Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

STRUMA DIFUSA TOKSIK

Disusun oleh :
Hesty Jayanti 1102008287

Pembimbing
dr. H. Akbar Sutanto
dr. Ratu Wulandari

PUSKESMAS KAMPUNG SAWAH


CIPUTAT
2015

BAB I
PEMBAHASAN KASUS
IDENTITAS
Nama

: Ny. D

Kelamin

: Perempuan

Usia

: 27 tahun

Alamat

: Serua poncol (Sawah Baru) Rt.001/05 no.12

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal periksa

: 3 Januari 2015

No. RM

: 19474

ANAMNESA
Keluhan Utama

: Benjolan pada leher bagian tengah

Riwayat Penyakit Sekarang


Os mengeluhkan sejak 1 tahun yang lalu terdapat benjolan pada leher bagian tengah.
Benjolan berbentuk lonjong, kira-kira sebesar telur ayam, tidak terasa nyeri, lunak namun
dirasakan sedikit membesar. Pasien sering merasa jantungnya tiba-tiba deg-degan, berdebardebar, mudah gugup, gelisah, sulit tidur dan tangannya tremor. Pasien juga merasa berat
badannya menurun sekitar 2kg walaupun nafsu makannya meningkat. Benjolan dirasakan
ikut bergerak saat menelan.
Pasien juga merasakan perubahan pada kedua matanya yang terlihat lebih menonjol
dari sebelumnya dan terasa sering berair. Tidak ada keluhan nyeri dan penurunan fungsi
melihat pada kedua kelopak matanya.
OS menyangkal adanya suara serak, sulit bernafas, dan sulit menelan. Tidak adanya
perubahan warna kulit disekitarnya. Tidak terdapat keluhan pada BAK dan BAB. Pasien juga
menyangkal adanya keluhan demam.
Pasien belum pernah berobat ke klinik ataupun dokter dengan keluhan ini
sebelumnya, pasien menganggap tidak berbahaya dikarenakan tidak nyeri. Tidak terdapat
penggunaan obat-obatan sebelumnya. Tetangga sekitar tidak ada yang memiliki keluhan yang
sama dengan pasien.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit keluarga :
Anggota keluarga pasien tidak pernah memiliki keluhan yang sama dan tidak adanya tumor di
tempat lain.
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum

Tampak sakit sedang

Kesadaran

E4V5M6 (Composmentis)

Berat Badan

41 kg

Tinggi Badan

142 cm

BMI

19,6 (Gizi baik)

Vital sign

Tekanan darah :

120/80mmHg

Nadi

96 x/menit (isi cukup, reguler)

Respirasi

22 x/menit

Suhu

36,8 oC

Kepala

Normocephalo

Mata

Eksoftalmus (+), konjungtiva anemis -/-, pergerakan dbn,


edema palpebra (-), pupil bulat isokor, sklera ikterik -/-

Hidung

NCH -/-

Mulut

Sianosis -/- , Faring dan Tonsil dbn

Leher

Status Lokalis

Thoraks

Cor : BJ I/II reguler, gallop (-), murmur (-)


Pulmo : VBS +/+, ronkhi -/-, wheezing -/Retraksi dinding dada (-), Friction rub (-)

Abdomen

Datar, lembek, Bising Usus (+) Defans Muskular (-)

Ekstremitas

Akral hangat, Edema (-), dan Sianosis (-)


Tremor (+)

Status Lokalis
a/r Leher (Colli anterior) :

Inspeksi

: Kelenjar tiroid tampak membesar, warna kulit sama dengan sekitar

Palpasi

: Kelenjar tiroid teraba membesar ukuran 7x3cm, konsistensi kenyal,


tidak bernodul, namun batasnya kurang jelas . Nyeri tekan (-). Ikut
dalam pergerakan menelan (+) .

JVP

: tidak meningkat

KGB

: tidak ada pembesaran

Deviasi trakea : (-) .

FOTO

RESUME
Os mengeluhkan sejak 1 tahun yang lalu terdapat benjolan pada leher bagian tengah
berbentuk lonjong, kira-kira sebesar telur ayam, tidak terasa nyeri, lunak namun dirasakan
sedikit membesar. Pasien sering merasa jantungnya berdebar-debar, mudah gugup, gelisah,
sulit tidur dan tangannya tremor. Pasien juga merasa berat badannya menurun sekitar 2kg
walaupun nafsu makannya meningkat. Benjolan dirasakan ikut bergerak saat menelan. Pasien
juga merasakan perubahan pada kedua matanya yang terlihat lebih menonjol dari sebelumnya
dan terasa sering berair.
Dari pemeriksaan di regio coli anterior didapatkan massa tiroid berukuran 7x4 cm,
kenyal, batas kurang jelas, ikut pergerakan menelan dan tidak ada tanda radang .

Table 1. Indeks Wayne


Gejala yang baru terjadi dan bertambah berat
Sesak saat kerja
Berdebar-debar
Lekas lelah
Lebih suka hawa dingin
Berkeringat banyak
Gugup
Nafsu makan bertambah
Nafsu makan berkurang
Berat badan berkurang
Berat badan bertambah
Tiroid teraba
Bising pembuluh
Exophtalmus
Retraksi palpebra
Hiperkinesis
Tremor jari
Tangan panas
Tangan lembab
Denyut nadi sewaktu
< 80 x/ menit
80-90 x/menit
>90x/menit
Jumlah : 20
Nilai : >19 toksik, 11-19 equivocal, <11 : nontoksik
DIAGNOSA KERJA
Susp. Struma Difusa Toksik ( Grave Disease )
DIAGNOSA BANDING
Adenoma Toksik
RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap

Hormon tiroid : T3, T4, dan TSH

Rontgen thorak

EKG

USG tiroid

Nilai
+1
+2
+3
+5
+3
+2
+3
-3
+3
-3
+3
+2
+2
+2
+4
+1
+2
+1
-3
+3

Ada / Tidak
Ada

Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada

Ada

RENCANA PENATALAKSANAAN
Umum : menjelaskan mengenai penyakit dan terapi kepada pasien
Khusus : obat antitiroid : PTU 4 x 100 mg dan betablocker 3 x 10 mg .
PROGNOSIS
Quo ad vitam

ad bonam

Quo ad functionam

ad bonam

Quo ad sanactionam :

ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kelenjar Tiroid
II.1.1. Embriologi
Kelenjar tiroid mulai terlihat berbentuk pada janin berukuran 3,4 4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Glandula tiroidea pertama dikenal sebagai penebalan
endoderm sulcus faring dalam awal embriosomit (5,6). Endoderm ini menurun ke leher
sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk dua lobus.
Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Saluran pada struktur ini menetap dan menjadi
duktus tiroglosus atau mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke 12 masa kehidupan
intra uterine.
II.1.2. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher terdiri atas dua lobus, yang
dihubungkan oleh ismus dan menutupi cincin trakea 2 dan Kapsul fibrosa menggantungkan
kelenjar ini pada fasia pretrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial.
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia prevertebralis
melekat pada trakea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran.
Keempat kelenjar pada tiroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid.
Arteri karotis komunis, v. jugularis interna dan n. vagus terletak bersama di dalam sarung
tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring
(6). Perdarahan kelenjar tiroid berasal dari empat sumber yaitu kedua A.karotis superior
kanan dan kiri cabang dari A.karotis eksterna kanan dan kiri dan kedua A. tiroidea inferior
kanan dan kiri cabang dari A. brakhialis. ( 6, 7 )

II.1.3 Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4), bentuk aktifnya
triyodotironin (T3) yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer dan
sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida organik yang diserap dari
saluran cerna menjadi bahan baku hormon tiroid. Iodida mengalami oksidasi menjadi bentuk
organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai
monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Konjugasi DIT dengan MIT atau DIT lain
akan menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar
T4 dilepaskan dalam sirkulasi yang akan berikatan dengan protein TBG atau TBPA dan
sisanya dalam kelenjar yang menjalani deyodinasi (daur ulang).

Pengaturan faal tiroid :


Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi
hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi
efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).


Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat,
cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol
total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Terdapat sel parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin mengatur metabolisme
kalsium, menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruh terhadap tulang.
II.1.4 Pemeriksaan
Anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penilaian klinis mempunyai peran
penting dalam mendiagnosis penyakit tiroid. Pemeriksaan laboratorium terdiri atas
pemeriksaan biokimia untuk menetapkan fungsi kelenjar tiroid, pemeriksaan fisik dan klinis
untuk menentukan kelainan morfologi kelenjar tiroid dan sitologi untuk menentukan
perubahan patologis. Pemeriksaan biokimia yaitu dengan mengukur T3, T4, FT4, TBG, TSH
plasma.

II.1.5 Pemeriksaan Penunjang


TSI pada penderita Graves, Tiroglobulin dapat digunakan untuk mengetahui rekurensi
karsinoma tiroid setelah tiroidektomi total. Sidik radioaktif dengan unsur radioaktif Tc99 atau
yodium 131 dapat menunjukkan gambaran fungsional jaringan tiroid, yang berguna untuk
menentukan apakah nodul dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi (hot nodule), hipofungsi
(cold nodule), atau normal (warm nodule). Kemungkinan keganasan ternayata lebih besar
pada nodul dingin meskipun karsinoma tiroid dapat juga ditemukan pada nodul hangat atau
panas. Teknik USG digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid tunggal atau multipel
padat atau kistik. Pemeriksaan USG ini terbatas nilainya dalam menyingkirkan kemungkinan
keganasan dan hanya dapat mendeteksi nodul yang berpenampang lebih dari 0,5 cm.
II.1.6 Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan ini diperoleh dengan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB), cukup akurat
mendiagnosis karsinoma tiroid tiroiditis atau limfoma. Cara ini dianggap paling akurat
dibandingkan radioaktif ataupun USG.
II.1.7 Patologi
Kelainan kelenjar tiroid dibagi menjadi dua kelompok besar yang menyebabkan
perubahan fungsi seperti hipertiroidisme, dan penyakit yang menyebabkan perubahan
jaringan dan bentuk kelenjar seperti struma, tiroiditis dan karsinoma tiroid. Fungsi tiroid
dapat rendah, normal atau meningkat. Menurunnya fungsi kelenjar tiroid dapat disebabkan
oleh kelainan pada hipotalamus, kerusakan kelenjar hipofisis, defisiensi yodium, penggunaan
obat antitiroid, tiroiditis dan hipotiroidisme iatrogenik (post tiroidektomi).
Hipertiroidisme terjadi pada struma toksik difus (Graves), struma nodosa toksik,
pengobatan berlebihan tiroksin, permulaan tiroiditis. Keganasan primer kelenjar tiroid adalah
adenokarsinoma yang bervariasi mulai dari yang berdiferensiasi baik sampai yang anaplastis.
Karsinoma dibagi berdasarkan tingkat keganasannya, diferensiasinya dan asal selnya.
II.2. Struma
Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goites
adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang
penyebabnya bisa bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda
usia 20 40 tahun terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala umur .

II.2.1 Klasifikasi
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui
dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik

Mengenai 1 lobus

Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan

Kadang Multilobaris

Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

Batas Jelas

Konsistensi kenyal sampai keras

Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma


tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

batas tidak jelas

Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

Tampak pembuluh darah

Berdenyut

Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa

Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein .

Klasifikasi Struma Berdasarkan Faalnya


Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma
semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang
jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar

untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara
dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan
bicara.

c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan.
Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah
yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat,
keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

Berdasarkan klinisnya dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :


a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk
anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak
diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang
secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinodu ler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (exophtalmic goiter), bentuk tiroktosikosis
yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan
penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan.
Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan
reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif. Meningkatnya kadar
hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan

pembentukan antibodi

sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai hasil pengobatan penyakit


ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentukyna.
Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa
penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir yang
berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat
meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple

goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air
minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa.
Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme
disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita
tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan.
Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali
bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin.
Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan
prevalensi gondok di atas 10 % - < 20 %, endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik
berat di atas 30 %.
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.

Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan
tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a) Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
b) Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun

c) Goitrogen :

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,


expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan


resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,


brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.

2. Struma Non Toxic Diffusa


Etiologi : (Mulinda, 2005)
1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap

hormo

tiroid,

gonadotropin,

dan/atau

tiroid-stimulating

immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid

9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)


10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi : (Davis, 2005)
a. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
b. Aktivasi reseptor TSH
c. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G

d. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like


growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan
penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)
Patofisiologi :
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH,
TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan
menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel
maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa (Mulinda, 2005)
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan
produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel
kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus,
akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis
hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk
stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten
terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor
yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)

II.2.2 Patogenesis Struma


Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan
TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam
jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan
tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin
lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat
bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat
sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent),
proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang
didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obatobatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya
struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).
II.2.3 Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain sebagai
berikut :
1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering
dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien
hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak dapat
diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang dialami dan
untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan.
Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal
(suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan
makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid. Pembedahan dengan
mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid, sebelum pembedahan tidak perlu
pengobatan dan sesudah pembedahan akan dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan
obat tiroksin karena jaringan tiroid yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi

hormon dalam jumlah yang adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
struma dilakukan 3-4 minggu setelah tindakan pembedahan.
2. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada kelenjar
tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau dioperasi maka
pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar 50 %. Yodium
radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran
terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak meningkatkan resiko kanker,
leukimia, atau kelainan genetik.
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus
diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi,
sebelum pemberian obat tiroksin.
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu untuk
menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga diberikan
untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan kelenjar
tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil
(PTU) dan metimasol/karbimasol.
II.2.4 Pencegahan
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari
berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah dimasak,
tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk menghindari hilangnya
yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini memberikan
keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat terjangkau daerah
luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida diberikan dalam saluran air

dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida
dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah endemik
berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria berusia 0-20
tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan menyusui yang tinggal di
daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis pemberiannya bervariasi sesuai
umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun sekali
dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan untuk anak kurang
dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu penyakit,
mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
a. Diagnosis
a.1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.
Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa
komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil),
gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada permukaan
pembengkakan.
a.2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid
dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.
a.3. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroinserum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif.
Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH
plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada

pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada pasien
peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian
pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid.
Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan
kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
a.4. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas) .

a.5. Ultrasonografi (USG)


Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak
di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista,
adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
a.6. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125 / yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah
jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa
menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan
yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
a.7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi
aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel
ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi
biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat
yang kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan sosial
penderita setelah proses penyakitnya dihentikan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan

mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.


b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik segar dan
bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadirannya melalui
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu dengan
rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi
aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan .

II.3 Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis


II.3.1 Definisi
Tirotoksikosis adalah sindrom klinis yang terjadi ketika jaringan terpapar oleh kadar
hormon tiroid (tiroksin dan / triiodotironin) yang tinggi yang bersirkulasi dalam darah.
Apabila kelebihan hormon tiroid itu disebabkan oleh hiperfungsi tiroid yaitu peningkatan
sintesis dan pelepasan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, maka istilah yang lebih khusus
adalah hipertiroidisme. Namun, tirotoksikosis terutama terjadi akibat hipertiroidisme yang
disebabkan oleh Graves disease, toxic multinodular goiter, dan toxic adenoma. Tapi kadang,
tirotoksikosis juga terjadi oleh karena penyebab lain seperti mengkonsumsi hormon tiroid
berlebihan atau sekresi hormon tiroid yang berlebihan dari tempat-tempat ektopik. Penyebab
tiroiditis ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Hipertiroidisme Primer

Penyebab
Tirotoksikosis dengan

Tirotoksikosis dengan

Hipertiroidisme

Hipertiroidisme
1.
Graves disease

Tiroiditis subakut

2.

Struma multinodusa

Silent thyroiditis

toksik

Destruksi kelenjar :

3.

Adenoma toksik

4.

Karsinoma tiroid

amiodaron, radiasi

Hipertiroidisme Sekunder

a. TSH-secreting
pituitary adenoma
b. Thyroid

hormone

resistance syndrome
c. chGH secreting tumor

Tirotoksikosis tidak hanya didiagnosis dari manifestasi klinis saja, namun dapat
merupakan diagnosis laboratorik. Peningkatan tiroksin (T4), tepatnya tiroksin bebas dan
triiodotironin (T3) serta respon abnormal terhadap TSH, meskipun tidak disertai gejala dan

tanda-tanda yang jelas sudah dapat disebut tirotoksikosis dan sudah merupakan indikasi
pengobatan. Di samping itu dikenal pula keadaan tirotoksikosis subklinis yaitu apabila
kadar hormon tiroid normal, tetapi kadar TSH sangat rendah.

II.4 Grave Disease


Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi berlebihan dari kelenjar
tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit
Basedow. Kelenjar tiroid dalam keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelanjar
yang terletak di leher bagian depan, di bawah jakun.
Penyebabnya tidak diketahui. Karena ini merupakan penyakit autoimun yaitu saat
tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri,
maka penyakit ini dapat timbul tiba-tiba. Tidak diketahui mekanismenya secara pasti,
kebanyakan dijumpai pada wanita. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin
merupakan salah satu penyebabnya ( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes
mellitus tipe I).Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon
kelenjar tiroid dan Kurang yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama mungkin dapat menyebabkan penyakit ini. Walaupun etiologi
penyakit Graves tidak diketahui, tampaknya terdapat peran antibody terhadap reseptor TSH,
yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid. Penyakit ini ditandai dengan peninggian
penyerapan yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.
Patofisiologi
Graves disease merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun hipersensitif
tipe II. Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi autoantibodi yang
berikatan dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid ( sel yang
memproduksi tiroid). Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan
peningkatan produksi dari hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat ( gangguan mata karena
tiroid) sering terjadi yang tampak pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital.
Penyebab peningkatan produksi dari antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin
merangsang antibodi, dimana bereaksi silang dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak
sebagai faktor predisposisi genetik dari Graves disease, sebagian besar orang lebih banyak
terkena Graves disease dengan aktivitas antibodi dari reseptor TSH yang bersifat genetik.
Yang berperan adalah HLA DR (terutama DR3).
Gambaran Klinis
Gejala dan tanda peningkatan metabolisme di segala sistem tubuh, mungkin terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kalori, karena itu masukkan kalori

umumnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga berat badan menurun. Peningkatan


metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah
dengan penambahan curah jantung sampai 2-3 kali normal, juga dalam istirahat. Irama nadi
naik dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulses seler dan penderita mengalami
takikardi dan palpitasi. Beban miokard, dan rangsangan persarafannya dapat meningkatkan
kekacauan irama jantung berupa fibrilasi atrium.
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar
tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan (Price dan Wilson,
1994).
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas
simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu
makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai
bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan
kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel
mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata), okulopati
kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price dan Wilson, 1994).
Diagnosis
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan dari hasil
laboratorium berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4, triyodotironin/ T3) dan kadar dari
tiroid stimulating hormone (TSH). Peningkatan ikatan protein iodium mungkin dapat
terdeteksi. Menurut Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid
Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)
meningkat (Mansjoer, 2001).
Tiroid stimulating antibodi mungkin dapat terlihat pada pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :

Exopthalmus

Stelwag Sign : Jarang berkedip

Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli


waktu melihat ke bawah

Morbus Sign : Sukar konvergensi

Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi

Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup

4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus


5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi

Benjolan

Warna

Permukaan

Bergerak waktu menelan

2. Palpasi

Permukaan, suhu

Batas : Atas : Kartilago tiroid

Bawah : incisura jugularis

Medial : garis tengah leher

Lateral : M. Sternokleidomastoideus

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang
berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap,
pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi

4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia


5. Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat

Dosis awal (mg/hari)

Pemeliharaan (mg/hari)

Karbimazol

30-60

5-20

Metimazol

30-60

5-20

Propiltourasil

300-600

5-200

2. Pengobatan dengan yodium radioaktif


Indikasi :
1. pasien umur 35 tahun atau lebih
2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik
3. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat
antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis
besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Pembedahan merupakan salah satu pilihan pengobatan, sebelum pembedahan pasien
diobati dengan methimazole atau propylthiouracil (PTU). Beberapa ahli memberikan terapi
kombinasi tiroksin dengan OAT dosis tinggi untuk menghambat produksi hormon tiroid
namun pasien tetap dipertahankan eutiroid dengan pemberian tiroksin. Penambahan tiroksin
selama terapi dengan OAT juga akan menurunkan produksi antibodi terhadap reseptor TSH
dan frekuensi kambuhnya hipertiroid.

Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35 tahun atau
lebih, hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah pemberian
OAT, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan OAT dan pada adenoma toksik, goiter
multinodular toksik. Digunakan I131 dengan dosis 5-12mCi per oral.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1. Kesimpulan
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
dan tanpa gejala-gejala hipertiroidi.
Klasifikasi dari struma nodosa non toksik didasarkan atas beberapa hal yaitu berdasarkan
jumlah nodul, berdasarkan kemampuan menangkap iodium aktif dan berdasarkan
konsistensinya.
Etiologi dari struma nodosa non toksik adalah multifaktorial namun kebanyakan
struma diseluruh dunia diakibatkan oleh defisiensi yodium langsung atau akibat makan
goitrogen dalam dietnya.
Gejala klinis tidak khas biasanya penderita datang dengan keluhan kosmetik atau
ketakutan

akan

keganasan

tanpa

keluhan

hipo

atau

hipertiroidi.

Diagnosis ditegakkan dari hasil anamnesa. Pemeriksaan sidik tiroid, pemeriksaan USG,
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (Bajah), termografi, dan petanda Tumor (tumor marker).
Penatalaksanaan meliputi terapi dengan l-thyroksin atau terapi pembedahan yaitu
tiroidektomi berupa reseksi subtotal atau lobektomi total.
Komplikasi dari tindakan pembedahan (tiroidektomi) meliputi perdarahan, terbukanya
vena besar dan menyebabkan embolisme udara, trauma pada nervus laryngeus recurrens,
sepsis, hipotiroidisme dan traceomalasia.
III.2. Saran
Penanganan struma nodosa non toksik perlu perhatian sebab banyak komplikasi yang
ditimbulkan. Dokter umum harus mampu menentukan dan mendiagnosa secara benar serta
memberi penjelasan kepada penderita dan keluarganya sebelum merujuk ke dokter spesialis
untuk penanganan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sri Hartini, KS, Struma Nodosa Non Toksik, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid I, Penerbit FKUI, Jakarta 1996, hal 757-761.

2.

Pisi Lukitto, Frekuensi Tumor Ganas Tiroid pada Kasus Struma Nodosa yang
Dirawat di Bagian Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 1992-1994, dalam
MKB Volume 29 No 4, 1997. Hal 265-266.

3.

Sabiston, David. C. Jr, MD, Buku Ajar Bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus
Andrianto, Timan IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC, Jakarta, 1995, hal 415-427.

4.

Sjamsuhidayat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC,


Jakarta, 1998, hal 926-935.

5.

Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,


Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI.,
Jakarta

6.

Kaplan, Edwin. L, Thyroid and Parathyroid, in Principles of Surgery, New


York, 1994, page : 1611-1621.

7.

Tim Bedah Unair, Struma Nodosa Non Toksika, lab/UPF Bedah FK-UNAIR,
Surabaya, 1988, hal 43-51.

8.

Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.,
Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya

9.

Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta


Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

10.

Leksana, Mirzanie H. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta, 2005. Hal


VIII.1 5

11.

http://www.eMedicine.com

12.

http://www.GraveDisease.com

13.

http://refmedika.blogspot.com/2009/02/graves-disease.html

Anda mungkin juga menyukai