Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH STUDI KASUS

FARMAKOTERAPI II
FARMAKOTERAPI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI (ISR) PADA
WANITA HAMIL

Oleh :
KELOMPOK 1
Ida Ayu Putu Chandra Dewi
I Putu Krisnantara Wijana Putra
Putu Ari Setyadi Putra
Evi Savitri
A.A. Ketut Purnama Sari
Ni Putu Eka Rismawati
I Kadek Yudiastra
Gede Agastya Aparigraha
I Made Krisnawan Putra
Putu Masmitha Utami Dewi

1108505002
1108505017
1108505025
1108505029
1208505007
1208505066
1208505068
1208505072
1208505082
1208505096

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan


tubuh, secara klinis mungkin tidak tampak atau timbul cedera selular lokal
akibat kompetisi metabolism, toksin, replikasi intrasel, atau respon antigenantibodi. Salah satu penyakit infeksi yang terjadi di Indonesia adalah infeksi
saluran reproduksi. Infeksi saluran reproduksi (ISR) merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius tetapi tersembunyi. ISR pada perempuan
biasanya lebih serius dan sulit didiagnosis karena umumnya tidak
menunjukkan gejala (asimtomatik). Dampak dari ISR mulai dari kemandulan,
kehamilan ektopik (di luar kandungan), nyeri kronis pada panggul, keguguran,
meningkatkan risiko tertular HIV, hingga kematian. ISR juga menjadi beban
tersembunyi bagi perempuan karena adanya rasa bersalah atau malu untuk
mencari pengobatan (Fauzi dan Lucianawati, 2001).
Angka prevalensi kandidiasis pada kelompok perempuan perilaku risiko
tinggi adalah 11,228,9%, angka tersebut justru lebih rendah dari kelompok
perempuan perilaku risiko rendah (Qomariyah dkk., 2001). Sjarifuddin, dkk.
(1995) melaporkan frekuensi kandidiasis vaginalis yang cukup tinggi pada
tahun 1987 sebesar 40%, dan terus mengalami peningkatan menjadi 60% pada
tahun 1991 dan menjadi 65% pada tahun 1995. Penelitian yang dilakukan oleh
Kandera dan Surya (1993) tentang hubungan antara pemakaian alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dengan infeksi genitalia melaporkan bahwa
di antara wanita yang mengalami keputihan sebanyak 98,4% positif terhadap
adanya bakteri. Pada tahun 1997, penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan dan Population Council di Jakarta Utara melaporkan angka
prevalensi kandidiasis vaginalis sekitar 22% di antara wanita pengunjung
klinik KB (Djajadilaga, 1998).
Kandidiasis vulvovaginal (VVC) adalah infeksi yang paling sering
disebabkan oleh jamur Candida albicans. Diperkirakan 70 sampai 75% wanita
dewasa yang sehat setidaknya pernah mengalami sekali VVC selama hidup
mereka. Angka prevalensi lebih tinggi pada wanita yang diobati dengan
antibiotik spektrum luas (Singh, 2003), wanita hamil, wanita diabetes dan
perempuan dengan HIV / AIDS. Berdasarkan survei Rumah Sakit Umum Port

Moresby, Nugini, menunjukkan bahwa, dari 206 ibu hamil diperiksa ibu hamil
memiliki prevalensi 7,3% (Dennis et al., 2013).
Dampak infeksi kandidiasis pada kesehatan harus menjadi perhatian
karena sangat merugikan perempuan seperti timbulnya rasa gatal yang
menimbulkan lecet dan hubungan seks yang tidak nyaman. Selain itu
kandidiasis juga dapat memfasilitasi infeksi HIV. Upaya preventif dengan
pemberian informasi yang tepat kepada perempuan sangat diperlukan
mengingat sampai saat ini perempuan masih menganggap keputihan sebagai
suatu hal yang normal yang sebetulnya bisa jadi merupakan gejala kandidiasis
vaginalis. Pemahaman yang belum benar mengenai hal tersebut diperburuk
dengan mahalnya pengobatan untuk kandidiasis di Indonesia (Qomariyah
dkk., 2001).
1.2 Rumusan Masalah
Seorang perempuan hamil berusia 30 tahun dengan usia kandungan 28
minggu datang ke apotek dengan resep flukonazol 150 mg dosis tunggal untuk
mengatasi Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV). Bagaimana informasi yang
dapat diberikan kepada pasien?
1.3 Tujuan
Untuk memberikan informasi yang tepat kepada perempuan berusia 30
tahun tersebut mengenai terapi obat yang aman dan dapat diberikan untuk
mengatasi kandidiasis vulvovaginalis pada wanita hamil.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Candidiasis Vulvovaginitis
Kandidiasis adalah infeksi primer atau sekunder dari genus Candida,
terutama Candida albicans. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari akut,
subakut dan kronis ke episodik. Kelainan dapat lokal di mulut, tenggorokan, kulit,

kepala, vagina, jari-jari tangan, kuku, bronkhi, paru, atau saluran pencernaan
makanan, atau menjadi sistemik misalnya septikemia, endokarditis dan
meningitis. Proses patologis yang timbul juga bervariasi dari iritasi dan inflamasi
sampai supurasi akut, kronis atau reaksi granulomatosis. Karena C. albicans
merupakan spesies endogen, maka penyakitnya merupakan infeksi oportunistik
(Suyono, 2013).
Kandidiasis vulvovaginal (KVV) umumnya disebabkan karena C. albicans
(80-90%), C. glabrata (6-10%), C. tropicalis (5-10%), C. parapsilosis, C. krusei,
C. stellatoidea, C. kefyr, dan Saccharomyces cerevisiae (Suyono, 2013). Agen
penyebab mayoritas KVV adalah Candida albican. Kandidiasis vulvovaginal
(KVV) merupakan penyebab besar infeksi genital yang terjadi pada wanita,
terutama di negara-negara berkembang. Diperkirakan dua pertiga dari wanita akan
menderita KVV sekali dalam hidup mereka dan 40-50% mungkin mengalami
kekambuhan. (Dias et al., 2011).
KVV yang menginfeksi wanita dapat terjadi akibat transmisi seksual
(hubungan seksual) antara pasangan terutama pada penerima seks oral. Infeksi
tidak ditularkan melalui hubungan seks melawati vagina (Dignani, 2009). Kasus
terbanyak KVV terjadi karena pemindahan infeksi jamur dari anus ke introitus,
dapat juga pemindahannya diarea ini dari mulut atau tangan. Perantara yang tidak
umum untuk terinfeksi vagina termasuk urethra dan kuku tangan (Suyono, 2013).
Kehamilan diduga menjadi faktor risiko infeksi jamur. Kolonisasi ini terjadi
akibat perubahan fisiologis seperti umur (sangat muda/sangat tua) dimana
Kandidiasis vulvovaginal (KVV) ini terjadi pada 50% wanita hamil terutama pada
trimester terakhir (Suyono, 2013). Selama kehamilan normal kandidiasis sering
ditemui tanpa risiko yang signifikan untuk janin. Namun demikian, KVV kadangkadang membahayakan kehamilan jika tidak berhasil ditangani dengan optimal.
KVV dapat meningkatkan faktor risiko candidemia pada neonatus prematur
selama partum normal. Deteksi dini, diagnosis dini dan pengobatan yang tepat
dapat mencegah dan mengobati secara optimal wanita hamil yang menderita KVV
(Dias et al., 2011).
2.2 Faktor Predisposisi
3

Mekanisme invasi Candida masih tidak jelas tetapi mungkin menyangkut


kerja enzim keratinolitik, fosfolipase atau enzim proteolitik galur spesifik.
Pseudohifa dapat menembus intraselular kedalam korneosit (Janik, 2008). Ruang
terang terlihat di sekitar Candida, menandakan suatu proses lisis jaringan kulit
epitel yang sedang berlangsung. Bentuk hifa maupun ragi (yeast) keduanya dapat
menembus jaringan pejamu dan ke 2 bentuk menunjukkan virulensi yang
potensial dan berperanan infeksi pada manusia. Bentuk hifa mempercepat
kemampuan Candida invasi jaringan (Dignani, 2009).
Faktor pertahanan tubuh pada infeksi KVV terjadi lokal saja, yaitu pada
epitel vagina, sedangkan imunologis yaitu antibodi masih belum jelas. Pertahanan
lokat tersebut berupa sausana vagina yang asam sehingga menghambt
pertumbuhan mikroba, dan sistem eptelium dari vagina tersebut yang menyulitkan
tumbuhnya mikroba (Suyono, 2013). Keluhan yang sering muncul pada pasien
yang menderita Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) berupa keluhan sangat gatal
atau pedih disertai keluar cairan yang putih mirip krim susu/keju, berwarna
kuning, dan tampak pseudomembran abu-abu putih pada mukosa vagina (Suyono,
2013).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus dan Pengobatan
Infeksi saluran reproduksi (ISR) adalah masuk dan berkembangbiaknya
kuman penyebab infeksi kedalam saluran reproduksi. Kuman penyebab infeksi
tersebut dapat berupa bakteri, jamur, virus dan parasit.
Kandidiasis Vulvovaginitis adalah Penyakit jamur candida yang mengenai
mukosa vagina dan vulva. Penyebabnya yang tersering biasanya adalah Candida
albicans (Djuanda, A.,dkk., 2007). KVV merupakan salah satu contoh dari ISR
endogen yaitu merupakan penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak
normal pada flora normal yang seharusnya tumbuh normal pada vagina.
Pada kasus tersebut diketahui informasi bahwa pasien 30 tahun tersebut
sedang hamil 28 minggu (trimester ketiga) datang dengan membawa resep
flukonazol dosis tunggal 150 mg. Dari masalah tersebut tidak diuraikan pasien
telah terkena KVV dari sejak kapan dan tidak diuraikan gejala yang dirasakan
oleh pasien sehingga kami menafsirkan berdasarkan tepat tidaknya pemilihan
flukonazol untuk mengatasi KVV yang diderita pasien.
Ditinjau dari patologis KVV dimana dimulai dari adanya faktor predisposisi
memudahkan pseudohifa candida menempel pada sel epitel mukosa dan
membentuk kolonisasi. Kemudian candida akan mengeluarkan zat keratolitik
(fosfolipase) yang menghidrolisis fosfolopid membran sel epitel, sehingga
mempermudah invasi jamur ke jaringan. Dalam jaringan candida akan
mengeluarkan faktor kemotaktik neutrofil yang akan menimbulkan raksi radang
akut yang akan bermanifestasi sebagai daerah hiperemi atau eritema pada mukosa
vulva dan vagina. Zat keratolitik yang dikeluarkan candida akan terus merusak
epitel mukosa sehingga timbul ulkus-ulkus dangkal. Sisa jaringan nekrotik, sel-sel
epitel dan jamur akan membentuk gumpalan bewarna putih diatas daerah yang
eritema yang disebut flour albus (SMF FK.Unair, 2007). Akibat zat keratolitik
yang dikeluarkan cadinda akan menyebabkan rasa gatal didaerah vulva, dan pada
yang berat terdapat pula rasa panas, nyeri sesudah miksi dan dispaneuria (Siregar,

2005). Pada kehamilan, kemungkinan untuk terinfeksi KVV semakin besar karena
kondisi hormonal yang berbeda antara wanita hamil dan tidak hamil dimana pada
wanita hamil memiliki kadar estrogen yang lebih tinggi yang memungkinkan
penebalan dan pelebaran dinding rahim sehingga dapat mempersiapkan
pertumbuhan janin, selain itu hormon estrogen juga digunakan untuk
memperbesar volume aliran darah menuju uterus. Kadar estrogen yang tinggi
inilah yang menyebabkan pH vagina semakin asam secara langsung meningkatkan
virulensi ragi jamur candida (Kinghorn, 2002).
Flukonazol merupakan subkelas obat golongan triazol yang berperan sebagai
antijamur. Berikut adalah struktur flukonazol:

Gambar 1. Struktur flukonazol (CSLI, 2008)


Flukonazol merupakan antijamur berspektrum luas dan merupakan inhibitor
cytochrome P-450 sterol C-14 alpha-demethylation (biosintesis ergosterol) jamur
yang sangat selektif. Pengurangan ergosterol, yang merupakan sterol utama yang
terdapat di dalam membran sel-sel jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang
mengalami metilase menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi sel yang
berhubungan dengan membran. Secara in vitro flukonazol memperlihatkan
aktivitas fungistatik terhadap Cryptococcus neoformans dan Candida spp (CSLI,
2008).
Obat ini diabsorbsi secara sempurna tanpa firts pass metabolism, pada
distribusinya, obat diikat oleh protein sebanyak 12 % sehingga distribusinya
sangat luas, flukonazol tidak dimetabolisme secara ekstensif dimana 90% dari
dosis pemberian terekskresi melewati urin dalam bentuk yang tidak berubah
sebanyak 80%. Waktu paruh sekitar 20-30 jam dan dapat diperpanjang pada
6

pasien dengan fungsi ginjal tidak baik. Clearence obat mencapai 50 mL/menit
(CSLI, 2008).
Karena farmakokinetik obat yang baik diabsorbsi dan sedikit terikat protein
plasma sehingga flukonazol obat kategori C (efek samping pada janin hewan uji
tetapi belum ada data untuk manusia) bila digunakan pada kasus kehamilan
(Dinkes, 2010). Pada penelitian lebih lanjut oleh FDA, pada tahun 2011,
flukonazol dosis tinggi 400-800 mg/hari memiliki potensi teratogenik sehingga
tergolong kategori D akan tetapi untuk flukonazole dosis rendah 150 mg/hari
kategorinya tetap C (Data Cohort Nasional Denmark, 2011). Pemberian
flukonazole dosis tinggi yaitu (400 - 800 mg/hari) selama trisemester pertama
kehamilan karena berhubungan dengan beberapa cacat lahir pada bayi seperti
brachycephaly, abnormal facies, abnormal calvarial development, cleft palate,
femoral bowing, thin ribs and long bones, arthrogryposis, dan congenital heart
disease. Resiko tidak terjadi pada pemakaian tunggal, dosis rendah fluconazole
(150 mg) yang digunakan untuk pengobatan vaginal candidiasis (yeast infection).
(Reyes, et.al., 2002).
Pemberian flukonazole dosis rendah 150 mg dosis tunggal mempunyai
faktor resiko yang lebih rendah akan tetapi diperlukan data tambahan (Dinkes,
2010). Mungkin teratogenik di trimester akhir dapat berkurang karena pada tahap
ini, janin telah mengalami pertumbuhan yang sempurna sedangkan pada saat
trimester pertama, janin baru mengalami masa pertumbuhan dan kondisi hormon
ibu cenderung terganggu. Sehingga teratogenik lebih besar kemungkinannya
terjadi pada saat pemberian trimester 1 daripada trimester akhir. Hal tersebut juga
tergantung dari dosis pemberian flukonazol karena obat ini diabsorbsi sempurna
dan distribusinya sangat luas karena sangat sedikit yang terikat dengan protein
darah.
Pada suatu studi retrospektif di UK terhadap 289 wanita hamil, pemberian
oral flukonazol selama 1 bulan sebelum atau selama kehamilan tidak memberikan
efek samping yang serius (Faro, et.al., 1997 dalam Rusdi, N.K.,dkk., 2008).
Walaupun begitu kami menyarankan sebaiknya untuk wanita hamil pilihan
pertama terapi digunakan azole topikal yang mengurangi efek sistemik dari

golongan azole. Salah satunya adalah klotrimazole 500 mg intravagina yang


merupakan tablet vagina yang lebih aman untuk mengatasi candidiasis pada
wanita hamil karena tergolong kategori B untuk kehamilan (Rusdi, N.K.,dkk.,
2008). Selain itu juga telah dilakukan studi bahwa flukonazol 150 mg dosis
tunggal memberikan efek setara dengan terapi topikal klotrimazol 100 mg selama
7 hari (Sobel, J.D. et.al., 1995). Klotrimazol merupakan obat golongan azol
kelompok imodazol sehingga memiliki mekanisme kerja yang sama dengan
flukonazol.
3.2 KIE
Pasien diberikan informasi bahwa flukonazole dosis tunggal 150 mg belum
dapat dipastikan aman atau tidak untuk ibu hamil namun pada penelitian pada
hewan obat ini mempengaruhi janin pada 3 bulan pertama (trisemester pertama).
Walaupun begitu untuk menghindari efek yang tidak diinginkan maka ibu tersebut
dapat menggunakan obat topikal yang salah satunya adalah tablet vagina
klotrimazole. Pasien juga diberikan informasi mengenai cara pemberian tablet
vagina klotrimazol 500 mg, dimana pada saat pemakaian tablet dimasukkan
sedalam mungkin ke dalam vagina dengan aplikator yang tersedia, sebaiknya pada
malam hari. Tablet sebaiknya dimasukkan pada posisi terlentang dengan kedua
kaki ditarik sedikit ke arah badan.
Selain itu juga diperlukan tindakan untuk menunjang terapi farmakologi tersebut
yaitu:
a. Mengurangi

faktor

predisposisi

diantaranya

tidak

menggunakan

antibiotika secara berlebihan.


b. Menjaga kelembaban kulit.
c. Menjaga kebersihan daerah genital.
d. Memakai pakaian dalam yang nyaman serta tidak sempit dan terbuat dari
bahan yang menyerap keringat.

BAB IV
PENUTUP
8

3.1 Kesimpulan
Penggunaan Flukonazol efektif sebagai penghambat aktivitas Candida sp.
pada kasus kandidiasis vaginitis tetapi penggunaannya harus hati hati pada
kehamilan karena tergolong kategori C untuk kehamilan dan D untuk flukonazol
dosis tinggi sehingga penggunaannya tidak boleh dilakukan berulang dalam waktu
lebih dari 1 bulan. Karena tidak dijelaskan riwayat kandidiasis yang diderita
pasien dan pengobatan pasien yang pernah dilakukan untuk mengobati
kandidiasisnya maka sebagai pilihan pertama diajukan untuk obat azole yang
topikal yaitu klotrimazol 500 mg intravaginal. Pada penggunaan tablet vagina ini
dilakukan sekali pemberian pada malam hari
3.2 Saran
Diperlukan komunikasi yang baik antara dokter dan apoteker agar terapi
pengobatan sesuai dan tidak merugikan pasien karena efek samping yang tidak
diketahui akibat perkembangan penelitian terhadap obat.

DAFTAR PUSTAKA
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). 2008. Reference Method for
Broth Dilution Antifungal Susceptibility Testing of Yeasts; Approved
Standard-Third Edition. CLSI Document M27-A3, Clinical and Laboratory
Standards Institute, 940 West Valley Road, Suite 1400, Wayne, PA,190871898 USA
Dennis.O.Ugochukwu, Maurice C. Agu, Ucheamaka C. N , Uloma Agu. 2013.
Epidemiology of Candida vaginitis in women of reproductive age in
selected hospitals in Onitsha metropolis, Anambra state, Nigeria and its
environs 2007-2012 Department of Public Health, College of Medicine,
University of Lagos, Nigeria.
Dinkes Tasikmalaya. 2010. Flukonazol. Available at: http:// dinkes.Tasikmalaya
kota. go.id/ index.php/ informasi-obat/ 263-flukonazol. Diakses tanggal 1
Desember 2014
Dias, L. B., Mrcia S. C. M., Maria W. S., Jos M. F., and Rosane C. H.. 2011.
Vulvovaginal candidiasis in Mato Grosso, Brazil: pregnancy status,
causative species and drugs tests. Brazilian Journal of Microbiology. School
of Medical Sciences, Federal University of Mato Grosso, Brazil.
Dignani MC, Solamkin JS, Anaissie EJ. 2009. Candida. Clinical Mycology, edisi
ke 2. China : Churchill Living Stone Elsevier. p. 197-230.
Djajadilaga. 1998. Langkah-langkah Pencegahan Infeksi Saluran Reproduksi
pada Pelayanan Kontrasepsi Pedoman Klinis untuk Petugas KB. Population
Council. Jakarta.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
5.Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 106-109 dan 296-298

10

Fauzi, Ahmad, dan Lucianawati M. 2001. Jender dan Kesehatan: Kumpulan


Artikel 19982001. Jakarta: Pusat Komunikasi Kesehatan Berspektif Jender
Bekerja Sama dengan Ford Foundation.
Kandera, Wayan I, dan IG Putu Surya. 1993. Hubungan antara Pemakaian IUD
dengan Infeksi Genitalia (PID) pada Wanita yang Menderita Keputihan
(Fluor Albus) di Beberapa Fasilitas Pelayanan KB Kabupaten Badung,
Propinsi Bali. Denpasar: Pusat Biomedis BKKBN dan Kelompok Studi
Reproduksi Manusia (KSRM) FK UNUD Denpasar.
Kinghorn G R. 2002. Medical Over view of vaginal candidiasis. Int J Gynecol
Obstet. 37 pg : 3 7
Qomariyah, ST, Amaliah L, dan Rokhmawati S. 2001. Infeksi Saluran Reproduksi
(ISR) pada Perempuan Indonesia: Sebuah Telaah Literatur. Pusat
Komunikasi Kesehatan Berspektif Jender bekerja sama dengan Ford
Foundation. Jakarta.
Reyes C, Edelman D E, Bruin M F. 2002. Clinical experience with single-dose
fluconazole in vaginal candidiasis. A review of the worldwide database. Int
Gynecol Obstet. 37 pg:9-15.
Rusdi, N.K., Y.Trisna, dan A.Soemiati. 2008. Pola Pengobatan Fluor Albus di
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo serta FaktorFaktor yang Mempengaruhinya (Analisis Data Rekam Medik Tahun 20062007). Majalah Ilmu Kefarmasian Vol V(2) halaman: 91-100
Siregar RS. 2005. Penyakit Jamur Kulit Edisi 2.Jakarta : EGC, hal 46-50

11

SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR. 2007. Altas Penyakit Kulit
dan Kelamin. Surabaya : Airlangga University Perss, hal 86-91
Sobel,J.D., Brooker, Stein,G.E., Thomason, Wemelling, Bradley, and Weinstein.
1995. Single Oral Dose Fluconazole Compared with Conventional
Clotrimazole Topical Therapy of Candida Vaginitis. Floconazole Vaginitis
Study Group. US National Library of Medicine National Institutes of Health
(4 Pt 1) 1263-8.
Suryono, Sunarso. 2013. Kandidiasis Mukosa. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, Departemen/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

12

Anda mungkin juga menyukai