A. Pengertian
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler
selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002 dalam ekspresiku-blogspot 2008).
Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar
Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam
otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara cepat ( dalam
beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.
(Harsono, 1996).
Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun
menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau
berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vascular.
B. Etiologi
Penyebab-penyebabnya antara lain:
1. Trombosis (bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak).
2. Embolisme cerebral (bekuan darah atau material lain).
3. Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak).(Smeltzer C. Suzanne, 2002).
C. Faktor resiko pada stroke
1. Hipertensi
2. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium,
penyakit jantung kongestif)
3. Kolesterol tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
6. Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
7. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen
tinggi)
8. Penyalahgunaan obat ( kokain)
9. Konsumsi alkohol (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131).
D. Manifestasi Klinis
Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung
bagian otak yang terganggu.
Gejala-gejala itu antara lain bersifat::
1. Sementara Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang
sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA).
Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
2. Sementara,namun lebih dari 24 jam, Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut
reversible ischemic neurologic defisit (RIND).
3. Gejala makin lama makin berat (progresif) Hal ini desebabkan gangguan aliran darah
makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution.
4. Sudah menetap/permanen (Harsono,1996, hal 67).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark.
2. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteri.
3. Pungsi Lumbal
* Menunjukan adanya tekanan normal.
* Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.
6. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.(DoengesE,
Marilynn,2000).
G. Penatalaksanaan
1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral.
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi. (Smeltzer C. Suzanne,
2002, hal 2131).
DOWNLOAD ASKEP STROKE NON HEMORAGIC Klik Di Sini
tahap lanjut.
2.
Pengkajian Sekunder
* Aktivitas dan istirahat.
Data Subyektif:
o kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis.
o Mudah lelah, kesulitan istirahat (nyeri atau kejang otot).
Data obyektif:
o Perubahan tingkat kesadaran.
o Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis (hemiplegia), kelemahan umum.
o Gangguan penglihatan.
* Sirkulasi
Data Subyektif:
o Riwayat penyakit jantung (penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis
bacterial), polisitemia.
Data obyektif:
o Hipertensi arterial
o Disritmia, perubahan EKG
o Pulsasi : kemungkinan bervariasi
o Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal.
* Integritas ego
Data Subyektif:
o Perasaan tidak berdaya, hilang harapan.
Data obyektif:
o Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan.
o Kesulitan berekspresi diri.
* Eliminasi
Data Subyektif:
o Inkontinensia, anuria
o Distensi abdomen (kandung kemih sangat penuh), tidak adanya suara usus(ileus paralitik)
* Makan/ minum
Data Subyektif:
o Nafsu makan hilang.
o Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK.
o Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan, disfagia.
o Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah.
Data obyektif:
o Problem dalam mengunyah (menurunnya reflek palatum dan faring)
o Obesitas (faktor resiko).
* Sensori Neural
Data Subyektif:
o Pusing / syncope (sebelum CVA / sementara selama TIA).
o Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
\
\
\\
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5
persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun
total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.(2)
D. ANATOMI
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis interna kanan
dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan diri dari arteri
karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan
dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina,
akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini
memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.(1)
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri
subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis
servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masingmasing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya
bersatu arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat
mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang
melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.(1)
Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan
beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam
jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya. Untuk
menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem kolateral antara sistem
karotis dan sitem vertebral, yaitu:(1)
Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri
media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri
serebri anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri komunikans
posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri.
Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita,
masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris
eksterna.
Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah
ekstrakranial).
Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga
menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.(1)
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang mengumpulkan
darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak
dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinussinus basalis laterales, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke
jantung.(1)
E. FISIOLOGI
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem vertebrabasilaris terutama
memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior hemisfer. Aliran darah di
otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor yang paling penting adalah tekanan
untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer)
pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan
koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).(1)
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung, darah,
pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak (arteriol) untuk
menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik
menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah
otak (yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).(1)
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya seperti
kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol. Kadar/tekanan
parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang asam (pH rendah),
menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau
suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi.(1)
Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang
besar juga memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.(1)
F. FAKTOR RESIKO
Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter untuk
menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke non
hemoragik, yakni:(4,5)
1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi
atrium kiri)
5. Hiperkolesterolemia
6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler
Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas darah dan
penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi megalami stroke non
hemoragik.(4,6)
G. KLASIFIKASI
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:(1)
1.
Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2.
Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi tidak
lebih dari seminggu.
3.
Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat juga di
jantung dan sistem vaskuler sistemik.(5)
a)
Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal dari
plaque athersclerotique yang berulserasi atau dari trombus yang melekat pada intima arteri
akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b)
1)
Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian
kiri atrium atau ventrikel;
2)
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada
katup mitralis;
3)
Fibralisi atrium;
4)
5)
6)
Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus
sistemik;
c)
1)
2)
3)
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided circulation
(emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi valvular
seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark
miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma.
Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di
antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.(4)
2.
Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk sistem
arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).
Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral
utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan
trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet.(4)
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi protein
C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat
gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).
(4)
3.
Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan
arteriolosklerosis. (1,6)
b.
Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran darah
aterom.
c.
d.
Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian
dapat robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:(1)
a.
Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat
oleh trombus/embolus.
b.
Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisetemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia yang berat
menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c.
Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat apa
yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari pembuluh darah otak agar
aliran darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi otak.
Batas normal otoregulasi antara 50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi otak
bergeser ke kanan.
d.
Kelainan jantung
1)
2)
I.
DIAGNOSIS
1.
Gambaran Klinis
a.
Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi akut (baik
fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala
yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejalah seperti mual
muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke
hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,
disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu
terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian
terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau onset
stroke seperti:
1)
Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga
pasien bangun (wake up stroke).
2)
3)
4)
Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang, infeksi
sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.(4)
b.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Neurologi
1)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar, batang
otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia,
peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan
rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling
berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).(4,8)
5)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio arteri
karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri
karotis interna adalah arteri oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik
biasa disebut amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan
media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.(4,8)
6)
Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal
profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese
motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.(4)
2.
Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula
menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan
leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang
diderita saat ini seperti anemia.(9)
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah
seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang
diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).(9)
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.(9)
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit
jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan
enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.(9)
3.
Gambaran Radiologi
a.
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non
hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian
trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan
distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang
gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).(4)
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam
setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di
otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non
hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris
sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter.(4,10)
b.
CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah awal
terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari
region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah
tersebut.(4,17)
c.
CT angiografi (CTA)
MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada stroke
akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang
tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.(4,10)
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar
dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan
perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi
stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan
MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur
langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.(4)
e.
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi arteri
karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna
untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA,
arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi)
dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain
itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas
lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.(4)
J.
PENATALAKSANAAN
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada
manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan
menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.(6,12)
1.
Penatalaksanaan Umum
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan
jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan
peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke.(11,12,13,14)
c.
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang kurang
baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh
diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula
darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus
dicapai adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga
pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.(11,12,13,14)
d.
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien
dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu,
pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.(11,12,13,14)
e.
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK,
pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung
pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran
darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat
turunnya tekanan perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain
didapatkan bahwa pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan
darah yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau
pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.(11,12,13,14)
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik
adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik,
tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120
mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa
adanya intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.(11,12,13,14)
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140 mmHg
maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada
kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis
maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal)
yang dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap
5 menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan
nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah
nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.(11,12,13,14)
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg, dan
diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan
pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak terjadi
komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20
mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan
adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.(11,12,13,14)
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap 15
menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama
16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal.
Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.(11,12,13,14)
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan
labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit hingga
maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan
labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal
15mg/jam.
3.
Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabkan hipotensi ekstrim.
f.
Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia
(utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik.
Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi
sebagai neuroprotektor.(11,12,13,14)
g.
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai
puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin
digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.(11,12,13,14)
h.
Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun
profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan
menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.(11,12,13,14)
2.
a.
Penatalaksanaan Khusus
Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan
mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa
fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.(15)
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika
Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis
0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang
sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien
tidak mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan
intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.(15)
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study (ECASS) pada
620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu
tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi
secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada
penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam
waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal
atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%.
Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.(15)
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa
terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat besar
sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang
jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang
penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan
menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah
onset, ternyata meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke
iskemik akut tidak dianjurkan.(15)
b.
Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta
yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik
apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang
memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan
infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15)
1)
Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro plasma: 44
jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah
48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren
dan gastrointestinal.(16)
2)
Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast cells.
Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin
mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di
hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus
kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg
dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit.
Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai
dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat
kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan
intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin
diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).(16)
c.
Hemoreologi
1)
Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi
lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat
pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50
mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari
dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.(16)
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus,
kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah
diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi
cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma:
4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat
urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada
suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan,
hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.(16)
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah kemungkinan
terjadi resistensi aspirin pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk
menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat
intraplatelet (lipid oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.(16)
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang
memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang
ada yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.(16)
2)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan
tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi,
dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan
ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut
suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk
grup tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan
penggunaan tiklopidin.(16)
Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin
untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin,
disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen
dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik.(16)
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat
dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan.
Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan
anemia aplastik.(16)
e.
Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel
glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan
reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk
reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada
binatang percobaan maupun pada manusia.(15)
f.
Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin
buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari
jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.(18)
1)
Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami
stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang
mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi Carotid
endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque and opens up the narrowed
carotid arteries in the neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin
saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah
vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis
endarterektomi berkisar 1-5 persen.(18)
Gambar 10. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak dari
lapisan arteri (dikutip dari kepustakaan 18)
2)
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan sten
metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam
penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan
dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar.
(18)
K. KESIMPULAN
Berdasarkan data yang disajikan di atas, kami menyimpulkan bahwa setiap pasien dengan
stroke akut harus individulized berdasarkan usia, CT scan temuan (adanya atau kehadiran
pergeseran garis tengah, hypodensity fokus). An expert opinion should be formed with the
contribution from neurologist, vascular surgeon and interventional radiologist. Pendapat
pakar harus dibentuk dengan kontribusi dari ahli saraf, dokter bedah vaskular dan radiolog
intervensi. High risk patients should be treated with urgent CAS after the correction of the
coagulation cascade. Karotis endarterektomi mengurangi risiko stroke pada pasien dengan
gejala stenosis paling sedikit 70 persen, sebagaimana ditentukan oleh arteriography.
Percobaan saat ini adalah mengatasi pertanyaan apakah endarterektomi bermanfaat untuk
pasien dengan derajat stenosis karotis moderat. Manfaat endarterektomi untuk pasien dengan
lesi karotid asimtomatik masih belum jelas.
Uji klinis acak telah membuktikan bahwa terapi warfarin mengurangi risiko stroke pada
pasien dengan atrial fibrilasi nonvalvular dan pada mereka yang telah memiliki infark
miokard. Pada pasien yang tidak kandidat untuk terapi antikoagulan jangka panjang, aspirin
bermanfaat, tapi pengurangan risiko lebih kecil dengan aspirin dibandingkan dengan
warfarin. Pada pasien dengan gejala iskemik serebral asal noncardiac, aspirin dan ticlopidine
mengurangi risiko stroke, tapi manfaat itu sederhana. Mengingat sendirian, tidak
dipyridamole atau sulfinpyrazone mencegah stroke. Pertanyaannya tetap apakah salah satu
dari obat ini ditambah aspirin lebih baik daripada aspirin saja. Dosis optimal aspirin untuk
pencegahan stroke belum ditentukan.(19,20)
L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema serebral,
transformasi hemoragik, dan kejang.(21)
1.
Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak
jarang (10-20%)
2.
Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator
independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan
terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi
hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil
sampai perdarahan hematoma yang memerlukan evakuasi.
3.
Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan
stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke iskemik
harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai
akibat neurologis injury.
M. PROGNOSIS
Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah sifat dan
tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien, penyebab stroke, gangguan
medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, agak
kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan
tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak
mengejutkan, mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat
dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen,
sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.(11,22,23)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenameditor Harsono. Gadjah
Mada university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115.
2.
Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2007. Hal: 1-13
3.
Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.
4.
Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview
5.
Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi
klinis dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.
6.
Giraldo, Elias. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086c.html
7.
D. Adams. Victors. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8th Edition.
McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67
8.
Chung, Chin-Sang. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical Neurology editor
Christopher G. Goetz. W.B Saunders Company: 1999. Hal: 10-3
9.
Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-diagnosis
10. Li, Fuhai, dkk. Neuroimaging for Acute Ischemic Stroke. [Online]. Cited 2010 May 1st
available from: http://www.emedmag.com/html/pre/fea/features/039010009.asp
11. Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71.
12. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-treatment
13. Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu
penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58.
14. Hughes, Mark. Miller, Thomas. Nervous System Third Edition. University of
Edinburgh, Edinburgh, UK.
15.
Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.
16. Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan prevensi
sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. Hal: 53-73.
17. Josephson, S. Andrew. Ischemic Stroke. San Fransisco. CA. [Online]. Cited 2010 May
1st available from: http://knol.google.com/k/s-andrew-josephson/ischemicstroke/BF8MGEYK/bAWc9g#