Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 22
KELOMPOK B.8

Disusun Oleh:
Kelompok B.8
Dhiya Silfi Ramadini

04121401008

Alzena Dwi Saltike

04121401009

George Frazteo
Hatina Agsari

04121401010
04121401012

Dwi Andari Maharani

04121401014

Tia Okidita

04121401015

Dico Fatejarum

04121401018

M. Rachmat Budiman
M. Gufron N

04121401022
04121401064

Owen Hu

04121401066

Bagus Prasetyo

04121401067

Stefen Agustinus

04121401081

Ivan Alexander Liando

04121401088

Tutor:
dr. Ziske Maritska

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


TAHUN AJARAN 2014/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya Laporan
Tutorial Skenario A Blok 22 ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan
untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari skenario yang diberikan,
sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami
banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin
menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial
2. Dr. Ziske Maritska selaku tutor kelompok B8
3. Teman-teman sejawat FK Unsri
4. Semua pihak yang telah membantu kami
Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak
kekurangan.Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan di masa mendatang.

Palembang, 14 Desember 2014

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER.............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................

KEGIATAN TUTORIAL............................................................................................................
HASIL TUTORIAL DAN BELAJAR MANDIRI
I. Skenario A Blok 22.............................................................................................................................
II. Klarifikasi Istilah ..............................................................................................................................
III. Identifikasi Masalah.........................................................................................................................
IV. Analisis Masalah...............................................................................................................................
V. Hipotesis...........................................................................................................................................
VI. Kerangka Konsep...........................................................................................................................
VII. Learning Issues.............................................................................................................................

XI. Kesimpulan.........................................................................................................................
Daftar Pustaka......................................................................................................................................

KEGIATAN TUTORIAL

Tutor

: dr. Ziske Maritska, M.Si.Med, MC MGC

Moderator

: Dico Fatejarum

Sekretaris Meja1 : Tia Okidita


Sekertaris Meja 2 : Dwi Andari Maharani
Pelaksanaan

: 15 Desember 2014 dan 17 Desember 2014


Pukul. 13.00 WIB s.d. selesai

Peraturan selama tutorial :


1. Sebelum nyampaikan pendapat harus mengacungkan tangan.
2. Alat komunikasi dan gadget hanya boleh digunakan untuk keperluan diskusi, namun
dalam silent mode dan tidak mengganggu berlangsungnya diskusi.
3. Bila ingin izin keluar, diharapkan melalui moderator.

I. SKENARIO
A 9 years old come to the Moh. Hoesin Hospital with complain of pale and abdominal distention.
She lives in Kayu Agung. She has been already hospitalized two times before (2009 and 2010) in
Kayu Agung General Hospital and always got blood transfution. Her younger brother, 7 years old
looks taller than her. Her uncle was died when he was 21 years old due to the similiar disease like
her.
Physical examination:
Compos mentis, anemis(+), wide epicantus, prominent upper-jaw
HR: 94x/mnt, RR: 27x/mnt, TD:100/70 mmHg, Temp. 36,7oC
Heart and Lung: within normal limit
Abdomen: Hepatic enlargement x , spleen: schoeffner III
Extremities: pallor palm of hand. Others: normal
Laboratory Result:
Hb: 7,6 gr/dl, Ret:1,8%, WBC:10,2x109/lt, Trombocyte: 267x109/lt, diff count:0/2/0/70/22/6
Blood film: anisocytosis, poikilocytosis, hypochrome, target cell (+)
MCV: 64 (fl), MCH: 21 (pg), MCHC: 33 (gr/dl), SI within normal limit, TIBC within normal
limit, serum feritin: within normal limit

II. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Abdominal distention : perut yang membuncit


2. Wide epicantus ; lipatan vertikal pada kedua sisi hidung yang kadang-kadang menutupi kantus
sebelah dalam, yang mengalami pelebaran
3. Blood transfusion : transfusi darah
4. Prominent upper-jaw : tampak penonjolan pada rahang atas
5. Pallor palm of hand : tampak pucat pada telapak tangan
6. Schuffner III : pembesaran lien hingga skala 3 pada skala schoeffner (3/4 dari garis arcus
costae terhadap umbilicus)
7. Anisocytosis: ukuran sel darah merah yang tidak sama
8. Poikylocytosis : bentuk sel darah merah yang bermacam-macam
9. Target cell : sel darah merah yang berbentuk seperti ....
10. Hypocrom : warna sel darah merah yang pucat karna kekurangan kadar hemoglobin

III. IDENTIFIKASI MASALAH

1. A 9 years old come to the Moh. Hoesin Hospital with complain of pale and abdominal
distention
2. She lives in Kayu Agung. She has been already hospitalized two times before (2009 and 2010)
in Kayu Agung General Hospital and always got blood transfution
3. Her younger brother, 7 years old looks taller than her. Her uncle was died when he was 21
years old due to the similiar disease like her.
4. Physical examination:
Compos mentis, anemis(+), wide epicantus, prominent upper-jaw
HR: 94x/mnt, RR: 27x/mnt, TD:100/70 mmHg, Temp. 36,7oC
Heart and Lung: within normal limit
Abdomen: Hepatic enlargement x , spleen: schoeffner III
Extremities: pallor palm of hand. Others: normal
5. Laboratory Result:
Hb: 7,6 gr/dl, Ret:1,8%, WBC:10,2x109/lt, Trombocyte: 267x109/lt, diff count:0/2/0/70/22/6
Blood film: anisocytosis, poikilocytosis, hypochrome, target cell (+)
MCV: 64 (fl), MCH: 21 (pg), MCHC: 33 (gr/dl), SI within normal limit, TIBC within normal
limit, serum feritin: within normal limit

TEMPLATE

1. CARA MENEGAKKAN DIAGNOSIS


Anamnesis
1. Umur pasien
2. Keluhan anemia: Nafsu makan menurun, pucat yang lama (kronis), lemah,lesu, mudah lelah,
pusing, berdebar-debar
3. Mata tampak kuning
4. Mudah infeksi, infeksi berulang ( penurunan mendadak kadar Hb)
5. Perut yang membesar akibat hepatosplenomegali demam dan pertumbuhan/pubertas yang
terhambat
6. Pertumbuhan terlambat
7. Riwayat keluarga yang menderita thalasemia
8. Riwayat transfusi berulang (jika sudah pernah transfusi sebelumnya) kulit menjadi lebih
gelap
9. Riwayat fraktur patologis

Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Keadaan umum pasien


Anemia
Ikterus
Gizi kurang/buruk
Facies Cooley
Hepatosplenomegali
Perawakan pendek
Pubertas terhambat

Pemeriksaan Penunjang
Esensial
1. Darah Tepi lengkap
Hemoglobin rendah
Thalasemia mayor: 2-8 gr/dl
Thalasemia o: 6-8 gr/dl
Sediaan apusan darah tepi: Mikrositer, Hipokrom, Anisositosis, Poikilositosis, sel
eritrosit muda, Fragmentosit, Target sel pada thalasemia , hiperkromik dan beberapa

berinti pada thalasemia o


Indeks eritrosit (MCV,MCH, MCHC, RDW), bila tidak ada sel counter, lakukan uji

resistensi osmotik 1 tabung (fragilitas)


2. Analisa Hemoglobin
Elektroforesis Hemoglobin
- Hb varian kuantitatif (elektroforesis cellulose acetat membrane)
- HbA2 kuantitatif (metoda mikrokolom)
- HbF (alkali denaturasi modifikasi betke 2 menit)
- HbH inclusion bodies (pewarnaan supravital/brilian cresil blue)

Thalasemia o tidak didapatkan HbA, hanya HbF dan HbA2. Pada thalasemia +
kadar HbF 20-90%, HbA2 normal.
Thalasemia o Hb Barts 80%, sisanya Hb Portland.
HbH disease Hb Barts dan HbA2 rendah sampai sedang. Ditemukannya HbH.
Metoda HPLC (Beta short variant Biorad)
Analisis kualitatif dan kuantitatif
3. Pemeriksaan sumsum tulang: Peningkatan sistem eritroid dengan banyak inklusi di prekursor
eritrosit, yang lebih nampak dengan pengecatan metil-violet yang bisa memperlihatkan
endapan globin
4. Radiologi: Penipisan dan peningkatan trabekulasi tulang panjang, gambaran hair on end pada
tlg tengkorak

Pada keadaan tertentu, misalnya diagnosis prenatal:


Analisis DNA

2. DIAGNOSIS BANDING

3. DIAGNOSIS KERJA
Anemia hemolitik et causa thalasemia
4. ETIOLOGI
Thalasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari orangtua kepada anaknya
sejak masih dalam kandungan. Jika pasangan suami-istri adalah pembawa gen thalasemia, maka
kemungkinan anaknya akan menderita thalasemia sebesar 25%, pembawa gen thalasemia (50%)
dan normal (25%).
Thalasemia terjadi karena kelainan atau perubahan pada gen globin atau yang
mengatur produksi rantai atau . Berkurang atau tidak terbentuk sama sekali rantai globin
disebut sebagai Thalassemia. Keadaan ini menyebabkan produksi hemoglobin terganggu dan
umur eritrosit memendek. Dalam keadaan normal, umur eritrosit berkisar 120 hari.

5. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Diperkirakan lebih 2000
penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia

Di Indonesia berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat


thalassemia di Sumatera Selatan sekitar 8%.
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia. Fakta ini
mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak; menyerang hampir
semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di dunia.
Beberapa tipe thalassemia lebih umum terdapat pada area tertentu di dunia. Talasemia ao
ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan Mediterania, talasemia a+ tersebar di Afrika,
Mediterania, Timor Tengah, India dan Asia Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%.
Thalassemia b memiliki distribusi sama dengan thalassemia a Dengan pengecualian di beberapa
negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di mediterania dan bervariasi di Timor Tengah, India
dan Asia Tenggara. HbE yang merupakan varian thalassemia sangat banyak dijumpai di India,
Birma dan beberapa negara Asia Tenggara.
Yayasan Thalassemia Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya 100.000 anak lahir di dunia
dengan Thalassemia mayor. Di Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita
penyakit ini. Sedang mereka yang tergolong thalassemia trait jumlahnya mencapai sekitar
200.000 orang.
Di RSCM sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien thalassemia mayor yang
berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen Anak FKUI-RSCM yang terdiri dari 52,5 %
pasien thalassemia homozigot, 46,2 % pasien thalassemia HbE, serta thalassemia 1,3%.
Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap tahunnya.
Mortalitas dan Morbiditas
Thalassemia- mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin yang terkena akan
lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat. Beberapa laporan pernah
mendeskripsikan adanya neonatus dengan thalassemia- mayor yang bertahan setelah mendapat
transfusi intrauterin. Penderita seperti ini membutuhkan perawatan medis yang ekstensif
setelahnya, termasuk transfusi darah teratur dan terapi khelasi, sama dengan penderita
thalassemia- mayor. Terdapat juga laporan kasus yang lebih jarang mengenai neonatus dengan
thalassemia- mayor yang lahir tanpa hydrops fetalis yang bertahan tanpa transfusi intrauterin.

Pada kasus ini, tingginya level Hb Portland, yang merupakan Hb fungsional embrionik,
diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut.
Pada pasien dengan berbagai tipe thalassemia-, mortalitas dan morbiditas bervariasi sesuai
tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Thalassemia- mayor yang berat akan berakibat fatal
bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia berat atau iron overload adalah penyebab
tersering kematian pada penderita. Penyakit hati, infeksi fulminan, atau komplikasi lainnya yang
dicetuskan oleh penyakit ini atau terapinya termasuk penyebab mortalitas dan morbiditas pada
bentuk thalassemia yang berat.
Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita yang tidak diterapi mereka yang
mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap berisiko mengalami bermacam-macam
komplikasi. Kerusakan organ akibat iron overload, infeksi berat yang kronis yang dicetuskan
transfusi darah, atau komplikasi dari terapi khelasi, seperti katarak, tuli, atau infeksi, merupakan
komplikasi yang potensial.
Ras
Meskipun thalassemia ditemukan pada semua ras dan etnik grup, ada beberapa tipe
thalassemia yang sering ditemukan pada grup tertentu dibanding dengan yang lain. thalassemia
biasa ditemukan di Eropa Selatan, Timur Tengah, India, dan Africa. thalassemia biasa
ditemukan di Asia Tenggara; meskipun juga ditemukan di bagian dunia yang lain. Mutasi spesifik
pada thalassemia sudah dapat discrenning dan didiagnostik kelainannya. thalassemia trait di
Afrika biasanya bukan dari cis-delesi dari kromosom 16, berbeda dengan di Asia Tenggara,
dimana terjadi komplit absence dari gene pada salah satu chromosome. Pada kedua orang tua
yang memiliki cis-delesi, bayinya bisa saja mengalami hydrops fetalis. Karena alasan ini, hydrops
fetalis tidak beresiko tinggi pada orang Afrika tetapi beresiko tinggi pada Asia Tenggara.
Sex
Baik pria maupun wanita,keduanya memiliki kemungkinan yang sama
Usia
Meskipun thalassemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat timbulnya gejala
bervariasi secara signifikan. Dalam talasemia, kelainan klinis pada pasien dengan kasus-kasus
yang parah dan temuan hematologik pada pembawa (carrier) tampak jelas pada saat lahir.
Ditemukannya hipokromia dan mikrositosis yang tidak jelas penyebabnya pada neonatus,
digambarkan di bawah ini, sangat mendukung diagnosis.

Namun, pada thalassemia- berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh kedua tahun
pertama kehidupan; sampai waktu itu, produksi rantai globin dan penggabungannya ke Hb Fetal
dapat menutupi gejala untuk sementara.
Bentuk thalassemia ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai usia. Banyak
pasien dengan kondisi thalassemia- homozigot yang jelas (yaitu, hipokromasia, mikrositosis,
elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua orang tua terpengaruh) mungkin tidak
menunjukkan gejala atau anemia yang signifikan selama beberapa tahun. Hampir semua pasien
dengan kondisi tersebut dikategorikan sebagai thalassemia- intermedia. Situasi ini biasanya
terjadi jika pasien mengalami mutasi yang lebih ringan, yaitu gabungan heterozygote B+ dan B -0
thalssemia, atau gabungan dengan heterozygote yang lain.

6. PATOGENESIS

7. TATALAKSANA (MEDIKAMENTOSA DAN NON MEDIKAMENTOSA)


a. Transfusi darah teratur yang perlu dilakukan untuk mempertahankan Hb di atas 10 gr/dl
tiap saat. Hal ini biasanya membutuhkan 2-3 unit tiap 4-6 minggu. Darah segar, yang telah
disaring untuk memisahkan leukosist, menghasilkan eritrosit dengan ketahanan yang
terbaik dan reaksi paling sedikit. Pasien harus diperiksa genotipnya pada permulaan
program transfuse untuk mengantisipasi bila timbul antibody eritrosit terhadap eritrosit
yang ditransfusikan.
b. Asam folat diberikan secara teratur (misal 5 mg/hari) jika asupan diet buruk
c. Terapi khelasi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi. Desferioksamin dapat
diberikan melalui kantung infus terpisah sebanyak 1-2 g untuk tiap unit darah yang
ditransfusikan dan melalui infus subkutan 20-40 mg/kg dalam 8-12 jam, 5-7 hari seminggu.
Hal ini dilaksanakan pada bayi setelah pemberian transfusi 10-15 unit darah.
d. Vitamin C (200 mg perhari) meningkatkan eksresi besi yang disebabkan oleh
desferioksamin.
e. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.
f. Splenektomi mungkin perlu untuk mengurangi kebutuhan darah. Splenektomi harus
ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya resiko infeksi pasca splenektomi.
g. Transplantasi sum-sum tulang alogenik memberi prospek kesembuhan permanent. Tingkat
kesuksesan adalah lebih dari 80% pada pasien muda yang mendapat khelasi secara baik
tanpa disertai adanya fibrosis hati atau hepatomegali.
h. Terapi endokrin
i. Imunisasi hepatitis B
j. Koenzim Q10 dan Talasemia
k. Adanya kerusakan sel darah merah dan zat besi yang menumpuk di dalam tubuh akibat
talasemia, menyebabkan timbulnya aktifasi oksigen atau yang lebih dikenal dengan radikal
bebas. Radikal bebas ini dapat merusak lapisan lemak dan protein pada membram sel, dan
organel sel, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel. Biasanya

kerusakan ini terjadi di organ-organ vital dalam tubuh seperti hati, pankreas, jantung dan
kelenjar pituitari. Oleh sebab itu penggunaan antioksidan, untuk mengatasi radikal bebas,
sangat diperlukan pada keadaan talasemia.
l. Dari penelitian yang dilakukan oleh Siriraj Hospital, Universitas Mahidol , Bangkok,
Thailand, ditemukan bahwa kadar koenzim Q 10 pada penderita talasemia sangat rendah.
Pemberian suplemen koenzim Q 10 pada penderita talasemia terbukti secara signifikan
mampu menurunkan radikal bebas pada penderita talasemia. Oleh sebab itu pemberian
koenzim Q 10 dapat berguna sebagai terapi ajuvan pada penderita talasemia untuk
meningkatkan kualitas hidup.
m. Terapi genetik (masih dalam penelitian)

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

Darah tepi

Hb rendah dapat sampai 2-3 g%

Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat


dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.

b.

c.

Retikulosit meningkat.

Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)

Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak dari jenis asidofil.

Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.

Pemeriksaan khusus :

Hb F meningkat : 20%-90% Hb total

Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F.

Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalassemia mayor merupakan trait


(carrier) dengan Hb A2 meningkat (> 3,5% dari Hb total).

4)

Pemeriksaan lain

Foto Ro tulang kepala;


Gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak

lurus pada korteks.

Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang;


Perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

Hematologi rutin
Evaluasi sediaan hapus darah tepi
Feritin
Analisis hemoglobin
Bila diperlukan, pemeriksaan DNA/sitogenetika

9. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga
ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, ku.lit, jantung dan lainnya. Hal ini
dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut. Limpa yang besar mudah rupture akibat
trauma yang ringan. Kadang-kadang thalasemia disertai oleh tanda hipersplenisme seperti
leukopenia dan trombopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.

Kelebihan Fe (khususnya pada pemberian transfuse)


Komplikasi pada jantung, contoh constrictive pericarditis to heart failure and

arrhythmias.
Komplikasi pada hati, contoh hepatomegali sampai cirrhosis.
Komplikasi jangka panjang, contoh HCV.
Komplikasi hematologic, contoh VTE.
Komplikasi pada endokrin, seperti endokrinopati, DM.
Gagal tumbuh karena diversi dari sumber kalori untuk eritropoesis.
Fertil, seperti terjadi hypogonadotrophic hypogonadism dan gangguan kehamilan.

10. PENCEGAHAN
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan
thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu secara
retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan
penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor.
Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi
karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia

dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing),
konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.
a. Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam
program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat
genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang cukup
tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan
tentang gejala awal thalassemia.
b. Skrining karier
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada suatu populasi,
idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi
individu dan pasangan karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan
thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
c. Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier dilakukan. Tenaga
kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining dan harus mampu
menginformasikan pada peserta skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Hal
yang harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri
yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal.
d. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada wanita
hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut
teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin
serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. Saat ini, program ini
hanya ditujukan pada thalassemia + dan O yang tergantung transfusi dan sindroma Hb Barts
hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan. Metode yang digunakan
adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan
melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga ahli, pengambilan sampel

dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih dini, yaitu pada usia gestasi 9 minggu. Namun
WHO menganjurkan biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada usia kurang
dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh prosedur pengambilan sampel janin
harus dilakukan oleh ahli fetomaternal dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko terjadinya
abortus pada biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli. Sedangkan
tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia
kehamilan > 14 minggu. Hal ini dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin yang baru lepas dalam
jumlah cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah, namun mempunyai
kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah janin (fetal nucleated red blood
cell) sebagai sumber DNA janin dari darah perifer ibu. DNA janin dianalisis dengan metode
polymerase chain reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan Southern
blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction fragmen length polymorphism
(RFLP) analysis. Seiring dengan munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil
dengan janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang dikembangkan
diagnosis pranatal untuk thalassemia sebelum terjadinya implantasi janin dengan polar body
analysis.
Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari usia gestasi. Pada umumnya
dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan medisinalis. Dengan standar prosedur yang sesuai,
kedua metode ini, baik operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang baik dalam
pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan seringkali mendasarkan
pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia gestasi kurang dari 13 minggu, metode standar
pengakhiran kehamilan adalah suction method . Setelah 14 minggu, aborsi dilakukan dengan
induksi prostaglandin. Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah kombinasi antara
medisinalis dan cara operatif.
11.PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari ringan bahkan
asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa, tergantung pula pada terapi dan komplikasi yang
terjadi.
12. KDU
4A (Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter)

Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai seluruh


teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi, dan pengendalian
komplikasi. Selain pernah melakukannya di bawah supervisi, pengujian keterampilan tingkat
kemampuan 4 dengan menggunakan Workbased Assessment misalnya mini-CEX, portfolio,
logbook, dsb.
1. Thalasemia
Thalassemia adalah sekelompok anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat
keparahan. Defek genetik yang mendasari meliputi delesi total atau parsial gen globin dan
substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Akibat dari berbagai perubahan ini adalah penurunan
atau tidak adanya mRNA bagi satu atau lebih rantai globin atau pembentukan mRNA yang cacat
secara fungsional. Akibatnya adalah penurunan dan supresi total sintesis rantai polipeptida Hb.
Kira-kira 100 mutasi yang berbeda telah ditemukan mengakibatkan fenotip thalassemia; banyak
di antara mutasi ini adalah unik untuk daerah geografi setempat. Pada umumnya, rantai globin
yang disintesis dalam eritrosit thalassemia secara struktural adalah normal. Pada bentuk
thalassemia- yang berat, terbentuk hemoglobin hemotetramer abnormal ( 4 atau 4) tetapi
komponen polipeptida globin mempunyai struktur normal. Sebaliknya, sejumlah Hb abnormal
juga menyebabkan perubahan hemotologi mirip thalassemia.
Gen thalassemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik
manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah-daerah perbatasan Laut
Mediterania, sebagian besar Afrika, Timur Tengah, sub-benua India, dan Asia Tenggara. Dari 3%
sampai 8% orang Amerika keturunan Itali atau Yunani dan 0,5 % dari kulit hitam Amerika
membawa gen untuk thalassemia-. Di beberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40 % dari
populasi mempunyai satu atau lebih gen thalassemia.
A. Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia. Fakta ini
mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak; menyerang hampir
semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di dunia.
Beberapa tipe thalassemia lebih umum terdapat pada area tertentu di dunia. Thalassemia-
lebih sering ditemukan di negara-negara Mediteraniam seperti Yunani, Itali, dan Spanyol. Banyak
pulau-pulau Mediterania seperti Ciprus, Sardinia, dan Malta, memiliki insidens thalassemia-
mayor yang tinggi secara signifikan. Thalassemia- juga umum ditemukan di Afrika Utara, India,
Timur Tengah, dan Eropa Timur. Sebaliknya, thalassemia- lebih sering ditemukan di Asia
Tenggara, India, Timur Tengah, dan Afrika.

Mortalitas dan Morbiditas


Thalassemia- mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin yang terkena akan
lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat. Beberapa laporan pernah
mendeskripsikan adanya neonatus dengan thalassemia- mayor yang bertahan setelah mendapat
transfusi intrauterin. Penderita seperti ini membutuhkan perawatan medis yang ekstensif
setelahnya, termasuk transfusi darah teratur dan terapi khelasi, sama dengan penderita
thalassemia- mayor. Terdapat juga laporan kasus yang lebih jarang mengenai neonatus dengan
thalassemia- mayor yang lahir tanpa hydrops fetalis yang bertahan tanpa transfusi intrauterin.
Pada kasus ini, tingginya level Hb Portland, yang merupakan Hb fungsional embrionik,
diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut.
Pada pasien dengan berbagai tipe thalassemia-, mortalitas dan morbiditas bervariasi sesuai
tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Thalassemia- mayor yang berat akan berakibat fatal
bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia berat atau iron overload adalah penyebab
tersering kematian pada penderita. Penyakit hati, infeksi fulminan, atau komplikasi lainnya yang
dicetuskan oleh penyakit ini atau terapinya termasuk merupakan penyebab mortalitas dan
morbiditas pada bentuk thalassemia yang berat.
Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita yang tidak diterapi; mereka
yang mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap berisiko mengalami bermacam-macam
komplikasi. Kerusakan organ akibat iron overload, infeksi berat yang kronis yang dicetuskan
transfusi darah, atau komplikasi dari terapi khelasi, seperti katarak, tuli, atau infeksi, merupakan
komplikasi yang potensial.
Usia
Meskipun thalassemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat timbulnya gejala
bervariasi secara signifikan. Dalam talasemia, kelainan klinis pada pasien dengan kasus-kasus
yang parah dan temuan hematologikpada pembawa (carrier) tampak jelas pada saat lahir.
Ditemukannya hipokromia dan mikrositosis yang tidak jelas penyebabnya pada neonatus,
digambarkan di bawah ini, sangat mendukung diagnosis.

Gambar 1. Sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H pada neonatus


Namun, pada thalassemia- berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh kedua tahun
pertama kehidupan; sampai waktu itu, produksi rantai globin dan penggabungannya ke Hb Fetal
dapat menutupi gejala untuk sementara.
Bentuk thalassemia ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai usia. Banyak
pasien dengan kondisi thalassemia- homozigot yang jelas (yaitu, hipokromasia, mikrositosis,
elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua orang tua terpengaruh) mungkin tidak
menunjukkan gejala atau anemia yang signifikan selama beberapa tahun. Hampir semua pasien
dengan kondisi tersebut dikategorikan sebagai thalassemia- intermedia. Situasi ini biasanya
terjadi jika pasien mengalami mutasi yang lebih ringan.
B. Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan produksi rantai
globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin tertentu (,,,) akan menghentikan
sintesis Hb dan menghasilkan ketidakseimbangan dengan terjadinya produksi rantai globin lain
yang normal.
Karena dua tipe rantai globin ( dan non-) berpasangan antara satu sama lain dengan rasio
hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi produksi berlebihan dari rantai
globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai tersebut di dalam sel menyebabkan sel menjadi
tidak stabil dan memudahkan terjadinya destruksi sel. Ketidakseimbangan ini merupakan suatu
tanda khas pada semua bentuk thalassemia. Karena alasan ini, pada sebagian besar thalassemia
kurang sesuai disebut sebagai hemoglobinopati karena pada tipe-tipe thalassemia tersebut
didapatkan rantai globin normal secara struktural dan juga

karena defeknya terbatas pada

menurunnya produksi dari rantai globin tertentu.


Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi. Reduksi bervariasi
dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama sekali (complete absence). Sebagai
contoh, apabila rantai hanya sedikit diproduksi, tipe thalassemia-nya dinamakan sebagai
thalassemia-+, sedangkan tipe thalassemia- menandakan bahwa pada tipe tersebut rantai
tidak diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari gangguan produksi rantai globin mengakibatkan
berkurangnya deposisi Hb pada sel darah merah (hipokromatik). Defisiensi Hb menyebabkan sel
darah merah menjadi lebih kecil, yang mengarah ke gambaran klasik thalassemia yaitu anemia
hipokromik mikrositik. Hal ini berlaku hampir pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh
adanya gangguan produksi dari salah satu atau kedua komponen Hb : heme atau globin. Namun
hal ini tidak terjadi pada silent carrier, karena pada penderita ini jumlah Hb dan indeks sel darah
merah berada dalam batas normal.

Pada tipe trait thalassemia- yang paling umum, level Hb A2 ( 2/2) biasanya meningkat. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai oleh rantai bebas yang eksesif, yang
mengakibatkan terjadinya kekurangan rantai adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen , tidak
seperti gen dan , diketahui memiliki keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya untuk
memproduksi rantai yang stabil; dengan berpasangan dengan rantai , rantai memproduksi Hb
A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai yang berlebihan digunakan untuk
membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai ) akan terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan
membran sel, mengintervensi divisi sel normal, dan bertindak sebagai benda asing sehingga
terjadinya destruksi dari sel darah merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang
berlebihan bervariasi berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai pada
thalassemia- lebih nyata dibandingkan toksisitas rantai pada thalassemia-).
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia- mayor atau anemia Cooley, berlaku
patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang berlebihan. Kelebihan rantai
bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai akan menyebabkan terjadinya pemecahan
prekursor sel darah merah di sumsum tulang (eritropoesis inefektif).
Produksi Rantai Globin
Untuk memahami perubahan genetik pada thalassemia, kita perlu mengenali dengan baik
proses fisiologis dari produksi rantai globin pada orang sehat atau normal. Suatu unit rantai
globin merupakan komponen utama untuk membentuk Hb : bersama-sama dengan Heme, rantai
globin menghasilkan Hb. Dua pasangan berbeda dari rantai globin akan membentuk struktur
tetramer dengan Heme sebagai intinya. Semua Hb normal dibentuk dari dua rantai globin (atau
mirip-) dan dua rantai globin non-. Bermacam-macam tipe Hb terbentuk, tergantung dari tipe
rantai globin yang membentuknya. Masing-masing tipe Hb memiliki karakteristik yang berbeda
dalam mengikat oksigen, biasanya berhubungan dengan kebutuhan oksigen pada tahap-tahap
perkembangan yang berbeda dalam kehidupan manusia.
Pada masa kehidupan embrionik, rantai (rantai mirip-) berkombinasi dengan rantai
membentuk Hb Portland (22) dan dengan rantai untuk membentuk Hb Gower-1 (22).
Selanjutnya, ketika rantai telah diproduksi, dibentuklah Hb Gower-2, berpasangan dengan
rantai (22). Hb Fetal dibentuk dari 22 dan Hb dewasa primer (Hb A) dibentuk dari 22. Hb
fisiologis yang ketiga, Hb A2, dibentuk dari rantai 22.

Gambar 2. Gen rantai yang berduplikasi pada kromosom 16 berpasangan dengan rantairantai non- untuk memproduksi bermacam-macam Hb normal.

Patofisiologi seluler
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan sintesis rantai globin.
Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai globin yang berlebihan berbeda-beda pada
tiap tipe thalassemia. Pada thalassemia-, rantai yang berlebihan, tidak mampu membentuk Hb
tetramer, terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah dan, dengan berbagai cara,
menimbulkan hampir semua gejala yang bermanifestasi pada sindroma thalassemia-; situasi ini
tidak terjadi pada thalassemia-.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia- adalah rantai pada tahun-tahun pertama
kehidupan, dan rantai pada usia yang lebih dewasa. Rantai-rantai tipe ini relatif bersifat larut
sehingga mampu membentuk homotetramer yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu tetap
bertahan (viable) dan dapat memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart ( 4) dan Hb H (4).
Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini mempengaruhi perbedaan besar pada manifestasi klinis
dan tingkat keparahan dari penyakit ini.
Rantai yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat tidak larut
(insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran sel (mengakibatkan
kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
destruksi intramedular dari prekursor sel darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel yang bertahan
yang sampai ke sirkulasi darah perifer dengan intracellular inclusion bodies (rantai yang
berlebih) akan mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis
inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari rantai , yang
mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai yang berlebihan untuk membentuk Hb F,

adalah suatu hal yang menguntungkan. Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak diragukan
lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb tambahan yang memiliki
kemampuan untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat, menimbulkan
mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada penderita dengan thalassemia-.
Peningkatan level Hb F akan meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia,
dimana, bersama-sama dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari eritropoetin.
Akibatnya, ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif akan menyebabkan ekspansi tulang
berat dan deformitas. Baik penyerapan besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi
untuk menambah gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah merah
abnormal dalam jumlah besar akan diproses di limpa, yang bersama-sama dengan adanya
hematopoesis sebagai respon dari anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan splenomegali
masif yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya hipersplenisme.
Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara teratur, maka
ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat dicegah atau dikembalikan
seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan secara teori hanya akan lebih merugikan
pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang sebenarnya, karena penyerapan besi diregulasi
oleh dua faktor utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi pada penderita yang bersangkutan.
Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan peningkatan absorpsi besi karena adanya
downregulation dari gen HAMP, yang memproduksi hormon hepar yang dinamakan hepcidin,
regulator utama pada absorpsi besi di usus dan resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada
penderita dengan thalassemia intermedia.
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki, dan terjadi
peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan berkurang dan makrofag
akan mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi menurun akibat
meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada penderita thalassemia- berat
karena diduga faktor plasma menggantikan mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya
produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan
iron overload.
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama ferroportin,
yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju plasma dan menghantarkan
besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah
hepsidin. Hubungan ini juga menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia- yang
memiliki jumlah besi yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah
mereka mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia-

intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah
dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfusi darah secara teratur, meskipun
keduanya memiliki jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan protein
pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada thalassemia berat, transferrin
tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini cukup berbahaya karena memiliki
material untuk memproduksi hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ,
seperti jantung, kelenjar endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organorgan tersebut (organ damage).
Hipotesa Malaria
Pada tahun 1949, Haldane menyatakan adanya suatu keuntungan selektif untuk bertahan
hidup pada individu dengan trait thalassemia pada daerah endemik malaria. Hardane berpendapat
bahwa penyakit sel darah merah letal seperti pada thalassemia, anemia sel sabit, dan defisiensi
G6PD terdapat hampir secara eksklusif pada daerah tropis dan subtropis. Insidens dari mutasi
genetik ini pada populas tertentu merefleksikan adanya keseimbangan antara kematian dini pada
penderita homozigot dengan peningkatan kesehatan pada penderita heterozigot.
Mekanisme proteksi terhadap malaria pada penderita trait thalassemia belum jelas. Sel Hb F
telah didemonstrasikan dapat menghambat pertumbuhan parasit malaria, dan, berdasarkan
tingginya level Hb F tersebut pada bayi dengan trait thalassemia-, malaria serebral fatal yang
diketahui dapat menyebabkan kematian pada bayi tersebut dapat dicegah. Sel darah merah pada
penderita Penyakit Hb H juga memiliki semacam efek supresif terhadap pertumbuhan parasit.
Namun efek ini tidak ditemukan pada penderita dengan trait thalassemia-.
C. Klasifikasi Thalassemia dan Presentasi Klinisnya
Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing melibatkan penurunan
produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk bermacam-macam jenis Hb yang
ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang paling penting dalam praktek klinis adalah sindrom
yang mempengaruhi baik atau sintesis rantai maupun .
Thalassemia-
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin- banyak ditemukan di
Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi gen globin- menyebabkan
sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin- pada individu normal, dan empat bentuk
thalassemia- yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat
gen ini
Tabel 1. Thalassemia-

Genotip

Jumlah gen

/
4
-/
3
--/ atau 2

Presentasi Klinis
Normal
Silent carrier
Trait thal-

Hemoglobin Elektroforesis
Saat Lahir
> 6 bulan
N
N
0-3 % Hb Barts
N
2-10% Hb Barts
N

/-
--/-
1
Penyakit Hb H
15-30% Hb Bart
--/-0
Hydrops fetalis
>75% Hb Bart
Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Barts = 4, HbH = 4

Hb H
-

Silent carrier thalassemia-


o Merupakan tipe thalassemia subklinik yang paling umum, biasanya ditemukan
secara kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik Afro-Amerika. Seperti
o

telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen yang terletak pada kromosom 16.
Pada tipe silent carrier, salah satu gen pada kromosom 16 menghilang,
menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara hematologis,
hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang rendah dalam

beberapa pemeriksaan.
Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan elektroforesis
Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa juga dicari akan
adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga ( misalnya orangtua) untuk
mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah satu orangtua yang
menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa penyebab yang jelas
merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis thalasemia.

Trait thalassemia-
o Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah yang
rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen pada satu kromosom 16
atau satu gen pada masing-masing kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di
o

Asia Tenggara, subbenua India, dan Timur Tengah.


Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts ( 4) dapat ditemukan
pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan
kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal.

Gambar 3. Thalassemia alpha menurut hukum Mendel

Penyakit Hb H
o Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin , merepresentasikan
thalassemia-

intermedia,

dengan

anemia

sedang

sampai

berat,

splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital akan
tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer (Hb H)
yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies.

Gambar 4.

Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi

Penyakit Hb H yang menunjukkan Heinz-Bodies

Thalassemia- mayor
o Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen globino

, disertai dengan tidak ada sintesis rantai sama sekali.


Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2 semuanya mengandung rantai , maka tidak
satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts ( 4) mendominasi pada bayi yang
menderita, dan karena 4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi, maka bayi-bayi
itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah kecil Hb
embrional normal (Hb Portland = 22), yang berfungsi sebagai pengangkut

oksigen.
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir
hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan
gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan
manajemen neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung dengan
transfusi.

Thalassemia-
Sama dengan thalassemia-, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalassemia-; antara lain :

Silent carrier thalassemia-


o Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai eritrosit yang
rendah. Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan suatu
o

thalassemia-+.
Bentuk silent carrier thalassemia- tidak menimbulkan kelainan yang dapat
diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen untuk keadaan ini, jika

diwariskan bersama-sama dengan gen untuk thalassemia-, menghasilkan


sindrom thalassemia intermedia.

Gambar 5. Thalassemia beta menurut Hukum Mendel

Trait thalassemia-
o Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis
Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb A2, Hb F, atau keduanya

Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia
defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi
selama waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia-
mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%). Kira-kira 50% individu
ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil
kasus, yang benar-benar khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF
berkisar dari 5% sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe .

Thalassemia- yang terkait dengan variasi struktural rantai


o Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media hingga seberat
o

thalassemia- mayor
Ekspresi gen homozigot thalassemia (+) menghasilkan sindrom mirip anemia
Cooley yang tidak terlalu berat (thalassemia intermedia). Deformitas skelet dan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb mereka biasanya

bertahan pada 6-8 gr/dL tanpa transfusi.


Kebanyakan bentuk thalassemia- heterozigot terkait dengan anemia ringan.

Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai normal menurut umur.
Eritrosit adalah mikrositik hipokromik dengan poikilositosis, ovalositosis, dan
seringkali bintik-bintik basofil. Sel target mungkin juga ditemukan tapi biasanya

tidak mencolok dan tidak spesifik untuk thalassemia.


MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan MCH juga rendah (<26 pg). Penurunan ringan
pada ketahanan hidup eritrosit juga dapat diperlihatkan, tetapi tanda hemolisis

biasanya tidak ada. Kadar besi serum normal atau meningkat.


Thalassemia- homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
o bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kedua
kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada penderita ini untuk
mencegah kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh
anemia. Tanpa transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun pertama
o

kehidupan.
Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima
transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik
disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan
fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di wajah dan
tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.

Gambar 6. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies Cooley)

Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat kekuningan.


Limpa

dan

hati

membesar

karena

hematopoesis

ekstrameduler

dan

hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa mungkin sedemikian


besarnya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme
sekunder.

Gambar 7. Splenomegali pada thalassemia


o

Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau tidak
terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang disebabkan
oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung, termasuk aritmia

dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh siderosis miokardium
o

sering merupakan kejadian terminal.


Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia- homozigot yang tidak
ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat, banyak
ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre) dan sel target.
Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah
splenektomi. Inklusi intraeritrositik, yang merupakan presipitasi kelebihan rantai
, juga terlihat pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi < 5
gr/dL kecuali mendapat transfusi.

Kadar serum besi tinggi dengan saturasi

kapasitas pengikat besi (iron binding capacity). Gambaran biokimiawi yang


nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi dalam eritrosit.

D. Stadium Thalassemia
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalassemia berdasarkan jumlah kumulatif
transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk menentukan tingkat gejala yang melibatkan
kardiovaskuler dan untuk memutuskan kapan untuk memulai terapi khelasi pada pasien dengan
thalassemia- mayor atau intermedia. Pada sistem ini, pasien dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
:

Stadium I
o Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit Packed Red
Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada echokardiogram (ECG)
hanya ditemukan sedikit penebalan pada dinding ventrikel kiri, dan

elektrokardiogram (EKG) dalam 24 jam normal.


Stadium II
o Merupakan mereka yang mendapat transfusi antara 100-400 unit PRC dan
memiliki keluhan lemah-lesu. Pada ECG ditemukan penebalan dan dilatasi pada
dinding ventrikel kiri. Dapat ditemukan pulsasi atrial dan ventrikular abnormal

pada EKG dalam 24 jam


Stadium III
o Gejala berkisar dari palpitasi hingga gagal jantung kongestif, menurunnya fraksi
ejeksi pada ECG. Pada EKG dalam 24 jam ditemukan pulsasi prematur dari atrial
dan ventrikular.

E. Terapi
Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut setelah

diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan kecuali memang dipastikan
terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan apabila nilai Hb yang potensial pada
penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan konseling pada semua penderita dengan kelainan
genetik, khususnya mereka yang memiliki anggota keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit
thalassemia berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen transfusi darah
merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi darah harus dimulai pada
usia dini ketika anak mulai mengalami gejala dan setelah periode pengamatan awal untuk menilai
apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa transfusi.
Transfusi Darah

Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap pada level 9-9.5 gr/dL

sepanjang waktu.
Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka dibutuhkan suatu studi
lengkap untuk keperluan pretransfusi. Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip sel darah

merah, vaksinasi hepatitis B (bila perlu), dan pemeriksaan hepatitis.


Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit; 10-15 mL/kg PRC dengan
kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu biasanya merupakan regimen yang adekuat

untuk mempertahankan nilai Hb yang diinginkan.


Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan difenhidramin sebelum transfusi untuk
mencegah demam dan reaksi alergi.

Komplikasi Transfusi Darah


Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi bahan infeksius
ataupun terjadinya iron overload. Penderita thalassemia mayor biasanya lebih mudah untuk
terkena infeksi dibanding anak normal, bahkan tanpa diberikan transfusi.

Beberapa tahun lalu,

25% pasien yang menerima transfusi terekspose virus hepatitis B. Saat ini, dengan adanya
imunisasi, insidens tersebut sudah jauh berkurang. Virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab
utama hepatitis pada remaja usia di atas 15 tahun dengan thalassemia. Infeksi oleh organisme
opurtunistik dapat menyebabkan demam dan enteriris pada penderita dengan iron overload,
khususnya mereka yang mendapat terapi khelasi dengan Deferoksamin (DFO). Demam yang
tidak

jelas

penyebabnya,

Sulfametoksazol.
Terapi Khelasi (Pengikat Besi)

sebaiknya

diterapi

dengan

Gentamisin

dan

Trimetoprim-

Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat menunda
onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat mencegah kelainan

jantung tersebut.
Chelating agent

yang biasa dipakai adalah DFO yang merupakan kompleks

hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat penting
untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi negatif (lebih
banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak diserap di usus, maka rute

pemberiannya harus melalui parenteral (intravena, intramuskular, atau subkutan).


Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam saat
pasien tidur selama 5 hari/minggu.

Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)


TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk thalassemia yang saat ini diketahui.
Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya hepatomegali, fibrosis portal, dan
terapi khelasi yang inefektif sebelum transplantasi dilakukan. Prognosis bagi penderita yang
memiliki ketiga karakteristik ini adalah 59%, sedangkan pada penderita yang tidak memiliki
ketiganya adalah 90%.Meskipun transfusi darah tidak diperlukan setelah transplantasi sukses
dilakukan, individu tertentu perlu terus mendapat terapi khelasi untuk menghilangkan zat besi
yang berlebihan. Waktu yang optimal untuk memulai pengobatan tersebut adalah setahun setelah
TSSH. Prognosis jangka panjang pasca transplantasi , termasuk fertilitas, tidak diketahui. Biaya
jangka panjang terapi standar diketahui lebih tinggi daripada biaya transplantasi. Kemungkinan
kanker setelah TSSH juga harus dipertimbangkan.
Terapi Bedah
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada pasien dengan
thalassemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi nontoksik(yaitu, fungsi
penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel darah merah dan distribusi besi. Faktafakta ini harus selalu dipertimbangkan sebelum memutuskan melakukan splenektomi.. Limpa
berfungsi sebagai penyimpanan untuk besi nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari
besi tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat membahayakan.
Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi hiperaktif, menyebabkan
penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian meningkatkan kebutuhan
transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-250 mL / kg
PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL karena dapat menurunkan kebutuhan
sel darah merah sampai 30%.

Gambar 8. Splenektomi
Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur sekarang
dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila memungkinkan sampai anak
berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu diberikan untuk
setiap keluhan demam sambil menunggu hasil kultur. Dosis rendah Aspirin setiap hari juga
bermanfaat jika platelet meningkat menjadi lebih dari 600.000 / L pasca splenektomi.
Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen sebagai berikut : asam folat,
asam askorbat dosis rendah, dan alfa-tokoferol. Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan
yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu mengurangi
penyerapan zat besi di usus.
F. Skrining
Dapat dilakukan skrining premarital dengan menggunakan pedigree. Atau bisa juga dilakukan
pemeriksaan terhadap setiap wanita hamil berdasar ras, melalui ukuran eritrosit, kadar Hb A2
(meningkat pada thalassemia-). Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa
menganalisis rantai .

G. Prognosis
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari ringan bahkan
asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa.

2. Anemia hemolitik
Secara definisi anemi hemolitik adalah suatu keadaan anemi yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum
tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya
sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut,
penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum
tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal., hal ini terjadi bila umur
eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemi, namun bila
sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemi.
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemi hemolitik tetapi juga terjadi pada
keadaan eritropoisis ineffektip seperti pada anemi megaloblastik dan thalassemia. Hormon
eritropoitin akan merangsang terjadinya hiperplasi eritroid (eritropoitin-induced eritroid
hyperplasia) dan ini akali diikuti dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal.
Anemi terjadi bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup
dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum tulang
mampu mengatasi keadaan tersebut diatas sehingga tidak terjadi anemi, keadaan ini disebut
dengan istilah anemia hemolitik kompensated. Ada dua faktor utama dan mendasar yang
memegang peranan penting untuk terjadinya anemi hemolitik yaitu:
1. FAKTOR INSTRINSIK (Intra Korpuskuler).
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu : a) Kelainan membrane, b) Kelainan
molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzym yang berperan dalam metabolisme sel
eritrosit. Sebagai contoh: bila darah yang sesuai ditransfusikan pada pasien dengan kelainan intra
korpuskuler maka sel eritrosi tersebut akan hidup secara normal, sebaliknya bila sel eritrosit
dengan kelainan dengan kelainan intra korpuskuler tersebut ditransfusikan pada orang normal,
maka sekeritrosit tersebut akan mudah hancur atau lisis.
2. KELAINAN FAKTOR EKSTRINSIK (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (aquaired) dan selalu disebabkan oleh faktor immune
dan non immune, bila eritrosit normal di transfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel

eritrosit tersebut menjadi lebih cepat ,sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra
korpuskuler di transfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan secara normal. Umur sel
eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemi hemolitik, ada beberapa penyakit
yang menyebabkan anemi dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam
anemi hemolitik, diantaranya yaitu : a. leukemia, b. limfoma malignum, c. gagal ginjal kronik, d.
penyakit liver kronik, e. rheumatoid artheritis, f. anemi megaloblastik.

Gambar. Tabel klasifikasi anemia hemolitik


Sumber: Rubenstein, David, et al. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Untuk membantu menegakan diagnostik anemi hemolitik pemeriksaan laborutorium memegang
peranan yang sangat penting sekali, selain pemeriksaan klinis dan fisis diagnostik, diagnostik
hanya dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan fisis diagnostik dan pemeriksaan laboratorium.
Kelainan fisis diagnostik yang umumnya didapat adalah berupa adanya: a) anemi, b) ictherus c)
dan mungkin pembesaran limpa (splenomegali) akan memberikan kesan kemungkinan adanya

anemi hemolitik. Secara garis besar kemungkinan anemi hemolitik dapat kita pertimbangkan bila
pada pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti tersebut dibawah ini
yaitu:
1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang
berlebihan.
2. Kelaianan laboratorium yang acta hubungannya dengan meningkatnya kompensasi dalam
proses eritropoisis.
3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat diagnostic banding dari anemi
hemolitik.
Kelainan

laboratorium

yang

menunjukkan

adanya

tanda-tanda

meningkatnya

proses

penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa:
1. Berkurangnya umur sel eritrosit
Umur eritrosit dapat diukur dengan menggunakan Cr-Labeled eritrosit, pada anemi hemolitik
umur eritrosit dapat berkurang sampai 20 hari. Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita
lihat dari tingkat anemi, ictherus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itulah pemeriksaan
umur eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan rutin untuk menegakan diagnostic
anemi hemolitik.
2. Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
a. Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
b. Meningkatnya pembentukan CO yang endogen
c. Meningkatnya kadar billirubin darah (hyperbillirubinemi).
d. Meningkatnya exkresi urobillinogen dalam urine.
3. Meningkatnya kadar enzym Lactat dehydrogenase (LDH) serum.
- Enzym LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel eritrosit, kadar LDH
dapat mencapai 1200 U/ml.
- Isoenzym LDH-2 lebih dominan pada anemi hemolitik sedang isoenzym LDH-1 akan meninggi
pada anemi megaloblastik.
4. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:
a. Hemoglobinemi (meningkatnya kadar Hb.plasma)
b. Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
c. Hemoglobinuri (meningkatnya Hb.urine).
d. Hemosiderinuri (meningkatnya hemosiderin urine).
e. Methemoglobinemi
6. Berkurangnya kadar hemopexin serum.

Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya proses eritroposis
dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:
1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya :
1.1. Retikulosi tosis ( polikromatopilik, stipling )
- Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosome, pemeriksaannya
dilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar
antara 0,82,5 % pada pria dan 0,84,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi
dengan ratio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit absolute dapat dihitung
dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit.
- Perlu juga dihitung Retikulosit Production llidex ( RPI ) yaitu:
RPI = [ Ret (%) / Ret. Maturation ] x [Ht Pasien / 0,45 ]
sebagai contoh hila nilai RPI : 5 ,ini menunjukkan adanya peningkatan pembentukan eritrosit 5
kali dari normal.
1.2. Makrositosis
- Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean Corpuscular
Volume (MCV) > 96 fl.
1.3.Eritroblastosis .
1.4. Lekositosis dan trombositosis
2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
3. Ferrokinetik :
3.1. Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT ).
3.2. Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT ).
4. Biokimiawi darah :
4.1. Meningkatnya kreatin eritrosit .
4.2.Meningkatnya aktivitas dari enzym eritrosit tertentu diantaranya yaitu:urophorphyrin
syntese,hexokinase,SGOT.
Tanda-tanda laboratrium lain yang digunakan untuk membuat diagnostik banding diantaranya
yaitu :
1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi yang sering kita lihat
adalah bentuk :
1.1. Sel spherosit : biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik anemi didapat,
thermalinjury ,hypophosphatemia ,lreracunan zat kimia tertentu .
1.2. Sel Achantocyte, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada

abetalipoproteinemia .
1.3. Spur sel biasanya ditemui pada keadaan sirosis hati.
1.4. Sel stomatocyte, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada keadaan penyakit
hemolitik yang di turunkan biasa terjadi pada keracunan alkohol .
1.5. Target sel, spesifik untuk :penyakit thalassemia, LCAT defisiensi, obstruktive yaundice dan
postsplenektomi .
1.6. Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
1.7. Sickle sel .
1.8. Schistocyte, helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya dengan trauma pada
sel eritrosit.
2. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya phagositik sel yang
mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada permukaan sel ritrosit
terutama oleh adanya induced komplement fixing antibodi ,protozoa, infeksi bakteri dan
keracunan zat kimia tertentu .
3. Autoagglutination, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit cold agglutinin
immunohemolitik, autoagglunation harus dibedakah dengah rouleaux formation yang sering kita
jumpai pada multiple mieloma dan hal ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah
( LED ) .
4. Osmotik fragiliti test ,yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi lisis oleh proses
osmotik dengan menggunakan larutan saline hypotonik dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada
keadaan normal lisis mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna
terjadi pada konsentrasi 0730-0,33 gr/l .Median corpuscular fragiliti (MCF) yang meninggi akan
menyebabkan terjadinya pergeseran kurve kekiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis
,sebaliknya nilai MCF yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat)
maka kurve akan bergeser kekanan,hal ini sering kita temui pada thalassemia ,sickle sel anemi
,leptositosis ,target sel,dengan perkataan lain osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan
adanya kelainan morfologi eritrosit
DIAGNOSTIK.
Untuk menegakkan diagnostik anemi hemolitik dan penyebabnya maka kita harus berpatokan
pada dua keadaan yang berbeda yaitu :
1. Menentukan ada tidaknya anemi hemolitik, yaitu :
1.1 Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang berlebihan pada
waktu yang sama

1.2 Terjadi anemi yang persisten yang diikuti dengan hiperaktivitas dari sistem eritropoisis .
1.3 Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa diimbangi dengan
eritropoisis normal
1.4 Adanya tanda-tanda hemoglobinuri atau penghancuran eritrosit intravaskular .
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemi hemolitik, yaitu :dengan mendapatkan informasi
dari anamnese yang tepat dan cermat terhadap pasien serta dari basil pemeriksaan sediaan apus
darah tepi clan antiglobulin test (Coombs test) ,dari data ini dapat kita bedakan lima group pasien
yaitu :
2.1 Anemi hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi , zat kimia dan
kontak fisik .
2.2 Hasil pemeriksaan Coombs test positip menunjukan anemi hemolitik autoimune ( AlHA ) .
2.3 Hasil pemeriksaan Coomb-s test negatip kemungkinan adanya anemi hemolitik spherositik
yaitu pada hereditari spherositosis.
2.4 Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle
2.5 Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan morfologi eritrosit
yang spesifik ,hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu Hemoglobin elektroforese dan heat
denaturation test untuk unstable hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan laboratorium
tersebut diatas menunjukan hasil normal maka diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit, kelainan
enzym-enzym eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang kali dijumpai, namun perlu
dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit tersebut diantaranya yaitu enzym Glukose 6-phosphat
dehydrogenase dengan pemeriksaan secara enzymatik.

XI. KESIMPULAN
A usia 9 tahun menderita anemia hemolitik et causa thalasemia mayor

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland. 2010. Kamus kedokteran Dorlan Edisi 31. Jakarta: EGC

2. Dirjen Bina Pelayanan Medik. 2009. Pencegahan Thalassemia Health Technology


Assessment Indonesia. Dirjen Bina Pelayanan Medik, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia
3. Isselbacher, dkk. 2013. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4
Edisi XIII. Jakarta : EGC.
4. Kumar, V., dkk. 2007. Buku ajar Patologi Robbins Ed. 7. Jakarta: EGC
5. Mubin, A. Halim. 2012. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi
Ed. II. EGC : Jakarta
6. Olivieri NF. N Engl J Med. 1999;341:99-109.
7. Repositoryusu.ac.id anemia hemolitik (diakses tanggal 16 Desember 2014)
8. Rund D, Rachmilewitz E. N Engl J Med. 2005;353:1135-46.
9. Sudoyo, A. W., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . Jakarta:
EGC
10. Yaish HM. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/958850-diagnosis.
(diakses tanggal 16 Desember 2014)

Anda mungkin juga menyukai