Anda di halaman 1dari 6

1.

SUBJEKTIF
- Nama
- Umur
- Jenis Kelamin
- Keluhan

:
:
:
:

56 tahun
Laki-laki
Kemerahan yang tiba-tiba muncul beberapa hari

terakhir ini, diawali pada bagian perut, menyebar ke seluruh dada dan
punggung atas, serta kedua lengan. Kemerahan itu mulai gatal dan menjadi
lebih buruk ketika ia menggaruknya. Terkadang selain terasa sakit juga
terasa seperti terbakar. Pasien membantah jika ia mengalami sesak napas
atau kesulitan bernapas dan gejala terkait lainnya termasuk demam, mual /
muntah, menggigil / berkeringat, atau sakit. Pasien tidak pernah memiliki
masalah alergi di masa lalu dan juga tidak pernah mengalami masalah alegi
makanan sebelumnya Pasien tidak mengingat setiap peristiwa yang ia alami
akhir-akhir

ini

dan

juga

tidak

mengingat

setiap

makanan

yang

dikonsumsinya yang diduga telah menyebabkan reaksi ini. Dia tidak


nengonsumsi obat atau melakukan pengobatan untuk gejala yang terjadi,
termasuk aspirin, NSAID, antibiotik, herbal, dan suplemen.
- Riwayat penyakit : - Riwayat pengobatan: 2.

OBJEKTIF
Seorang laki-laki berumur 56 tahun yang didiagnosis mengalami gangguan
sistem imun, yaitu hives.

3.

ASSESMENT
Berdasarkan gejala yang dikeluhkan pasien yaitu ruam, gatal, terasa seperti

terbakar dan sakit pasien terkena alergi hives atau urtikaria yang termasuk
hipersenstivitas tipe I. Hives dapat muncul disekitar perut atau bagian lipatan kulit
bahkan seluruh tubuh (Sheikh, 2009).
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab,
biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang
perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit.

Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah


atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Banyak tipe alergen yang dapat
menimbulkan status hipersensitivitas tipe I, yang paling umum adalah alergen
lingkungan seperti debu, serbuk sari bunga, rontokan bulu, makanan, gigitan serangga
atau obat. Dalam kasus ini pasien tidak mengetahui penyebab alergi (Djuanda, 2008).
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil (Djuanda,
2008).
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast
atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada faktor nonimunologik
mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting
pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat
amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik
berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh
saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat
mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas,
dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast.
Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang
langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas (Djuanda, 2008).

4.

PLAN
Penatalaksanaan terapi pada pasien alergi ada 2 yaitu terapi non farmakologi

dan terapi farmakologi yaitu :


1. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan menghindari pencetus alergi.
Pasien diberikan pendidikan untuk mampu mengenali pemicu alergi karena
sifatnya sangat individual dan alergi sangat sulit disembuhkan, hanya mampu
dijaga agar tidak muncul.
2. Terapi farmakologi dilakukan dengan menggunakan obat-obat yang tepat untuk
mengatasinya seperti :
a. Obat antialergi yang mengandung antihistamin

Pengobatan dengan memberi obat antialergi yang mengandung


antihistamin dapat membantu tubuh menetralisasi keadaan tubuhnya dan
mengurangi reaksi alergi yang terjadi (Hakim dan Puspitasari, 2006).
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin
pada reseptor-reseptornya.
Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema
dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1
namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping
farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin
yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi
nonsedasi

golongan

ini

disebut

sebagai

antihistamin

nonklasik

(Djuanda,2008). Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya


adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin.
b. Obat golongan kortikosteroid

Dengan pemberian obat golongan kortikosteroid, karena pada kasus


ini, ruam pada pasien sudah menyebar luas hingga ke dada dan punggung

lalu kedua lengan tangannya. Obat golongan ini biasanya berhubungan


langsung dengan hormon yang ada didalam tubuh dan memberikan reaksi
cepat sehingga sering dipergunakan untuk mengatasi reaksi alergi yang akut
dan parah. Penggunaan obat ini disarankan dengan dosis yang serendah
mungkin dan tidak dalam jangka waktu yang panjang karena efek
sampingnya dapat mempengaruhi keseimbangan kerja tubuh. Penggunaan
obat ini disesuaikan dengan macam reaksi alergi yang sudah terjadi dan
kemudahan pasien untuk menggunakannya.
Contoh

obat

kortikosteroid

adalah

prednison,

prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi


prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari.

Prednisolone dapat

mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60


mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO (Sheik, 2009).
Jika reaksi bersifat lokal di permukaan kulit, penggunaan salep sebagai obat
cukup efektif. Namun jika reaksinya luas di seluruh(Graha, 2010) tubuh seperti yang
dialami oleh pasien pada kasus ini, penggunaan obat minum lebih disarankan . Bila
ruam/gatal pada pasien telah teratasi, maka untuk selanjutnya pasien diharapkan dapat
menghindari pencetus alerginya sendiri sehingga reaksi alergi pada tubuhnya dapat
dihindari.

ALGORITME URTIKARIA

URTIKARIA

First-line Therapy
Edukasi
Langkah nonmedis

Antihistamin

Second-line Therapy

Third-line Therapy

Farmakologi

Immunomodulatory
agent

Non-farmakologi
PUVA
Antidepresan
Kortikosteroid
Leukotriene
receptor
antagonist
CCB

Cyclosporine
Tacrolimus
Plasmapheresis
Obat lain:
Colchicine
Dapsone
Hydroxychloroq
uine
Terbutaline

Gambar 1. Alur Penatalaksanaan Urtikaria (Poonawalla dan Kelly, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Graha, C. K. 2010. 100 Questions & Answers Alergi pada Anak. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Hakim, L. dan I. Puspitasari. 2006. Cerdas Mengenali Penyakit & Obat. Yogyakarta:
PT. Bentang Pustaka.
Poonawalla, T. dan B. Kelly. 2009. Urticaria a review. Am J Clin Dermatol.
Vol.10(1): 9-21.
Sheikh, J. dan U. Najib. 2009. Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Oktober
2014, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print.

Anda mungkin juga menyukai