MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sosiolinguistik
yang dibina oleh Bapak Rizman Usman
oleh
Ranggi Ramadhani Ilminisa
140212807902
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kajian diglosia, bilingualisme, dan multilingualisme merupakan fenomena
yang menarik. Hal ini bukan saja karena aspek teorinya, melainkan juga aspek
aplikasinya dalam kenyataan penggunaan bahasa. Ketiga istilah tersebut tak lepas
dari suatu masyarakat bahasa. Dilihat dari jumlah bahasa yang digunakan oleh
anggota masyarakat bahasa ada masyarakat bahasa yang menggunakan satu
bahasa atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut
monolingual sedangkan yang menggunakan dua bahasa disebut bilingual. Jika
masyarakat bahasa tersebut menguasai lebih dari dua bahasa disebut multilingual.
Penguasaan bahasa yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat bahasa
tersebut dapat memicu timbulnya adanya bilingualisme dalam bahasa Indonesia
disebut kedwibahasaan dan multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut
keanekabahasaan. Bilingualisme merupakan pemakaian dua bahasa yang berbeda
oleh penutur bahasa. Sedikit berbeda dengan multilingual yakni menekankan pada
pemakaian lebih dari dua bahasa.
Kajian tentang bilingualisme dan multilingualisme hampir sama cakupan
pembahasannya namun titik perbedaannya hanya terletak pada jumlah bahasa
yang dikuasai oleh seorang penutur. Sehingga pada kajian multilingualisme tidak
dibahas secara lebih mendalam karena akan dijelaskan dalam kajian
bilingualisme. Akan tetapi, dalam hal ini akan nampak perbedaan yang mendasar
antara bilingualisme dan multilingualisme.
Selanjutnya hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah diglosia.
diglosia merupakan situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi
bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat. Pada kajian diglosia erat
kaitannya dengan kedwibahasaan. Pembahasan tentang diglosia dan hubungannya
dengan kedwibahasaan juga akan dibahas secara lebih mendalam dalam
pembahasan di makalah.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Diglosia
Ragam Tinggi
Bahasa Arab Klasik
Ragam Rendah
Bahasa percakapan pada
(Bahasa Al-Quran/al-
Yunani
fusha)
Bahasa Yunani murni
Jerman
(Katharevusa)
Hochdeutsch
(Dhimotiki)
Schweizerdeutsch
Tamil
T
x
x
R
x
x
x
dari induk bahasa yang sama. Tata bahasa R lebih sederhana daripada
tatabahasa T. Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan
sejumlah konstruksi suboedinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam raga R
dianggap artifisial.
Segi diglosia kedelapan adalah kosakata. Dalam hal kosakata sebagian
besar kosakata T dan R memang sama. Tetapi dalam situasi diglosia ada
kosakata yang berpasangan. Contoh sederhana adalah dalam bahasa Indonesia
dalam ragam T orang memakai asma (Tuhan) dalam R diapakai nama
(manusia, hewan, tumbuhan). Menurut Fergusson (dalam Chaer dan
Agustina, 2010:97) menyatakan bahwa dalam masyarakat diglosis hanya
kosakata ragam T yang bisa ditulis secara formal dan hanya ragam R yang
hanya diharapkan dalam percakapan sehari-hari.
Terakhir adalah dari segi fonologi. Ferguson (dalam Sumarsono,
2012:194) menyebutkan bahwa sistem bunyi T dan R membentuk suatu
struktur fonologi tunggal, fonologi R merupakan sistem dasar dan unsurunsur sebaran fonologi T merupakan subsistem (sistem bahwahan) atau
parasistem (sistem atasan). Dalam hal ini berarti fonologi ragam T lebih dekat
dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan.
Fonologi R lebih jauh dari bentuk-bentuk yang mendasar.
Kunci pokok diglosia adalah adanya perbedaan fungsi bagi tiap ragam
bahasa itu. Perlu titik tekan tentang adanya pembedaan antara kedwibahasaan
dengan diglosia. Kedwibahasaan mengacu pada penguasaan atas ragam T
dan ragam R yang ada dalam masyarakat. Sedangkan diglosia megacu pada
persebaran (distribusi) fungsi T dan R dalam ranah-ranah tertentu.
B. Bilingualisme (Kedwibahasaan)
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian
kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (dalam
Aslinda dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai The
practice of alternately using two language, yaitu kebiasaan menggunakan
dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau
lebih, jika melihat pengertian menurut Weinreich, penutur tidak diharuskan
berbahasa bahasa yang lain. Dalam hal ini sebagai contoh kemampuan
berbahasa Indonesia seseorang lebih baik daripada bahasa daerahnya karena
orang tersebut memeroleh bahasa pertamanya adalah juga bahasa Indonesia.
Kedua adalah kedwibahasaan koordinatif/sejajar. Kedwibahasaan
koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa
pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Dalam hal ini
berarti jika ada seseorang yang menguasai bahasa pertama dan keduanya
dengan sama baiknya. Misalnya ia mampu berbahasa daerah sama baiknya
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya.
Ketiga adalah kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks).
Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang
menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering
memasukkan B2 atau sebaliknya. Hal ini berarti dalam kedwibahasaan subordinatif seorang penutur belum bisa menguasai bahasa tertentu dengan
penuh sehingga memicu timbulnya interferensi. Misalnya, seorang anak yang
memakai bahasa Indonesia, ia sisipi kata atau frasa dalam bahasa daerah yang
menjadi bahasa pertamanya.
Jika Weinreich membagi kedwibahsaan menjadi tiga, berbeda dengan
Pohl yang membagi tiga tipe lain dari kedwibahasaan. Menurut Pohl (dalam
Hadiriyanto, 2012) tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang
ada di dalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga
tipe yakni sebagai berikut.
Pertama, kedwibahasaan horisontal (horizontal bilingualism).
Kedwibahasaan horisontal merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang
berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam
situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok
pemakainya.
Kedua adalah kedwibahasaan vertikal (vertical bilinguism).
Kedwibahasaan vertikal merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa
baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh
seorang penutur.
Ketiga adalah kedwibahasaan diagonal (diagonal bilingualism).
Kedwibahasaan diagonal adalah pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak
Diglosia
tanpa diglosia
Diglosia tanpa
Tanpa
bilingualisme
bilingualisme
Bilingualisme
-
maupun diglosia
Pada tabel tersebut digambarkan adanya bilingualisme dan
diglosia, bilingualisme tanpa diglosia, diglosia tanpa bilingualisme, dan
tanpa bilingualisme maupun diglosia. Tipe pertama yakni diglosia dan
bilingualisme. Pada tipe ini dua penggunaan bahasa terjadi. Ada kebiasaan
menggunakan dua bahasa atau lebih dan nada kebiasaan menggunakan
bahasa tinggi dan bahasa rendah.
Tipe bilingualisme tanpa diglosia. Pada tipe ini masyarakat
bilingual, tetapi mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk
satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain. Tipe kedua ini
menampakkan kenyataan bilingualisme adalah karateristik kemampuan
penggunaan bahasa yang individual, sedangkan diglosia adalah
karakteristik alokasi fungsi pada bahasa-bahasa atau varian-varian yang
berbeda.
10
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjabaran mengenai masalah diglosia, bilingualisme, dan
multilingualisme, maka dapat disimpulkan bahwa diglosia adalah situasi
berbahasa dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa tersebut. Jadi
dalam diglosia terdapat ragam tinggi dan rendah yang digunakan untuk
berkomunikasi pada suatu masyarakat tutur. Kapan ragam tinggi dan
rendah digunakan adalah ketika penutur berada pada konteks tertentu yang
menuntutnya untuk berbahasa sesuai dengan konteksnya.
Beralih pada bilingualisme (kedwibahasaan) diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa dalam
komunikasinya. Terdapat beberapa tipe kedwibahasaan yang dipaparkan
12
Daftar Pustaka
13