Anda di halaman 1dari 14

DIGLOSIA, BILINGUALISME, DAN MULTILINGUALISME

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sosiolinguistik
yang dibina oleh Bapak Rizman Usman

oleh
Ranggi Ramadhani Ilminisa
140212807902

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI KEGURUAN BAHASA
Oktober 2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian diglosia, bilingualisme, dan multilingualisme merupakan fenomena
yang menarik. Hal ini bukan saja karena aspek teorinya, melainkan juga aspek
aplikasinya dalam kenyataan penggunaan bahasa. Ketiga istilah tersebut tak lepas
dari suatu masyarakat bahasa. Dilihat dari jumlah bahasa yang digunakan oleh
anggota masyarakat bahasa ada masyarakat bahasa yang menggunakan satu
bahasa atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut
monolingual sedangkan yang menggunakan dua bahasa disebut bilingual. Jika
masyarakat bahasa tersebut menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual.
Penguasaan bahasa yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat bahasa
tersebut dapat memicu timbulnya adanya bilingualisme dalam bahasa Indonesia
disebut kedwibahasaan dan multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut
keanekabahasaan. Bilingualisme merupakan pemakaian dua bahasa yang berbeda
oleh penutur bahasa. Sedikit berbeda dengan multilingual yakni menekankan pada
pemakaian lebih dari dua bahasa.
Kajian tentang bilingualisme dan multilingualisme hampir sama cakupan
pembahasannya namun titik perbedaannya hanya terletak pada jumlah bahasa
yang dikuasai oleh seorang penutur. Sehingga pada kajian multilingualisme tidak
dibahas secara lebih mendalam karena akan dijelaskan dalam kajian
bilingualisme. Akan tetapi, dalam hal ini akan nampak perbedaan yang mendasar
antara bilingualisme dan multilingualisme.
Selanjutnya hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah diglosia.
diglosia merupakan situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi
bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat. Pada kajian diglosia erat
kaitannya dengan kedwibahasaan. Pembahasan tentang diglosia dan hubungannya
dengan kedwibahasaan juga akan dibahas secara lebih mendalam dalam
pembahasan di makalah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut.

1. Apakah pengertian diglosia?


2. Apakah pengertian bilingualisme dan multilingualisme?
3. Bagaimanakah hubungan antara diglosia dan bilingualisme?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Mampu menjabarkan pengertian diglosia.
2. Mampu menjabarkan pengertian bilingualisme dan multilingualisme.
3. Mampu mengidentifikasi hubungan antara diglosia dan bilingualisme.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Diglosia

Diglosia merupakan pembagian fungsional atas variasi suatu bahasa


dalam suatu masyarakat tutur. Didukung oleh pendapat Ferguson (dalam
Sumarsono, 2012:36-37) yang menyatakan bahwa diglosia adalah sejenis
pembakuan bahasa yang khusus di mana dua ragam bahasa berada
berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan di mana masingmasing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu. Ciri situasi diglosia
yang terpenting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa.
Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam khutbah, surat resmi, pidato
politik, kuliah, dan sebagainya. Sebaliknya ragam bahasa rendah digunakan
percakapan sesama anggota keluarga, antar teman, dan sebagainya.
Fungsi merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut
Fegusson (dalam Chaer dan Agustina, 2010:93) dalam masyarakat diglosis
terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi bahasa pertama disebut ragam
tinggi dan yang kedua disebut ragam rendah. Berikut adalah contoh ragam
bahasa yang mendapat pengakuan secara terbuka dalam masyarakat tentang
adanya ragam bahasa tinggi yang dibakukan dan ragam bahasa rendah yang
dibakukan.
Bahasa
Arab

Ragam Tinggi
Bahasa Arab Klasik

Ragam Rendah
Bahasa percakapan pada

(Bahasa Al-Quran/al-

bangsa Arab (addarij)

Yunani

fusha)
Bahasa Yunani murni

Bahasa Yunani lisan

Jerman

(Katharevusa)
Hochdeutsch

(Dhimotiki)
Schweizerdeutsch

Tamil

(bahasa Jerman tinggi)


Bahasa Sastra

(bahasa Jerman Swiss)


Ragam cakapan

Dalam situasi diglosia contoh sederhana yang terdapat dalam


masyarakat Indonesia adalah adanya tingkat-tingkat bahasa (undha-usuk
basa) seperti bahasa Jawa. Di Jawa dikenal bahasa ngoko (tingkat paling
rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Ketiga tingkat bahasa
tersebut mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat
pemakainya.

Dalam bahasa Jawa, undha usuk basa diajarkan pada masyarakat


bahasa agar penutur memiliki penghormatan yang lebih pada seorang yang
lebih tua dan dihormatinya. Jadi dalam hal ini, bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam bahasa Jawa tergantung situasi dan kondisi dimana
peserta tutur tersebut berada. Selain itu, yang menjadi perhatian lain adalah
siapa lawan tuturnya dan apa yang sedang dituturkan juga menentukan bahasa
tingkat tinggi atau rendah yang akan digunakan dalam berkomunikasi.
Berbicara tentang diglosia adalah berbicara tentang fungsi atas variasi
bahasa. Ferguson (dalam Sumarsono, 2012:191) menjelaskan diglosia itu dari
sembilan segi. Sembilan topik tersebut adalah fungsi, prestise, warisan tradisi
tulis-menulis (sastra), pemerolehan, standarisasi/pembakuan, stabilitas,
tatabahasa/gramatika, leksikon, dan fonologi. Berikut adalah penjabaran dari
masing-masing segi diglosia.
Fungsi adalah kriteria yang paling penting bagi diglosia (Sumarsono,
2012:191). Dalam suatu bahasa ada dua ragam yang berbeda yakni high
dialect (ragam/dialek tinggi, selanjutnya disingkat T) dan low dialect
(ragam/dialek rendah, selanjutnya disingkat R). Misalnya dalam bahasa Arab,
ragam bahasa T tersebut mengacu pada bahasa Arab yang digunakan dalam
Al-Quran, sedangkan ragam bahasa R mengacu pada penggunaan bahasa
Arab oleh berbagai masyarakat dalam komunikasi.
Selanjutnya yang menjadi pembahasan adalah dari segi prestise.
Prestise adalah sikap penutur dalam guyup diglosia bahwa T itu unggul, lebih
logis, lebih bergengsi, lebih superior, dan lebih terpandang. Sedangkan ragam
bahasa R dianggap lebih rendah, bahkan keberadaannya cenderung dihindari.
Misalnya dalam masyarakat Indonesia menganggap ragam bahasa baku lebih
bergengsi daripada bahasa nonbaku.
Berikut adalah beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana
pemakaian suatu bahasa dalam fungsi ragam bahasa tinggi dan rendah.
Situasi
Khotbah gereja atau masjid
Kuliah
Obrolan radio

T
x
x

R
x

Pidato DPR, pidato politik


Tajuk rencana, berita
Dan sebagainya

x
x

Ciri ketiga yaitu warisan tradisi tulis menulis (warisan sastra),


mengacu pada banyaknya kepustakaan yang ditulis dalam T dan dikagumi
warga guyup. Tradisi kesusastraan yang selalu menggunakan ragam T
menyebabkan kesusastraan itu menjadi asing dari masyarakat umum. Jadi jika
ada karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam bahasa T, maka
dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu yakni karya sastra harus dalam
ragam T.
Selanjutnya adalah perbedaan pola pemerolehan bahasa ragam T dan
R. Ragam bahasa R akan dipakai untuk berbicara dengan anak-anak dan
dipakai sehingga ragam R dipelajari secara norma dan tanpa sadar. Ragam
bahasa T menjadi bahasa tambahan ragam yang dipelajari setelah ragam R
dipelajari dan biasanya melalui pengajaran formal di sekolah. Oleh karena itu
mereka yang tidak pernah memasuki dunia pendidikan formal tidak akan
mengenal ragam T.
Kelima adalah pembakuan bahasa/standarisasi. Ragam bahasa T lebih
diutamakan dalam pembakuan bahasa. Dalam penyusunan kamus, tata
bahasa, petunjuk lafal, dan buku-buku mengenai pemakaian bahasa yang
benar ditulis dalam ragam T. Jarang sekali adanya studi tentang ragam R.
Menulis atau mengarang dengan menggunakan ragam R menjadi sukar
karena tidak adanya kaidah ejaan, sehingga orang tidak mau menulis dengan
ragam R.
Segi diglosia yang keenam adalah stabilitas. Diglosia merupakan
gejala yang stabil alasannya adalah diglosia itu memang dikehendaki agar ada
dua ragam bahasa dipertahankan dalam satu guyup. Pada segi ini
pertentangan atau perbedaan antara ragam T dan R dalam masyarakat diglosis
selalu ditonjolkan karena adanya perkembangan dalam bentuk-bentuk
campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T dan ragam R.
Segi diglosia ketujuh adalah tatabahasa. Dalam tatabahasa terdapat
banyak perbedaan antara ragam bahasa T dan R, meskipun keduanya berasal

dari induk bahasa yang sama. Tata bahasa R lebih sederhana daripada
tatabahasa T. Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan
sejumlah konstruksi suboedinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam raga R
dianggap artifisial.
Segi diglosia kedelapan adalah kosakata. Dalam hal kosakata sebagian
besar kosakata T dan R memang sama. Tetapi dalam situasi diglosia ada
kosakata yang berpasangan. Contoh sederhana adalah dalam bahasa Indonesia
dalam ragam T orang memakai asma (Tuhan) dalam R diapakai nama
(manusia, hewan, tumbuhan). Menurut Fergusson (dalam Chaer dan
Agustina, 2010:97) menyatakan bahwa dalam masyarakat diglosis hanya
kosakata ragam T yang bisa ditulis secara formal dan hanya ragam R yang
hanya diharapkan dalam percakapan sehari-hari.
Terakhir adalah dari segi fonologi. Ferguson (dalam Sumarsono,
2012:194) menyebutkan bahwa sistem bunyi T dan R membentuk suatu
struktur fonologi tunggal, fonologi R merupakan sistem dasar dan unsurunsur sebaran fonologi T merupakan subsistem (sistem bahwahan) atau
parasistem (sistem atasan). Dalam hal ini berarti fonologi ragam T lebih dekat
dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.
Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Kunci pokok diglosia adalah adanya perbedaan fungsi bagi tiap ragam
bahasa itu. Perlu titik tekan tentang adanya pembedaan antara kedwibahasaan
dengan diglosia. Kedwibahasaan mengacu pada penguasaan atas ragam T
dan ragam R yang ada dalam masyarakat. Sedangkan diglosia megacu pada
persebaran (distribusi) fungsi T dan R dalam ranah-ranah tertentu.
B. Bilingualisme (Kedwibahasaan)
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian
kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (dalam
Aslinda dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai The
practice of alternately using two language, yaitu kebiasaan menggunakan
dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau
lebih, jika melihat pengertian menurut Weinreich, penutur tidak diharuskan

menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya


bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan
terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya
hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.
Berbeda dengan pernyataan weinreich, bilingualisme menurut
Bloomfield (dalam Aslinda dkk., 2007:23) yang mengemukakan bahwa
kedwibahasaan adalah native like control of two languages. Menurut
Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem
kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih
banyak dipertanyakan karena syarat dari native like control of two languages
berarti setiap bahasa dapat digunakan dalam setiap keadaan dengan
kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan
penuturnya.
Terlepas dari ada atau tidaknya pengetahuan seseorang mengenai
sistem kedua bahasa yang digunakan, setidaknya penutur telah mengenal
bahasa atau istilah-istilah bahasa yang digunakannya. Hal itu senada dengan
Chaer (2004:84) yang mengemukakan bahwa untuk dapat menguasai dua
bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama,
bahasa ibu atau bahasa pertama (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa
lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali
dengan perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan
bangsa Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu
mereka (bahasa daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama,
sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan
bahasa kedua.
Menurut Weinreich (dalam Hadiriyanto, 2012) tipologi
kedwibahasaan didasarkan pada derajat atau tingkat penguasaan seorang
terhadap ketrampilan berbahasa. Oleh sebab itu Weinreich membagi
kedwibahasaan menjadi tiga kategori sebagai berikut.
Pertama adalah kedwibahasaan majemuk (compound bilingualism).
Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa
kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada kemampuan

berbahasa bahasa yang lain. Dalam hal ini sebagai contoh kemampuan
berbahasa Indonesia seseorang lebih baik daripada bahasa daerahnya karena
orang tersebut memeroleh bahasa pertamanya adalah juga bahasa Indonesia.
Kedua adalah kedwibahasaan koordinatif/sejajar. Kedwibahasaan
koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa
pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Dalam hal ini
berarti jika ada seseorang yang menguasai bahasa pertama dan keduanya
dengan sama baiknya. Misalnya ia mampu berbahasa daerah sama baiknya
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya.
Ketiga adalah kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks).
Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang
menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering
memasukkan B2 atau sebaliknya. Hal ini berarti dalam kedwibahasaan subordinatif seorang penutur belum bisa menguasai bahasa tertentu dengan
penuh sehingga memicu timbulnya interferensi. Misalnya, seorang anak yang
memakai bahasa Indonesia, ia sisipi kata atau frasa dalam bahasa daerah yang
menjadi bahasa pertamanya.
Jika Weinreich membagi kedwibahsaan menjadi tiga, berbeda dengan
Pohl yang membagi tiga tipe lain dari kedwibahasaan. Menurut Pohl (dalam
Hadiriyanto, 2012) tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang
ada di dalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga
tipe yakni sebagai berikut.
Pertama, kedwibahasaan horisontal (horizontal bilingualism).
Kedwibahasaan horisontal merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang
berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam
situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok
pemakainya.
Kedua adalah kedwibahasaan vertikal (vertical bilinguism).
Kedwibahasaan vertikal merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa
baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh
seorang penutur.
Ketiga adalah kedwibahasaan diagonal (diagonal bilingualism).
Kedwibahasaan diagonal adalah pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak

baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara


genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
Di sisi lain, Arsenan (dalam Hadiriyanto, 2012) juga
mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi kedwibahasaan produktif dan
kedwibahasaan reseptif. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism)
atau kedwibahasaan aktif yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu
terhadap beberapa aspek keterampilan berbahasa (berbicara dan menulis).
Sedangkan, kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau
kedwibahasaan pasif yakni kedwibahasaan yang menekankan pada
penerimaan bahasa kedua secara pasif melalui menyimak dan membaca.
C. Multilingualisme (Keanekabahasaan)
Chaer dan Agustina (2010:85) menyebutkan bahwa multilingualisme
atau dalam bahasa Indonesia disebut keanekabahasaan adalah digunakannya
lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian. Multilingualisme terjadi pada masyarakat yang terdiri dari
beberapa etnik. Misalnya Indonesia yang memiliki banyak etnik dapat
menimbulkan multilingual pada masyarakat penuturnya. Contoh lainnya
adalah di India mengakui 14 bahasa dalam UUD-nya, Pilipina mempunyai 6
bahasa regional, Nigeria mempunyai tiga bahasa regional, dan lain
sebagainya.
Pohl (dalam syifa, 2011) menjelaskan masalah-masalah yang timbul
dengan adanya multilingualisme dengan menganalisis 133 negara atas dasar
jumlah bahasa dan Pendapatan Domistik Bruto (GDP). Masalah pertama,
suatu negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi tetap
menjadi negara tidak berkembang (miskin). Kedua, suatu negara yang seluruh
penduduknya sedikit-banyak berbicara bahasa yang sama bisa saja sangat
kaya atau sangat miskin. Ketiga, suatu negara yang secara linguistik secara
heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah
berkembang (setengah miskin). Keempat, suatu negara yang sangat maju
(berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik.

Dalam makalah ini pembahasan tentang multilingualisme tidak akan


dibicarakan secara khusus, sebab modelnya sama dengan bilingualisme, yang
menjadi titik perbedaannya hanya pada jumlah penutur bahasanya.
D. Keterkaitan Diglosia dengan Bilingualisme (Kedwibahasaan)
Diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan
bahasa (terutama ragam T dan R). Kunci pokok disglosia adalah adanya
perbedaan fungsi bagi tiap ragam bahasa itu. Sedangkan biligualisme adalah
keadaan ketika penggunaan dua bahasa dilakukan secara bergantian oleh
masyarakat penutur bahasa.
Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2010:102) menggambarkan
hubugan diglosia dan bilingualisme seperti bagan berikut.
Diglosia
+
Bilingualisme dan Bilingualisme

Diglosia

tanpa diglosia

Diglosia tanpa

Tanpa

bilingualisme

bilingualisme

Bilingualisme
-

maupun diglosia
Pada tabel tersebut digambarkan adanya bilingualisme dan
diglosia, bilingualisme tanpa diglosia, diglosia tanpa bilingualisme, dan
tanpa bilingualisme maupun diglosia. Tipe pertama yakni diglosia dan
bilingualisme. Pada tipe ini dua penggunaan bahasa terjadi. Ada kebiasaan
menggunakan dua bahasa atau lebih dan nada kebiasaan menggunakan
bahasa tinggi dan bahasa rendah.
Tipe bilingualisme tanpa diglosia. Pada tipe ini masyarakat
bilingual, tetapi mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk
satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain. Tipe kedua ini
menampakkan kenyataan bilingualisme adalah karateristik kemampuan
penggunaan bahasa yang individual, sedangkan diglosia adalah
karakteristik alokasi fungsi pada bahasa-bahasa atau varian-varian yang
berbeda.

10

Tipe diglosia tanpa bilingualisme. Di dalam tipe ini terdapat dua


kelompok penutur yaitu kelompok yang biasanya lebih kecil atau disebut
dengan ruling group hanya berbahasa dalam dialek tinggi, dan kelompok
yang tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat hanya berbicara dialek
rendah. Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa merembes ke dalam
fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil
perembesan akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru (kalau T
dan R mempunyai struktur yang sama, atau penggantian salah satunya
oleh yang lain (kalau T dan R tidak sama strukturnya).
Tipe tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme. Pada tipe ini,
masyarakat yang tanpa diglosia dan tidak bilingualisme tentunya hanya
ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala
macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin terdapat dalam masyarakat
primitif atau terpencil, yang pada saat ini sukar ditemukan.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling
stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dengan bilingualisme, dan (2) diglosia
tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga
perbedaannya hanya terletak pada bilingualismenya. Dengan artian bahwa
masyarakat pada pola diglosia dengan bilingualisme dan diglosia tanpa
bilingualisme ini sama-sama memiliki fungsi ragam T dan R dalam
komunikasinya yang membedakan keduanya adalah bilingualisme. Jika
masyarakat pertama menggunakan dua bahasa dengan pemertahanan
fungsi dari ragam bahasa T dan R, maka masyarakat kedua hanya
menggunakan satu bahasa namun disertai pula dengan fungsi ragam T dan
R dalam bahasa yang diapakainya walau mereka termasuk masyarakat
monolingual.

11

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjabaran mengenai masalah diglosia, bilingualisme, dan
multilingualisme, maka dapat disimpulkan bahwa diglosia adalah situasi
berbahasa dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa tersebut. Jadi
dalam diglosia terdapat ragam tinggi dan rendah yang digunakan untuk
berkomunikasi pada suatu masyarakat tutur. Kapan ragam tinggi dan
rendah digunakan adalah ketika penutur berada pada konteks tertentu yang
menuntutnya untuk berbahasa sesuai dengan konteksnya.
Beralih pada bilingualisme (kedwibahasaan) diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa dalam
komunikasinya. Terdapat beberapa tipe kedwibahasaan yang dipaparkan

12

oleh beberapa ahli. Berdasarkan pada tingkat penguasaan seorang terhadap


keterampilan berbahasa terbagi menjadi tiga yakni kedwibahasaan
majemuk, koordinatif, subordinatif. Berdasarkan status bahasa dalam
masyarakat terbagi menjadi tiga yani kedwibahasaan horisontal, vertikal,
dan diagonal. Dan ketiga berdasar kemampuan berbahasa terdapat
kedwibahasaan produktif dan reseptif.
Terdapat keterkaitan antara diglosia dan bilingualisme yang
tergambar dalam tabel pembahasan tersebut. Pertama, bilingualisme dan
diglosia, bilingualisme tanpa diglosia, diglosia tanpa bilingualisme, dan
tanpa bilingualisme dan diglosia. Dua gambaran yang stabil dari
keempatnya adalah diglosia dengan bilingualisme dan diglosia tanpa
bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya
terletak pada bilingualismenya.

Daftar Pustaka

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Kedwibahasaan, Dwibahasawan, dan


Diglosia. Bandung: Refika Aditama.
Chaer, A dan Agustina, L. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Hardianto, Maryani. 2012. Kedwibahasaan dalam pandangan Sosiolinguistik.
(Online).
(http://bahasabangsamaryani.blogspot.com/2012/02/kedwibahasaandalam-pandangan.html). Diakses tanggal 1 Oktober 2014.
Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda (Lembaga Studi Agama,
Budaya dan perdamaian).
Syifa, Z. 2011. Bilingualisme dan Multilingualisme. (Online).
(http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/28/). Diakses tanggal 6
Oktober 2014.

13

Anda mungkin juga menyukai