Anda di halaman 1dari 4

Peran WHO dalam Penanganan Flu Burung di Indonesia dalam Sudut Pandang

Realisme
Kasus flu burung pertama kali ditemukan di Indonesia pada pada tahun 2005. Pada
hari senin, 19 september 2005, pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan Siti Fadilah
Supari menetapkan bahwa flu burung sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Pada tahun
tersebut 20 orang dinyatakan terinfeksi virus flu burung dan 13 diantaranya meninggal.
Selain melakukan berbagai tindakan pencegahan sendiri pemerintah juga telah menjalin
kerjasama dengan WHO sebagai badan resmi kesehatan internasional dalam penanganan
kasus ini.
WHO sebagai lembaga yang mempunyai otoritas kesehatan di seluruh dunia menyatakan
telah bertindak cepat dengan menerjunkan tim yang meneliti berbagai aspek penyebaran
kasus flu burung ini. WHO juga telah mengeluarkan berbagai petunjuk, guidelines, dan
prosedur

dalam

menyikapi

munculnya

kasus

ini.

Di

Indonesia

sendiri

WHO

telah menyerahkan bantuan untuk Indonesia berupa 22 unit ambulans dan beasiswa bagi 48
mahasiswa untuk pelatihan field epidemoligy. Serta menjalin kerja sama dengan pemerintah
berupa pemberian bantuan berupa 36.000 boks Tamiflu, meningkatkan pengawasan,
manajemen terhadap serangan penyakit, dan menyiapkan Rumah Sakit yang siap siaga. Satu
lagi kerja sama yang ditawarkan WHO kepada pemerintah Indonesia, yakni WHO meminta
pemerintah Indonesia menyerahkan sampel virus flu burung yang menyerang masyarakat
guna kepentingan penelitian.
Namun pada prakteknya hubungan kerja sama pemerintah dan WHO tidaklah
seharmonis itu. Ketika pemerintah menetapkan terjadinya KLB pada kasus flu burung,
ternyata hal ini tanpa sepengetahuan WHO sebagai badan kesehatan intenasional. WHO
dibuat terkejut dengan pernyataan Menkes saat itu.
Selain itu permintaan WHO atas pengiriman sampel virus flu burung yang menyerang
orang dari Indonesia ternyata menimbulkan konflik antara Indonesia melalui Menteri
Kesehatan. Pada akhirnya diketahui ternyata sampel virus tersebut digunakan untuk
penelitian guna membuat anti virusnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa ternyata anti
virus tersebut diperjualbelikan secara komersial kepada Negara-negara dengan harga
mencapai ratusan miliar dolar tanpa sepengetahuan Negara pengirim sampel virus dan tanpa
kompensasi kepada Negara bersangkutan. Hal ini jelas merugikan terutama apabila itu terjadi

kepada Negara miskin dan berkembang. Yang diuntungkan adalah Negara maju yang berada
di belakang WHO. Ketika masyarakat Negara miskin tersebut berada diantara hidup dan mati
karena terkena flu burung, pemerintahnya masih harus mengeluarkan uang guna membeli anti
virusnya yang mungkin saja sampel virus pembuatan antivirusnya berasal dari Negara itu
sendiri. Yang seharusnya Negara itu mendapat kompensasi, malah sebaliknya, mereka
mengeluarkan uang yang tidak sedikit.
Menteri kesehatan saat itu secara terang-terangan menyatakan menolak mengirimkan
sampel virus ke WHO karena tahu bahwa sampel tersebut akan dikirim ke Amerika Serikat
yang kemudian akan mengolah virus tersebut menjadi vaksin dan memperjualbelikannya
dengan harga yang tinggi kepada Negara-negara penderita flu burung tanpa memberikan
kompensasi kepada Indonesia sebagai Negara pengirim sampel. Dalam hal ini Indonesia
jelas sangat dirugikan. Oleh karena itu menkes menolak untuk mengirim lagi sampel virus
kepada WHO. Ditambah lagi, menkes menemukan fakta bahwa GISN (Global Influenza
Surveillance Network) memang benar-benar ada. Dengan dalih adanya GISN WHO meminta
Negara-negara untuk mengirimkan virus kepada WHO secara gratis. Padahal GISN tidak ada
didalam struktur WHO, mereka berada dibawah control Amerika Serikat. Jadi jika mau
diambil kesimpulan kasar, semua ini akan mengarah pada keuntungan AS sebagai Negara
adidaya.
Fakta lain menunjukkan pemerintah Indonesia telah berhasil menemukan vaksin
penangkal virus flu burung. Vaksin tersebut ditemukan dari hasil percobaan yang telah
dilakukan oleh mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Pada tanggal 22
Agustus 2011 Indonesia sendiri melalui Menkokesra bekerjasama dengan PT Bio Farma
siap memproduksi vaksin tersebut dengan adanya penyerahan seed vaccine H5N1 dari Unair
yakni A/Indonesia/Unair/2005. Keberhasilan Indonesia menemukan sendiri vaksin tersebut
bisa dijadikan bukti bahwa Indonesia tidak terlalu bergantung pada WHO dalam penanganan
kasus flu burung.
Berdasar pada dua fakta diatas, dapat dikatakan bahwa WHO sebagai organisasi
internasional tidak bisa mengontrol Indonesia. Pemerintah Indonesia mampu bergerak sendiri
dalam penanganan flu burung. Hal ini sesuai dengan teori realism.
Dalam teori realism, dinyatakan bahwa Negara tetap memiliki otoritas tertinggi,
organisasi internasional tidak memiliki control atas Negara. Indonesia memutuskan untuk
tidak megirimkan lagi sampel virus kepada WHO karena mengetahui adanya kecurangan

WHO dalam penggunaan virus tersebut. Ketika Indonesia sudah memutuskan untuk tidak
mengirim lagi virus tersebut, WHO tidak dapat melakukan apa-apa, WHO tidak dapat
memaksa Indonesia, karena otoritas tertinggi tetap ada di tangan pemerintah Indonesia.
Realis berpendapat bahwa organisasi internasional merupakan kepanjangan tangan dari
Negara-negara super power. Semua yang dilakukan organisasi merupakan perwujudan untuk
tercapainya kepentingan Negara tersebut. Seperti yang dinyatakan Menteri Kesehatan
Indonesia bahwa WHO mengatasnamakan GISN untuk meminta Negara-negara mengirimkan
sampel virus kepada WHO secara gratis. Sampel virus itu akan diteliti untuk menciptakan
antivirusnya yang mana selanjutnya antivirus itu akan dijual dengan harga yang sangat tinggi
kepada Negara penderita tanpa memberikan kompensasi kepada Negara asal sampel virus
yang dipakai untuk penelitian. Pada akhirnya diketahui bahwa ternyata GISN tidak ada dalam
dtruktur WHO. GISN hanyalah buatan Amerika Serikat. Ini berarti apa yang dilakukan WHO
dengan virus-virus tadi hanyalah untuk kepentingan AS. Artinya WHO bekerja untuk
kepentingan AS.
Faktanya WHO memang memberikan bantuan kepada Indonesia berupa peningkatan
pengawasan, penyiapan RS yang siap siaga, pelatihan field epidemoligy, pemberian 22 unit
ambulans, dan 36000 boks Tamiflu. apa yang diberikan WHO ini memang diperlukan, tapi
tidak bisa dipungkiri bahwa ini tidaklah signifikan, bukan yang paling diperlukan Indonesia.
Yang paling diperlukan Indonesia, yakni antivirus, malah ditemukan sendiri oleh orang
Indonesia. WHO memang menemukan, tapi mereka menjualnya dengan harga tinggi kepada
negara-negara penderita, yang akhirnya menimbulkan konflik dengan Indonesia. artinya apa
yang menurut realism organisasi internasional hanya memberikan sedikit signifikansi
memang benar adanya.

Pemerintah tengah meningkatkan kesiapan pengendalian flu burung di daerah dan


lintas negara untuk mencegah terjadinya wabah atau pandemi. Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono saat menggelar rapat tertutup tentang
flu burung di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/12)
mengatakan, sejauh ini penyakit flu burung atau H5N1 clade baru 2.3.2, belum berpotensi
untuk bisa menyebar kepada manusia. Penyakit ini sendiri baru berasal pada makhluk unggas
jenis itik dan unggas air.

Agung menyebutkan, saat ini masih banyak persoalan lainnya yang menjadi kendala
dalam mengatasi penyakit ini, di antaranya adalah dana kompensasi untuk depopulasi unggas
masih belum tersedia, vaksin H5N1 pada unggas dan manusia yang belum diproduksi
maksimal. "Pengawasan lalu lintas perdagangan unggas secara ilegal masih kurang dan
kapasitas kelembagaan pemda untuk mencegah zoonosi belum optimal," kata Agung
Laksono. Untuk memutus rantai penularan flu burung, pemerintah telah berusaha untuk
menghentikan impor unggas asal Austarlia yang terindkasi terkena penyakit menular sebagai
upaya antisispasi. Selain itu, pemerintah pun memperkuat sosialisasi kepada masyarakat
untuk mengantisipasi penyakit itu bisa menular kepada manusia. Pertemuan tertutup
membahas antisipasi penyebaran flu burung itu dihadiri oleh beberapa kementerian di
antaranya adalah Menteri Perhubungan (Menhub) EE Mangindaan, Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian (Mentan) Suswono, Menteri
Kesehatan (Menkes) Nafsiyah Mboi.(Humas kemenko Kesra/WID/ES)

Anda mungkin juga menyukai