SKENARIO B BLOK 22
KELOMPOK B.8
Disusun Oleh:
Kelompok B.8
Dhiya Silfi Ramadini
04121401008
04121401009
George Frazteo
Hatina Agsari
04121401010
04121401012
04121401014
Tia Okidita
04121401015
Dico Fatejarum
04121401018
M. Rachmat Budiman
M. Gufron N
04121401022
04121401064
Owen Hu
04121401066
Bagus Prasetyo
04121401067
Stefen Agustinus
04121401081
04121401088
Tutor:
dr. Ziske Maritska
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya Laporan
Tutorial Skenario A Blok 22 ini dapat terselesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan
untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari skenario yang diberikan,
sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami
banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin
menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial
2. Dr. Ziske Maritska selaku tutor kelompok B8
3. Teman-teman sejawat FK Unsri
4. Semua pihak yang telah membantu kami
Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak
kekurangan.Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan di masa mendatang.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER.............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................
KEGIATAN TUTORIAL............................................................................................................
HASIL TUTORIAL DAN BELAJAR MANDIRI
I. Skenario A Blok 22.............................................................................................................................
II. Klarifikasi Istilah ..............................................................................................................................
III. Identifikasi Masalah.........................................................................................................................
IV. Analisis Masalah...............................................................................................................................
V. Hipotesis...........................................................................................................................................
VI. Kerangka Konsep...........................................................................................................................
VII. Learning Issues.............................................................................................................................
XI. Kesimpulan.........................................................................................................................
Daftar Pustaka......................................................................................................................................
KEGIATAN TUTORIAL
Tutor
Moderator
: Dico Fatejarum
I. SKENARIO
A 9 years old come to the Moh. Hoesin Hospital with complain of pale and abdominal distention.
She lives in Kayu Agung. She has been already hospitalized two times before (2009 and 2010) in
Kayu Agung General Hospital and always got blood transfution. Her younger brother, 7 years old
looks taller than her. Her uncle was died when he was 21 years old due to the similiar disease like
her.
Physical examination:
Compos mentis, anemis(+), wide epicantus, prominent upper-jaw
HR: 94x/mnt, RR: 27x/mnt, TD:100/70 mmHg, Temp. 36,7oC
Heart and Lung: within normal limit
Abdomen: Hepatic enlargement x , spleen: schoeffner III
Extremities: pallor palm of hand. Others: normal
Laboratory Result:
Hb: 7,6 gr/dl, Ret:1,8%, WBC:10,2x109/lt, Trombocyte: 267x109/lt, diff count:0/2/0/70/22/6
Blood film: anisocytosis, poikilocytosis, hypochrome, target cell (+)
MCV: 64 (fl), MCH: 21 (pg), MCHC: 33 (gr/dl), SI within normal limit, TIBC within normal
limit, serum feritin: within normal limit
1. A 9 years old come to the Moh. Hoesin Hospital with complain of pale and abdominal
distention
2. She lives in Kayu Agung. She has been already hospitalized two times before (2009 and 2010)
in Kayu Agung General Hospital and always got blood transfution
3. Her younger brother, 7 years old looks taller than her. Her uncle was died when he was 21
years old due to the similiar disease like her.
4. Physical examination:
Compos mentis, anemis(+), wide epicantus, prominent upper-jaw
HR: 94x/mnt, RR: 27x/mnt, TD:100/70 mmHg, Temp. 36,7oC
Heart and Lung: within normal limit
Abdomen: Hepatic enlargement x , spleen: schoeffner III
Extremities: pallor palm of hand. Others: normal
5. Laboratory Result:
Hb: 7,6 gr/dl, Ret:1,8%, WBC:10,2x109/lt, Trombocyte: 267x109/lt, diff count:0/2/0/70/22/6
Blood film: anisocytosis, poikilocytosis, hypochrome, target cell (+)
MCV: 64 (fl), MCH: 21 (pg), MCHC: 33 (gr/dl), SI within normal limit, TIBC within normal
limit, serum feritin: within normal limit
TEMPLATE
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pemeriksaan Penunjang
Esensial
1. Darah Tepi lengkap
Hemoglobin rendah
Thalasemia mayor: 2-8 gr/dl
Thalasemia o: 6-8 gr/dl
Sediaan apusan darah tepi: Mikrositer, Hipokrom, Anisositosis, Poikilositosis, sel
eritrosit muda, Fragmentosit, Target sel pada thalasemia , hiperkromik dan beberapa
Thalasemia o tidak didapatkan HbA, hanya HbF dan HbA2. Pada thalasemia +
kadar HbF 20-90%, HbA2 normal.
Thalasemia o Hb Barts 80%, sisanya Hb Portland.
HbH disease Hb Barts dan HbA2 rendah sampai sedang. Ditemukannya HbH.
Metoda HPLC (Beta short variant Biorad)
Analisis kualitatif dan kuantitatif
3. Pemeriksaan sumsum tulang: Peningkatan sistem eritroid dengan banyak inklusi di prekursor
eritrosit, yang lebih nampak dengan pengecatan metil-violet yang bisa memperlihatkan
endapan globin
4. Radiologi: Penipisan dan peningkatan trabekulasi tulang panjang, gambaran hair on end pada
tlg tengkorak
2. DIAGNOSIS BANDING
3. DIAGNOSIS KERJA
Anemia hemolitik et causa thalasemia
4. ETIOLOGI
Thalasemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari orangtua kepada anaknya
sejak masih dalam kandungan. Jika pasangan suami-istri adalah pembawa gen thalasemia, maka
kemungkinan anaknya akan menderita thalasemia sebesar 25%, pembawa gen thalasemia (50%)
dan normal (25%).
Thalasemia terjadi karena kelainan atau perubahan pada gen globin atau yang
mengatur produksi rantai atau . Berkurang atau tidak terbentuk sama sekali rantai globin
disebut sebagai Thalassemia. Keadaan ini menyebabkan produksi hemoglobin terganggu dan
umur eritrosit memendek. Dalam keadaan normal, umur eritrosit berkisar 120 hari.
5. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi gen thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Diperkirakan lebih 2000
penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia
Pada kasus ini, tingginya level Hb Portland, yang merupakan Hb fungsional embrionik,
diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut.
Pada pasien dengan berbagai tipe thalassemia-, mortalitas dan morbiditas bervariasi sesuai
tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Thalassemia- mayor yang berat akan berakibat fatal
bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia berat atau iron overload adalah penyebab
tersering kematian pada penderita. Penyakit hati, infeksi fulminan, atau komplikasi lainnya yang
dicetuskan oleh penyakit ini atau terapinya termasuk penyebab mortalitas dan morbiditas pada
bentuk thalassemia yang berat.
Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita yang tidak diterapi mereka yang
mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap berisiko mengalami bermacam-macam
komplikasi. Kerusakan organ akibat iron overload, infeksi berat yang kronis yang dicetuskan
transfusi darah, atau komplikasi dari terapi khelasi, seperti katarak, tuli, atau infeksi, merupakan
komplikasi yang potensial.
Ras
Meskipun thalassemia ditemukan pada semua ras dan etnik grup, ada beberapa tipe
thalassemia yang sering ditemukan pada grup tertentu dibanding dengan yang lain. thalassemia
biasa ditemukan di Eropa Selatan, Timur Tengah, India, dan Africa. thalassemia biasa
ditemukan di Asia Tenggara; meskipun juga ditemukan di bagian dunia yang lain. Mutasi spesifik
pada thalassemia sudah dapat discrenning dan didiagnostik kelainannya. thalassemia trait di
Afrika biasanya bukan dari cis-delesi dari kromosom 16, berbeda dengan di Asia Tenggara,
dimana terjadi komplit absence dari gene pada salah satu chromosome. Pada kedua orang tua
yang memiliki cis-delesi, bayinya bisa saja mengalami hydrops fetalis. Karena alasan ini, hydrops
fetalis tidak beresiko tinggi pada orang Afrika tetapi beresiko tinggi pada Asia Tenggara.
Sex
Baik pria maupun wanita,keduanya memiliki kemungkinan yang sama
Usia
Meskipun thalassemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat timbulnya gejala
bervariasi secara signifikan. Dalam talasemia, kelainan klinis pada pasien dengan kasus-kasus
yang parah dan temuan hematologik pada pembawa (carrier) tampak jelas pada saat lahir.
Ditemukannya hipokromia dan mikrositosis yang tidak jelas penyebabnya pada neonatus,
digambarkan di bawah ini, sangat mendukung diagnosis.
Namun, pada thalassemia- berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh kedua tahun
pertama kehidupan; sampai waktu itu, produksi rantai globin dan penggabungannya ke Hb Fetal
dapat menutupi gejala untuk sementara.
Bentuk thalassemia ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai usia. Banyak
pasien dengan kondisi thalassemia- homozigot yang jelas (yaitu, hipokromasia, mikrositosis,
elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua orang tua terpengaruh) mungkin tidak
menunjukkan gejala atau anemia yang signifikan selama beberapa tahun. Hampir semua pasien
dengan kondisi tersebut dikategorikan sebagai thalassemia- intermedia. Situasi ini biasanya
terjadi jika pasien mengalami mutasi yang lebih ringan, yaitu gabungan heterozygote B+ dan B -0
thalssemia, atau gabungan dengan heterozygote yang lain.
6. PATOGENESIS
kerusakan ini terjadi di organ-organ vital dalam tubuh seperti hati, pankreas, jantung dan
kelenjar pituitari. Oleh sebab itu penggunaan antioksidan, untuk mengatasi radikal bebas,
sangat diperlukan pada keadaan talasemia.
l. Dari penelitian yang dilakukan oleh Siriraj Hospital, Universitas Mahidol , Bangkok,
Thailand, ditemukan bahwa kadar koenzim Q 10 pada penderita talasemia sangat rendah.
Pemberian suplemen koenzim Q 10 pada penderita talasemia terbukti secara signifikan
mampu menurunkan radikal bebas pada penderita talasemia. Oleh sebab itu pemberian
koenzim Q 10 dapat berguna sebagai terapi ajuvan pada penderita talasemia untuk
meningkatkan kualitas hidup.
m. Terapi genetik (masih dalam penelitian)
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Darah tepi
b.
c.
Retikulosit meningkat.
Pemeriksaan khusus :
4)
Pemeriksaan lain
Hematologi rutin
Evaluasi sediaan hapus darah tepi
Feritin
Analisis hemoglobin
Bila diperlukan, pemeriksaan DNA/sitogenetika
9. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi, sehingga
ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, ku.lit, jantung dan lainnya. Hal ini
dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut. Limpa yang besar mudah rupture akibat
trauma yang ringan. Kadang-kadang thalasemia disertai oleh tanda hipersplenisme seperti
leukopenia dan trombopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
arrhythmias.
Komplikasi pada hati, contoh hepatomegali sampai cirrhosis.
Komplikasi jangka panjang, contoh HCV.
Komplikasi hematologic, contoh VTE.
Komplikasi pada endokrin, seperti endokrinopati, DM.
Gagal tumbuh karena diversi dari sumber kalori untuk eritropoesis.
Fertil, seperti terjadi hypogonadotrophic hypogonadism dan gangguan kehamilan.
10. PENCEGAHAN
Pencegahan thalassemia terutama ditujukan untuk menurunkan jumlah bayi lahir dengan
thalassemia mayor. Ada 2 pendekatan target dalam pencegahan thalassemia yaitu secara
retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif dilakukan dengan cara melakukan
penelusuran terhadap anggota keluarga dengan riwayat keluarga menderita thalassemia mayor.
Sementara pendekatan prospektif dilakukan dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi
karier thalassemia pada populasi tertentu. Secara garis besar bentuk pencegahan thalassemia
dapat berupa edukasi tentang penyakit thalassemia pada masyarakat, skrining (carrier testing),
konseling genetika pranikah, dan diagnosis pranatal.
a. Edukasi
Edukasi masyarakat tentang penyakit thalassemia memegang peranan yang sangat penting dalam
program pencegahan. Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang bersifat
genetik dan diturunkan, terutama tentang thalassemia dengan frekuensi kariernya yang cukup
tinggi di masyarakat. Pendidikan genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan
tentang gejala awal thalassemia.
b. Skrining karier
Skrining thalassemia ditujukan untuk menjaring individu karier thalassemia pada suatu populasi,
idealnya dilakukan sebelum memiliki anak. Skrining ini bertujuan untuk mengidentifikasi
individu dan pasangan karier, dan menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan
thalassemia dan pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
c. Konseling genetika
Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining karier dilakukan. Tenaga
kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani skrining dan harus mampu
menginformasikan pada peserta skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Hal
yang harus diinformasikan berhubungan dengan kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri
yang mungkin dijalani dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal.
d. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal meliputi skrining karier thalassemia saat kunjungan pranatal pada wanita
hamil, yang dilanjutkan dengan skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut
teridentifikasi karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis pranatal pada janin
serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen thalassemia homozigot. Saat ini, program ini
hanya ditujukan pada thalassemia + dan O yang tergantung transfusi dan sindroma Hb Barts
hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu kehamilan. Metode yang digunakan
adalah identifkasi gen abnormal pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan
melalui amniosentesis atau biopsi vili korialis (VCS/ villi chorealis sampling).
Biopsi vili korialis lebih disukai, karena bila dilakukan oleh tenaga ahli, pengambilan sampel
dapat dilakukan pada usia kehamilan yang lebih dini, yaitu pada usia gestasi 9 minggu. Namun
WHO menganjurkan biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu, karena pada usia kurang
dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi janin. Seluruh prosedur pengambilan sampel janin
harus dilakukan oleh ahli fetomaternal dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko terjadinya
abortus pada biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan oleh tenaga ahli. Sedangkan
tindakan amniosentesis, yaitu mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia
kehamilan > 14 minggu. Hal ini dikarenakan untuk menjaring sel-sel janin yang baru lepas dalam
jumlah cukup ke dalam cairan amnion. Teknik ini relatif lebih mudah, namun mempunyai
kelemahan pada usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah janin (fetal nucleated red blood
cell) sebagai sumber DNA janin dari darah perifer ibu. DNA janin dianalisis dengan metode
polymerase chain reaction (PCR). Untuk mutasi thalassemia, analisis dilakukan dengan Southern
blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan restriction fragmen length polymorphism
(RFLP) analysis. Seiring dengan munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil
dengan janin yang dicurigai mengidap thalassemia mayor, saat ini sedang dikembangkan
diagnosis pranatal untuk thalassemia sebelum terjadinya implantasi janin dengan polar body
analysis.
Metode pengakhiran kehamilan yang digunakan tergantung dari usia gestasi. Pada umumnya
dibedakan menjadi 2 metode: operatif dan medisinalis. Dengan standar prosedur yang sesuai,
kedua metode ini, baik operatif maupun medisinalis, mempunyai efektivitas yang baik dalam
pengakhiran kehamilan. Namun demikian beberapa praktisi kebidanan seringkali mendasarkan
pilihan metode pada usia kehamilan. Pada usia gestasi kurang dari 13 minggu, metode standar
pengakhiran kehamilan adalah suction method . Setelah 14 minggu, aborsi dilakukan dengan
induksi prostaglandin. Metode aborsi lainnya yang bisa dilakukan adalah kombinasi antara
medisinalis dan cara operatif.
11.PROGNOSIS
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari ringan bahkan
asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa, tergantung pula pada terapi dan komplikasi yang
terjadi.
12. KDU
4A (Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter)
Pada tipe trait thalassemia- yang paling umum, level Hb A2 ( 2/2) biasanya meningkat. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai oleh rantai bebas yang eksesif, yang
mengakibatkan terjadinya kekurangan rantai adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen , tidak
seperti gen dan , diketahui memiliki keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya untuk
memproduksi rantai yang stabil; dengan berpasangan dengan rantai , rantai memproduksi Hb
A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai yang berlebihan digunakan untuk
membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai ) akan terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan
membran sel, mengintervensi divisi sel normal, dan bertindak sebagai benda asing sehingga
terjadinya destruksi dari sel darah merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang
berlebihan bervariasi berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai pada
thalassemia- lebih nyata dibandingkan toksisitas rantai pada thalassemia-).
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia- mayor atau anemia Cooley, berlaku
patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang berlebihan. Kelebihan rantai
bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai akan menyebabkan terjadinya pemecahan
prekursor sel darah merah di sumsum tulang (eritropoesis inefektif).
Produksi Rantai Globin
Untuk memahami perubahan genetik pada thalassemia, kita perlu mengenali dengan baik
proses fisiologis dari produksi rantai globin pada orang sehat atau normal. Suatu unit rantai
globin merupakan komponen utama untuk membentuk Hb : bersama-sama dengan Heme, rantai
globin menghasilkan Hb. Dua pasangan berbeda dari rantai globin akan membentuk struktur
tetramer dengan Heme sebagai intinya. Semua Hb normal dibentuk dari dua rantai globin (atau
mirip-) dan dua rantai globin non-. Bermacam-macam tipe Hb terbentuk, tergantung dari tipe
rantai globin yang membentuknya. Masing-masing tipe Hb memiliki karakteristik yang berbeda
dalam mengikat oksigen, biasanya berhubungan dengan kebutuhan oksigen pada tahap-tahap
perkembangan yang berbeda dalam kehidupan manusia.
Pada masa kehidupan embrionik, rantai (rantai mirip-) berkombinasi dengan rantai
membentuk Hb Portland (22) dan dengan rantai untuk membentuk Hb Gower-1 (22).
Selanjutnya, ketika rantai telah diproduksi, dibentuklah Hb Gower-2, berpasangan dengan
rantai (22). Hb Fetal dibentuk dari 22 dan Hb dewasa primer (Hb A) dibentuk dari 22. Hb
fisiologis yang ketiga, Hb A2, dibentuk dari rantai 22.
Gambar 2. Gen rantai yang berduplikasi pada kromosom 16 berpasangan dengan rantairantai non- untuk memproduksi bermacam-macam Hb normal.
Patofisiologi seluler
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan sintesis rantai globin.
Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai globin yang berlebihan berbeda-beda pada
tiap tipe thalassemia. Pada thalassemia-, rantai yang berlebihan, tidak mampu membentuk Hb
tetramer, terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah dan, dengan berbagai cara,
menimbulkan hampir semua gejala yang bermanifestasi pada sindroma thalassemia-; situasi ini
tidak terjadi pada thalassemia-.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia- adalah rantai pada tahun-tahun pertama
kehidupan, dan rantai pada usia yang lebih dewasa. Rantai-rantai tipe ini relatif bersifat larut
sehingga mampu membentuk homotetramer yang, meskipun relatif tidak stabil, mampu tetap
bertahan (viable) dan dapat memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart ( 4) dan Hb H (4).
Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini mempengaruhi perbedaan besar pada manifestasi klinis
dan tingkat keparahan dari penyakit ini.
Rantai yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat tidak larut
(insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran sel (mengakibatkan
kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
destruksi intramedular dari prekursor sel darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel yang bertahan
yang sampai ke sirkulasi darah perifer dengan intracellular inclusion bodies (rantai yang
berlebih) akan mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis maupun eritropoesis
inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari rantai , yang
mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai yang berlebihan untuk membentuk Hb F,
adalah suatu hal yang menguntungkan. Ikatan dengan sebagian rantai berlebih tidak diragukan
lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb tambahan yang memiliki
kemampuan untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat, menimbulkan
mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada penderita dengan thalassemia-.
Peningkatan level Hb F akan meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia,
dimana, bersama-sama dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari eritropoetin.
Akibatnya, ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif akan menyebabkan ekspansi tulang
berat dan deformitas. Baik penyerapan besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi
untuk menambah gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah merah
abnormal dalam jumlah besar akan diproses di limpa, yang bersama-sama dengan adanya
hematopoesis sebagai respon dari anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan splenomegali
masif yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya hipersplenisme.
Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara teratur, maka
ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat dicegah atau dikembalikan
seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan secara teori hanya akan lebih merugikan
pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang sebenarnya, karena penyerapan besi diregulasi
oleh dua faktor utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi pada penderita yang bersangkutan.
Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan peningkatan absorpsi besi karena adanya
downregulation dari gen HAMP, yang memproduksi hormon hepar yang dinamakan hepcidin,
regulator utama pada absorpsi besi di usus dan resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada
penderita dengan thalassemia intermedia.
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki, dan terjadi
peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan berkurang dan makrofag
akan mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi menurun akibat
meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada penderita thalassemia- berat
karena diduga faktor plasma menggantikan mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya
produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan
iron overload.
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama ferroportin,
yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju plasma dan menghantarkan
besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin diregulasi oleh jumlah penyimpanan besi dan jumlah
hepsidin. Hubungan ini juga menjelaskan mengapa penderita dengan thalassemia- yang
memiliki jumlah besi yang sama memiliki jumlah ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah
mereka mendapat transfusi darah teratur atau tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia-
intermedia yang tidak mendapatkan transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah
dibandngkan dengan penderita yang mendapatkan transfusi darah secara teratur, meskipun
keduanya memiliki jumlah besi yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan protein
pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada thalassemia berat, transferrin
tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini cukup berbahaya karena memiliki
material untuk memproduksi hidroksil radikal dan akhirnya akan terakumulasi pada organ-organ,
seperti jantung, kelenjar endokrin, dan hati, mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organorgan tersebut (organ damage).
Hipotesa Malaria
Pada tahun 1949, Haldane menyatakan adanya suatu keuntungan selektif untuk bertahan
hidup pada individu dengan trait thalassemia pada daerah endemik malaria. Hardane berpendapat
bahwa penyakit sel darah merah letal seperti pada thalassemia, anemia sel sabit, dan defisiensi
G6PD terdapat hampir secara eksklusif pada daerah tropis dan subtropis. Insidens dari mutasi
genetik ini pada populas tertentu merefleksikan adanya keseimbangan antara kematian dini pada
penderita homozigot dengan peningkatan kesehatan pada penderita heterozigot.
Mekanisme proteksi terhadap malaria pada penderita trait thalassemia belum jelas. Sel Hb F
telah didemonstrasikan dapat menghambat pertumbuhan parasit malaria, dan, berdasarkan
tingginya level Hb F tersebut pada bayi dengan trait thalassemia-, malaria serebral fatal yang
diketahui dapat menyebabkan kematian pada bayi tersebut dapat dicegah. Sel darah merah pada
penderita Penyakit Hb H juga memiliki semacam efek supresif terhadap pertumbuhan parasit.
Namun efek ini tidak ditemukan pada penderita dengan trait thalassemia-.
C. Klasifikasi Thalassemia dan Presentasi Klinisnya
Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing melibatkan penurunan
produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk bermacam-macam jenis Hb yang
ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang paling penting dalam praktek klinis adalah sindrom
yang mempengaruhi baik atau sintesis rantai maupun .
Thalassemia-
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin- banyak ditemukan di
Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi gen globin- menyebabkan
sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin- pada individu normal, dan empat bentuk
thalassemia- yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat
gen ini
Tabel 1. Thalassemia-
Genotip
Jumlah gen
/
4
-/
3
--/ atau 2
Presentasi Klinis
Normal
Silent carrier
Trait thal-
Hemoglobin Elektroforesis
Saat Lahir
> 6 bulan
N
N
0-3 % Hb Barts
N
2-10% Hb Barts
N
/-
--/-
1
Penyakit Hb H
15-30% Hb Bart
--/-0
Hydrops fetalis
>75% Hb Bart
Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Barts = 4, HbH = 4
Hb H
-
telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen yang terletak pada kromosom 16.
Pada tipe silent carrier, salah satu gen pada kromosom 16 menghilang,
menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara hematologis,
hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang rendah dalam
beberapa pemeriksaan.
Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan elektroforesis
Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa juga dicari akan
adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga ( misalnya orangtua) untuk
mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah satu orangtua yang
menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa penyebab yang jelas
merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis thalasemia.
Trait thalassemia-
o Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah yang
rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen pada satu kromosom 16
atau satu gen pada masing-masing kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di
o
Penyakit Hb H
o Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin , merepresentasikan
thalassemia-
intermedia,
dengan
anemia
sedang
sampai
berat,
splenomegali, ikterus, dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada
sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan pewarnaan supravital akan
tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai tetramer (Hb H)
yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai
Heinz bodies.
Gambar 4.
Thalassemia- mayor
o Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen globino
oksigen.
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir
hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan
gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan
manajemen neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung dengan
transfusi.
Thalassemia-
Sama dengan thalassemia-, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalassemia-; antara lain :
thalassemia-+.
Bentuk silent carrier thalassemia- tidak menimbulkan kelainan yang dapat
diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen untuk keadaan ini, jika
Trait thalassemia-
o Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis
Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb A2, Hb F, atau keduanya
Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah sebagai anemia
defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi
selama waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia-
mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%). Kira-kira 50% individu
ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF, sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil
kasus, yang benar-benar khas, dijumpai Hb A2 normal dengan kadar HbF
berkisar dari 5% sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe .
thalassemia- mayor
Ekspresi gen homozigot thalassemia (+) menghasilkan sindrom mirip anemia
Cooley yang tidak terlalu berat (thalassemia intermedia). Deformitas skelet dan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb mereka biasanya
Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai normal menurut umur.
Eritrosit adalah mikrositik hipokromik dengan poikilositosis, ovalositosis, dan
seringkali bintik-bintik basofil. Sel target mungkin juga ditemukan tapi biasanya
kehidupan.
Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima
transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik
disumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan
fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di wajah dan
tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.
dan
hati
membesar
karena
hematopoesis
ekstrameduler
dan
Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau tidak
terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang disebabkan
oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung, termasuk aritmia
dan gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh siderosis miokardium
o
D. Stadium Thalassemia
Terdapat suatu sistem pembagian stadium thalassemia berdasarkan jumlah kumulatif
transfusi darah yang diberikan pada penderita untuk menentukan tingkat gejala yang melibatkan
kardiovaskuler dan untuk memutuskan kapan untuk memulai terapi khelasi pada pasien dengan
thalassemia- mayor atau intermedia. Pada sistem ini, pasien dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
:
Stadium I
o Merupakan mereka yang mendapat transfusi kurang dari 100 unit Packed Red
Cells (PRC). Penderita biasanya asimtomatik, pada echokardiogram (ECG)
hanya ditemukan sedikit penebalan pada dinding ventrikel kiri, dan
E. Terapi
Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut setelah
diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan kecuali memang dipastikan
terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan apabila nilai Hb yang potensial pada
penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan konseling pada semua penderita dengan kelainan
genetik, khususnya mereka yang memiliki anggota keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit
thalassemia berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen transfusi darah
merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup. Transfusi darah harus dimulai pada
usia dini ketika anak mulai mengalami gejala dan setelah periode pengamatan awal untuk menilai
apakah anak dapat mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa transfusi.
Transfusi Darah
Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap pada level 9-9.5 gr/dL
sepanjang waktu.
Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka dibutuhkan suatu studi
lengkap untuk keperluan pretransfusi. Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip sel darah
25% pasien yang menerima transfusi terekspose virus hepatitis B. Saat ini, dengan adanya
imunisasi, insidens tersebut sudah jauh berkurang. Virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab
utama hepatitis pada remaja usia di atas 15 tahun dengan thalassemia. Infeksi oleh organisme
opurtunistik dapat menyebabkan demam dan enteriris pada penderita dengan iron overload,
khususnya mereka yang mendapat terapi khelasi dengan Deferoksamin (DFO). Demam yang
tidak
jelas
penyebabnya,
Sulfametoksazol.
Terapi Khelasi (Pengikat Besi)
sebaiknya
diterapi
dengan
Gentamisin
dan
Trimetoprim-
Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat menunda
onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat mencegah kelainan
jantung tersebut.
Chelating agent
hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat penting
untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi negatif (lebih
banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak diserap di usus, maka rute
Gambar 8. Splenektomi
Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur sekarang
dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila memungkinkan sampai anak
berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu diberikan untuk
setiap keluhan demam sambil menunggu hasil kultur. Dosis rendah Aspirin setiap hari juga
bermanfaat jika platelet meningkat menjadi lebih dari 600.000 / L pasca splenektomi.
Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen sebagai berikut : asam folat,
asam askorbat dosis rendah, dan alfa-tokoferol. Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan
yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu mengurangi
penyerapan zat besi di usus.
F. Skrining
Dapat dilakukan skrining premarital dengan menggunakan pedigree. Atau bisa juga dilakukan
pemeriksaan terhadap setiap wanita hamil berdasar ras, melalui ukuran eritrosit, kadar Hb A2
(meningkat pada thalassemia-). Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa
menganalisis rantai .
G. Prognosis
Prognosis bergantung pada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kondisi klinis penderita thalassemia sangat bervariasi dari ringan bahkan
asimtomatik hingga berat dan mengancam jiwa.
2. Anemia hemolitik
Secara definisi anemi hemolitik adalah suatu keadaan anemi yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum
tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya
sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut,
penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum
tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal., hal ini terjadi bila umur
eritrosit berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemi, namun bila
sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemi.
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemi hemolitik tetapi juga terjadi pada
keadaan eritropoisis ineffektip seperti pada anemi megaloblastik dan thalassemia. Hormon
eritropoitin akan merangsang terjadinya hiperplasi eritroid (eritropoitin-induced eritroid
hyperplasia) dan ini akali diikuti dengan pembentukan sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal.
Anemi terjadi bila serangan hemolisis yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup
dari sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum tulang
mampu mengatasi keadaan tersebut diatas sehingga tidak terjadi anemi, keadaan ini disebut
dengan istilah anemia hemolitik kompensated. Ada dua faktor utama dan mendasar yang
memegang peranan penting untuk terjadinya anemi hemolitik yaitu:
1. FAKTOR INSTRINSIK (Intra Korpuskuler).
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu : a) Kelainan membrane, b) Kelainan
molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzym yang berperan dalam metabolisme sel
eritrosit. Sebagai contoh: bila darah yang sesuai ditransfusikan pada pasien dengan kelainan intra
korpuskuler maka sel eritrosi tersebut akan hidup secara normal, sebaliknya bila sel eritrosit
dengan kelainan dengan kelainan intra korpuskuler tersebut ditransfusikan pada orang normal,
maka sekeritrosit tersebut akan mudah hancur atau lisis.
2. KELAINAN FAKTOR EKSTRINSIK (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (aquaired) dan selalu disebabkan oleh faktor immune
dan non immune, bila eritrosit normal di transfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel
eritrosit tersebut menjadi lebih cepat ,sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra
korpuskuler di transfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan secara normal. Umur sel
eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemi hemolitik, ada beberapa penyakit
yang menyebabkan anemi dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam
anemi hemolitik, diantaranya yaitu : a. leukemia, b. limfoma malignum, c. gagal ginjal kronik, d.
penyakit liver kronik, e. rheumatoid artheritis, f. anemi megaloblastik.
anemi hemolitik. Secara garis besar kemungkinan anemi hemolitik dapat kita pertimbangkan bila
pada pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti tersebut dibawah ini
yaitu:
1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang
berlebihan.
2. Kelaianan laboratorium yang acta hubungannya dengan meningkatnya kompensasi dalam
proses eritropoisis.
3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat diagnostic banding dari anemi
hemolitik.
Kelainan
laboratorium
yang
menunjukkan
adanya
tanda-tanda
meningkatnya
proses
penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa:
1. Berkurangnya umur sel eritrosit
Umur eritrosit dapat diukur dengan menggunakan Cr-Labeled eritrosit, pada anemi hemolitik
umur eritrosit dapat berkurang sampai 20 hari. Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita
lihat dari tingkat anemi, ictherus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itulah pemeriksaan
umur eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan rutin untuk menegakan diagnostic
anemi hemolitik.
2. Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
a. Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
b. Meningkatnya pembentukan CO yang endogen
c. Meningkatnya kadar billirubin darah (hyperbillirubinemi).
d. Meningkatnya exkresi urobillinogen dalam urine.
3. Meningkatnya kadar enzym Lactat dehydrogenase (LDH) serum.
- Enzym LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel eritrosit, kadar LDH
dapat mencapai 1200 U/ml.
- Isoenzym LDH-2 lebih dominan pada anemi hemolitik sedang isoenzym LDH-1 akan meninggi
pada anemi megaloblastik.
4. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:
a. Hemoglobinemi (meningkatnya kadar Hb.plasma)
b. Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
c. Hemoglobinuri (meningkatnya Hb.urine).
d. Hemosiderinuri (meningkatnya hemosiderin urine).
e. Methemoglobinemi
6. Berkurangnya kadar hemopexin serum.
Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya proses eritroposis
dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:
1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya :
1.1. Retikulosi tosis ( polikromatopilik, stipling )
- Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosome, pemeriksaannya
dilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar
antara 0,82,5 % pada pria dan 0,84,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi
dengan ratio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45) sedang jumlah retikulosit absolute dapat dihitung
dengan mengkalikan jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit.
- Perlu juga dihitung Retikulosit Production llidex ( RPI ) yaitu:
RPI = [ Ret (%) / Ret. Maturation ] x [Ht Pasien / 0,45 ]
sebagai contoh hila nilai RPI : 5 ,ini menunjukkan adanya peningkatan pembentukan eritrosit 5
kali dari normal.
1.2. Makrositosis
- Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai Mean Corpuscular
Volume (MCV) > 96 fl.
1.3.Eritroblastosis .
1.4. Lekositosis dan trombositosis
2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia
3. Ferrokinetik :
3.1. Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT ).
3.2. Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT ).
4. Biokimiawi darah :
4.1. Meningkatnya kreatin eritrosit .
4.2.Meningkatnya aktivitas dari enzym eritrosit tertentu diantaranya yaitu:urophorphyrin
syntese,hexokinase,SGOT.
Tanda-tanda laboratrium lain yang digunakan untuk membuat diagnostik banding diantaranya
yaitu :
1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi yang sering kita lihat
adalah bentuk :
1.1. Sel spherosit : biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik anemi didapat,
thermalinjury ,hypophosphatemia ,lreracunan zat kimia tertentu .
1.2. Sel Achantocyte, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu pada
abetalipoproteinemia .
1.3. Spur sel biasanya ditemui pada keadaan sirosis hati.
1.4. Sel stomatocyte, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada keadaan penyakit
hemolitik yang di turunkan biasa terjadi pada keracunan alkohol .
1.5. Target sel, spesifik untuk :penyakit thalassemia, LCAT defisiensi, obstruktive yaundice dan
postsplenektomi .
1.6. Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
1.7. Sickle sel .
1.8. Schistocyte, helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada hubungannya dengan trauma pada
sel eritrosit.
2. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya phagositik sel yang
mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya kerusakan pada permukaan sel ritrosit
terutama oleh adanya induced komplement fixing antibodi ,protozoa, infeksi bakteri dan
keracunan zat kimia tertentu .
3. Autoagglutination, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya penyakit cold agglutinin
immunohemolitik, autoagglunation harus dibedakah dengah rouleaux formation yang sering kita
jumpai pada multiple mieloma dan hal ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap darah
( LED ) .
4. Osmotik fragiliti test ,yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk menjadi lisis oleh proses
osmotik dengan menggunakan larutan saline hypotonik dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada
keadaan normal lisis mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna
terjadi pada konsentrasi 0730-0,33 gr/l .Median corpuscular fragiliti (MCF) yang meninggi akan
menyebabkan terjadinya pergeseran kurve kekiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis
,sebaliknya nilai MCF yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat)
maka kurve akan bergeser kekanan,hal ini sering kita temui pada thalassemia ,sickle sel anemi
,leptositosis ,target sel,dengan perkataan lain osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan
adanya kelainan morfologi eritrosit
DIAGNOSTIK.
Untuk menegakkan diagnostik anemi hemolitik dan penyebabnya maka kita harus berpatokan
pada dua keadaan yang berbeda yaitu :
1. Menentukan ada tidaknya anemi hemolitik, yaitu :
1.1 Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang berlebihan pada
waktu yang sama
1.2 Terjadi anemi yang persisten yang diikuti dengan hiperaktivitas dari sistem eritropoisis .
1.3 Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa diimbangi dengan
eritropoisis normal
1.4 Adanya tanda-tanda hemoglobinuri atau penghancuran eritrosit intravaskular .
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemi hemolitik, yaitu :dengan mendapatkan informasi
dari anamnese yang tepat dan cermat terhadap pasien serta dari basil pemeriksaan sediaan apus
darah tepi clan antiglobulin test (Coombs test) ,dari data ini dapat kita bedakan lima group pasien
yaitu :
2.1 Anemi hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi , zat kimia dan
kontak fisik .
2.2 Hasil pemeriksaan Coombs test positip menunjukan anemi hemolitik autoimune ( AlHA ) .
2.3 Hasil pemeriksaan Coomb-s test negatip kemungkinan adanya anemi hemolitik spherositik
yaitu pada hereditari spherositosis.
2.4 Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle
2.5 Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan morfologi eritrosit
yang spesifik ,hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu Hemoglobin elektroforese dan heat
denaturation test untuk unstable hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan laboratorium
tersebut diatas menunjukan hasil normal maka diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit, kelainan
enzym-enzym eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang kali dijumpai, namun perlu
dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit tersebut diantaranya yaitu enzym Glukose 6-phosphat
dehydrogenase dengan pemeriksaan secara enzymatik.
XI. KESIMPULAN
A usia 9 tahun menderita anemia hemolitik et causa thalasemia mayor
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland. 2010. Kamus kedokteran Dorlan Edisi 31. Jakarta: EGC