Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Umum
Menurut Shirley L. Hendarsin, 2000 perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan route
dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan
kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survey lapangan dan telah dianalisis
serta mengacu pada ketentuan yang berlaku. Elemen dalam perencanaan geometrik jalan meliputi:
Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal dititik beratkan pada bagian tikungan jalan yang memenuhi persyaratan teknik.
Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli dan juga erat
hubungannya dengan pembiayaan dan jumlah kecelakaan lalu lintas.
Potongan melintang jalan.
Penampang melintang jalan menggambarkan bagian-bagian dari jalan seperti lebar dan jumlah lajur,
ada atau tidaknya median, drainase permukaan, kelandaian lereng tebing galian dan timbunan,
serta bangunan pelengkap lainnya.

Tujuan perencanaan geometrik jalan adalah untuk menghasilkan kondisi geometrik jalan
yang mampu memberikan pelayanan lalu lintas secara optimum. Disamping itu fungsi
dari perencanaan ini adalah berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan dalam berlalu lintas
bagi pemakai jalan.
2.2

Standar Perencanaan
Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan dan metode
perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan. Standar perencanaan
geometrik untuk ruas jalan di Indonesia biasanya menggunakan peraturan resmi yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan geometrik jalan
raya. Peraturan yang dipakai dalam studi perencaan jalan ini adalah Spesifikasi Standard untuk
Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Desember 1990 yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.

2.3

Klas-Klas Standar Perencanaan Geometrik

2.3.1

Klasifikasi Fungsi Jalan Raya


Menurut Peraturan No. 13/1980 tentang Jalan, system jaringan jalan primer didefinisikan
sebagai berikut:

Jaringan jalan primer merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan merupakan system jalan
untuk membantu pembangunan semua daerah dengan menghubungkan pusat-pusat untuk
pelayanan masyarakat yang merupakan atau akan menjadi kota-kota.

Kemudian peraturan itu mengelompokkan jalan raya menjadi tiga kategori berdasarkan
fungsinya sebagai berikut:

alan Arteri:

melayani angkutan primer yang memerlukan rute jarak jauh, kecepatan rata-rata yang tinggi dan
sejumlah jalan masuk yang terbatas yang dipilih secara efisien

alan Kolektor: melayani penampungan dan pendistribusian transportasi yang memerlukan rute jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang dan mempunyai jalan masuk yang jumlahnya terbatas

alan Lokal:

2.3.2

melayani transportasi lokal yang memerlukan rute jarak pendek, kecepatan rata-rata yang rendah
dan mempunyai jalan masuk dalam jumlah yang tak terbatas
Klasifikasi Kondisi Medan

Untuk membatasi biaya pembangunan jalan maka standar harus disesuaikan dengan
keadaan topografi. Medan dibagi atas 3 jenis yang dibedakan oleh besarnya kemiringan medan
dalam arah yang kira-kira tegak lurus as jalan raya. Pengelompokan medan dan kemiringan
medan yang bersangkutan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kondisi medan
Jenis Medan
Datar (D)
Perbukitan (PB)

Rata-rata Kemiringan Melintang (%)


0 9,9
10 24,9

Pegunungan (PG)

>25

Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Kondisi medan ruas jalan yang diproyeksikan diperkirakan untuk keseluruhan panjang jalan.
Perubahan medan untuk bagian kecil ruas tersebut dapat diabaikan.

Gambar 2.1 Kemiringan melintang

2.3.3

Klasifikasi Jalan Raya dan Penggunaan Kelas Standar

Kelas-kelas standar juga harus mengikuti fungsi jalan. Standar perencanaan geometrik
harus memenuhi persyaratan fungsional tersebut. Jadi standar kelas yang lebih tinggi
diperuntukkan bagi jalan dengan fungsi yang lebih tinggi. Peraturan pemerintah untuk jalan No.
26/ 1985, menyinggung tentang kecepatan rencana minimum dan lebar badan jalan minimum
menurut fungsi jalan: kecepatan rencana 60 km/jam dan lebar badan jalan 8 m untuk jalan arteri,
40 km/jam dan 7 m untuk jalan kolektor, dan 20 km/ jam dan 6 m untuk jalan arteri. Persyaratan
diatas akan menjadi dasar untuk melengkapi standar perencanaan geometrik.
Tabel 2.2 Pengelompokan jalan raya dan pengetrapan kelas standar untuk kecepatan rencana minimum
60 km/jam
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Tabel 2.3 Pengelompokan jalan raya dan pengetrapan kelas standar untuk kecepatan rencana minimum
40 km/jam
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Tabel 2.4 Pengelompokan jalan raya dan pengetrapan kelas standar untuk kecepatan rencana minimum
20 km/jam
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Catatan:

2.4

VLR

= Volume Lalu-lintas Rencana (smp/hari)

D
G

= Datar
= Pegunungan

= Perbukitan

Kendaraan Rencana

Karakteristik fisik kendaraan dan proporsi kendaraan dari ukuran yang beragam yang
menggunakan jalan raya adalah faktor-faktor yang nyata pada perencanaan geometrik, yang
mempengaruhi komponen-komponen seperti penampang, pelebaran pada tikungan, jari-jari
lengkung persimpangan, kelandaian, dan jarak pandangan. Dalam spesifikasi ini, jenis-jenis
kendaraan rencana berikut mewakili masing-masing golongan kendaraan: mobil penumpang
digolongkan sebagai kendaraan berukuran kecil, truk dengan 3 sumbu dan bis digolongkan
sebagai kendaraan komersil secara umum, dan truk semi trailer digolongkan ukuran sebesar
kendaraan komersil. Untuk kepentingan perencanaan geometrik, masing-masing jenis kendaraan
mempunyai dimensi fisik karakteristik yang lebih besar daripada kebanyakan semua kendaraan
Gambar 2.2 Mobil ukuran kecil (mobil penumpang)
Gambar 2.3 Kendaraan komersil pada umumnya (truk/bis 3 sumbu)
Gambar 2.4 Kendaraan komersil ukuran besar (semitrailer)
2.5

Bagian Bagian Jalan

Tinggi dan dalamnya daerah manfaan jalan diberikan pada gambar di bawah. Areal itu, 5 m
atau lebih, lebih tinggi dari permukaan atas perkerasan, dan 1,5 m atau lebih, lebih dalam dari
permukaan bawah perkerasan. Sisi atas maupun bawah areal tersebut keduanya harus sejajar
dengan permukaan perkerasan.
Nilai minimum dari jumlah lebar daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan terhitung dari
tengah-tengah jalan sampai batas harus 20 m untuk jalan arteri, 15 m untuk jalan kolektor dan 10 m
untuk jalan lokal.

Gambar 2.5 Daerah manfaat jalan (Damaja)

Gambar 2.6 Daerah milik jalan dan daerah pengawasan jalan (Damija dan Dawasja)
2.6

Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana adalah kecepatan untuk menentukan elemen-elemen geometrik jalan


raya. Jari-jari lengkungan, superelevasi dan jarak pandangan langsung bersangkutan dengannya.
Penampang seperti misalnya lebar jalan kendaraan atau jumlah jalur jelas mempengaruhi
kecepatan. Oleh karena itu penampang dan kecepatan rencana harus direncanakan secara
bersamaan.
Dipandang dari segi mengemudi, kecepatan rencana dinyatakan sebagai kecepatan yang
memungkinkan seorang pengemudi berketrampilan sedang dapat mengemudi dengan aman dan
nyaman dalam kondisi cuaca cerah, lalu lintas lenggang dan tanpa pengaruh lainnya yang serius.
Dengan perkataan lain perencanaan geometrik standar mempunyai batas keamanan. Oleh karena
itu kecepatan rencana dapat dilampaui pada saat mengemudi jika alinyemen sebagai tambahan
kondisi tersebut diatas baik keadaannya.
Tabel 2.5 Kecepatan Rencana
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Dipandang dari segi kondisi lingkungan pada umumnya, peran jalan raya dan karakteristik fisik
kendaraan yang menggunakan jalan raya, kecepatan rencana maksimum sebesar 80 km/jam adalah
layak bagi jalan raya tanpa pengawasan jalan masuk. Kecepatan rencana minimum sebesar 30
km/jam umumnya disyaratkan meskipun volume lalu lintas rencana rendah. Jadi kecepatan rencana
sebesar 80 km/jam sampai 30 km/jam diperuntukkan bagi jalan kelas 1 sampai kelas 5. Untuk kelas
5* dengan medan yang curam dan lalulintas yang cukup rendah harus diberikan kecepatan rencana
2.7
2.7.1

yang lebih kecil dari 30 km/jam


Penampang Melintang
Lebar Lajur

Tak ada keistimewaan jalan raya yang mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
keamanan & kenyamanan mengemudi selain lebar dan kondisi permukaan. Lebar lajur terdiri
atas lebar kendaraan dan ruang bebas menyiap yang berubah menurut kecepatan kendaraan. Pada

jalan raya dua lajur dengan dua arah, disyaratkan lebar lajur 3,5 m untuk memungkinkan ruang
bebas yang diizinkan diantara truk atau kendaraan komersil ainnya. Lebar sebesar 2,5 m
memenuhi kebutuhan minimum bagi 2 truk untuk saling melewati pada kecepatan yang paling
rendah. Jadi lebar jalur 3,5 m diperuntukkan untuk kelas 1 dan diturunkan, kelas demi kelas,
sampai 2,75 m untuk kelas 4 seperti di tunjukkan pada tabel di bawah ini.
Kelas 5 dan 5* yang merupakan jalan raya satu lajur dengan dua arah mempunyai jalur
lalulintas selebar 4,5 m yang memungkinkan mobil penumpang berpapasan pada jurusan yang
berlawanan. Pada kelas 5 dan 5* bahu jalan sewaktu-waktu dapat menampung kendaraan
berukuran besar yang lewat .
Tabel 2.6 Lebar Jalur
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

2.7.2

Jumlah Lajur

Jumlah jalur didapat dari perbandingan volume lalulintas standar (VLLS) dan
volume. lalulintas rencana (VLLR) pada jalan raya yang diproyeksikan. Proses untuk
mendapatkan VLS adalah sebagai berikut: Dalam hal VLR melebihi VLS pada perencanaan
awal, jalan raya harus ditingkatkan kapasitasnya dengan melebarkan atau menambah jumlah
jalur. Pokok ketentuan ini adalah mencari batas-batas VLR untuk 2 jalur, 4 jalur dan 6 jalur bagi
jalan dengan penampang standar. Jalan lokal dihilangkan dalam ketentuan ini karena kebanyakan
diantaranya mempunyai lalulintas rendah sehingga tidak membutuhkan jalur ganda.
Pertama-tama, kapasitas dasar jalan (K), ( SMP/jam) disesuaikan dengan kondisi jalan
raya, untuk dikonversikan ketingkat arus pelayanan (TAP) (SMP/jam). Selanjutnya TAP yang
dibagi oleh faktor K dikonversikan ke volume harian. Faktor K menunjukkan perbandingan lalu
lintas per-jam pada tingkat tertentu dalam tahun tersebut dan LHR tahunan. Disini digunakan
lalulintas tertinggi pada jam ke-30, ke-100 dan ke-200 tertinggi untuk tahun tersebut sebagai
persentase LHR tahunan. Jadi, bersamaan dengan konversi TAP ke SVL, tingkat volume
lalulintas per-jam rencana untuk tahun itu ditentukan. Rumus berikut menunjukkan hubungan
tersebut diatas:
TAP = KJ (faktor penyesuaian untuk kondisi jalan)
SVL = TAP (smp/jam) / faktor-K
KJ adalah arus maksimum yang mungkin pada kondisi daerah manfaat jalan yang ideal dan
mencakup:
a. Lebar jalur 3,5 m
b. Lebar bahu jalan 1,75 m

c.

Tak ada gangguan pada sisi jalan oleh pejalan kaki, sepeda atau kendaraan yang sedang parkir
diatas bahu jalan atau kendaraan yang muncul secara mendadak menyeberang jalan tersebut
Tabel 2.7 Kapasitas jalan (KJ)
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Tabel 2.8 Standar volume lalulintas (SVL) untuk jalan 2 arah 2 lajur
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Catatan:

A= Jalan Arteri, C= Jalan Kolektor


F= Medan Datar,

R= Medan Perbukitan

M= Medan Pegunungan

Tabel 2.9 Volume lalulintas standar (VLS) untuk jalan 4 jalur


Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Tabel 2.10 Jumlah jalur yang ditentukan menurut perbandingan VLH dan SVL
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Catatan:

A= Jalan Arteri, C= Jalan Kolektor


D= Medan Datar,

2.7.3

B= Medan Perbukitan

G= Medan Pegunungan

Bahu Jalan
Fungsi utama bahu jalan adalah untuk melindungi bagian utama jalan, berfungsi sebagai
tempat parker, menyediakan ruang bebas samping bagi lalulintas, meningkatkan jarak pandangan
pada tikungan dan berfungsi sebagai trotoar dalam hal belum tersedianya trotoar.
Tabel 2.11 Lebar bahu jalan (m)
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

2.8

Alinyemen Horizontal
Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, alinyemen horizontal
adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinyemen horizontal sering disebut dengan
situasi jalan atau trase jalan. Alinyemen horizontal terdiri atas garis lurus dan garis lengkung yang
berupa bagian dari lingkaran dan lengkung peralihan.

2.8.1

Konsep Dasar Perencanaan Tikungan

Tikungan jalan terdiri atas bagian dari lingkaran dan lengkung peralihan. Penentuan ukuran
bagian-bagian tikungan didasarkan pada keseimbangan gaya yang bekerja pada kendaraan yang
melintasi tikungan tersebut. Bila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap sebesar V

pada bidang datar atau bidang miring dengan lintasan melengkung, maka kendaraan tersebut
akan mengalami gaya sentrifugal dan gaya sentripetal. Gaya sentrifugal mendorong kendaraan
secara radial ke arah luar lengkung. Gaya ini berarah tegak lurus terhadap arah laju kendaraan
yang mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi pengemudi. Gaya sentrifugal F dapat ditentukan
dengan persamaan 2.1.
.................................................................................... 2.1
dimana,

m = Massa (kg)
a = Percepatan (m/det2)

................................................................................... 2.2
dimana,

G = Berat kendaraan (kg)


g = Gaya gravitasi (m/det2)

Jika a didefinisikan sebagai percepatan sentrifugal, maka a dapat dinyatakan dalam persamaan
2.3.
................................................................................... 2.3
dimana,
v = Kecepatan kendaraan (km/jam)
R = Jari-jari lengkung lintasan (m)
Dengan demikian gaya sentrifugal dapat dinyatakan sebagai perkalian antara massa dengan
percepatan sentrifugal seperti pada persamaan 2.4.
...................................................................... 2.4
Untuk mempertahankan agar kendaraan yang melaju pada tikungan tetap berada pada
lintasannya, maka diperlukan gaya yang dapat mengimbangi gaya sentrifugal tersebut. Gaya-gaya
yang mengimbangi gaya sentrifugal tersebut adalah:

a. gaya gesek melintang antara ban dengan pemukaan jalan.


b. kornponen gaya akibat berat kendaraan yang terjadi pada bidang miring di tikungan.
Fenomena keseimbangan gaya tersebut dapat diperlihatkan pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Keseimbangan gaya pada tikungan

2.8.2

Penentuan Titik Koordinat


Berdasarkan titik koordinat dan elevasi maka dapat dihitung jarak. Menurut Saodang
(2004),perhitungan jarak dari titik PI ke titik PI lainnya dapat menggunakan persamaan berikut ini:

2.5

dimana,

2.8.3

dA-PI
XPI,YPI
XA,YA

= Jarak antara titik A ke PI (m)


= Koordinat dari titik PI (m)
= Koordinat dari titik A (m)

Penentuan Sudut Putar


Menurut Saodang (2004), bahwa sudut putar pada tikungan lengkung FC, S-C-S dan S-S
dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini:

dimana,

PI
XPI,YPI
XA,YA
XB,YB

= Sudut Putar ( o )
= Koordinat dari titik PI (m)
= Koordinat dari titik A (m)
= Koordinat dari titik B (m)

Dari persamaan di atas dapat diketahui dA-PI antara titik A dan titik PI, dari sudut jurusan 1
garis menghubungkan titik A dan titik PI juga titik B.

2.8.4

Jari-Jari Minimum

Jari-jari lengkung minimum untuk kecepatan rencana yang berlainan, seperti diperlihatkan
pada Tabel di bawah ini, didasarkan pada superelevasi maksimum dan gesekan sisi dengan
rumus:

dimana,

R = Jari-jari minimum (m)


V = Kecepatan (km/jam) = kecepatan rencana
f = koefisien
gesekan sisi (koefisien gesekan diantara ban
dan permukaan jalan melawan gesekan)
i = Superelevasi

Hasil penelaahan luar negeri menunjukkan bahwa nilai maksimum faktor gesekan sisi "f"
adalah 0,4 sampai 0,8 untuk perkerasan aspal. Secara teoritis, kecepatan laju di tikungan dapat
ditingkatkan sampai "f" mencapai batas maksimumnya. Tetapi kecepatan laju yang tinggi di
tikungan menimbulkan gaya sentrifugal yang besar pada pengemudi. Merupakan kecenderungan
yang umum bagi pengemudi untuk mengurangi gaya sentrifugal yang bekerja pada mereka dan

untuk mempertahankan kenyamanan dan keamanan dalam mengemudi. Jari-jari minimium untuk
kecepatan rencana yang bersangkutan yang ditunjukkan pada
Tabel di bawah ditentukan
oleh nilai "f" yang direkomendasikan, yang berkisar antara 0,14 sampai 0,17 demi kenyamanan
dalam mengemudi. Nilai superelevasi
yang diperkirakan untuk jari-jari minimum adalah
10% untuk kecepatan rencana 40 sampai 80 km/jam, dan 8% untuk kecepatan rencana 30 sampai
20 km/jam.

Tabel 2.12 Jari-jari minimum


Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

2.8.5

Panjang Jari-Jari Minimum

Untuk menjamin kelancaran mengemudi, tikungan harus cukup panjang sehingga


diperlukan waktu 6 detik atau lebih untuk melintasinya. Panjang jari-jari minimum seperti yang
diperlihatkan pada Tabel di bawah didasarkan atas rumus berikut:
...................................................................................................... 2.8
dimana,
L = panjang jari-jari (m)
t = waktu tempuh (detik) = 6
v = kecepatan (m/detik) = kecepatan rencana
Tabel 2.13 Panjang jari-jari minimum
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

2.8.6

Jarak Pandangan Henti


Jarak pandangan henti adalah jumlah dua jarak, jarak yang dilintasi kendaraan sejak saat
mengemudi melihat suatu objek yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat rem diinjak dan
jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan kendaraan sejak saat penggunaan rem dimulai.
Untuk jalan raya kelas 5 dengan lajur tunggal, jarak pandangan henti harus dua kali lipat
kecuali diambil beberapa tindakan penjagaan seperti pemasangan cermin pada tikungan.

dimana,

D = Jarak pandangan henti minimum (m)


V = Kecepatan (km/jam) = kecepatan rencana

t
g
f
e

= Waktu tanggap (detik) = 2,5


= Kecepatan gravitasi = 9,8 m/d2
= Koefisien gesekan membujur = 0,3 sampai 0,4
= Ruas bebas samping

Tabel 2.14 Jarak pandangan henti minimum


Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Gambar 2.8 Jarak pandangan henti


2.8.7

Jarak Pandangan Menyiap

Disini ditentukan 2 macam jarak pandangan menyiap yaitu jarak pandangan menyiap total
dan jarak pandangan menyiap minimum. Jarak pandangan menyiap total memungkinkan
gerakan menyiap mulai saat bergerak ke arah jalur yang berlawanan. Dilain pihak, jarak
pandangan menyiap minimum yang diperlukan
memungkinkan kendaraan memulainya
dari titik. tempat kendaraan yang menyiap tersebut menyusul bagian belakang kendaraan yang
disiap. Dalam hal yang terakhir, kendaraan yang menyiap kembali ke jalur semula jika
menjumpai kendaraan yang sedang mendekat. Meskipun sudah jelas bahwa jarak pandangan
yang terdahulu lebih dikehendaki, yang terakhir dapat diterapkan jika biaya konstruksi jalan raya
tersebut terbatas. Panjang jarak pandangan menyiap diperlihatkan pada tabel di bawah.
Frekuensi dan panjang bagian penyiapan untuk jalan raya terutama tergantung
kepada
topografi, kecepatan rencana jalan raya dan biaya. Meskipun sulit untuk
langsung
menunjukkan frekuensi yang diberikan bagi jalan raya 2 jalur, sekurang-kurangnya 10% panjang
seluruh jalan raya yang diproyeksikan tersebut harus mempunyai jarak pandangan menyiap.
Tabel 2.15 Jarak pandangan menyiap
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Gambar 2.9 Jarak pandangan menyiap


2.8.8

Kemiringan Melintang

Untuk drainase permukaan, jalan dengan alinyemen lurus membutuhkan kemiringan


melintang yang normal 2% untuk aspal beton atau perkerasan beton dan 3,0 - 5,0% untuk
perkerasan macadam atau jenis perkerasan lainnya dan jalan batu kerikil.
2.8.9

Pencapaian Kemiringan
Pencapaian kemiringan harus dipasang didalam lengkung peralihan. Bilamana tidak dipasang
lengkung peralihan, pencapaian harus dipasang sebelum dan sesudah lengkung tersebut.

Gambar 2.10 Pencapaian kemiringan

Tabel 2.18 Kemiringan maksimum untuk pencapaian kemiringan


Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

2.8.10 Perancangan Tikungan

Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, dalam perancangan
tikungan dikenal 2 bentuk lengkung dasar yang sering digunakan yaitu: lengkung lingkaran
(circle) dan lengkung spiral. Lengkung spiral sering digunakan sebagai lengkung peralihan.
Penggunaan kedua lengkung dasar tersebut disesuikan dengan kebutuhun dan persyaratan teknis.
Untuk itu dikenal beberapa bentuk tikungan yang digunakan dalam perancangan yaitu: lingkaran
penuh (full circle), spiral-spiral (S-S) dan spiral lingkaran spiral (S-C-S).
a. Lingkaran Penuh (Full Circle)
Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari tikungan besar dan
sudut tangen kecil. Pada tikungan yang tajam, dimana jari-jari tikungan kecil dan superelevasi
yang diperlukan besar, tikungan berbentuk lingkaran akan menyebabkan perubahan kemiringan
melintang yang besar, sehingga akan menimbulkan kesan patah pada tepi perkerasan sebelah
luar.
Gambar 2.11 Tikungan berbentuk lingkaran
Gambar 2.11 menunjukkan tikungan berbentuk lingkaran penuh. Bagian lurus dari jalan (di sebelah
kiri TC dan di sebelah kanan CT) dinamakan bagian tangen. Titik peralihan dari bagian lurus ke
bagian lengkung (lingkaran) dinamakan titik TC, sedangkan titik peralihan dari bagian lengkung ke
bagian lurus dinamakan titik TC. Titik potong dari perpanjangan kedua bagian jalan yang lurus
dinamakan PI, sedangkan sudut yang terbentuk antara keduanya dinamakan sudut tangen (= B).
Jarak lurus antara titik TC (atau CT) terhadap titik PI disebut Tc.

................................................................... 2.10
................................................................... 2.11
............................................................... 2.12
Karena tikungan hanya berbentuk lingkalan saja, maka pencapaian superelevasi dilakukan
sebagian pada bagian jalan yang lurus dan sebagian lagi dilakukan pada bagian lingkaran
(lengkung). Karena sesungguhnya bagian tikungan peralihan itu sendiri tidak ada, maka panjang
daerah pencapaian superelevasi disebut sebagai panjang peralihan fiktif (Ls').
Menurut Bina Marga, panjang peralihan fiktif ini ditempatkan pada bagian jalan yang lurus
sebesar 3/4 Ls' (yaitu disebelah kiri TC atau sebelah kanan CT) dan pada bagian lingkaran
(lengkungan) sebesar 1/4 Ls'.

b. Lengkung Spiral Spiral (S-S)

Sebaiknya lengkung peralihan dipasang pada bagian awal, di ujung dan dititik balik pada
lengkungan untuk menjamin perubahan yang tidak mendadak jari-jari lengkung, superelevasi dan
pelebaran.
Lengkung
peralihan
juga
membantu penampilan
alinyemen.
Lengkung clothoide umumnya dipakai untuk lengkung peralihan. Guna menjamin kelancaran
mengemudi, panjang minimum lengkung peralihan yang ditunjukkan pada tabel 2.19 adalah
setara dengan waktu tempuh 3 detik. Panjangnya dihitung lewat rumus di bawah ini:

............................................................ 2.13
Tabel 2.19 Panjang minimum lengkung peralihan
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Tikungan dengan jari-jari besar (seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.20) tidak memerlukan
lengkung peralihan. Jika lengkung peralihan dipasang, alinyemen horisontal bergeser dari garis
singgung kesuatu lingkungan. Besarnya nilai pergeseran ini tergantung dari panjang lengkung
peralihan dan jari-jari lengkung. Jika jari jari lengkung sedemikian besarnya sehingga pergeseran
kecil, maka pergeseran dapat diadakan di dalam lebar jalur, sehingga lengkung peralihan tidak
dibutuhkan. Besarnya pergeseran ini dapat dihitung sebagai berikut:

............................................................... 2.14
dimana, S = Nilai pergeseran (m)
L = Panjang lengkung peralihan (m)
R = jari-jari lengkung (m)
Sedangkan besarnya jari-jari lengkungan minimum yang tidak memerlukan lengkung peralihan
(dengan pergeseran sebesar 0,2 m) ditunjukkan pada Tabel 2.20.
Tabel 2.20 Jari-jari minimum yang tidak memerlukan lengkung
peralihan
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

c. Spiral Lingkaan Spiral (S-C-S)


Gambar 2.12 Lengkung S-C-S
Lengkung TS-SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid) yang menghubungkan
bagian lurus dengan radius tak berhingga di awal spiral (kiri TS) dan bagian berbentuk lingkaran
dengan radius = Rc diakhir spiral (kanan SC). Titik TS adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian
berbentuk spiral dan titik SC adalah titik peralihan bagian spiral ke bagian lingkaran.

Guna membuat ruangan untuk spiral sehingga lengkung lingkaran dapat ditempatkan di ujung
lengkung spiral, maka lengkung lingkaran tersebut digeser ke dalam pada posisi FF', dimana HF =
H'F' = p terletak sejauh k dari awal lengkung peralihan sembarang titik P pada spiral yaitu:

Jika panjang lengkung peralihan dari TS ke SC adalah Ls dan R pada SC adalah Rc, maka:

Besarnya sudut spiral pada titik SC adalah:

Dan nilai p menjadi:

Untuk Ls = 1 m, p = p* dan k = k*
Dan untuk Ls = Ls, p = p*.Ls dan k = k*.Ls
Sudut pusat busur lingkaran = s, dan sudut spiral s. Jika besarnya sudut perpotongan kedua
tangen adalah , maka:
.............................................................................. 2.19
.................................................. 2.20
...................................................... 2.21
...................................................................... 2.22
Lc untuk lengkung S-C-S ini sebaiknya 20m, maka radius yang dipergunakan haruslah
memenuhi syarat tersebut. Hal ini sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut . Jadi terdapat radius
minimum yang dapat dipergunakan untuk perencanaan lengkung berbentuk spiral - lingkaran - spiral
sehubungan dengan besarnya sudut , kecepatan rencana dan batasan superelevasi maksimum
yang dipilih.

d. Tikungan Gabungan dan Tikungan Balik

Tikungan gabungan adalah gabungan tikungan dengan putaran yang sama dan jari-jari
yang berlainan yang bersambungan langsung. Tikungan balik adalah gabungan tikungan dengan
putaran yang berbeda dan bersambungan langsung.

Gambar 2.13 Tikungan gabungan

Gambar 2.14 Tikungan balik


Dalam hal perbedaan jari-jari pada lengkung yang berdampingan tidak melampaui 1 : 1,5
lengkung dapat dihubungkan langsung hingga membentuk lengkung gabungan seperti pada gambar
2.10. suatu garis lurus yang dipasang pada titik balik untuk pencapaian kemiringan dapat membantu
lengkung gabungan tersebut (gambar 2.14).

Gambar 2.15 Lengkung chothoide yang dipasang pada lengkung gabungan

Gambar 2.16 Lengkung clothoide yang dipasang pada lengkung balik

Gambar 2.17 Garis lurus yang dipasang pada lengkung balik


2.8.11 Superelevasi

Nilai superelevasi yang tinggi mengurangi gaya geser kesamping dan menjadikan
mengemudi pada tikungan lebih nyaman tetapi batas praktis berlaku untuk itu. Ketika bergerak
perlahan
mengitari suatu tikungan dengan superelevasi tinggi, maka bekerja gaya negatif ke
samping dan kendaraan dipertahankan pada lintasan yang tepat hanya jika pengemudi
mengemudikannya ke sebelah atas lereng atau berlawanan dengan arah lengkung mendatar. Nilai
pendekatan untuk tingkat superelevasi maksimum adalah 10%.
Jari-jari minimum yang tidak membutuhkan superelevasi ditunjukkan pada tabel 2.16. Jarijari ini juga berdasarkan pada rumus (i) dengan kemiringan melintang i = -0,02 dan faktor
gesekan kesamping f = 0,035. Untuk menjamin kenyamanan mengemudi walaupun pada sisi
luar tikungan dengan kemiringan melintang yang berlawanan maka memerlukan faktor f yang
kecil sebagaimana di atas.
Superelevasi diberikan berdasarkan kecepatan rencana dan jari-jari lengkungan, seperti
pada tabel 2.17.
Tabel 2.16 Jari-jari minimum untuk kemiringan melintang normal
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Untuk menjamin kenyamanan pengemudi walaupun pada sisi luar tikungan dengan
kemiringan melintang yang berlawanan, maka memerlukan faktor f yang kecil sebagaimana di atas.
Superelevasi diberikan berdasarkan kecepatan rencana dan jari-jari tikungan seperti pada Tabel
2.17.
Tabel 2.17 Superelevasi
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Gambar 2.18 Perspektif perubahan superelevasi


2.8.12 Pelebaran pada Tikungan
Jalan kendaraan pada tikungan perlu diperlebar untuk menyesuaikan dengan lintasan
lengkung yang ditempuh kendaraan. Nilai pelebaran yang ditunjukkan pada tabel 2.21 didasarkan
atas pengelompokan jalan raya. Disini kendaraan rencana adalah semitrailer untuk kelas 1 dan truk
unit tunggal untuk kelas 2, kelas 3 dan kelas 4.
Tabel 2.21 Pelebaran jari-jari
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

2.8.13 Ruang Bebas Samping

Pada tikungan yang mempunyai panjang jarak pandangan tertentu maka tikungan itu perlu
mempunyai lebar pandangan bebas (ruang bebas samping, lihat Gambar 2.7) yang sesuai. Jika
ruang bebas samping tidak tersedi dilokasi jalan, maka jalan perlu diperlebar. Grafik 2.1
memberikan ruang bebas untuk kasus dengan pandangan yang dimulai dan berakhir pada suatu
tikungan seperti pada Gambar 2.7. Untuk kasus dengan pandangan yang dimulai dari suatu
bagian jalan lurus ke suatu tikungan atau untuk kasus lainnya, ruang bebas samping diukur
langsung dari gambar rencana.
dimana,

2.9

D = Jarak pandangan (m)


R = Jari-jari tikungan pada sumbu lajur sebelah dalam (m)
t = Waktu tanggap (detik) = 2,5

Alinyemen Vertikal

Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, alinyemen vertikal
adalah perpotongan antara bidang bertikal dengan sumbu jalan. Untuk jalan dengan dua lajur,
alinyemen vertikal ini adalah perpotongan bidang vertikal melalui sumbu jalan, sedangkan untuk
jalan dengan jumlah lajur banyak, dengan median yang dimaksud dengan alinyemen bertikal
adalah perpotongan bidang vertikal melalui tepi dalam masing-masing perkerasan.
Didalam perancangan geometrik jalan harus diusahakan agar alinyemen vertikal mendekati
permukaan tanah asli yang secara teknis laik berfungsi sebagai tanah dasar, untuk dapat
mengurangi pekerjaan tanah. Agar tidak terjadi kesulitan didalam masalah pengaliran air
drainase permukaan jalan, sedapat mungkin diusahakan agar permukaan jalan berada diatas

permukaan tanah asli. Namun demikian, perlu juga diperhatikan aspek lain yang berkaitan
dengan alinyemen horizontal. Didalam perancangan alinyemen vertikal perlu juga diperhatikan
elevasi genangan air ditempat-tempat tertentu permukaan jalan tidak terendam air pada saat
terjadi genangan. Didaerah perbukitan, perancangan alinyemen jalan harus diusahakan agar
jumlah galian dan timbunan pada jarak pengangkutan yang berdekatan berimbang. Jadi dapat
disimpulkan bahwa didalam perancangan alinyemen vertikal, sekurang-kurangnya harus
memperhatikan keadaan tanah dasar, keadaan topografi medan, persyaratan jalan sesuai fungsi
serta klasifikasinya, permukaan genangan air, permukaan air tanah dan kelandaian jalan yang
masih memungkinkan.
2.9.1

Kelandaian

Menurut Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota 1990,
walaupun hampir semua mobil penumpang dapat mengatasi kelandaian 8% sampai 9% tanpa
kehilangan kecepatan yang berarti, pengaruh kelandaian pada kecepatan truk agak nyata. Untuk
menentukan kelandaian maksimum kemampuan. Menanjak sebuah
truk bermuatan
maupun biaya konstruksi harus diperhitungkan. Tabel 2.22 menunjukkan 2 kategori kelandaian
maksimum. Untuk kasus biasa, kelandaian diperbolehkan mengikuti nilai-nilai yang ditunjukkan
pada baris atas tabel tersebut. Bila anggaran tidak dapat menampung biaya untuk mendapatkan
kelandaian standar maksimum sepanjang suatu bagian jalan yang pendek, maka kelandaian pada
bagian itu dapat dinaikkan sampai nilai kelandaian maksimum mutlak.
Patokan untuk kelandaian standar maksimum yang diperlihatkan pada Tabel 2.22 ialah
bahwa sebuah truk bermuatan penuh dapat menanjak pada kelandaian tersebut untuk jarak yang
jauh dengan kecepatan 50 sampai 80 km/jam, lebih dari separuh kecepatan rencana dan tanpa
menggunakan gigi rendah dengan kecepatan rencana 20 sampai 40 km/jam.
Kelandaian maksimum mutlak ditetapkan 4% lebih tinggi daripada nilai maksimum
standar. Akibatnya, untuk kecepatan rencana 80 sampai 20 km/ jam diberikan gradient sebesar 8
sampai 13%. Dari sudut pandangan, tingkat pelayanan untuk masing-masing kecepatan rencana
maupun situasi perencanaan jalan raya dewasa ini, nilai maksimum mutlak cukup tepat. Jika
diambil nilai kelandaian yang 1% lebih rendah, biaya konstruksi jalan ragayang diproyeksikan
akan melampaui standar dewasa ini. Jika diambil kelandaian yang 1% lebih tinggi, kecepatan
akan jauh dibawah kecepatan rencana dan akibatnya manfaat yang diberikan jalan raya tersebut
akan jauh lebih rendah daripada yang dipersyaratkan.

Tabel 2.22 Kelandaian Maksimum


Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Harus ada suatu batas untuk panjang kelandaian yang melebihi maksimum standar, ditandai
bahwa kecepatan sebuah truk bermuatan penuh akan lebih rendah dari separuh kecepatan rencana
atau untuk jika gigi "rendah" terpaksa dipakai. Keadaan kritis demikian tidak boleh berlangsung
terlalu lama. Panjang kritis yang diperlihatkan pada Tabel 2.23 ditentukan untuk membatasi waktu
tempuh pada kelandaian-kelandaian yang melebihi maksimum standar hingga satu menit.

Tabel 2.23 Panjang kritis untuk kelandaian-kelandaian yang melebihi


maksimum standar
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Kelandaian minimum untuk drainase (kelandaian memanjang) sebaiknya lebih rendah demi
keselamatan dan kenyamanan mengemudi, keadaan datar yang cukup jauh tidak disukai ditinjau dari

2.9.2

segi drainase. Untuk drainase memanjang, kelandaian yang diperlukan ialah dari 0,3% sampai
0,5%.
Perancangan Lengkung Vertikal

Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, peralihan dari satu
kelandaian ke kelandaian yang lain di dalam alinyemen vertikal diperhalus dengan menggunakan
lengkung vertikal. Lengkung vertical tersebut dirancang untuk memenuhi persyaratan keamanan,
kenyamanan dan drainase. Didalam perancangan geometrik jalan berdasarkan bentuk
perpotongan antara dua kelandaian yang berbeda dikenal dua jenis lengkung vertikal, yaitu :
a. Lengkung vertikal cembung
b. Lengkung vertikal cekung
Lengkung vertikal cekung adalah lengkung yang terbentuk pada perpotongan antara kedua
kelandaian berada di bawah permukaan jalan. Lengkung vertical cembung adalah lengkung yang
terbentuk pada perpotongan antara kedua kelandaian yang berada di atas permukaan jalan (lihat
gambar 2.19)
Gambar 2.19 Lengkung vertikal cekung dan cembung
Terdapat beberapa jenis lengkung vertical yang digunakan didalam perancangan alinyemen
vertical, yaitu:

a.
b.
c.
d.

Lingkaran
Parabola sederhana
Parabola tingkat tiga
Spiral (chothoide)
Bentuk lengkung vertikal yang pada umumnya dipergunakan adalah lengkung parabola
sederhana sebagaimana seperti yang terlihat pada gambar 2.20.

Gambar 2.20 Lengkung vertikal parabola


Pada gambar 2.20 titik A adalah titik peralihan dari bagian lurus ke bagian lengkung vertikal
yang disebut titik awal lengkung vertikal (VPC). Titik B adalah titik peralihan dari bagian lengkung ke
bagian lurus yang disebut titik akhir lengkung (VPT). Titik perpotongan antara kedua kelandaian
disebut titik perpotongan vertikal (VPI).
Titik-titik di sepanjang lengkung vertikal terletak pada sistem sumbu koordinat X dan Y yang
berpusat pada titik awal lengkung. Persamaan lengkung vertikal diturunkan dengan asumsi bahwa
panjang lengkung vertikal sama dengan proyeksi lengkung tersebut pada bidang horisontal.
Disepanjang lengkung vertikal perubahan garis singgung adalah tetap (d 2y/dx2=r). Dengan

memperhatikan gambar 2.20 maka persamaan umum lengkung vertikal dapat diturunkan sebagai
berikut:

A
Ev

= g1 g2 (perbedaan aljabar landai)


= Pergeseran vertical dari titik PPV ke bagian lengkung

Rumus umum parabola dY2/dx2 = r (konstanta)


....................................................................... 2.24
........................................... 2.25
................................ 2.26
................................................................ 2.27
............................................................................... 2.28
Jika A dinyatakan dalam persen, untuk x = 1/2 L dan y = Ev diperoleh:
..................................................................................... 2.29
Persamaan tersebut diatas berlaku untuk lengkung vertikal cembung dan lengkung vertical
cekung. Jika Ev positif maka lengkung vertikal tersebut adalah cekung demikian juga sebaliknya.
Untuk menyerap guncangan dan untuk menjamin jarak pandang henti, maka lengkung vertikal
harus disediakan pada setiap lokasi dimana kelandaian berubah. Lengkung vertikal biasanya
diberikan sebagai bentuk parabola sederhana. Pada gambar 4.2.6 terlihat bahwa panjang lengkung
vertikal tersebut adalah panjang garis ACB. Namun lengkung vertikal tersebut secara praktis begitu
datar dan selisih panjang antara panjang garis ACB dengan jarak horisontal dari A ke B kecil rnaka
dapat diabaikan. Sehingga jarak mendatar dari A ke B juga menunjukkan panjang lengkung vertikal.

Gambar 2.21 Panjang lengkung vertikal

Panjangnya lengkung vertikal cembung dapat dihitung berdasarkan jarak pandang henti
dan penyerapan guncangan pada puncak lengkung, yaitu:
a. Berdasarkan jarak pandang henti
................................................................. 2.30
dimana,

Lvc
= Panjang minimum lengkung vertikal cembung (m)
D = Jarak pandang henti (m)
= Perbedaan aljabar untuk kelandaian
= i1 i2 (%)

b. Berdasarkan penyerapan guncangan


.................................................................. 2.31

dimana,

Lvs

= Panjang minimum lengkung vertikal cekung (m)

V = Kecepatan laju, kecepatan rencana (km/jam)


= Perbedaan aljabar untuk kelandaian
= i1 i2 (%)
Panjang minimum lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan ruang pandangan bebas
disebuah jembatan dan penyerapan guncangan pada dasar turunan. Untuk setiap kecepatan
rencana, panjang lengkung vertikal cekung berdasarkan penyerapan guncangan lebih besar
daripada berdasarkan pandangan bebas. Panjang minimum vertikal cekung juga dapat ditentukan
dari pengamatan secara visual.
Apabila perbedaan aljabar kelandaian kecil, maka panjang lengkungan vertikal yang dihitung
akan sedemikian pendek sehingga alinyemen vertikal akan tampak melengkung.
Untuk menghindari hal ini, maka batas bawah dari panjang lengkung vertikal ditentukan
berdasarkan kecepatan rencana. Tabel 2.24 menunjukkan batas-batas berdasarkan panjang untuk
bergerak selama 3 detik.
Tabel 2.24 Batas terendah panjang minimum lengkungan vertikal
Sumber:Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.

Dengan menggunakan kedua rumus diatas da Tabel 2.24 di atas, maka panjang minimum
lengkung vertikal dapat ditunjukkan seperti pada grafik 2.1 dan grafik 2.2 berikut ini.

Grafik 2.1 Panjang minimum lengkung vertikal cembung


Grafik 2. 2 Panjang minimum lengkung vertikal cekung

2.9.3

Jalur Pendakian

Jalur pendakian bertujuan untuk menampung trek yang bermuatan berat atau kendaraan
lain yang lebih lambat supaya kendaraan lain yang berada dibelakangnya dapat mendahului
kendaraan yang lebih lambat itu tanpa menggunakan lajur lawan. Jalur pendakian harus
disediakan pada ruas jalan raya yang mempunyai kelandaian tinggi dan menerus, pada saat yang
bersamaan mempunyai lalu lintas yang padat. Kriteria yang diusulkan untuk menyediakan jalur
pendakian adalah:
a. Jalan arteri atau jalan kolektor
b. Kelandaian rata-rata 5% atau lebih yang menerus lebih dan 1 km.
c. Volume lalu lintas rencana lebih dan 30.000 SMP per hari.
Kriteria ini harus diterapkan secara wajar atau lebih ketat tergantung pada keadaan. Lebar
lajur pendakian adalah sama dengan lajur utama dan panjang lajur pendakian harus 200 meter
atau lebih. Kedua ujung jalur harus berakhir seperti terlihat dalam Gambar 4.2.3. Jarak antara
tiap lajur pendakian diusulkan 1,5 km.

Gambar 2. 22 Pola standar lajur pendakian

2.10

Koordinasi Alinyemen dalam Perencanaan

Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, alinyemen
horisontal dan alinyemen vertikal merupakan unsur permanen didalarn perancangan geometrik
jalan. Di dalam perancangan jalan, kedua unsur tersehut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Rancangan alinyemen yang baik jika digabungkan dengan rancangan vertikal yang baik,
tidak selalu akan menghasilkan suatu alinyemen jalan yang baik. Oleh karena itu kedua unsur ini
harus dirancang secara selaras.
Ketidakselarasan antara rancangan alinyemen vertikal dan alinyemen horisontal ini akan
berakibat pada kenampakan fisik ruas jalan, yaitu jalan akan nampak terbelit dan akan
mcmpcrpcndek jarak pandangan. Hal ini akan menyulitkan pengemudi dan mengurangi tingkat
keselamatan.
Perlu diperhatikan alinyemen bahwa di dalam percncanaan jalan, keterpaduan kombinasi
alinyemen vertikal dan horisontal ini sangat penting, karena untuk memperbaiki geometrik jalan
yang sudah jadi akan sangat sulit dan memerlukan biaya yang besar.

Untuk dapat memperoleh kombinasi lengkung horisontal dan vertikal yang selaras di dalam
perancangan perlu diperhatikan beberapa petunjuk di bawah ini:
1. Jika di dalam perencanaan terdapat lengkung vertikal yang berada pada daerah lengkung
horisontal, maka alinycmen horisontal harus satu fase dengan alinyemen vertikal.
Gambar 2.23 Alinyemen horizontal dan vertikal satu fase
Jika alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal tidak satu fase, maka ruas jalan akan Nampak
terputus sehingga pengemudi akan mengalami kesulitan dalam memperkirakan bentuk jalan.
Gambar 2.24 Alinyemen horizontal dan vertikal tidak satu fase
2. Pada bagian bawah langsung vertikal cembung dan dibagian atas lengkung vertikal cekung perlu
dihindari adanya tikungan tajam.
3. Titik balik dari dua tikungan yang berurutan dan berbeda arah tidak boleh ditempatkan di bagian
atas lengkung vertikal cembung dan dibagian bawah lengkung vertikal cekung.
4. Didalam satu tikungan tidak diperbolehkan ada lebih dari satu lengkung vertikal.
Berikut ini adalah contoh kombinasi alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal.

1. Profil pada alinyemen horisontal lurus.


Pada alinyemen horisontal yang lurus harus dihindarkan adanya penurunan lokal. Hal ini
ditempuh untuk mengimbangi galian timbunan.
Gambar 2.25 Profil pada alinyemen horizontal yang lurus

2. Profil pada tikungan.


Pada daerah tikungan harus dihindarkan adanya penggunaan yang pendek.
Gambar 2.26 Profil pada tikungan
3. Pandangan jarak jauh menunjukkan punggungan diprofil landai.
Gambar 2.27 Pandangan jarak jauh yang menunjukkan punggumgan diprofil landai

Pandangan samping jarak jauh atas kelandaian yang panjang pada garis singgung akan
mengungkapkann setiap punggung di atasnya.
4. Bagian lurus antara dua tikungan yang terlalu pendek pada tanjakan.
Kombinasi ini kurang baik karena:
a. Bagian lurus antara dua tikungan terlalu pendek
b. Belokan terjadi di tanjakan
Gambar 2.28 Bagian lurus antara dua tikungan yang terlalu

pendek pada tanjakan.


5. Penampilan sudut tajam.
Kombinasi ini memperlihatkan penampilan yang buruk. Sudut horizontal tampak membentuk
sudut tajam.
Gambar 2.29 Penampilan sudut tajam
6. Kesan terputus.
Kesan terputus terjadi jika permukaan lengkung horisontal tersembunyi dari pandangan
pengemudi karena terhalang oleh suatu cembungan sementara kesinambungan lengkung dapat
terlihat menjauh melewati cembungan yang menutupi.
Gambar 2.30 Kesan terputus
7. Tikungan pada lengkung vertical cembung.
Kombinasi ini berada dalam satu fase dan memberikan suatu penampilan yang baik.
Gambar 2.31 Tikungan dapat lengkung vertikal cembung
8. Tikungan pada lengkung vertikal cembung.
Kombinasi ini berada dalam satu fase dan memberikan suatu penampilan yang baik.
Gambar 2. 32 Tikungan pada lengkung vertikal cekung
9. Lengkung datar yang sangat panjang.
Lengkung datar yang sangat panjang dengan sudut pusat yang kecil tidak dipengaruhi oleh
keadaan profil memanjang. Lengkung seperti ini menunjukkan penampilan yang baik.
Gambar 2.33 Lengkung datar yang tajam
10. Alinyemenn vertical dan horizontal satu fase.
Bagian puncak lengkung vertical bertemu dengan puncak lengkung horizontal.
Gambar 2.34 Alinyemen vertikal dan horizontal satu fase
11. Kombinasi alinyemen dengan loncatan fase tunggal.
Walaupun terjadi loncatan fase, kasus ini masih diperbolehkan karena puncak lengkung vertical
masih berimpit dengan puncak lengkung horizontal.
Gambar 2.35 Kombinasi alinyemen dengan loncatan fase tunggal
12. Kombinasi alinyemen dengan loncatan setengah fase.
Gambar 2.36 Kombinasi alinyemen dengan loncatan setengah fase
13. Lengkung horizontal tidak seimbang.

Lengkung horizontal tak seimbang terjadi jika pada bagian lurus suatu jalan sangat panjang
dengan lengkung yang pendek.
Gambar 2.37 Lengkung horizontal tak seimbang
14. Lengkung horizontal seimbang.
Lengkung horizontal seimbang terjadi jika terdapat keseimbangan antara bagian lurus dengan
bagian lengkung. Lengkung horizontal seimbang ini merupakan lengkung yang baik.
Gambar 2. 38 Lengkung horizontal seimbang
15. Kombinasi alinyemen yang baik.
Kombinasi alinyemen horizontal dan vertical dapat dicapai dengan menggunakan garis pedoman
untuk koordinasi.
Gambar 2.39 Kombinasi alinyemen horizontal dan alinyemen
vertikal yang baik
2.11

Penomoran Panjang Jalan (Stasioning)


Menurut buku Rekayasa Jalan Raya yang diterbitkan oleh Gunadarma, untuk menetukan
panjang suatu lokasi jalan atau jarak dari suatu tempat sampai ke tempat lain pada suatu lokasi
jalan perlu digunakan stationing. Yang dimaksud dengan stationing adalah penentuan jarak
langsung yang diukur dari titik awal, sedangkan stasiun (Sta) adalah jarak langsing yang diukur dari
titik awal (Sta. 0+000) sampai titik yang dicari stasiunnya. Untuk menentukan stasiun (Sta) pada
suatu titik diberikan contoh seperti pada gambar 2.40. Dari hasil pengukuran dan perhitungan maka
akan didapatkan titik-titik tertentu yaitu : A; TC; CT; TS1; SC1; CS1; SC1; dan B serta panjang d1;
Lc; d2; Lt1; dan d3 seperti pada gambar 2.40.

Gambar 2.40 Penentuan stasiun (Stasioning)

Misal titik awal suatu rencana jalan adalah titik A, maka:


Titik A = Sta. 0
+
000
Titik TC
Titik CT

= Sta. A
= Sta. TC

+
+

dl
Lc

Titik TS1
Titik St1

= Sta. CT
= Sta. TS1

+
+

d2
Lt1

Titik B = Sta. ST1

d3

Dimana:
A = Titik awal jalan
d1 = Panjang bagian lurus (tangen) darii A sampai TC TC = Titik awal
lengkung circle

Lc = Panjang lcngkung circle


CT = Titik akhir lengkung circle
d2 = Panjang bagian lurus antara CT sampai TSI
TS1 = Titik awal tikungan S-C-S
LT1 = Panjang total tikungan S-C-S
ST1 = Titik akhir tikungan S-C-S
d3 = Panjang bagian lurus (tangen) antara STI sampai BB
B = Titik akhir jalan
Titik-titik awal penting seperti tersebut diatas harus ditetapkan atau dihitung stasiunnya. Dalam
menghitung stasiun patok-patok pengukuran memanjang yang lain diluar patok-patok penting diatas
dilakukan dengan cara yang sama. Perlu diperhatikan dalam memasang patok-patok pengukuran
sebaiknya:

a. Untuk daerah dataraN, jarak antar patok + 100 m


b. Untuk daerah perbukitan, jarak antar patok + 50 m
c. Untuk daerah pegunungan, jarak antar patok + 25 m
d. Untuk bagian lengkung, jarak patok harus dibuat lebih pendek menurut keperluan ketelitian.
2.12

Persimpangan Sebidang

2.12.1 Lengkung Persimpangan

Tiga perencanaan minimum tepi dalarn perkerasan untuk belokan ke kiri 900 untuk
menampung kendaraan penumpang, truk tunggal, bis dan semi-trailer diperlihatkan dalam
Gambar 2.41 sampai 2.43.
Pada gambar 2.42 truk dan bis (atau semi- trailer, dapat membuat belokan ke kiri tanpa
melanggar jalur yang berdekatan. Jika pelanggaran atas jalur yang berdekatan diperkenankan,
jari-jari lengkung yang lebih kecil dapat juga menerima kendaraan yang berukuran besar.
Penetapan lengkungan yang akan dipakai diantara ketiga lengkung tersebut tergantung pada
volume dan karakteristik lalulintas dan pentingnya jalan raya.
Gambar 2.41 Rancangan minimum untuk kendaraan penumpang
Gambar 2.42 Rancangan minimum untuk truk unit tunggal dan bis
Gambar 2.43 Rancangan minimum untuk semi-trailer
2.13

Menghitung Volume Galian dan Timbunan


Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang harus
diperhitungkan sehingga efesien dan ekonomis. Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang
dengan metoda geometrik, maka masing-masing bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi
bentuk-bentuk sederhana. Dari perhitungan tersebut dapat diketahui luas timbunan dan luas galian.
Persamaan luas yang dipergunakan di bawah ini:
Luas trapesium:
. 2.32

Luas segitiga:
. 2.33
Luas segi empat:
2.34
Keterangan:
A = luas (m2)
a
b

= panjang alas atas (m)


= panjang alas bawah (m)

t
= tinggi (m)
Potongan melintang jalan dipotong jarak 25 m dan pada tikungan (FC) pada titik TC dan CT,
pada tikungan (SCS) pada titik TS, SC, CS, dan ST.
Cara menghitung volume galian maupun timbunan didasarkan dari gambar potongan
melintang. Dari gambar-gambar tersebut dapat dihitung luas galian dan timbunan profil, sedangkan
masing-masing jarak antara profil dapat dilihat dari potongan memanjang. Selanjutnya perhitungan
dibuat dalam daftar seperti contoh berikut:

Tabel 2.25 Perhitungan galian dan timbunan


Sumber: Buku Rekayasa Jalan Raya, penerbit: Gunadarma

2.14

Proses Perencanaan Geometrik dengan Autocad Civil 3D Land Dekstop Companion 2009
Autocad Civil 3D Land Dekstop Companion 2009 berbasis pada program AutoCad, namun
lebih diarahkan secara khusus dapat diaplikasikan dalam mengelola pemetaan dan dasar-dasar
perancangan geometrik jalan raya khususnya penggambaran peta kontur tanah. Program ini
mempunyai banyak kelebihan dalam perencanaan geometrik jalan antara lain bisa mengambar 3
dimensi, bisa secara cepat dalam pemilihan trase jalan yang efesien dan menghasilkan potonganpotongannya dan sebagainya.

a.
b.
c.
d.
e.

Disekitar kedua layar terdapat beberapa menu dalam bentuk tulisan maupun simbol untuk
mengoperasikanAutocad Civil 3D Land Dekstop Companion 2009, antara lain:
file kerja merupakan sebuah nama file yang sedang digunakan untuk bekerja
menu bar merupakan deretan menu yang telah disediakan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat
dibaca
toolbar merupakan deretan menu tetapi dalam bentuk simbol atau ikon
layer merupakan susunan lembar-lembar gambar
kursor merupakan simbol berwujud palang yang digerakkan mengikuti gerakan mouse.

2.14.1 Menu Awal Autocad Civil 3D Land Dekstop Companion 2009


Tampilan awal saat menjalankan software Autocad Civil 3D Land Dekstop Companion 2009 seperti
pada gambar.

Gambar 2.44 Tampilan awal saat menjalankan software

Langkah awal memulai desain adalah mengatur beberapa parameter yang


dibutuhkan dalam desain seperti: satuan (jarak, luasan, volume), skala (vertikal 1: 100, horizontal 1 :
1000), zone (datum, sistem koordinat), orientasi posisi (arah utara), dan text style.
Pilih File pilih New (Create New File), maka akan muncul form New Drawing Project Based seperti
gambar 2.45

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Ketik Drawing Name Kontur Jalan Hauling Koridor III ,


Pilih direktori file yang akan disimpan dengan Browse contoh C:\ sebagai project path
Pilih Create Project maka akan muncul form Project Details, seperti pada gambar 4.3
Untuk Prototype: Default (Meters),
Ketik Project Name Proyek Jalan,
Description: Merencanakan Trase Jalan,
Pilih aec_m.dwt pada kotak Select Drawing Template, Click OK
Gambar 2.45 New drawing project

Gambar 2.46 Kotak Dialog Project Details

Pilih skala 1:1000, maka secara otomatis computer sudah berskala 1:1000, sehingga 1 unit linier = 1
m sepeti pada gambar 2.47 kemudian Click Next.

Gambar 2.47 Penyimpanan Parameter

Pilih Linear Units Meters, Angle Units Degrees, dan Angle Display Style Nort Azimuth seperti
gambar 2.48. Click Next.

Gambar 2.48 Pengaturan Satuan (Unit)

Pilih skala horizontal 1:1000, vertikal 1:100 dan ukuran kertas A3 dengan ukuran 420 x 594 mm
seperti gambar 2.49. Click Next.

Gambar 2.49 Skala Gambar dan Ukuran Kertas


Bila gambar yang akan dibuat berkaitan dengan dengan sistem proyeksi tertentu (misalnya datum
sesuai zona pemetaan setempat atau negara), jika menggunakan sistem lokal saja seperti gambar
4.50. Click Next.

Gambar 2.50 Pengaturan Datum dan Proyeksi Peta

Pengaturan arah orientasi peta dengan cara menentukan titik pusat koordinat sebagai titik dasar
dengan sistem x, y, atau northing, easting. Tentukan arah perputaran sudut searah atau melawan
arah jarum jam seperti gambar 2.51. Click Next.

Gambar 2.51 Arah Orientasi Peta

Sesuaikan pilihan text style, misalnya Style Set Name mili.stp, Style In This Sheet 2MM
dan Select Current Style 2mm seperti gambar 2.52. Click Next.

Gambar 2.52 Pengaturan Text Style

Untuk memilih border gambar pilih Border Selection, seperti gambar 2.53 atau Click langsung Next.

Gambar 2.53 Pengaturan Border


Untuk menambah profil lain dengan cara membuat nama profil baru, misalkan My Profile
click Save, pilih nama profil pada listbox Click Finish. Jika menggunakan nama profil yang ada,
pilih Profile Name m1000.set (Metric, 1:1000) seperti gambar 2.54 dan Click Finish

Gambar 2.54 Pengaturan Penyimpanan


Setelah melakukan langkah seperti diatas , komputer akan memproses dan menginformasikan hasil
pengaturan seperti pada gambar 2.55 dan Click OK.

Gambar 2.55 Konfirmasi Hasil Pengaturan

Komputer akan memproses dan membuat database, setelah itu akan muncul form Create Point
Databaseseperti pada gambar 2.56 dan Click OK.

Gambar 2.56 Pembuatan Database Titik

2.14.2

Membuat File Data Titik Ukur Lapangan

Sebelum memasukkan data titik ukur, software Autocad Civil 3D Land Dekstop Companion
2009 hanya dapat mendeteksi file ekstensi *.txt. untuk memudahkan membuat file tersebut dapat
menggunakan Microsoft Excel dan kemudian dikonversikan ke Notepad seperti gambar 2.57 dan
gambar 2.58. Kemudian simpan file dengan nama file titik elevasi.txt ke direktori file Land
Desktop yang telah dibuat sebelumnya misalnya D:\Land Desktop\Proyek Jalan.
Gambar 2.57 Memasukkan Data Titik Ukur Melalui Ms. Excel

Gambar 2.58 Mengkonversikan Data Titik Ukur dari Ms. Excel ke Notepad

2.14.3

Memasukkan Data Titik Ukur

Untuk memasukkan data titik ukur pilih Points > Import/Export Points > Import Points.
Seperti gambar 2.59 Maka akan muncul kotak dialog Format Manager Import Points seperti
gambar 2.60. Untuk mengimport data titik ukur dari file Notepad, pilih Format PENZD (space
delimited), Source File Click icon file, kemudian browse folder yang data titik ukur, pilih file
titik PENZD notpad kemudian clickOpen.
Gambar 2.59 Format Manager

Gambar 2.60 Format Manager

Gambar 2.61 Memilih File

Kemudian muncul kotak dialog seperti gambar 2.62 Click OK. Tunggu sebentar karena Komputer
akan memproses data titik ukur seperti gambar 2.63.

Gambar 2.62 Pilihan Database Masukan

Gambar 2.63 Proses Pemasukan


Setelah proses selesai jika gamabar titik ukur tidak keluar ketik Z Enter, kemudian E
Enter (command) maka akan muncul seperti gambar 2.64.

Gambar 2.64 Titik Ukur Hasil Proses Data

2.14.4

Mengedit Tampilan Titik Ukur

Pilih Points > Edit Points > Display Properties, ketik All Enter (commad). Lakukan
penyesuaian seperti gambar 2.65 dan 2.66.
Gambar 2.65 Mengatur Text Titik Ukur

Gambar 2.66 Mengatur Marker Titik Ukur

Untuk properti Component Number Visible agar tampilan titik ukur Number tidak
ditampilkan, Style 2mm,Texy Size 2 Units. Untuk properti Costum Marker Symbol None
dan Size 3, maka tampilan titik ukur akan berubah seperti gambar 2.67.

Gambar 2.67 Titik Ukur hasil Edit

2.14.5

Membuat Surface

Pilih Terrain > Terrain Model Explorer, maka akan muncul seperti gambar 2.68. Click kanan
padaTerrain > Create New Surface , Click kanan List Surface Name > Rename (TA
Adnyana). Ketikkan nama surface baru Kontur Click OK.
Gambar 2.68 Terraian Model Explorer

Untuk memasukkan data titik ukur Click kanan Point Files > Add Points from AutoCAD Object
>Point. Ketik E Enter, All Enter 2x.

Gambar 2.69 Memasukkan Titik Ukur Dari Gambar


2.14.6

Membuat Kontur

Pilih Terrain > Create Contour, maka akan muncul seperti gambar 2.70.
Click OK kemudian Entertunggu sebentar karena komputer akan memproses pembuatan kontur.
Jika proses pembuatan kontur selesai maka akan muncul seperti gambar 2.71.
Gambar 2.70 Pilihan File Data Kontur

Gambar 2.71 Gambar Garis Kontur

2.14.7

Mengubah Bentuk Kontur

Pilih Terrain > Contour Style Manger maka akan muncul gambar 2.72. Lakukan penyesuaian
seperti gambar 2.73 s/d 2.74. Kemudian Click OK.
Gambar 2.72 Pengahalusan Bentuk Kontur

Gambar 2.73 Posisi Label Kontur


Untuk memudahkan anda dalam membedakan kontur mayor dan kontur minor maka anda
ketik LA pada command kemudian rubah warna pada daftar nama yang ada seperti gambar 4.38

Gambar 2.74 Pengaturan layer


2.14.8

Membuat Label Kontur

Pilih Terrain > Contour Labels > Group End, nilai pada Elevation Increment dapat diubah
sesuai dengan interval kontur. Kemudian click OK. Kemudian untuk memunculkan interval
kontur dapat dilihat pada gambar 2.76 s/d 2.77.
Gambar 2.75 Interval Label Kontur

Gambar 2.76 Menampilkan Interval Label Kontur

Gambar 2.77 Tampilan Interval Label Kontur

2.14.9

Alinyemen Horizontal (Merencanakan Trase Jalan)

Membuat graris trase jalan pilih Lines and Curves > Line kemudian gambarkan as trase jalan
konsultan sesuai dengan data primer kemudian direncanakan sesuai dengan perencanaan penulis
seperti pada gambar 2.78.
Gambar 2.78 Pemilihan Trase Jalan Baru

2.14.9.1

Perencanaan Tikungan

Pilih Lines/Curves > Line Between Two Lines. Ikut perintah pada command Select first
tangen (pilih garis pertama), Select second tangent (pilih garis kedua). Ketik R Enter
mesukan nilai radius yang direncakan, seperti pada gambar 2.79.
Gambar 2. 79 Rencana tikungan

Atau dapat juga dengan cara buat trase jalan rencana dengan menggunakan polyline seperti
gambar 2.80.

Gambar 2.80 Rencana Trase Jalan

Pilih Alignment > Define From Polyline > Select Polyline > Select Reference Poin t(For Start) > Enter
Refence Point > Specify Second Point > Isi nama Alinyemen dan Deskripsi Alinyemen > OK.

Gambar 2.81 Membuat Alinyemen

Gambar 2.82 Membuat lengkung horizontal

Blok pada PI yang akan di edit


Keterangan :
Edit Curve = Untuk Lengkung Full Circle (FC)
Edit Spiral = Untuk Lengkung Spiral Spiral (SS)
Edit Curve dan Spiral = Untuk lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)

Gambar 2.83 Editing Alinyemen Horizontal

Gambar 2.84 Editing Detail Curve

Input data sesuai metode perhitungan berdasarkan Spesifikasi Standard untuk Perencanaan
Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Desember 1990 yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Bina Marga .
Keterangan:
Radius = Jari-jari lengkung lingkaran
L1 & L2 = Panjang lengkung spiral

Gambar 2.85 Editing Detail Spiral

Lakukan hal yang sama untuk semua tikungan.


(Klik OK)

Gambar 2.86 Hasil Proses Editing Alinyemen Horizontal

Gambar 2.87 Membuat Offset Jalan Rencana

Input data offset


Misal:
- Dawasja/daerah pengawasan jalan
- Batas drainase/Damija/daerah milik jalan
- Bahu jalan/Damaja/Daerah manfaat jalan
- Badan jalan

Gambar 2.88 Input Data Offset

Gambar 2.89 Hasil Offset

2.14.9.2

Stasioning

Gambar 2. 90 Mengatur Format Station


Gambar 2.91 Mengedit Format Station
2.14.9.3

Stasioning Label Setting

Stationing label setting merupakan fasilitas untuk mengatur label station yang meliputi increment
station, arah penulisan station, dan lain-lain. Untuk cara melakukannya dapat diikuti langkah
sebagai berikut: Pilih menu Alignment click Station Label Seting maka akan keluar gambar
sebagai berikut:
Gambar 2.92 Alignment station label setting
2.14.9.4

Create Station Label

Create Station Label merupakan fasilitas untuk membuat Station alignment horizontal, dapat
dilakukan melalui Alignment click Create Station Label maka akan muncul nilai stationing
pada trase jalan yang direncanakan seperti padagambar berikut:
Gambar 2.93 Gambar stationing pada ruas jalan
2.14.10
Alinyemen Vertikal
2.14.10.1
Profile

Profile merupakan fasilitas untuk menampilkan penampang memanjang Existing Ground yang
dilewatiCenterline Horizontal Alignment. Untuk masuk kemenu Profile maka dipilih Projects >
Workspacespilih Civil Design maka akan muncul tampilan seperti dibawah ini:
Gambar 2.94 Pemilihan Menu

2.14.10.2

Profiles Setting

Fasilitas ini untuk mengatur parameter profil memanjang yang meliputi Sampling, EG Layer,
FG Layer, Label and Prefix, Values maka akan muncul dan tampilan tampilan sebagai
berikut:
Gambar 2.95 Sampling Setting
Gambar 2.96 EG Layer Setting
Gambar 2.97 FG Layer setting
Gambar 2.98 Labels and Prefix
Gambar 2.99 Value Settings

2.14.10.3

Surfaces Set Current Surfaces

Fasilitas untuk memilih surfaces Existing Ground yang akan dihubungkan dengan data
alingnment horizontal. Pilih Profile > Surfaces > set current surfaces Pada pemilihan select
surface harus dipilih sesui dengan as jalan yang direncakan, seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.100 Value Settings

2.14.10.4

Existing Ground Sample From Surfaces

Fasilitas untuk menghubungkan data alignment dengan data Existing Ground. Profile > Existing
Ground > Sample from surface perhatikan command Command. Alignment Name: kiri jalan
rencana Number: 20m Descr: Starting Station: 0.000 Ending Station: 738.801m
Gambar 2.101 Value Settings
2.14.10.5

Create Profil Full Profile

Fasilitas untuk menampilakn gambar penampang memanjang dari horizontal alignment.


Pilih Profiles > Create Profile > Full Profile maka akan keluar
Gambar 2.102 Value Settings
2.14.10.6

Vertical Alignment

Setelah potongan memanjang tergambar lankah selanjutnya adalah menentukan letak vertikal
Aligment. Pilih Profile > FG Centerline Tangent > Create tangent. Pilih point awal trase jalan
yang akan direncakan kemudian perhatikan pada command sesuai dengan sta rencana kemudian
rencanakan trase rencana vertikal.
Gambar 2.103 Perencanaan Trase Jalan Vertikal

2.14.10.7

Vertical Curve

Fasilitas tersebut digunakan untuk menggambarkan lengkung vertikal pilih Profile > FG Vertical
Curves maka akan keluar seperti gambar berikut selanjutnya pilih curve yang sesuai dengan jenis
lenkung, dan selanjutnya clik pada titik PPV masukan besar lengkung LV.
Gambar 2.104 Vertikal Curve
2.14.11 Potongan Melintang
Proses membuat potongan melintang seperti pada gambar 2.105 s/d 2.107

Gambar 2.105 Set Current Surface


Gambar 2.106 Existing Ground
Gambar 2.107 Hasil penggambaran profil melintang
2.14.12 Menghitung Volume Galian dan Timbunan
Proses menghitung volume galian dan timbunan seperti pada gambar 2.108 s/d 2.109.

Gambar 2.108 Total Volume Output

Gambar 2.109 Hasil output volume galian dan timbunan

2.14.13 Penyajian Rencana Geometrik

Gambar 2.110 Hasil perencanaan trase jalan rencana horizontal

Gambar 2.111 Hasil perencanaan trase jalan vertikal

Anda mungkin juga menyukai