang membantunya untuk belajar di rumah, maka sang
istri hendaklah dengan sabar menghadapi suaminya, seraya berusaha dengan sekuat tenaga
untuk menasihati suaminya akan pentingnya menuntut ilmu dan mengingatkan kewajibannya
untuk mendidik dan mengajari istri ilmu agama.
Ustadz, walau baru beberapa pekan ana menikah, ana telah mendengar suara-suara sumbang
dari teman-teman. Namun ana tetap berusaha sabar. Alhamdulillah tidak terlintas niat dalam hati
ana untuk menuntut khulu (cerai). Ana berusaha ikhlas menerima takdir yang telah Allah
tetapkan buat ana. Ana berdoa semoga dia laki-laki terbaik buat ana dan problem ini cepat
berlalu.
Namun ana ingin meminta nasihat dari ustadz agar hati ini semakin teguh dan mantap untuk
hidup bersamanya. Afwan ya ustadz, kalau risalah ini sangat panjang. Namun ana berharap
ustadz berkenan memberikan nasihat dan jawabannya, karena jawaban ustadz ana harapkan
dapat menjadi obat dan penawar hati. Serta dapat menghilangkan kerisauan ana selama ini.
Hamba Allah
Jawab:
Menurut pendapat yang rajih (lebih benar), bahwasanya wali tidak mempunyai hak untuk
memaksakan kehendak agar anak perempuannya menikah dengan lelaki pilihan walinya bila
perempuan itu telah berakal dan dewasa. Wali baik itu bapaknya sendiri atau yang menduduki
kedudukannya tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izin dan kerelaan perempuan
tersebut. Kalau pun wali bersikeras untuk menikahkannya tanpa ada izin dan kerelaan
perempuan tersebut dan langsung mengakadnya sendiri, maka pernikahannya di anggap batal.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
1. Sabda Nabi, Janda tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya, dan perawan tidak
boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana
izinnya? Beliau bersabda, Diamnya. (Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah).
Imam Bukhari memberikan penjelasan terhadap hadits ini dengan ucapannya. Bab Laa yankihu
al-Abbu wa ghairuhu al-Bikra wa ats-Tsayyiba illa bi radhaahuma (Bab bapak kandung dan yang
lainnya tidak boleh menikahkan seorang perawan dan janda kecuali dengan kerelaan mereka
berdua). Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan, hadits ini menunjukkan bila wali tidak boleh
memaksanya-perawas-jika ia telah baligh.
2. Nabi bersabda, Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Perawan diminta izinnya,
dan izinnya adalah diamnya. (Riwayat Muslim dari Ibnu Abbas). Hadits ini juga diriwayatkan
Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Darimi, dan Baihaqi. Imam Syaukani
menegaskan, yang jelas hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan kalau anak perempuan yang
telah baligh jika dinikahkan tanpa kerelaannya dan izinnya maka akadnya tidak sah. (lihat Nailul
Authar VI/123). Jadi, wali tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa menikah atas perawan
yang telah baligh, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya. Oleh karena itu, bila
tetap dinikahkan, akad pernikahannya tidak sah.
3. Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ada seorang perempuan perawan datang menghadap Nabi,
lalu mengadukan kalau bapaknya telah menikahkannya dengan lelaki yang tidak disukainya,
maka beliau memberikan pilihan kepadanya.(riwayat Abu Dawud). Di dalam penjelasannya
disebutkan Hadits ini menunjukkan seorang bapak kandung diharamkan memaksa anak
perempuannya yang telah dewasa dan berakal untuk menikahkan dengan lelaki yang tidak
disukainya. Demikian pula wali yang menduduki kedudukan bapak, tentu terlebih lagi.
Berdasarkan ini, maka tidak boleh seorang perempuan yang telah dewasa menerima paksaan
walinya untuk menikah dengan seseorang yang tidak dikehendaki dan tidak disukainya. Karena
pernikahan yang demikian itu tidak sah dan tidak boleh dilanjutkan. Sebab hal ini bertentangan
dengan larangan yang dilarang syariat. Oleh karena itu umat ini dituntut untuk tidak
mencampuradukkan da melakukannya.
Di sisi lain, ketidaktenangan batin seorang perempuan yang dengan terpaksa menerima
pernikahan ini bisa menjadi bom waktu yang dapat meledak di kemudian hari. Mungkin sekarang
ia bisa mencoba menerima dan berlapang dada. Namun di suatu saat nanti seiring dengan
bertumpuknya masalah rumah tangga yang datang silih berganti, semua itu akan dapat menjadi
pemicu kehancuran rumah tangga yang tidak dibangun dengan kerelaan hati salah satu pihak
dari pihak suami istri. Sehingga hal ini juga berdampak tidak terwujudnya kemaslahatan yang
diinginkan.
Di pihak lain, sebenarnya diadakannya wali dalam syariat itu tujuannya adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan perempuan yang berada di bawah pengampuannya, bukan untuk
mencelakakannya dan mengakibatkannya terjerumus dalam bahaya. Seperti dengan
menikahkannya secara paksa. Karena itu syariat melarang pernikahan seperti ini dan
menyatakannya tidak sah, dan harus dianulir. Demikianlah prinsipnya.
Dalam pernikahan seorang perempuan, memang wali mempunyai kewajiban mencarikan
pasangan yang agama dan budi pekertinya bagus. Namun bukan berarti ia tidak boleh
menempuh jalur lain guna mendapatkan lelaki yang berkriteria semacam itu. Atau, ditambah
kriteria lain yang diidamkannya, seperti berpenghasilan mapan, tampan, dan sebagainya. Dan
memang ia harus harus memilih, bukan sekadar pasrah. Namun hendaknya dalam memilih ini
disertai pertimbangan-pertimbangan lain yang sesuai dengan keadaan diri perempuan tersebut.
Jangan sampai karena idealisnya itu mengakibatkannya menunda-nunda pernikahannya dan
menjadikannya perawan tua tanpa suami di sisinya. Segala sesuatu sebaiknya menurut
kewajaran.
Rasulullah memberikan bimbingan utama agar memilih yang kuat agamanya, karena ia dapat
mengantarkan istri kepada kepada kebahagiaan. Adapaun kalau ada kekurangan di sana sini,
maka Allah berfirman, Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak. (an-Nisa:19)
Jadi kalau seorang perempuan telah mendapatkan seorang lelaki yang disebut Rasulullah
sebagai man tardhauna diinahu wa khuluqahu (seorang yang bagus agama dan perangainya),
maka hendaklah ia tetap bersabar untuk tetap mendampinginya, karena insya Allah kebahagiaan
telah bersamanya. Wallahu alam bishshawab.
Saya mempunyai masalah yang ingin dikemukakan dan mengharapkan jawaban dan penjelasan
menurut hukum islam. Masalahnya begini, saya telah menikah dan pernah juga menalak istri
saya sebanyak 2 kali (berlainan waktunya) karena masalah yang tak dapat dielakkan. Kemudian,
saya rujuk kepadanya sebelum masa iddah dan itu disetujui oleh istri saya (kedua perceraian ini
juga telah diadukan pada mahkamah syariah). Masalahnya, rujuk yang pertama kami lakukan
dengan mempunyai saksi dan dilakukan di mahkamah syariah di depan hakim. Tetapi, rujuk yang
kedua saya lakukan dan disetujui oleh istri sebelum masa iddah. Bedanya, ini tanpa saksi dan
kami tidak pula mengadukan pada mahkamah syariah sampai hari ini. Kami juga telah menerima
surat cerai dan kalau mengikut undang-undang negeri dan mahkamah syariah, perceraian kami
adalah sah. Yang ingin saya tanyakan, apakah rujuk yang kedua saya itu sah dalam hukum islam
(apa yang saya ketahui rujuk, tidak perlu saksi)? Dan ingin juga saya jelaskan, rujuk kedua yang
disetujui istri itu dilakukan semasa dia menjenguk saya di tahanan (penjara). Dan setelah saya
dibebaskan, kami teruskan kehidupan kami sebagai suami istri. Untuk itu, saya amat sangat
mengharapkan penjelasan mengenai status hubungan kami. Terima kasih sebelumnya.
Wassalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh
JAWABAN:
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, di dalam agama Islam, seorang laki-laki muslim
(suami) memiliki tiga talak (cerai) untuk tiga kali. Hal itu sebagaimana firman Allah Taala,
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. (al-Baqarah : 229)
Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui. (al-Baqarah: 230)
Artinya, jika seorang suami menalak istrinya untuk kali pertama dan kedua, maka dia dapat
merujuk kembali istrinya selama belum berakhir masa iddah-nya (masa tunggu bagi seorang
wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah ditalak/dicerai atau kematian suaminya) tanpa
akad baru lagi dan mahar baru lagi. Apabila telah selesai masa iddah-nya, maka berdasarkan
kesepakatan para ulama fikih tidak sah untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya itu
kecuali dengan aqad baru dan mahar baru lagi. Hal itu sebagaimana firman Allah Taala:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,
jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. (al-Baqarah: 229).
Dalam masalah sahnya rujuk, terjadi silang pendapat di antara para ulama, namun pendapat
yang nampak rajih (kuat) adalah bahwasannya rujuk itu sah dengan melakukan jima
(persetubuhan) dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Adapun tentang muqaddimah (pemanasan)
sebelum jima, maka itu tergantung dari niatnya. Jika ia berniat dengan itu untuk rujuk, maka sah
rujuknya. Namun jika ia tidak berniat untuk rujuk, maka tidak sah rujuknya.
Namun yang menjadi permasalahan bagi si penanya di sini, apakah rujuk kepada istri yang telah
ditalak itu diwajibkan menghadirkan saksi atau tidak?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat pula. Akan tetapi pendapat yang nampak lebih kuat
adalah pendapat mayoritas ulama seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Asy-Syafii
menurut pendapat terbarunya, dan pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau.
Mereka berpendapat bahwa saksi dalam merujuk istri yang telah ditalak hanyalah bersifat
anjuran (disunnahkan), dan tidak wajib. Di antara alasan mereka, sebagai berikut:
1. Rujuk adalah hak suami yang tidak perlu adanya kerelaan istri ataupun wali, sehingga tidak
diwajibkan adanya saksi.
2. Rujuk bukan merupakan akad baru, akan tetapi hanyalah tindakan melanjutkan hubungan
pernikahan yang telah terputus akibat jatuhnya talak satu dan dua.
3. Firman Allah Taala yang berbunyi,
Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu. (ath-Thalaq: 2)
Perintah menghadirkan saksi dalam ayat ini bersifat anjuran, bukan wajib. Hal itu disebabkan
karena beberapa sebab, di antaranya:
a) Bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut sama seperti perintah-Nya dalam ayat yang lain:
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.. (al-Baqarah: 282).
Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa jual beli bisa sah tanpa harus adanya saksi.
Selain itu, Nabi n tatkala memerintahkan Umar bin Khaththab z agar Ibnu Umar (putranya)
merujuk istrinya (yang telah ditalaknya), beliau bersabda,
Inilah beberapa alasan yang menunjukkan bahwa perintah menghadirkan saksi dalam ayat
tersebut adalah bersifat istihbab (anjuran), dan bukan wajib.
Dengan demikian, rujuk Anda yang kedua kepada istri anda tanpa saksi dan tanpa melaporkan
kepada mahkamah syariah adalah sah dan tidak ada yang dipermasalahkan. Sedangkan surat
cerai yang Anda terima dari mahkamah syariah tidak perlu dijadikan pegangan (diabaikan saja).
Sebab, jika ketetapan hukum Allah dan rasul-Nya bertentangan dengan undang-undang buatan
manusia, maka kewajiban seorang muslim adalah mengikuti dan memegang teguh ketetapan
Allah dan rasul-Nya. Allah Taala berfirman,
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka
sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzaab: 36)
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat menghilangkan kebingungan,
dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wallahu alam bish-shawab.
meremehkan masalah dan dia adalah orang yang mengetahui (khabir) terhadap
setiap persoalan agama.
Allah swt berfirman:
Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih
mengetahui (Muhammad) tentang Dia. (Al-Furqan: 59)
Betapa banyak kita dapati kaset-kaset bacaan Al-Quran termasuk yang
diperuntukkan bagi anak-anak yang akan berpengaruh besar bagi mereka.
Demikian pula yang berisikan doa-doa sehari-hari, etika dan adab islam, atau
nasyid-nasyid islam yang mendidik dan lain-lain.
Mengundang Orang Shaleh, Ulama, Ustadz atau Para Penuntut Ilmu ke Rumah
Allahberfirman:
Artinya Ya Rabbku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku
dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. (Nuh:28)
Sesungguhnya masuknya orang-orang beriman dapat menambah cahaya bagi
sebuah rumah atau keluarga. Disamping itu kita dapat mengadakan pembicaraan,
bertanya dan berdiskusi dengan mereka dan ini akan mendatangkan banyak sekali
manfaat.
Orang yang membawa kesturi mungkin ia akan meberikannya kepadamu, atau
engkau membeli darinya atau minimal engkau akan mendapatkan bau yang wangi
semerbak.
Dengan kedatangan mereka tentu ayah, saudara dan anak-anak akan ikut
menyambutnya sedangakan para awanita akan mendengarkan pembicaraan
mereka dari balik hijab/tabir. Hal ini merupakan pendidikasn bagi semua.
Belajar Hukum-hukum Berkenaan dengan Rumah.
Diantara hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah rumah adalah sebagai
berikut:
* Shalat (sunnah) di rumah. Mengenai shalat bagi kaum laki-laki Rasulullah saw
telah bersabda, Sebaik-baik shalat laki-laki adalah di rumahnya, kecuali shalat
wajib.
Adapun shalat-shalat wajib yang lima waktu maka harus dilakukan di masjid, kecuali
jika ada udzur.Sedangkan bagi wanita, semakin tersembunyi tempat shalatnya maka
semakin utama sebagaimana sabda Rasulullah, Sebaik-baik shalat wanita adalah
dibagian paling dalam dari rumahnya.
* Tuan rumah lebih berhak menjadi imam dirumahnya, dan tidak boleh duduk di
tempat
yang
biasa
diduduki
tuan
rumah
tanpa
izinnya.
Rasulullah bersabda, Tidak boleh seorang laki-laki diimami diwilayah
kekuasaannya,dan tidak diduduki diatas (tempat) kemuliaaannya dalam rumah
kecuali dengan izinnya.
*
Meminta
izin
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.Yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (An-Nuur : 27)
* Tidak mengapa makan di rumah kerabat,teman atau selainnya yang menyerahkan
kuncinya kepada kita, jika mereka merelakannya/tidak membenci hal itu.
* Melarang anak-anak dan pembantu masuk ke dalam kamar tidur ibu bapak tanpa
izin pada waktu-waktu istirahat.
*Dilarang mengintip ke rumah orang lain.
*Tidak menginap sendirian dalam rumah.
*Tidak tidur di lantai atas (loteng) yang tidak memiliki pagar, agar tidak jatuh.
(Departemen Dawah/alsofwah)