Anda di halaman 1dari 23

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl.Arjuna Utara No 6, Kebon Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/ Tanggal Ujian/ Presentasi Kasus : .
SMF ILMU PENYAKIT MATA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN, JAKARTA
Nama

: Paulus Apostolos H.S /11-2013-147


Meilisa S. Raya
Marcella Deviana / 11-2013-090

Dokter

Tanda tangan

: dr. Bambang Herwindu Sp.M


dr. Devi Sp.M

___________________________________________________________________________
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. R

Jenis kelamin

: perempuan

Umur

: 55 tahun

Alamat

: jalan Cibuna, Roxy

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 31 Desember 2014, pukul 10.15 WIB.
Keluhan utama : mata kanan dan kiri merah disertai penurunan penglihatan sejak 2
bulan yang lalu.
Riwayat perjalanan penyakit :
2 bulan SMRS, OS mengaku awalnya, pada kedua mata merah dan terasa seperti ada
yang mengganjal. Namun, OS tidak menghiraukannya, OS masih beraktivitas seperti

biasa. Keluhan nyeri pada kedua mata, berair, pusing, mual, dan muntah disangkal oleh
OS.
1 bulan SMRS, OS masih merasakan keluhan yang sama. Keluhan tersebut sudah mulai
mengganggu aktivitas OS (penglihatan), namun OS belum pergi ke dokter untuk
mendapatkan penanganan.
1 hari SMRS, OS memutuskan untuk pergi ke dokter mata karena sudah sangat
mengganggu penglihatannya. Penglihatan OS menjadi seperti berkabut pada mata kirinya
disertai rasa silau dan gatal.OS mengaku bahwa OS pernah mengalami hal yang serupa 4
tahun yang lalu,dan pernah menjalani operasi pengangkatan selaput mata. OS juga
mempunyai riwayat penyakit diabetes, jantung, dan kolesterol, serta OS menggunakan
kaca mata baca saat ini.
Keluhan tambahan : Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah mengalami penyakit serupa berupa adanya
selaput mata dan telah dioperasi sekitar 2 tahun lalu
Riwayat penyakit keluarga

:-

C. STATUS GENERALIS
Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Nadi
Frekuensi Nafas
Suhu
Kepala
Mulut
Telinga Hidung Tenggorok

: baik
: compos mentis
: 130/90 mmHg
: 92x/menit
: 18x/menit
: 36,3oC
: normosefali, benjolan (-)
: simetris, bibir berwarna merah
: liang telinga lapang, membran timpani utuh,
serumen (-), hidung tidak ada krepitasi, sekret dan

Toraks

pendarahan (-).
: BJ I II regular, gallop (-), murmur (-), suara nafas

Abdomen
Ekstremitas

vesikular, wheezing (-), ronkhi (-).


: nyeri tekan (-), bising usus (+) normal.
: akral hangat dan edema (-).

D. STATUS OPHTALMOLOGIS
OD

OS

OD
20/60 PH (-)
Tidak ada
Gerak bola mata : baik
Enopthalmus (-)
Exopthalmus (-)
Strabismus (-)
Nyeri tekan (-)
Edema (-)
Hiperemis (-)
Trikiasis (-)
Blefarospasme (-)
Lagopthalmus (-)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Pseudoptosis (-)
Edem (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi siliar (-)
Bangunan patologis :
Terdapat masa bangunan

PEMERIKSAAN
Visus
Koreksi
Addisi
Bulbus Oculi

Palpebra

Conjuctiva

OS
20/100 PH (-)
Tidak ada
Gerak bola mata : baik
Enopthalmus (-)
Exopthalmus (-)
Strabismus (-)
Nyeri tekan (-)
Edema (-)
Hiperemis (-)
Trikiasis (-)
Blefarospasme (-)
Lagopthalmus (-)
Ektropion (-)
Entropion (-)
Pseudoptosis (-)
Edem (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi siliar (-)
Bangunan patologis :
terdapat masa bangunan

berbentuk segitiga yang

berbentuk segitiga yang

berasal dari arah nasal

berasal dari arah nasal

dan terbatas sampai di

melewati limbus kornea

limbus

dan terbatas sampai ke


pinggiran pupil

Infiltrat (-)
Sekret (-)
Hiperemis (+)
Nyeri tekan (-)

Sclera

Bulat, jernih
Terdapat masa bangunan

Kornea

Infiltrat (-)
Sekret (-)
Hiperemis (+)
Nyeri tekan (-)
Bulat,jernih
Terdapat masa bangunan

berbentuk segitiga dari

berbentuk segitiga dari

arah nasal yang melewati

arah nasal yang melewati

limbus sekitar 2 mm

limbus sampai ke pinggir

Edem (-)
Infiltrat (-)
Sikatrik (-)

pupil.
Edem (-)
Infiltrat (-)
Sikatrik (-)

Kedalaman : dalam
Hipopion (-)
Hifema (-)
Kripta (-)
Warna : coklat
Edema (-)
Sinekia (-)
Atrofi (-)
Reguler
Letak : di tengah

Camera Oculi
Anterior
Iris

Pupil

Kedalaman : dalam
Hipopion (-)
Hifema (-)
Kripta (-)
Warna : coklat
Edema (-)
Sinekia (-)
Atrofi (-)
Reguler
Letak : di tengah

E. RESUME
Subjektif
Seorang wanita berumur 55 tahun datang dengan keluhan kedua mata merah dan penglihatan
menurun sejak 2 bulan SMRS.
Objektif
Visus : OD : 20/60 PH (-)
OS : 20/100 PH (-)
Konjungtiva : Injeksi konjungtiva : (+) ODS
Bangunan patologis : terdapat masa bangunan berbentuk segitiga yang berasal
dari arah nasal melewati limbus kornea dan terbatas sampai ke pinggiran pupil pada OS dan
melewati limbus sekitar 2 mm pada OD
Kornea
: Terdapat masa bangunan berbentuk segitiga dari arah nasal yang melewati
limbus sampai ke pinggir pupil pada OS dan melewati limbus sekitar mm pada OD
Lensa : berwarna keruh pada kedua mata,Shadow test (+)

F. DIAGNOSIS KERJA
1.Pterigium grade 3 OD dan Grade 2 OS
Dasar diagnosis : terdapat bangunan berbentuk segitiga dari arah nasal yang bergerak ke
kornea sampai pinggir pupil pada Mata kanan yang sesuai dengan pterygium derajat 3 dan
pada mata kiri terdapat bangunan serupa tetapi hanya terbatas 2 mm melewati limbus kornea
sesuai dengan pterygium derajat 2 dan adanya injeksi konjungtiva pada mata kiri dan kanan
yang menandai adanya proses peradangan
2.Katarak Senilis ODS Imatur
Pada pemeriksaan fisik ditemukan visus 20/60 pada mata kanan dan 20/100 pada mata kiri
yang tidak maju dengan menggunakan pin hole(menandakan bahwa bukan suatu kelainan
refraksi) dari hasil pemeriksaan fisik mata juga ditemukan adanya kekeruhan pada lensa dan
pada pemeriksaan shadow test ditemukan hasil positif pada kedua mata yang sesuai dengan
katarak stadium imatur
G. DIAGNOSIS BANDING
H. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
4

Slit Lamp
I. PENATALAKSANAAN
Tindakan konservatif :
Catarlen ED 5 dd gtt 1 ODS untuk memperlambat maturitas dari katarak pasien
Tindakan pembedahan :
Untuk mengangkat jaringan pterygium pada pasien
J. PROGNOSIS
OD

OS

Ad vitam

: bonam

bonam

Ad fungsionam

: bonam

bonam

Ad sanationam

: bonam

bonam

Tinjauan pustaka
I.Pterygium
Pterygium merupakan suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan neoformasi
fibrovaskular berbentuk segitiga yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan
menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana bowman. Puncak
segitiga terletak di kornea dan dasarnya terletak di bagian tepi bola mata. Apabila hal ini
mencapai pupil dapat mempengaruhi penglihatan. Penyebab dari penyakit ini adalah iritasi
kronik akibat debu, angin, paparan sinar UV atau mikrotrauma yang mengenai mata.
Pterygium banyak dijumpai pada orang yang bekerja di luar ruangan dan banyak
bersinggungan dengan udara, debu ataupun sinar matahari dalam jangka waktu yang lama.
Umumnya banyak muncul pada usia 20 30 tahun . Pterygium dipengaruhi berbagai faktor
risiko antara lain faktor usia, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan.
1. Anatomi
1.1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian
belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini
mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
5

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus.

Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva


bulbi

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya
sehingga bola mata mudah bergerak

Gambar 1. Anatomi mata


1.2. Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan dan avaskular.
Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak epitel kornea yang tertata sangat
rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat, kadar air yang konstan, dan tidak
adanya pembuluh darah. Kornea merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43
dioptri. Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan
sklera ini disebut limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
a. Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
b. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan
erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom
dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier.
c. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
6

a. Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
b. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang
lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk
bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membrana descement
a. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
b. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel melekat
pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,
menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya
regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan
sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

Gambar 2. Lapisan kornea


2.

Definisi

Pterygium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif .
Menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada
celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Asal
kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini
mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.
3. Epidemiologi

Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah
berdebu dan kering. Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet

lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup


sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA &
UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena
debu atau kekeringan). Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang
umur 20 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren
lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Laki-laki lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.
4. Faktor Resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi


ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan sinar
matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan
kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang juga menunjukkan adanya
pterygium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
5. Patofisiologi

Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan
mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan

berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini
biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya
pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang
tidak tampak itu sangat berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata
diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding
dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat
paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang
disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara
berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan merusak
jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan
jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar
ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan
terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang
mengenainya.
Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel gepeng
berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini membran
Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan
granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta
merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul
sebagai degenerasi stroma konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal
dan berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman
kornea dan diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada
pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi.
Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar ultraviolet, tetapi
kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi pterygium akan terlihat

10

dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa
kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye
syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini
didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.

6. Gejala Klinis

Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva
secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian
konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai
ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan
penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas
ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga
terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior
dari kepala pterygium (stokers line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

Mata sering berair dan tampak merah

Merasa seperti ada benda asing

Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

Pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan

Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

7. Klasifikasi
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson) :

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


11

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan.

Grade 1

Grade 2 dan 3
8.

Diagnosis
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua mata,
disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahuntahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan
terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan
mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah
paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh. Dengan
menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut. Dengan
menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada
pseudopterigium.

12

9. Diagnosis Banding

9.1 Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan limbus
pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi
tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka
kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor
resiko pinguecula.

Mata dengan pinguekula

9.2 Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau
Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterygium, pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada
limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah
melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada
pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head,
cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra
fissure yang berbeda dengan true pterigium.

13

10. Terapi
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3
kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi
dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan
angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik
secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang
rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang
rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi operasi
1.Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2.Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3.Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus
4.Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
Teknik pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
Teknik bare sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk
epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
Teknik autograft konjungtiva
14

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari
konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi
pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan
penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence
W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk
eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik
ini.
Cangkok membran amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran
amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada,
diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk
kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva
adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas
sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem
fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.

11. Komplikasi
Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
-

Gangguan penglihatan
Mata kemerahan
Iritasi
Gangguan pergerakan bola mata.
Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral berkurang

Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia

Dry Eye sindrom


Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:


-

Rekurensi
15

Infeksi

Perforasi korneosklera

Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

Korneoscleral dellen

Granuloma konjungtiva

Epithelial inclusion cysts

Conjungtiva scar

Adanya jaringan parut di kornea

Disinsersi otot rektus


Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah
memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 515% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada
saat eksisi

12. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak
kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari
13. Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik. Kekambuhan
dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi.Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman
pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas
kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan
eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi intensitas terpapar sinar matahari

II.Katarak

Katarak adalah kekeruhan pada lensa mata. Penyebab katarak bermacam-macam


diantaranya disebabkan karena proses penuaan, factor genetik, kelainan bawaan, penyakit

16

metabolik seperti diabetes mellitus, darah tinggi, merokok, alkohol, sinar ultraviolet, dan
infeksi yang biasanya didapatkan karena trauma pada mata.
Menurut Ilyas tahun 2004, berdasarkan usia katarak dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Katarak senil
Katarak yang terjadi pada usia lanjut, umumnya terjadi pada usia diatas 50 tahun.
Biasanya disebabkan karena proses penuaan.
2. Katarak juvenil
Katarak yang terjadi pada anak-anak.
3. Katarak congenital
Katarak yang terjadi sebelum atau segera setelah lahir.
ANATOMI
Lensa kristalin adalah struktur transparan, bikonveks yang berfungsi untuk :

Mengatur kejernihannya sendiri


Merefraksikan cahaya
Untuk akomodasi
Lensa tidak mempunyai suplai darah atau inervasi setelah perkembangan fetal,
dan ini semua tergantung sepenuhnya pada humor akuos untuk fungsi metabolisme
dan pembuangan. Lensa terletak dibelakang iris dan dianterior dari korpus vitreous.
Lensa ditopang oleh zonula Zinii, yang terdiri atas serabut-serabut kuat yang melekat
ke korpus siliaris. Bagian lensa terdiri atas kapsul, epithelium lensa, korteks dan
nukleus.
Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 35% protein (kandungan
protein tertinggi diantara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral yang
biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada
di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk
teroksidasi maupun tereduksi
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu yaitu :

Kenyal atau atau lentur karena memegang peranan penting dalam akomodasi

untuk menjadi cembung


Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
Terletak ditempatnya

DEFINISI
17

Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di
atas 50 tahun. Katarak merupakan penyebab kebutaan didunia saat ini yaitu setengah dari 45
juta kebutaan yang ada. 90% dari penderita katarak berada di negara berkembang seperti
Indonesia, India dan lainnya.Katarak juga merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia,
yaitu 50% dari seluruh kasus yang berhubungan dengan penglihatan.

Gambar Mata dengan katarak.7

ETIOLOGI
Penyebab katarak senilis sampai saat ini belum diketahui secara pasti,diduga multifaktorial,
diantaranya antara lain.
- Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik
- Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat mempunyai efek buruk
terhadap serabu-serabut lensa.
- Faktor imunologik
- Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan permeabilitas
kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari.
- Gangguan metabolisme umum (DM, Galaktosemia)

FAKTOR RESIKO
Katarak umumnya terjadi karena faktor usia, meskipun etiopatogenesis belum jelas,
namun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya katarak senilis adalah :
1. Herediter.
Cukup berperan dalam indsidensi, onset dan kematangan katarak senilis pada keluarga
yang berbeda.
2. Sinar ultraviolet.
Bila lebih banyak terekspos dengan sinar ultraviolet dari matahari maka akan
berpengaruh pada onset dan kematangan katarak.
18

3. Nutrisi.
Defisiensi nutrisi seperti protein, asam amino, vitamin (riboflavin, vitamin E, vitamin
C) dan elemen penting lainnya mengakibatkan katarak senilis lebih cepat timbul dan lebih
cepat matur.
4. Dehidrasi.
Terjadinya malnutrisi, dehidrasi dan perubahan ion tubuh juga akan mempengaruhi
katarak.
5. Perokok
Merokok menyebabkan akumulasi molekul pigmen 3 hydroxykynurinine dan
kromofor, yang menyebabkan warna kekuningan pada lensa. Cyanates pada rokok
menyebabkan denaturasi protein.
Adapun faktor risiko terjadinya katarak meliputi usia diatas 50 tahun, wanita, keadaan
sosial ekonomi rendah, sering terpapar sinar ultraviolet, kolesterol tinggi, kadar protein dan
albumin tubuh rendah.

Klasifikasi
Katarak senilis adalah katarak yang berkaitan dengan usia, penuruna penglihatan,
dengan karakteristik penebalan lensa yang terjadi secara terusmenerus dan progresif9. Katarak
senile umumnya dibagi menjadi 4 stadium yaitu:
1. Stadium insipien
2. Stadium imatur
3. Stadium matur
4. Stadium hipermatur

Perbedaan stadium katarak senile

Kekeruhan
Besar lensa
Cairan Lensa

Insipien
Ringan

Immatur
Sebagian

Matur
Seluruh

Hipermatur
Masif

Normal
Normal

Lebih Besar
Bertambah

Normal
Normal

Kecil
Berkurang

( Air masuk)

(Air + massa
19

Iris
Bilik depan
Sudut bilik mata
Penyulit
Visus

Bayangan

Normal
Normal
Normal
(+)
-

Terdorong
Dangkal
Sempit
Glukoma
<
(++)

Normal
Normal
Normal
<<
-

lensa keluar)
Tremulans
Dalam
Terbuka
Uveitis,glaucoma
<<<
(+/-)

Iris
Bentuk Katarak :
1. Katarak subkapsular
a. Katarak subkapsular anterior terletak dibawah kapsul lensa dan berhubungan dengan
metaplasia fibrous dari epitel lensa.
b. Katarak subkapsular posterior terletak didepan kapsul posterior, karena lokasinya pada
nodal point mata, opasitas subkapsular posterior lebih mempengaruhi penglihatan
dibandingkan katarak kortikal atau nuklear. Penglihatan dekat lebih jelek daripada
penglihatan jauh.
2. Katarak nuklear

Katarak nuklear cenderung berkembang lambat. Meskipun biasanya bilateral, namun


mereka asimetris. Umumnya lebih berpengaruh pada penglihatan jauh daripada
penglihatan dekat. Pada tahap awal, pengerasan progresif dari nuckleus lensa sering
menyebabkan peningkatan indeks refraktif lensa dan kemudian terjadi myopic shift
refraksi
3. Katarak kortikal
Melibatkan korteks anterior, posterior atau equatorial. Gejala katarak kortikal yang
paling sering adalah silau, dapat dijumpai monocular diplopia. Tanda awal katarak ini
adalah dengan pemeriksaan slitlamp tampak sebagai vakuola dan celah air pada korteks
anterior atau posterior

Gejala Klinis
1. Penurunan tajam penglihatan
2. Silau
20

3. Diplopia monocular atau poliopia


Kadang-kadang, perubahan nuklear terletak pada lapisan bagian dalam nukleus lensa
menimbulkan daerah pembiasan multiple pada bagian tengah lensa. Daerah ini tampak
irreguler pada red reflek dengan retinoskopi atau ophthalmoskop indirek. Tipe katarak ini
akan menimbulkan diplopia monokular atau poliopia.

Diagnosis
Katarak pada stadium dini, dapat diketahui melalui pupil yang dilatasi maksimum
dengan oftalmoskop, kaca pembesar atau slit lamp10 .Fundus okuli menjadi semakin sulit
dilihat seiring dengan semakin padatnya kekeruhan lensa, hingga reaksi fundus hilang.
Derajat klinis pembentukan katarak dinilai terutama dengan uji ketajaman penglihatan
Snellen
Oleh karena kekeruhan dibagian posterior lensa, maka sinar oblik yang mengenai
bagian yang keruh ini, akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan, terlihat dipupil, ada
daerah yang terang sebagai refleks pemantulan cahaya pada daerah lensa yang keruh dan
daerah yang gelap, akibat bayangan iris pada bagian lensa yang keruh.keadaan ini disebut
shadow test positif .

Penatalaksanaan
Terapi obat-obatan yang diberikan pada katarak imatur diberikan obat tetes mata
Catarlent eye drop 5 kali sehari 1 tetes untuk memperlambat terjadinya kekeruhan lensa.
Tidak ada perawatan medis yang terbukti berguna untuk menunda, mencegah, atau
membalikkan perkembangan katarak. Pembedahan dilakukan pada katarak matur.
Penatalaksaan dapat dilakukan dengan pembedahan. Ada dua teknik pembedahan katarak,
menurut Vaughan yaitu:
1. Intra-Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Mengeluarkan lensa secara bersama-sama dengan kapsul lensa. Ekstraksi jenis ini
merupakan tindakan bedah yang umum dilakukan pada katarak senil. Lensa beserta
kapsulnya dikeluarkan dengan memutus zonula Zinn yang telah mengalami degenerasi.
Pengambilan lensa dilakukan secara in toto sebagai satu potongan utuh, dimana
nukleus dan korteks diangkat didalam kapsul lensa dengan menyisakan vitreus dan
membrana Hyaloidea. Kapsula posterior juga diangkat sehingga IOL tidak dapat

21

diletakkan di bilik mata posterior. IOL dapat diletakkan di bilik mata anterior dengan
risiko infeksi kornea. Selain itu tidak ada lagi batasan antara segmen anterior dan posterior
yang dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi lainnya seperti vitreus loss, cystoid
macular edema, dan endophtalmitis. Teknik ini digunakan dalam kasus tertentu antara lain
bila terjadi subluksasio lensa atau dislokasi lensa.
2. Extra-Capsular Cataract Extraction (ECCE)
Nukleus dan korteks diangkat dari kapsul dan menyisakan kapsula posterior yang
utuh, bagian perifer dari kapsula anterior, dan zonula zein. Teknik ini selain menyediakan
lokasi untuk menempatkan intra ocular lens (IOL), juga dapat dilakukan pencegahan
prolaps vitreus dan sebagai pembatas antara segmen anteror dan posterior. Sebagai
hasilnya, teknik ECCE dapat menurunkan kemungkinan timbulnya komplikasi seperti
vitreusloss, edema kornea.
3. Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi merupakan bentuk EKEK yang terbaru dimana menggunakan
getaran ultrasonik untuk menghancurkan nukleus sehingga material nukleus dan kortek
dapat diaspirasi melalui insisi 3 mm. Teknik operasi ini tidak berbeda jauh dengan cara
ECCE, tetapi nucleus lensa diambil dengan menggunakan gelombang suara berfrekuensi
tinggi (emulsifier). Dibanding ECCE, maka irisan luka operasi lebih kecil sehingga setelah
diberi IOL rehabilitasi visus lebih cepat, di samping itu penyulit pascabedah lebih sedikit
ditemukan.
4. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Adalah modifikasi dari ekstraksi katarak ekstrakapsular merupakan salah satu
teknik pilihan yang dipakai dalam operasi katarak dengan penanaman lensa intraokuler.
Teknik ini lebih menjanjikan dengan insisi konvensional karena penyembuhan luka yang
lebih cepat, astigmatisme yang rendah, dan tajam penglihatan tanpa koreksi yang lebih
baik.

22

Daftar pustaka
1. Vaughan, D.2005. Oftalmologi Umum. Alih bahasa Jan Tambajong dan Brahm U. Ed.14.
Jakarta : Widya Medika.
2. Ilyas, S. 2004. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke- 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi pertama. Yogyakarta: Bagian Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada, 2007.
4. Victor, D., Ocampo, Jr. et al. 2011. Cataract Senile. Dalam Medscape. Diakses tanggal 08
Desember 2014
5. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :
http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2014

6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6, 116
117. 2007
7. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/ article/
1192527-overview. 2014

23

Anda mungkin juga menyukai