Krisis Agama
Krisis Agama
dan
akhirnya
kembali
ditemukan
pengguna
yang
positif.
Pada razia kali ini, Satpol PP Pemkab Sanggau juga mengamankan tujuh orang lain,
merupakan penghuni kos dan pasangan tak dilengkapi surat nikah. Namun saat hendak
dibawa ke ke Kantor Satpol PP setempat, remaja putri itu menolak, bahkan sempat kabur
dan bersembunyi di kolong dapur bangunan kos tersebut.
Wendy Very Nanda mengakui, kali ini razia dilaksanakan pada siang hari. "Soalnya kalau
malam kita, bisa saja informasi akan ada razia ini bocor," papar dia. Kali ini operasi Satpol
PP melibatkan Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sanggau, untuk melaksanakan tes
urine
dan
pengambilan
contoh
darah
dari
mereka
yang
terjaring.
Razia itu menyasar kos-kosan yang dilaporkan warga atau lingkungan sekitar yang merasa
resah. Diantaranya yang berada di Jalan Bujang Malaka, Blok M, Jalan Sutera dan Jalan
Jenderal Sudirman.
Ditambahkan Wendi, kerap dilancarkan razia sebagai upaya menindaklanjuti keluhan
masyarakat. Selain itu untuk menegakkan Peraturan Daerah (Perda) tentang ketertiban
umum (Tibum). "Banyak laporan dari masyarakat yang masuk ke kita. Ini jelas harus kita
respons," demikian Wendi. (das/ant) http://www.kalimantan-news.com/
Ia juga mengungkapkan sebanyak 2,4 juta perempuan sudah melakukan aborsi dan 30 persen
adalah remaja. "Salah satu yang menyebabkan ini karena terpapar pornografi maka bisa
merusak sel otaknya akan rusak. Melihat pornografi itu ibarat seseorang yang mabuk. Orang
tak ingat lagi dirinya dan apa yang dia lakukan," katanya.
Merdeka.com - Sebanyak 4,75 persen atau 9.300 dari 196 ribu warga Kota Batu, Kabupaten
Malang, berkategori miskin karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kalori setiap
bulannya, yakni sekitar 2.100 kilo kalori. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Batu, Sri Kadarwati, jumlah warga yang masuk kategori miskin pada tahun 2013 bertambah
dari tahun sebelumnya.
Pertambahan itu sekitar 600 jiwa, dari sebanyak 8.700 jiwa atau 4,45 persen menjadi 9.300
jiwa atau 4,75 persen dari jumlah penduduk secara keseluruhan.
"Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan ini rata-rata pengeluarannya sebesar Rp
336.944 per kapita per bulan dan mereka juga belum memenuhi kebutuhan standar kalori,
yakni mencapai 2.100 kilo kalori per bulan," katanya, seperti dilansir Antara, Jumat (24/10).
Salah satu minimnya pemenuhan kebutuhan kalori warga tersebut, lanjutnya, adalah kenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak pada inflasi. Sehingga, kebutuhan kalori
sebesar 2.100 kilo kalori menjadi berkurang dan sulit terpenuhi.
Untuk menanggulangi dan meminimalkan jumlah warga miskin tersebut, bisa dilakukan
dengan beberapa cara. Di antaranya adalah harga kebutuhan pokok harus distabilkan dan
distribusi beras miskin (raskin) harus tepat sasaran.
Oleh karena itu, katanya, Pemkot Batu perlu memberi bantuan kepada masyarakat dan harus
tepat sasaran, terutama bantuan yang bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
Bantuan akan bermanfaat bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan jika tepat
sasaran.
Sementara itu Wakil Wali Kota Batu, Punjul Santoso, menyatakan bertambahnya jumlah
orang miskin di Kota Batu karena banyak buruh tani yang datang dari luar kota, terutama
Tulungagung dan Blitar.
Hal itu terjadi karena juragan tani sulit mencari buruh dari dalam kota dan ber-KTP Batu.
Punjul menduga, mereka (para buruh tani dari luar kota) inilah yang mungkin kena sasaran
sensus BPS. Banyak buruh tani dari luar kota itu yang tidur di kebun-kebun penduduk.
Selain itu, kata Punjul yang juga politisi PDI Perjuangan tersebut, harga sembilan bahan
pokok memang ada peningkatan, tapi tidak signifikan, bahkan kultur masyarakat petani yang
dikategorikan miskin ini menikmati dengan kondisinya, sebab meski sebenarnya mereka
kaya, rumahnya tetap terbuat dari anyaman bambu, sebelah kamar dekat kandang ternak.
"Indikasi dan kondisi seperti inilah yang terdata. Ke depan harus ada sinkronisasi data yang
bisa dijadikan acuan dalam membuat kebijakan dan pembahasan APBD 2015, terutama
program-program pengentasan kemiskinan," kata Punjul.
Jawa
Tengah,
dikagetkan
ini
pasokan
pertanian
semakin
makanan.
mereka
kesulitan
mendapatkan
Hal
akibat
ini
tergerus
lahan
dampak
"Sebetulnya kami sudah berpindah ke pinggir lahan perkebunan semenjak lahan kami jadi
kebun sawit yang konon berada di kawasan HGU," jelasnya.
Ia menyesalkan karena nyaris tak ada perhatian pemerintah kepada suku terasing dengan
mementingkan kapitalis yang telah menguasai lahan warga. Ube menyampaikan dusun
Saluraya saat ini hanya dihuni 45 kepala keluarga dengan kondisi atap rumah yang mulai
bocor-bocor dan tidak berdinding.
Sementara itu Ketua DPRD Matra Lukman Said mengaku prihatin dengan keberadaan suku
terasing yang kondisinya memprihatinkan. Selama 10 tahun ternyata hidup mereka dalam
garis kemiskinan.
"Saya minta perusahaan agar memperhatikan keberadaan suku terasing. Paling tidak,
kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility atau Tanggung jawab Sosial Perusahaan)
digunakan untuk kemakmuran daerah di sekitar," kata Lukman Said.
memegang
payung
untuk
yang
rutin
menggelar
kebaktian di depan Istana Negara setiap dua pekan sekali. Mencoba mengetuk hati Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan persoalan mereka.
Selama lebih lima tahun terakhir jemaat GKI Yasmin terombang-ambing dalam
ketidakpastian hukum atas penyegelan dan penutupan gedung gereja mereka oleh Pemerintah
Kota Bogor.
"Hak kami dipasung. Negeri ini negeri hukum, tapi kami merasakan hukum itu tidak ada,"
kata Widyaningsih.
Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging menjelaskan penyegelan gedung GKI Yasmin
bukan karena gereja itu tak punya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). GKI Yasmin menurut
Bona telah mengantongi IMB sejak tahun 2006, yang diberikan oleh Walikota Bogor saat itu,
Diani Budiarto.
Namun pada 2008, Diani kemudian membekukan dan mencabut IMB bangunan GKI Yasmin
karena berbagai alasan yang kerap berubah dari waktu ke waktu.
Bona mengungkapkan pada awalnya Pemkot Bogor menyegel gereja karena menilai bahwa
keberadaan GKI Yasmin yang berlokasi di Perumahan Taman Yasmin menimbulkan
keresahan masyarakat.
Pemkot Bogor kemudian juga menyatakan bahwa pengurus GKI Yasmin melakukan
pemalsuan tanda tangan dalam surat persetujuan warga untuk mendapatkan IMB.
Pemkot Bogor berdalih bahwa IMB yang dikeluarkan walikota Bogor kala itu bukan untuk
pembangunan rumah ibadah, melainkan untuk pembangunan Rumah Sakit Hermina yang
berlokasi di samping gereja.
Itu konyol. Pengurusan IMB gereja kami lakukan sejak Agustus 2005, sementara RS
Hermina sudah diresmikan sejak Oktober 2002, kata Bona.
Persoalan pembekuan IMB kemudian dibawa ke ranah hukum dan menemukan titik terang.
Pada 9 Desember 2010, Mahkamah Agung telah mengukuhkan izin pendirian bangunan GKI
Yasmin sah dan legal.
Pemkot Bogor kemudian duduk bersama dan berdiskusi dengan GKI Yasmin di Balai Kota
Bogor pada 7 Maret 2011. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh The WAHID Institute, LBH
Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, dan Human Rights
Working
Group, Pemkot
Bogor
menyatakan telah menerima salinan putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Desember 2010
namun
menyatakan
tidak
bersedia
melaksanakannya.
GKI Yasmin menolak sikap Pemkot Bogor tersebut dan menilai Pemkot Bogor melawan
putusan Mahkamah Agung.
Upaya pencabutan pembekuan IMB gedung GKI Yasmin diperkuat dengan surat rekomendasi
Ombudsman RI yang meminta Walikota Bogor untuk mencabut SK tentang pembekuan IMB
dalam
waktu
60
hari,
atau
hingga
18
September
2011.
Namun Walikota Bogor dan Polres Bogor tetap melarang jemaat GKI Yasmin beribadah di
dalam gereja sampai hari ini.
Bona mengungkapkan diskusi dan duduk bersama dengan Pemkot Bogor telah dilakukan
berkali-kali, namun tak juga menemui kata sepakat.
Pemkot Bogor menawari kami relokasi gereja ke daerah lain namun kami tidak mau karena
IMB di Taman Yasmin sah dan legal, kata Bona.
Terkait penyelesaian sengketa gedung GKI Yasmin, Walikota Bogor saat ini, Bima Arya,
menyatakan akan segera duduk bersama dengan Menteri Agama untuk menyamakan
informasi.
Ada perbedaan penafsiran keputusan MA, karena beberapa pihak menilai kasus ini terlalu
politis, ujar Bima kepada CNN Indonesia.
Diskriminasi Agama
Kasus GKI Yasmin hanyalah satu dari sekian banyak kasus diskriminasi agama yang
membekap Indonesia di era pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono.
Dihubungi CNN Indonesia terkait kasus ini, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila
menyatakan persoalan diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas memang berkisar
pada persoalan mendirikan rumah ibadah baru atupun kebebasan menjalankan ibadah.
Di daerah Jawa, banyak laporan kelompok Kristen sulit mendapatkan IMB untuk rumah
ibadah. Kasus serupa juga dirasakan umat muslim di bagian timur Indonesia, kata Siti ketika
dihubungi CNN Indonesia di Jakarta, Jumat (19/9).
Menurut Siti, sebagai penerima penghargaan internsional di bidang HAM, Presiden SBY
seharusnya turun langsung menangani kasus ini, dan tidak hanya menyerahkan kepada
pemerintah daerah.
Kasus serupa juga menimpa berbagai pemeluk agama minoritas lain, seperti jemaat HKBP
Filadelfia di Bekasi, Jemaah Ahmadiah Indonesia (JAI) dan penganut keyakinan Sunda
Wiwitan.
Kepala Badan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Muhammad Isnur
menyatakan hingga kini jemaah Ahmadiyah yang tersebar di lima provinsi dan 23 kabupaten
di
penjuru
Indonesia
tidak
dapat
menjalankan
ibadah
dengan
tenang.
Pasalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada 2008 lalu melarang kegiatan ibadah
penganut aliran Ahmadiyah yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Umat Ahmadiyah diusir dari Cikeusik dan Lombok dan hingga kini tak boleh kembali, kata
Isnur, Kamis (23/9).
Juru bicara JAI, Zafrullah Pontoh menyatakan sikap penolakan kepada penganut aliran
Ahmadiyah masih berlangsung di sejumlah daerah, termasuk di Bekasi dan di Depok.
Kami menerima penyerangan verbal dan fisik dan penutupan rumah ibadah di sejumlah
daerah, sementara Pemda setempat diam saja dan cenderung memfasilitasi penyerangan itu,
kata Zafrullah, ketika dihubungi pada Senin (29/9).
Intoleransi agama juga menimpa pemeluk keyakinan Sunda Wiwitan, keyakinan yang dianut
oleh masyarakat tradisional Sunda, yang sebagian besar berdomisili di Provinsi Banten dan
Jawa Barat.
Masyarakat Sunda Wiwitan dan keturunannya menerima perlakuan diskriminatif dari negara
semenjak lahir, karena tidak bisa memiliki surat kelahiran atau akte. Hal serupa juga mereka
alami dalam pembuatan KTP dan buku nikah.
Pasalnya, keyakinan Sunda Wiwitan tidak termasuk ke dalam lima agama yang diakui negara.
Penganut Sunda Wiwitan terpaksa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui,
meskipun mereka tidak menyakininya.
Negara seolah-olah menjadi wakil Tuhan untuk mengakui suatu agama., ujar Dewi Kanti,
penganut kenyakinan Sunda Wiwitan, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Kamis (2/10).
Dewi, yang telah menikah selama 12 tahun, hingga kini belum memiliki surat nikah karena
berpegang teguh pada keyakinannya dan menolak mengaku penganut agama lain.
Menurut Dewi, anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan memiliki akte kelahiran, namun
hanya nama ibu yang tercantum di situ, tanpa nama ayah.
Anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan dipaksa memilih salah satu agama yang diakui,
bahkan memakai jibab pada saat bulan Ramadhan, agar mendapat nilai pada mata pelajaran
agama.