PENDAHULUAN
b.
c.
BAB II
PEMBAHASAN
2.
3.
Efek kadar glukosa, as.amino, dan lipid dalam darah terhadap rasa lapar dan perilaku
makan.
Penurunan kadar gula dalam darah akan menimbulkan rasa lapar, yang menimbulkan suatu
perilaku yang disebut teori glukostatik pengaturan rasa lapar dan perilaku makan, teori
lipostatik dan teori aminostatik.
Lapar dapat terjadi karena adanya stimulasi dari suatu faktor lapar, yang akan mengirimkan
impuls tersebut ke pusat lapar di otak, yakni hipotalamus bagian lateral, tepatnya di nucleus bed
pada otak tengah yang berikatan serat pallidohypothalamus. Otak inilah yang akan menimbulkan
rasa lapar pada manusia. Setelah tubuh mendapat cukup nutrisi yang ditentukan oleh berbagai
faktor, maka akan mengirim impuls ke pusat kenyang yakni di nucleus ventromedial di
hipotalamus. Kemudian tubuh akan merasa puas akan makan, sehingga kita akan berhenti
makan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi rasa lapar pada manusia adalah:
1. Hipotesis Lipostatik
Leptin yang terdapat di jaringan adiposa akan menghitung atau mengukur persentase lemak
dalam sel lemak di tubuh, apabila jumlah lemak tersebut rendah, maka akan membuat
hipotalamus menstimulasi kita untuk merasa lapar dan makan.
2. Hipotesis Hormon Peptida pada Organ Pencernaan
Makanan yang ada di dalam saluran gastrointestinal akan merangsang munculnya satu atau lebih
peptida, contohnya kolesitokinin. Kolesitokinin berperan dalam menyerap nutrisi makanan.
Apabila jumlah kolesitokinin dalam GI rendah, maka hipotalamus akan menstimulasi kita untuk
memulai pemasukan makanan ke dalam tubuh.
3. Hipotesis Glukostatik
Rasa lapar pun dapat ditimbulkan karena kurangnya glukosa dalam darah. Makanan yang kita
makan akan diserap tubuh dan sari-sarinya (salah satunya glukosa)akan dibawa oleh darah dan
diedarkan ke seluruh tubuh, jika dalam darah kekurangan glukosa,maka tubuh kita akan
memerintahkan otak untuk memunculkan rasa lapar dan biasanya ditandai dengan pengeluaran
asam lambung.
4. Hipotesis Termostatik
5
Apabila suhu dingin atau suhu tubuh kita di bawah set point, maka hipotalamus akan
meningkatkan
nafsu
makan
kita.
Teori
produksi
panas
yang
dikemukakan
olehBrobeck menyatakan bahwa manusia lapar saat suhu badannya turun, dan ketika naik lagi,
rasa lapar berkurang. Inilah salah satu yang bisa menerangkan mengapa kita cenderung lebih
banyak makan di waktu musim hujan/dingin.
5. Neurotransmitter
Neurotransmitter ada banyak macam, dan mereka berpengaruh terhadap nafsu makan. Misalnya
saja, adanya norepinephrine dan neuropeptida Y akan membuat kita mengkonsumsi karbohidrat.
Apabila adanya dopamine dan serotonine, maka kita tidak mengkonsumsi karbohidrat.
6. Kontraksi di Duodenum dan Lambung
Kontraksi yaitu kontraksi yang terjadi bila lambung telah kosong selama beberapa jam atau
lebih. Kontraksi ini merupakan kontraksi peristaltik yang ritmis di dalam korpus lambung.
Ketika kontraksi sangat kuat, kontraksi ini bersatu menimbulkan kontraksi tetanik yang kontinius
selama 2-3 menit. Kontraksi juga dapat sangat ditingkatkan oleh kadar gula darah yang rendah.
Bila kontraksi lapar terjadi tubuh akan mengalami sensasi nyeri di bagian bawah lambung yang
disebut hunger pangs (rasa nyeri mendadak waktu lapar. Hunger pans biasanya tidak terjadi
sampai 12 hingga 24 jam sesudah makan yang terakhir. Pada kelaparan, hunger pangs mencapai
intesitas terbesar dalam waktu 3-4 hari dan kemudian melemah secara bertahap pada hari-hari
berikutnya.
7. Psikososial
Rasa lapar tidak dapat sepenuhnya hanya dijelaskan melalui komponen biologis. Sebagai
manusia, kita tidak dapat mengesampingkan bagian prikologis kita, komponen belajar dan
kognitif (pengetahuan) dari lapar. Tak seperti makhluk lainnya, manusia menggunakan jam
dalam rutinitas kesehariannya, termasuk saat tidur dan makan. Penanda waktu ini juga memicu
rasa lapar.
Kebiasaan juga mempengaruhi rasa lapar. Seperti orang normal yang biasa makan 3 kali sehari
bila kehilangan 1 waktu makan, akan merasa lapar pada waktunya makan walaupun sudah cukup
cadangan zat gizi dalam jaringan-jaringannya.
6
Saat berenang, tubuh akan menggunakan energy sebesar 500 kalori per jamnya. Semakin lama
berenang makan jumlah energy yang terpakai pun semakin besar. Hal ini akan menurunkan kadar
gula didalam tubuh. Penurunan kadar gula dalam darah akan menimbulkan rasa lapar, yang
menimbulkan suatu perilaku yang disebut teori glukostatik pengaturan rasa lapar dan perilaku
makan, teori lipostatik dan teori aminostatik.
kenyang ketika makan, kadang pula balon dipasang di dalam lambung untuk mengurangi tempat
yang bisa terisi makanan namun tetap menimbulkan rasa kenyang. Kedua metode makanis
tersebut ternyata terbukti bisa menurunkan berat badan dan memperbaiki kondisi metabolisme
pasien kegemukan. Pasien menjadi cepat merasa kenyang dan menyebabkan jumlah energi yang
dikonsumsi jauh berkurang.
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses
kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon
desenden dengan menggunakan kanul rekti.
Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
a)
Konstipasi,
merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai dengan
pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan
nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga
banyak air diserap.
b)
Impaction,
merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di
rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c)
Diare,
merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati
usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien
tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d)
Inkontinensia fecal,
yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan
jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
9
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu
secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan
dasar pasien tergantung pada perawat.
e)
Flatulens,
yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended, merasa
penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Halhal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri
yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
f)
Hemoroid,
yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini
terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi
infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB
dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami
konstipasi.
Patofisiologi
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang
menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal
diteruskan ke spinal cord (sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid
10
dan rektum. Sinyal sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan
spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu
duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan
meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul
yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan
kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara
sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses.
Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lapar dapat terjadi karena adanya stimulasi dari suatu faktor lapar, yang akan mengirimkan
impuls tersebut ke pusat lapar di otak, yakni hipotalamus bagian lateral, tepatnya di nucleus bed
pada otak tengah yang berikatan serat pallidohypothalamus. Otak inilah yang akan menimbulkan
rasa lapar pada manusia.
Rasa kenyang disebabkan setidaknya oleh interaksi antara efek mekanistis makanan dalam
lambung (berupa distensi atau penggembungan lambung oleh makanan) dengan efek kimia dari
makanan berupa pelepasan hormon-hormon tertentu seperti Kolesistokinin dari usus halus.
Defekasi adalah proses pengosongan usus yang sering disebut buang air besar. Terdapat dua
pusat yang momguasai refieks untuk defekasi, yang terletak di medula dan sumsum tulang
belakang.
12
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Penerbit Kedokteran EGC:
Jakarta.
Harnawatia.
pada
2010. Konsep
Dasar
Pemenuhan
Kebutuhan
Eliminasi Fekal.
Terdapat
: http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-pemenuhan-kebutuhan-
eliminasi-fecal/
13