Anda di halaman 1dari 15

Satpol PP Sanggau Amankan Remaja Pengguna Narkoba

20 Oktober 2014, 14:51:31 WIB


Kalimantan Barat - SANGGAU, (Kalimantan-News) - Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Pemerintah Kabupaten Sanggau kembali mengamankan seorang remaja putri yang
terbukti menggunakan narkoba saat razia di rumah kos, Senin. Menurut Kepala Seksi
Pemeriksaan dan Penyidikan Satpol PP Pemkab Sanggau, Wendy Very Nanda saat
dihubungi di Pontianak, remaja itu diamankan di sebuah tempat kos di bilangan Jalan
Jenderal Sudirman, Kota Sanggau.
Ia melanjutkan, sebelumnya, pada razia Kamis lalu, seorang siswi SMP juga positif
menggunakan narkoba. "Siswi itu akhirnya mengaku kalau ada temannya yang biasa samasama menggunakan narkoba," ujar dia. Ia menambahkan, informasi tersebut kemudian
ditindaklanjuti

dan

akhirnya

kembali

ditemukan

pengguna

yang

positif.

Pada razia kali ini, Satpol PP Pemkab Sanggau juga mengamankan tujuh orang lain,
merupakan penghuni kos dan pasangan tak dilengkapi surat nikah. Namun saat hendak
dibawa ke ke Kantor Satpol PP setempat, remaja putri itu menolak, bahkan sempat kabur
dan bersembunyi di kolong dapur bangunan kos tersebut.
Wendy Very Nanda mengakui, kali ini razia dilaksanakan pada siang hari. "Soalnya kalau
malam kita, bisa saja informasi akan ada razia ini bocor," papar dia. Kali ini operasi Satpol
PP melibatkan Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau, untuk melaksanakan tes
urine

dan

pengambilan

contoh

darah

dari

mereka

yang

terjaring.

Razia itu menyasar kos-kosan yang dilaporkan warga atau lingkungan sekitar yang merasa
resah. Diantaranya yang berada di Jalan Bujang Malaka, Blok M, Jalan Sutera dan Jalan
Jenderal Sudirman.
Ditambahkan Wendi, kerap dilancarkan razia sebagai upaya menindaklanjuti keluhan
masyarakat. Selain itu untuk menegakkan Peraturan Daerah (Perda) tentang ketertiban
umum (Tibum). "Banyak laporan dari masyarakat yang masuk ke kita. Ini jelas harus kita
respons," demikian Wendi. (das/ant) http://www.kalimantan-news.com/

Sekitar 46 Persen Remaja Sudah Melakukan Seks Bebas di luar


Nikah
Minggu, 19 Oktober 2014 09:56 WIB

SERAMBINEWS.COM, MAKASSAR- Pimpinan DPD MHTI Sulselbar, Rahmawati SE


AK mengungkapkan sebanyak 46 persen remaja umur 15-19 sudah melakukan seks bebas.
"Yang parah adalah sebanyak 0,5 persen perempuan pertama kali berhubungan dengan usia
delapan tahun. Data ini ibarat gunung es maka semakin banyak hal tak terduga lagi di
masyarakat," katanya pada dialog Di Balik Legalisasi Undang-undang Aborsi di Aula Kantor
Agama Makassar, Jl Rappocini Raya, Makassar, Minggu (19/10/2014).

Ia juga mengungkapkan sebanyak 2,4 juta perempuan sudah melakukan aborsi dan 30 persen
adalah remaja. "Salah satu yang menyebabkan ini karena terpapar pornografi maka bisa
merusak sel otaknya akan rusak. Melihat pornografi itu ibarat seseorang yang mabuk. Orang
tak ingat lagi dirinya dan apa yang dia lakukan," katanya.

Sementara itu, dr Kasmawaty Basalamah Sp Og mengungkapkan dari segi kesehatan aborsi


itu sangat berbahaya untuk perempuan. "Aborsi itu tak segampang yang dicetuskan oleh
anggota DPR RI, saat paripurna hanya saya yang menolak karena aborsi itu berbahaya karena
apabila terjadi pendarahan maka nyawa taruhannya. Meski perempuan itu selamat maka
kemungkinan besar tak hamil lagi," katanya.
http://aceh.tribunnews.com/

9.000 Warga Malang tak Mampu Penuhi Kebutuhan Kalori


Reporter : Eko Prasetya | Jumat, 24 Oktober 2014 22:37

Merdeka.com - Sebanyak 4,75 persen atau 9.300 dari 196 ribu warga Kota Batu, Kabupaten
Malang, berkategori miskin karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kalori setiap
bulannya, yakni sekitar 2.100 kilo kalori. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Batu, Sri Kadarwati, jumlah warga yang masuk kategori miskin pada tahun 2013 bertambah
dari tahun sebelumnya.
Pertambahan itu sekitar 600 jiwa, dari sebanyak 8.700 jiwa atau 4,45 persen menjadi 9.300
jiwa atau 4,75 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan.
"Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini rata-rata pengeluarannya sebesar Rp
336.944 per kapita per bulan dan mereka juga belum memenuhi kebutuhan standar kalori,

yakni mencapai 2.100 kilo kalori per bulan," katanya, seperti dilansir Antara, Jumat (24/10).
Salah satu minimnya pemenuhan kebutuhan kalori warga tersebut, lanjutnya, adalah kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada inflasi. Sehingga, kebutuhan kalori
sebesar 2.100 kilo kalori menjadi berkurang dan sulit terpenuhi.
Untuk menanggulangi dan meminimalkan jumlah warga miskin tersebut, bisa dilakukan
dengan beberapa cara. Di antaranya adalah harga kebutuhan pokok harus distabilkan dan
distribusi beras miskin (raskin) harus tepat sasaran.
Oleh karena itu, katanya, Pemkot Batu perlu memberi bantuan kepada masyarakat dan harus
tepat sasaran, terutama bantuan yang bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
Bantuan akan bermanfaat bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan jika tepat
sasaran.
Sementara itu Wakil Wali Kota Batu, Punjul Santoso, menyatakan bertambahnya jumlah
orang miskin di Kota Batu karena banyak buruh tani yang datang dari luar kota, terutama
Tulungagung dan Blitar.
Hal itu terjadi karena juragan tani sulit mencari buruh dari dalam kota dan ber-KTP Batu.
Punjul menduga, mereka (para buruh tani dari luar kota) inilah yang mungkin kena sasaran
sensus BPS. Banyak buruh tani dari luar kota itu yang tidur di kebun-kebun penduduk.
Selain itu, kata Punjul yang juga politisi PDI Perjuangan tersebut, harga sembilan bahan
pokok memang ada peningkatan, tapi tidak signifikan, bahkan kultur masyarakat petani yang
dikategorikan miskin ini menikmati dengan kondisinya, sebab meski sebenarnya mereka
kaya, rumahnya tetap terbuat dari anyaman bambu, sebelah kamar dekat kandang ternak.
"Indikasi dan kondisi seperti inilah yang terdata. Ke depan harus ada sinkronisasi data yang
bisa dijadikan acuan dalam membuat kebijakan dan pembahasan APBD 2015, terutama
program-program pengentasan kemiskinan," kata Punjul.

Tragis, Pemulung Sakit Meninggal di Pinggir Jalan


Reporter : Chandra Iswinarno | Rabu, 15 Oktober 2014 21:34

Merdeka.com - Pengendara yang melintas


di pintu perlintasan kereta api dekat Stasiun
Purwokerto,

Jawa

Tengah,

dikagetkan

adanya sosok pria yang meninggal di


pinggir jalan tersebut. Pria yang diketahui
bernama Darmono itu diduga meninggal
akibat sakit yang diderita sejak lama.
Rekan korban, Ratimin (47) mengatakan,
sakit yang diderita Darmono sudah lama. Namun karena tak memiliki kartu tanda penduduk
(KTP), Darmono tak bisa memeriksakan kesehatannya.
"Tetapi dia selalu bingung karena tidak memiliki biaya untuk berobat karena tidak punya
KTP," kata Ratimin saat ditemui di lokasi, Rabu (15/10).
Jangankan untuk biaya berobat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan saja
kesulitan. Bahkan untuk tidur rekannya hanya mengandalkan emperan-emperan toko. Berdua
dengannya, Darmono bekerja menjadi pemungut barang rongsok. "Dia sendiri berasal dari
Tegal dan hidup sendiri," ujar Ratimin.
Sementara seorang saksi mata yang kali pertama melihat Darmono, Junaidi (45) mengatakan,
hampir semua warga sekitar mengenal Darmono sebagai seorang pemulung yang tidak
mempunyai tempat tinggal. Namun tidak ada yang tahu jika Darmono sedang sakit.
"Kalau cari makan di sini dia sering berada di sini. Tetapi sejak tadi malam dia terus di sini,
tidak gerak-gerak hingga siang. Makanya langsung saya laporkan. Saya juga tidak tahu kalau
dia sakit," ujarnya.
Sementara itu, Petugas dari Kepolisian Sektor (Polsek) Purwokerto Barat yang tiba di lokasi
langsung menutup mayat dengan lembaran kardus menunggu tim identifikasi dari Polres
Banyumas datang. Posisi mayat yang berada di pinggir jalan sempat menjadi pusat perhatian
pengendara yang penasaran.

Tanah Adat dirampas, Suku Terasing di Matra Susah Cari Makan

Reporter : Hery H Winarno | Kamis, 30 Oktober 2014 11:08

Merdeka.com - Suku terasing atau Binggi,


yang bermukim di Dusun Saluraya, Kelurahan
Martajaya, Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten
Mamuju Utara (Matra), Sulawesi Barat (Sulbar)
saat

ini

pasokan
pertanian

semakin
makanan.
mereka

kesulitan

mendapatkan

Hal

akibat

ini

tergerus

lahan
dampak

pengembangan kelapa sawit.


"Lahan pertanian kami tergerus akibat pengembangan kelapa sawit yang dilakukan
perusahaan swasta. Saat ini, warga Binggi hanya mampu mengonsumsi Ubi Talas yang
dikumpulkan dari hutan sebagai pengganti beras untuk bisa bertahan hidup," kata Ube, warga
suku terasing dengan bahasa khas lokal di Pasangkayu, seperti dikutip dari Antara, Kamis
(30/10).
Menurut dia, untuk mendukung ekonomi masyarakat terasing maka mereka setiap hari
mengumpulkan batu gunung untuk kemudian dijual.
"Lahan kami berada di pinggiran lahan HGU milik perusahaan sawit. Bahkan, tanah adat
yang turun temurun ditempati telah dirampas perusahaan sawit. Bahkan, kami diusir ke luar
untuk perluasan lahan sawit milik perusahaan tanpa ganti rugi," kata Ube, yang juga tokoh
masyarakat suku terasing.
Dia mengatakan untuk bertahan hidup maka suku terasing harus mengonsumsi umbi-umbian
sebagai pengganti beras.
"Setiap harinya baik perempuan maupun laki-laki harus ke hutan guna mencari talas untuk
dimakan pada siang hari. Setelah sorenya maka warga kembali menambang batu gunung
untuk mendukung beban ekonomi," jelasnya.
Apalagi, kata dia, semenjak tanah adat yang ditempati secara turun temurun sudah tidak ada
karena semua lahan itu telah "dirampas perusahaan".

"Sebetulnya kami sudah berpindah ke pinggir lahan perkebunan semenjak lahan kami jadi
kebun sawit yang konon berada di kawasan HGU," jelasnya.
Ia menyesalkan karena nyaris tak ada perhatian pemerintah kepada suku terasing dengan
mementingkan kapitalis yang telah menguasai lahan warga. Ube menyampaikan dusun
Saluraya saat ini hanya dihuni 45 kepala keluarga dengan kondisi atap rumah yang mulai
bocor-bocor dan tidak berdinding.
Sementara itu Ketua DPRD Matra Lukman Said mengaku prihatin dengan keberadaan suku
terasing yang kondisinya memprihatinkan. Selama 10 tahun ternyata hidup mereka dalam
garis kemiskinan.
"Saya minta perusahaan agar memperhatikan keberadaan suku terasing. Paling tidak,
kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility atau Tanggung jawab Sosial Perusahaan)
digunakan untuk kemakmuran daerah di sekitar," kata Lukman Said.

Diskriminasi Agama yang Tak Kunjung Henti


Yohannie Linggasari & Arie Riswandy, CNN Indonesia
Senin, 20/10/2014 07:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah bising suara


kendaraan bermotor melintas, Widyaningsih Paulus
tengah khusyuk memanjatkan doa. Tangan
kanannya menggenggam alkitab. Tangan
kirinya

memegang

payung

untuk

melindungi diri dari terik matahari yang


menyengat.
Widyaningsih adalah satu dari puluhan
jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI)
Yasmin

yang

rutin

menggelar

kebaktian di depan Istana Negara setiap dua pekan sekali. Mencoba mengetuk hati Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan persoalan mereka.
Selama lebih lima tahun terakhir jemaat GKI Yasmin terombang-ambing dalam
ketidakpastian hukum atas penyegelan dan penutupan gedung gereja mereka oleh Pemerintah
Kota Bogor.
"Hak kami dipasung. Negeri ini negeri hukum, tapi kami merasakan hukum itu tidak ada,"
kata Widyaningsih.
Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging menjelaskan penyegelan gedung GKI Yasmin
bukan karena gereja itu tak punya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). GKI Yasmin menurut
Bona telah mengantongi IMB sejak tahun 2006, yang diberikan oleh Walikota Bogor saat itu,
Diani Budiarto.
Namun pada 2008, Diani kemudian membekukan dan mencabut IMB bangunan GKI Yasmin
karena berbagai alasan yang kerap berubah dari waktu ke waktu.
Bona mengungkapkan pada awalnya Pemkot Bogor menyegel gereja karena menilai bahwa
keberadaan GKI Yasmin yang berlokasi di Perumahan Taman Yasmin menimbulkan
keresahan masyarakat.

Pemkot Bogor kemudian juga menyatakan bahwa pengurus GKI Yasmin melakukan
pemalsuan tanda tangan dalam surat persetujuan warga untuk mendapatkan IMB.
Pemkot Bogor berdalih bahwa IMB yang dikeluarkan walikota Bogor kala itu bukan untuk
pembangunan rumah ibadah, melainkan untuk pembangunan Rumah Sakit Hermina yang
berlokasi di samping gereja.
Itu konyol. Pengurusan IMB gereja kami lakukan sejak Agustus 2005, sementara RS
Hermina sudah diresmikan sejak Oktober 2002, kata Bona.
Persoalan pembekuan IMB kemudian dibawa ke ranah hukum dan menemukan titik terang.
Pada 9 Desember 2010, Mahkamah Agung telah mengukuhkan izin pendirian bangunan GKI
Yasmin sah dan legal.
Pemkot Bogor kemudian duduk bersama dan berdiskusi dengan GKI Yasmin di Balai Kota
Bogor pada 7 Maret 2011. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh The WAHID Institute, LBH
Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, dan Human Rights
Working

Group, Pemkot

Bogor

menyatakan telah menerima salinan putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Desember 2010
namun

menyatakan

tidak

bersedia

melaksanakannya.

GKI Yasmin menolak sikap Pemkot Bogor tersebut dan menilai Pemkot Bogor melawan
putusan Mahkamah Agung.
Upaya pencabutan pembekuan IMB gedung GKI Yasmin diperkuat dengan surat rekomendasi
Ombudsman RI yang meminta Walikota Bogor untuk mencabut SK tentang pembekuan IMB
dalam

waktu

60

hari,

atau

hingga

18

September

2011.

Namun Walikota Bogor dan Polres Bogor tetap melarang jemaat GKI Yasmin beribadah di
dalam gereja sampai hari ini.
Bona mengungkapkan diskusi dan duduk bersama dengan Pemkot Bogor telah dilakukan
berkali-kali, namun tak juga menemui kata sepakat.
Pemkot Bogor menawari kami relokasi gereja ke daerah lain namun kami tidak mau karena
IMB di Taman Yasmin sah dan legal, kata Bona.
Terkait penyelesaian sengketa gedung GKI Yasmin, Walikota Bogor saat ini, Bima Arya,
menyatakan akan segera duduk bersama dengan Menteri Agama untuk menyamakan

informasi.
Ada perbedaan penafsiran keputusan MA, karena beberapa pihak menilai kasus ini terlalu
politis, ujar Bima kepada CNN Indonesia.
Diskriminasi Agama
Kasus GKI Yasmin hanyalah satu dari sekian banyak kasus diskriminasi agama yang
membekap Indonesia di era pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono.
Dihubungi CNN Indonesia terkait kasus ini, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila
menyatakan persoalan diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas memang berkisar
pada persoalan mendirikan rumah ibadah baru atupun kebebasan menjalankan ibadah.
Di daerah Jawa, banyak laporan kelompok Kristen sulit mendapatkan IMB untuk rumah
ibadah. Kasus serupa juga dirasakan umat muslim di bagian timur Indonesia, kata Siti ketika
dihubungi CNN Indonesia di Jakarta, Jumat (19/9).
Menurut Siti, sebagai penerima penghargaan internsional di bidang HAM, Presiden SBY
seharusnya turun langsung menangani kasus ini, dan tidak hanya menyerahkan kepada
pemerintah daerah.
Kasus serupa juga menimpa berbagai pemeluk agama minoritas lain, seperti jemaat HKBP
Filadelfia di Bekasi, Jemaah Ahmadiah Indonesia (JAI) dan penganut keyakinan Sunda
Wiwitan.

Kepala Badan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Muhammad Isnur
menyatakan hingga kini jemaah Ahmadiyah yang tersebar di lima provinsi dan 23 kabupaten
di

penjuru

Indonesia

tidak

dapat

menjalankan

ibadah

dengan

tenang.

Pasalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada 2008 lalu melarang kegiatan ibadah
penganut aliran Ahmadiyah yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Umat Ahmadiyah diusir dari Cikeusik dan Lombok dan hingga kini tak boleh kembali, kata
Isnur, Kamis (23/9).
Juru bicara JAI, Zafrullah Pontoh menyatakan sikap penolakan kepada penganut aliran
Ahmadiyah masih berlangsung di sejumlah daerah, termasuk di Bekasi dan di Depok.
Kami menerima penyerangan verbal dan fisik dan penutupan rumah ibadah di sejumlah
daerah, sementara Pemda setempat diam saja dan cenderung memfasilitasi penyerangan itu,
kata Zafrullah, ketika dihubungi pada Senin (29/9).
Intoleransi agama juga menimpa pemeluk keyakinan Sunda Wiwitan, keyakinan yang dianut
oleh masyarakat tradisional Sunda, yang sebagian besar berdomisili di Provinsi Banten dan
Jawa Barat.
Masyarakat Sunda Wiwitan dan keturunannya menerima perlakuan diskriminatif dari negara
semenjak lahir, karena tidak bisa memiliki surat kelahiran atau akte. Hal serupa juga mereka
alami dalam pembuatan KTP dan buku nikah.
Pasalnya, keyakinan Sunda Wiwitan tidak termasuk ke dalam lima agama yang diakui negara.
Penganut Sunda Wiwitan terpaksa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui,
meskipun mereka tidak menyakininya.
Negara seolah-olah menjadi wakil Tuhan untuk mengakui suatu agama., ujar Dewi Kanti,
penganut kenyakinan Sunda Wiwitan, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Kamis (2/10).
Dewi, yang telah menikah selama 12 tahun, hingga kini belum memiliki surat nikah karena
berpegang teguh pada keyakinannya dan menolak mengaku penganut agama lain.

Menurut Dewi, anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan memiliki akte kelahiran, namun
hanya nama ibu yang tercantum di situ, tanpa nama ayah.
Anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan dipaksa memilih salah satu agama yang diakui,
bahkan memakai jibab pada saat bulan Ramadhan, agar mendapat nilai pada mata pelajaran
agama.

Anda mungkin juga menyukai