Disusun oleh :
Hesty Jayanti 1102008287
Pembimbing
dr. H. Akbar Sutanto
dr. Ratu Wulandari
BAB I
PEMBAHASAN KASUS
IDENTITAS
Nama
: Ny. D
Kelamin
: Perempuan
Usia
: 27 tahun
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
Tanggal periksa
: 3 Januari 2015
No. RM
: 19474
ANAMNESA
Keluhan Utama
Kesadaran
E4V5M6 (Composmentis)
Berat Badan
41 kg
Tinggi Badan
142 cm
BMI
Vital sign
Tekanan darah :
120/80mmHg
Nadi
Respirasi
22 x/menit
Suhu
36,8 oC
Kepala
Normocephalo
Mata
Hidung
NCH -/-
Mulut
Leher
Status Lokalis
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
a/r Leher (Colli anterior) :
Inspeksi
Palpasi
JVP
: tidak meningkat
KGB
FOTO
RESUME
Os mengeluhkan sejak 1 tahun yang lalu terdapat benjolan pada leher bagian tengah
berbentuk lonjong, kira-kira sebesar telur ayam, tidak terasa nyeri, lunak namun dirasakan
sedikit membesar. Pasien sering merasa jantungnya berdebar-debar, mudah gugup, gelisah,
sulit tidur dan tangannya tremor. Pasien juga merasa berat badannya menurun sekitar 2kg
walaupun nafsu makannya meningkat. Benjolan dirasakan ikut bergerak saat menelan. Pasien
juga merasakan perubahan pada kedua matanya yang terlihat lebih menonjol dari sebelumnya
dan terasa sering berair.
Dari pemeriksaan di regio coli anterior didapatkan massa tiroid berukuran 7x4 cm,
kenyal, batas kurang jelas, ikut pergerakan menelan dan tidak ada tanda radang .
Darah lengkap
Rontgen thorak
EKG
USG tiroid
Nilai
+1
+2
+3
+5
+3
+2
+3
-3
+3
-3
+3
+2
+2
+2
+4
+1
+2
+1
-3
+3
Ada / Tidak
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
RENCANA PENATALAKSANAAN
Umum : menjelaskan mengenai penyakit dan terapi kepada pasien
Khusus : obat antitiroid : PTU 4 x 100 mg dan betablocker 3 x 10 mg .
PROGNOSIS
Quo ad vitam
ad bonam
Quo ad functionam
ad bonam
Quo ad sanactionam :
ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kelenjar Tiroid
II.1.1. Embriologi
Kelenjar tiroid mulai terlihat berbentuk pada janin berukuran 3,4 4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Glandula tiroidea pertama dikenal sebagai penebalan
endoderm sulcus faring dalam awal embriosomit (5,6). Endoderm ini menurun ke leher
sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobus.
Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Saluran pada struktur ini menetap dan menjadi
duktus tiroglosus atau mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke 12 masa kehidupan
intra uterine.
II.1.2. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh ismus dan menutupi cincin trakea 2 dan Kapsul fibrosa menggantungkan
kelenjar ini pada fasia pretrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial.
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis
melekat pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran.
Keempat kelenjar pada tiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid.
Arteri karotis komunis, v. jugularis interna dan n. vagus terletak bersama di dalam sarung
tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring
(6). Perdarahan kelenjar tiroid berasal dari empat sumber yaitu kedua A.karotis superior
kanan dan kiri cabang dari A.karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua A. tiroidea inferior
kanan dan kiri cabang dari A. brakhialis. ( 6, 7 )
II.1.3 Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4), bentuk aktifnya
triyodotironin (T3) yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer dan
sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida organik yang diserap dari
saluran cerna menjadi bahan baku hormon tiroid. Iodida mengalami oksidasi menjadi bentuk
organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai
monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Konjugasi DIT dengan MIT atau DIT lain
akan menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar
T4 dilepaskan dalam sirkulasi yang akan berikatan dengan protein TBG atau TBPA dan
sisanya dalam kelenjar yang menjalani deyodinasi (daur ulang).
II.2.1 Klasifikasi
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui
dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
Batas Jelas
Berdenyut
untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara
dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan
bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan.
Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
pembentukan antibodi
goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air
minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa.
Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme
disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan.
Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali
bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin.
Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 % - < 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik
berat di atas 30 %.
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan
tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a) Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b) Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
c) Goitrogen :
hormo
tiroid,
gonadotropin,
dan/atau
tiroid-stimulating
immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium
radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker,
leukimia, atau kelainan genetik.
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus
diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi,
sebelum pemberian obat tiroksin.
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil
(PTU) dan metimasol/karbimasol.
II.2.4 Pencegahan
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah dimasak,
tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk menghindari hilangnya
yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini memberikan
keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat terjangkau daerah
luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida diberikan dalam saluran air
dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida
dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah endemik
berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20
tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di
daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai
umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali
dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang
dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
a. Diagnosis
a.1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.
Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa
komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil),
gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan
pembengkakan.
a.2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid
dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
a.3. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroinserum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif.
Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH
plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada
pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien
peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian
pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid.
Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan
kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
a.4. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas) .
Penyebab
Tirotoksikosis dengan
Tirotoksikosis dengan
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme
1.
Graves disease
Tiroiditis subakut
2.
Struma multinodusa
Silent thyroiditis
toksik
Destruksi kelenjar :
3.
Adenoma toksik
4.
Karsinoma tiroid
amiodaron, radiasi
Hipertiroidisme Sekunder
a. TSH-secreting
pituitary adenoma
b. Thyroid
hormone
resistance syndrome
c. chGH secreting tumor
Tirotoksikosis tidak hanya didiagnosis dari manifestasi klinis saja, namun dapat
merupakan diagnosis laboratorik. Peningkatan tiroksin (T4), tepatnya tiroksin bebas dan
triiodotironin (T3) serta respon abnormal terhadap TSH, meskipun tidak disertai gejala dan
tanda-tanda yang jelas sudah dapat disebut tirotoksikosis dan sudah merupakan indikasi
pengobatan. Di samping itu dikenal pula keadaan tirotoksikosis subklinis yaitu apabila
kadar hormon tiroid normal, tetapi kadar TSH sangat rendah.
Exopthalmus
Benjolan
Warna
Permukaan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang
berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap,
pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol
30-60
5-20
Metimazol
30-60
5-20
Propiltourasil
300-600
5-200
Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35 tahun atau
lebih, hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah pemberian
OAT, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan OAT dan pada adenoma toksik, goiter
multinodular toksik. Digunakan I131 dengan dosis 5-12mCi per oral.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1. Kesimpulan
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
dan tanpa gejala-gejala hipertiroidi.
Klasifikasi dari struma nodosa non toksik didasarkan atas beberapa hal yaitu berdasarkan
jumlah nodul, berdasarkan kemampuan menangkap iodium aktif dan berdasarkan
konsistensinya.
Etiologi dari struma nodosa non toksik adalah multifaktorial namun kebanyakan
struma diseluruh dunia diakibatkan oleh defisiensi yodium langsung atau akibat makan
goitrogen dalam dietnya.
Gejala klinis tidak khas biasanya penderita datang dengan keluhan kosmetik atau
ketakutan
akan
keganasan
tanpa
keluhan
hipo
atau
hipertiroidi.
Diagnosis ditegakkan dari hasil anamnesa. Pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan USG,
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Bajah), termografi, dan petanda Tumor (tumor marker).
Penatalaksanaan meliputi terapi dengan l-thyroksin atau terapi pembedahan yaitu
tiroidektomi berupa reseksi subtotal atau lobektomi total.
Komplikasi dari tindakan pembedahan (tiroidektomi) meliputi perdarahan, terbukanya
vena besar dan menyebabkan embolisme udara, trauma pada nervus laryngeus recurrens,
sepsis, hipotiroidisme dan traceomalasia.
III.2. Saran
Penanganan struma nodosa non toksik perlu perhatian sebab banyak komplikasi yang
ditimbulkan. Dokter umum harus mampu menentukan dan mendiagnosa secara benar serta
memberi penjelasan kepada penderita dan keluarganya sebelum merujuk ke dokter spesialis
untuk penanganan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sri Hartini, KS, Struma Nodosa Non Toksik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid I, Penerbit FKUI, Jakarta 1996, hal 757-761.
2.
Pisi Lukitto, Frekuensi Tumor Ganas Tiroid pada Kasus Struma Nodosa yang
Dirawat di Bagian Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 1992-1994, dalam
MKB Volume 29 No 4, 1997. Hal 265-266.
3.
Sabiston, David. C. Jr, MD, Buku Ajar Bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus
Andrianto, Timan IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC, Jakarta, 1995, hal 415-427.
4.
5.
6.
7.
Tim Bedah Unair, Struma Nodosa Non Toksika, lab/UPF Bedah FK-UNAIR,
Surabaya, 1988, hal 43-51.
8.
Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.,
Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
9.
10.
11.
http://www.eMedicine.com
12.
http://www.GraveDisease.com
13.
http://refmedika.blogspot.com/2009/02/graves-disease.html