Anda di halaman 1dari 10

Pengakuan Masyarakat Sebagai Pelaku Bisnis Daerah Perbatasan Peduli

Lingkungan Merupakan Daya Saing Bisnis

Nonie Magdalena
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha
nie_maranatha@yahoo.com

Abstrak
Pengakuan masyarakat (social legitimate) merupakan pengukuran kinerja pemasaran yang
memiliki daya saing yang besar dalam persaingan bisnis. Jika, bisnis mendapatkan pengakuan
yang besar dari masyarakat maka bisnis akan bertahan dalam jangka panjang (profit).
Pengakuan masyarakat dapat diperoleh jika para pelaku bisnis memiliki komitmen
berhubungan dengan market driven orientationyaitu ketika kebutuhan pasar mengalami
perubahaan maka para pelaku bisnis perlu memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Saat ini, pasar
mulai sadar mengenai pentingnya lingkungan (people dan planet) dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian, paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana
sebaiknya pelaku bisnis peduli pada lingkungan sehingga usaha yang dilakukan mendapat
pengakuan dari masyarakat dan akhirnya menjadikan daya saing bagi keberhasilan bisnis di
daerah perbatasan.
Kata kunci:kinerja pemasaran, pengakuan masyarakat, peduli lingkungan, daya saing bisnis

PENDAHULUAN
Kekuatan perekonomiandunia tergantung dari kekuatan perekonomian antar negara-negara di
dunia. Menurut Sunarsip (2011),ASEAN merupakansalah satu kumpulan negara-negara asia
tenggara yang memiliki kekuatan ekonomi vital bagi perekonomian dunia sehingga ASEAN
telah merancang suatu kawasan ekonomi ASEAN yang terintegrasi pada 2015 (ASEAN
Economic Community 2015). Melalui ASEAN Economic Community 2015 maka seluruh
kegiatan ekonomi ASEAN (perdagangan, investasi, dan keuangan) akan terintegrasi dengan
menghilangkan berbagai hambatan (tarif dan non-tarif). Namun, kelemahan yang terjadi di
Negara ASEAN adalah kesenjangan perekonomian negara-negara ASEAN relatif tinggi.
Salah satu negara ASEAN yang memiliki kesenjangan perekonomian relatif tinggi
adalah negara Indonesia. Negara Indonesia memiliki berbagai daerah yang mana
kesejahteraannya belum merata sehingga perlu dibina dan dikembangkan. Salah satu daerah
yang kesejahteraannnya belum merata adalah daerah perbatasan. Menurut Tarmansyah,
lemahnya kondisi daerah perbatasan antara lain disebabkan karena kevakuman aktivitas di
daerah perbatasan. Kevakuman aktivitas ini perlu dibina dan dikembangkan agar daerah ini
menjadi daerah yang aktif sebagai kawasan perdagangan.
Sebagai kawasan perdagangan maka perlu dikembangkan komunitas wirausaha yang
mana komunitas ini dapat menjadirole model bagi masyarakat sekitar. Tujuan dari komunitas
ini sebaiknya lebih menekankan pada pemecahan permasalahan yang terjadi di masyarakat
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada sehingga sesuai dengan arti dari kewirausahaan
(Juwaini, 2011:9).
Salah satu jenis komunitas wirausaha yang dapat mengembangkan masyarakat daerah
perbatasan adalah social enterprise. Menurut Juwaini (2011:VIII), social entreprise adalah
perusahan yang kiprahnya dan hasilnya ditujukkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
masyarakat. Dengan kata lain, hasil dari aktivitas social entreprise adalah untuk kepentingan

masyarakat sehingga akhirnya memberikan dampak pengakuan masyarakat (social


legitimacy) pada hasil dari aktivitas usaha tersebut.Salah satu contoh, China terkenal dengan
budaya Guanxi. Budaya ini mendapat pengakuan yang besar dari masyarakat di China
sehingga perusahaan swasta dapat berkembang di China (Carlisle & Flynn, 2005).
Pengakuan masyarakat merupakan salah satu pengukuran kinerja pemasaran (Kotler &
Keller, 2012:41) yang memiliki daya saing yang besar dalam persaingan bisnis. Jika, bisnis
mendapatkan pengakuan yang besar dari masyarakat maka bisnis akan bertahan dalam jangka
panjang (profit). Pengakuan masyarakat dapat diperoleh jika para pelaku bisnis memiliki
komitmen berhubungan dengan market driven orientation yaitu ketika kebutuhan pasar
mengalami perubahaan maka para pelaku bisnis perlu memenuhi kebutuhan pasar tersebut.
Berdasarkan berbagai fenomena yang telah dipaparkan maka paper ini bertujuan untuk
memberikan gambaran mengenai bagaimana sebaiknya pelaku bisnis peduli pada lingkungan
sehingga usaha yang dilakukan mendapat pengakuan dari masyarakat dan akhirnya
menjadikan daya saing bagi keberhasilan bisnis di daerah perbatasan.

Pemahaman Mengenai Pengakuan Masyarakat (Social Legitimacy)


Hundson (2008) menjelaskan beberapa area yang mempengaruhi hubungan organisasi dengan
masyarakat yaitu: persepsi masyarakat, identitas organisasi, citra organisasi, dan reputasi.
Berdasarkan berbagai area ini maka ketika organisasi menghasilkan aktivitas yang
berhubungan dengan aktivitas sosial, seringkali organisasi tersebut dipersepsikan positif
maupun negatif. Menurut Hudson (2008), respon positif dari masyarakat dikenal dengan
istilah legitimacy dan respon negatif dari masyarakat dikenal dengan istilah illegitimacy atau
legitimasi negatif ataustigma. Paper ini lebih membahas pemahaman mengenai bentuk respon
positif dari masyarakat ketika para pelaku bisnis melakukan aktivitas bisnis pada masyarakat.

Pengakuan (legitimacy) merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan


organisasi. Bitektine (2011) mendukung pernyataan tersebut dengan menjelaskan bahwa
pengakuan memberikan manfaat bagi organisasi. Deephouse & Carter (2005) menjelaskan
bahwa pengakuan (legitimacy) merupakan penilaian yang dilakukan oleh sistem masyarakat
pada suatu organisasi yang mana lebih menekankan pada penerimaan masyarakat karena
organisasi tersebut mendukung norma, aturan, dan harapan masyarakat. Dowling & Pffefer
(1975); Hannan & Freeman (1977); Meyer & Rowan (1977) dalam Carlisle & Flynn (2005)
juga mendukung bahwa pengakuan masyarakat merupakan penerimaan organisasi oleh
lingkungan dan dipertimbangkan sebagai sesuatu yang penting untuk keberlangsungan dan
kesuksesan organisasi. Kuznetsov & Kuznetsova (2012) juga menjelaskan legitimasi sebagai
kontrak sosial secara implisit yang mana bisnis mampu bertanggung jawab untuk memenuhi
permintaan dan harapan masyarakat
Berdasarkan berbagai pemahaman mengenai pengakuan masyarakat maka dapat terlihat
jelas bahwa pengakuan merupakan ukuran yang bersifat abstrak yaitu unsur subjektif
masyarakat berperan dalam membangun pengakuan tersebut. Namun, Kuznetsov &
Kuznetsova (2012) menjelaskan bahwa sebenarnya ukuran berwujud dari pengakuan
masyarakat mengenai perusahaan dapat dilihat dari reputasi, kinerja yang baik, kepercayaan,
kredibilitas, dan integritas. Menurut Kotler & Keller (2012), berbagai kinerja tersebut dapat
mendukung kinerja pemasaran khususnya berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan.
Carlisle & Flynn (2005) menjelaskan 3 (tiga) jenis pengakuan yaitu: pragmatic
legitimacy, moral legitimacy, dan cognitive legitimacy. Pragmatic legitimacy adalah
perhitungan kepentingan diri organisasipalimg cepat menciptakan ketergantungan. Moral
legitimacy adalah evaluasi positif normatif dari organisasi dan aktivitas atau apakah tindakan
organisasi tersebut tepat sesuai denga norma-norma yang berlaku di masyarakat (Aldrich &
Fiol, 1994 dalam Carlisle & Flynn, 2005). Cognitive legitimacy adalah individu dan

organisasi menerima aktivitas organisasi secara pasif bukan berdasarkan kepentingan atau
evaluasi (Aldrich & Fiol, 1994 dalam Carlisle & Flynn, 2005).Menurut Kuznetsov &
Kuznetsova (2012), berbagai bentuk dari legitimasi berbeda tergantung dari sejarah, budaya,
dan situasi ekonomi dalam masyarakat.
Berdasarkan berbagai jenis pengakuan ini yang lebih berperan dalam menghasilkan
respon positif dari masyarakat adalah jenis moral legitimacy. Dengan demikian, pelaku bisnis
perlu mempertimbangkan aspek moral agar mendapat pengakuan positif dari masyarakat
sehingga keberlangsungan dan kesuksesan bisnis dapat tercapai. Pengembangangan aspek
moral ini lebih menekankan pada jenis pelaku bisnis sosial atau yang dikenal dengan nama
social enterpreneur.

Pengembangan Social Legitimacy Melalui Social Enterpreneur


Vidaver-Cohen & Bronn (2008) menjelaskan bahwa para pelaku bisnis perlu memikat
masyarakat ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui aktivitas usahanya.
Para pelaku bisnis harus selalu berpikir untuk mempertimbangkan perubahan yang terjadi di
masyarakat melalui aktivitas yang dilakukannya. Ketika para pelaku bisnis memikirkan
perubahaan yang terjadi di masyarakat maka akan berdampak besar pada keberlangsungan
hidup perusahaan. Fenomena ini sedang berkembang dikalangan para pelaku bisnis yang
mendorong lahirnya social enterpreneur (Pless, 2012).
Social enterpreuneur atau wirausaha sosial adalah orang yang mengetahui atau
memahami adanya masalah sosial di masyarakat, selanjutnya menggunakan prinsip-prinsip
kewirausahaan yaitu mengorganisasi, mengkreasi, dan mengelola sebuah entitas untuk
membuat perubahan sosial (Juwaini, 2011:11).
Menurut Pless (2012), Social enterpreuneurakan menjalankan usahanya yang berbentuk
social enterprise yang bertujuan mengembangkan solusi inovatif bukan hanya untuk

memaksimalkan keuntungan perusahaan, namun mengkomunikasikan ide untuk memberikan


dampak pada masyarakat.Selain itu,social enterprise menciptakan nilai sosial dalam
organisasi dan jaringannya.
Dalam

mengembangkan

memperhatikan 2

(dua)

masyarakat.Melalui

berbagai

dan

mengelola

yaitu: prinsip
faktor

usahanya,

social

moral dan faktor

pertimbangan

ini,

enterpreuneurperlu

pembentuk pengakuan

diharapkan

seorang

social

enterpreuneur mampu memiliki nilai-nilai yang dapat membentuk dan mengembangkan


pengakuan masyarakat sebagai kunci keberhasilan usaha.

Prinsip Moral Dalam Social Enterpreneurdan Social Legitimacy


Seorang wirausaha sosial tidak cukup bertindak wirausaha, namun wirausaha perlu
mempertimbangkan dimensi moral legitimacy dalam membangun usahanya. Moral harus
dijadikan dasar dan akhir dari setiap nilai dan perilaku berwirausaha. Anderson & Smith
(2007) menjelaskan bahwa seorang agar menjadi wirausahawan tidak cukup hanya bertindak
secara wirausaha namun perlu mempertimbangkan dimensi moral dalam membangun
usahanya. Hal ini sejalan dengan pemahaman mendasar dari kewirausahaan yaitu ekspresi
dari interaksi diantara individu, komunitas sosial, dan keseluruhan masyarakat (Ebner, 2005
dalam Anderson & Smith, 2007). Seorang wirausaha harus mampu mengembangkan
kesejahteraan dirinya dan masyarakat sekitarnya.
Menurut Suchman (1995) dalam Vidaver-Cohen & Bronn (2008) menjelaskan bahwa
dimensi dari moral legitimacy terdiri dari: pertama, consequential legitimacy yaitu
melaksanakan tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Kedua, prosedural legitimacy
yaitu proses dan prosedur pengadopsian yang menggambarkan value moral yang dibagikan
dalam lingkungan masyarakat. Ketiga, structural legitimacy yaitu menciptakan sistem dan
struktur yang berhubungan dengan standar etika yang berlaku di masyarakat. Keempat,

personal legitimacy yaitu mendemontrasikan perilaku integritas dan kepercayaan diantara


para pemimpin organisasi dan yang mewakilinya. Berbagai dimensi ini dapat digunakan
social enterpreuneur dalam berkreasi untuk mengelola usaha yang berdampak pada
masyarakat.

Faktor Pembentuk Pengakuan Masyarakat


Dalam membentuk pengakuan masyarakat, wirausaha sosial perlu mempertimbangkan 3
(tiga) faktor yaitu (Kostova & Zaheer, 1999; Maurer, 1971 dalam Carlisle & Flynn,
2005):karakteristik lingkungan kelembagaan, karakteristik organisasi, dan proses legitimasi
yang mana lingkungan membangun persepsinya organisasi. Proses legitimasi dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain: menurut Vidaver-Cohen & Bronn (2008) dapat dilakukan
dengan dialog proaktif dengan stakeholders; menginvestasikan sumber daya perusahaan untuk
mengembangan infrastruktur masyarakat; berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain untuk
memecahkan masalah masyarakat; melakukan komitmen formalisasi melalui kebijakan dan
aturan, struktur, dan prosedur.
Bitektine (2011) juga menjelaskan proses pembentukan pengakuan masyarakat yang
terdiri dari: siapa aktor yang mengevaluasi legitimacy; fitur organisasi apa yang dinilai;
bagaimana berbagai fitur tersebut dipersepsikan oleh aktor evaluasi tersebut; dan bagaimana
penyebaran atau pengkonsentrasian dari benefit yang berhubungan dengan organisasi,
struktur, praktik, dan kelembagaan; melalui mekanisme apa permintaan organisasi
dikabulkan.
Menurut Bitektine (2011), aktor yang mengevaluasi legitimasi tergantung dari berbagai
tipe legitimasi. Sebagai contoh, moral legitimacy berarti legitimasi berdasarkan persetujuan
norma-norma yang berlaku di masyarakat sehingga masyarakat menjadi aktor dalam
mengevaluasi legitimasi. Menurut Suchman (1995) dalam Bitektine (2011), fitur organisasi

merupakan aspek atau dimensi aktivitas, struktur, dampak yang digunakan aktor sebagai
penentu keseluruhan legitimasi. Sebagai contoh, jika tipe consequential legitimacy maka
Evaluasi legitimasi berdasarkan dampak aktivitas organisasi tersebut pada masyarakat.
Menurut Bitektine (2011), bagaimana berbagai fitur tersebut dipersepsikan oleh aktor
evaluasi merupakan bentuk proses secara analisis sehingga menghasilkan perbedaan
penilaian. Sebagai contoh, jika tipe sociopolitical legitimacy maka tipe penilaian yang
dilakukan oleh aktor adalah apakah bentuk, proses, dan dampak organisasi, atau fitur lainnya
dapat diterima secara sosial.
Menurut Bitektine (2011), bagaimana penyebaran atau pengkonsentrasian dari benefit
yang berhubungan dengan organisasi, struktur, praktik, dan kelembagaan tergantung
bagaimana manfaat dari aktivitas organisasi tersebut. Menurut Bonardi, Hillman, & Keim
(2005) dalam Bitektine (2011), benefit tersebar ketika sejumlah besar masyarakat menerima
benefit yang kecil. Sebaliknya, benefit terkonsentrasi ketika sejumlah kecil masyarakat
menerima benefit yang besar. Jadi, inti dari pemahaman ini adalah pendistribusian manfaat
yang dihasilkan dari aktivitas organisasi.
Menurut Bitektine (2011), melalui mekanisme apa permintaan organisasi dikabulkan.
Menurut Deephouse (1996); Ruef & Scott (1998) dalam Bitektine (2011), Agar permintaan
organisasi dikabulkan maka organisasi perlu menyesuaikan dengan norma-norma dan aturan
yang berlaku di masyarakat. Jika kesesuaian tersebut tercapai maka masyarakat

SIMPULAN
Dalam menghadapi AEC 2015, para pelaku bisnis di daerah perbatasan perlu berpikir menjadi
social enterpreuner. Sebagai social enterpreuner, pemikiran untuk pengembangan daerah
atau masyarakat harus menjadi prinsip dalam menjalankan aktivitas usahanya. Pemikiran ini
perlu berdasarkan prinsip moral yang dianut sehingga dapat mengembangkan social valuebagi

organisasinya sehingga value ini mendapatkan pengakuan dari masyatakat. Aktivitas usaha
perlu mengarah pada pemecahan masalah yang dihadapi di dearah perbatasan. Para pelaku
bisnis perlu melakukan riset untuk menggali setiap permasalahan dan berusaha untuk
memecahkan permasalah tersebut. Jika para social enterpreuner dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat maka pengakuan masyarakat pada aktivitas yang dilakukan dapat berdampak
besar pada kinerja perusahaan khususnya kinerja pemasaran di bidang lingkungan dan
masyarakat. Pengakuan masyarakat ini dapat dijadikan sebagai daya saing bagi pelaku bisnis
yang memiliki pembeda dengan para pelaku bisnis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, A.R., dan Smith, R. (2007) The Moral Space in Entrepreneurship: an exploration
of Ethical Imperatives and The moral legitimacy of being Enterprising. Entrepreneurship
and regional Development, 19:479-497.
Bitektine, A. (2011) Toward A Theory of Social Judgments of Organizations: The Case of
Legitimacy, Reputation, and Status. Academy of Management Review, 36(1):151-179.
Carlisle, E., & Flynn, D (2005) Small Business Survival in China: Guanxi, Legitimacy, and
Social Capital. Journal of Developmental Entrepreneurship, 10(1):79-96.
Deephouse, D.L. dan Carter, S. M. (2005) An Examination of Differences Between
Organizational Legitimacy and Organizational Reputation. Journal of Management
Studies, 42(2):329-360.
Hudson, B.A. (2008) Against All Odds: A Consideration of Core-Stigmatized Organizations.
Academy of Management Review. 33(1):252-266.
Juwaini, A. (2011) Social Enterprise: Transformasi Dompet Dhuafa Menjadi World Class
Organization. Jakarta: Expose (mizan Group).
Kotler, P. dan Keller, K.L. (2012), Marketing Management. 14th ed., Upper Saddle River,
New Jersey:Prentice Hall, Inc.
Kuznetsov, A.,& Kuznetsova, O. (2012) Business Legitimacy and The Margins of Corporate
Social Responsibility in The Russian Context. Int. Studies of Mgt. & Org., 42(3):35-48.
Pless, N.M. (2012) Social Entrepreneurship in Theory and Practice-An Introduction. Journal
Business Ethics, 111:317-320.
Sunarsip
(2011)
Menuju
ASEAN
Community
2015.
Republika.
http://budisansblog.blogspot.com/2011/11/menuju-asean-community-2015.html
Tarmansyah, U.S. Potensi dan Nilai Strategis Wilayah Perbatasan Negara: Permasalahan dan
Solusinya.
Puslitbang
Indhan
Balitbang
Dephan.
Balitbang.dephan.go.id.
http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/5%29%20Masalah%2
9

0Perbatasan/2%29%20Masalahmasalah%20Perbatasan/Potensi%20dan%20Nilai%20Strategis%20Wilayah%20Perbatasan
%20Negara.pdf.
Vidaver-Cohen, D. & Bronn, P.S. (2008) Corporate Citizenship Manajerial Motivation:
Implications for Business Legitimacy. Business and Society Review, 113(4):441-475.

10

Anda mungkin juga menyukai