Anda di halaman 1dari 25

Peran Dokter dan Etika Profesi

Yolanda Yesica 10 2009 104 C3


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta 11510
Email : yola_27391@hotmail.com

BAB 1
Pendahuluan

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang
telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilainilai etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan
standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik
dan juga sekaligus pelanggaran hukum.

Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah
sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari semakin tinggi pendidikan
rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif,
semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya
arus informasi, komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga
masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan provokasi oleh ahli
hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

Skenario : Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah
pasien lama dokter tersebut,dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya
dengan dokter. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah
melakukanhubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap
berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluaanya
mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah di periksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak
ingin diketahui istrinya, karena bias terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter tahu bahwa
mengobati penyakit tersebut pada pasien tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan
juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.

BAB 2
Pembahasan

ETIKA PROFESI
Didalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, selain mempertimbangkan
keempat kebutuhan dasar, keputusan hendaknya mempertimbangkan hak-hak asasi pasien.
Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas
terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.1
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau
perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benarsalahnya dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori Deontologi dan
Teleologi. Secara ringakas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baikburuknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbutaannya itu sendiri, sedangkan Teleologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya. Deontologi
lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya sedangkan teleologi lebih ke arah
penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).1
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya.
Ke-4 kaidah dasar moral:1
1. Prinsip otonomi
Sebuah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otnomi pasien (the
rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin
informed consent.

2. Prinsip beneficence
Prinsip moral yang utamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam
beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga
perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat)
3. Prinsip non-maleficence
Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai primum non nocere atau above all do no harm
4. Prinsip justice
Prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasein) dan fidelity
(loyalias dan promise keeping).1
Selain prinsip atau kaidah dasar moral yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil
keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam
bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Baik sumpah dokter maupun kode etik
kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun
kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum,
namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban hukum
kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.1

Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7 b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.

INFORM CONSENT
Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik hingga ke sifat
kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap sebagai sifat
hubungan yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan dilakukan terhadap

pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik untuk kepentingan pasien,
dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan
keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah sifat hubungan kontraktual
antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak otonomi pasien dalam
menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian sifat hubungan dokter pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi hubungan ficuiary (atas dasar
niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue
ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap meminimalkan mutu hubungan karena hanya
melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethicts.1
Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination);
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien;
3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau "do no harm";
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights, dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan Johns S Mills berkata bahwa kontrol sosial atas
seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang
lain. Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical
Association (WM A) adalah "the rights to accept or to refuse treatment after receiving adequate
information". Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga menyebutnya
demikian "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ...dst". Selanjutnya UU No 23 /
1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk memberikan persetujuan atas
tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian diuraikan di dalam

Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis. Suatu tindakan medis terhadap seseorang
pasien tanpa memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai
penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum (tort). Prinsip otonomi pasien
ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan medis terhadap pasien harus
mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia menerima dan memahami
informasi yang diperlukan. Informed consent dapat dianggap sebagai apatient with substantial
understanding and in substantial absence of control by others, intentionally authorizes a
professional to do something. 1
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain : 1
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu :
Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah
syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini diartikan
sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi
hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi
membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia
telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap
tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau
perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat
keputusannya terganggu. 1

Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian "berdasarkan pemahaman yang adekuat" membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa "baik" informasi harus
diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu : 1
Standar Praktek profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary practices of a
professional community-Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengacu
kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan
keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima
informasi tersebut. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut diatas
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya : risiko yang "tidak bermakna"
(menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial /
pasien.
Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat
keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan atau
hampir mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-nilai yang
secara individual dianut oleh pasien.
Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang
awam. Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya,
irrasionalis dan imaturitas. Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak

dilakukan maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi
yang adekuat.
Consent Elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari "tekanan" yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan "dibiarkan" apabila tidak menyetujui tawarannya. Banyak ahli masih
berpendapat bahwa melakukan persuasi yang "tidak berlebihan" masih dapat dibenarkan secara
moral. 1
Consent dapat diberikan :
Dinyatakan (expressed)
Dinyatakan secara lisan
Dinyatakan secara tertulis.
Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada
tindakan yang invasif atau yang berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara
bermakna. Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua
jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis. 1
Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini tidak
memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek
sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya. 1
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya,
tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat
bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut

membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya. Proxy-consent adalah consent yang
diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu
memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya
akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat
orang banyak). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah
suami/isteri, anak, orang tua, saudara kandung, dll. Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan
pertimbangan yang matang dan ketat. Suatu kasus telah membuka mata orang Indonesia betapa
riskannya proxy-consent ini, yaitu ketika seorang kakek-kakek menurut dokter yang telah
mengoperasinya hanya berdasarkan persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan
tidak sadar atau tidak kompeten. Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi
kedokteran daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak
terapi bersifat tidak absolut, artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini
karena dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan,
kewajiban untuk mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted, kewajiban
melindungi pihak ketiga, dan integritas etis profesi dokter. 1
Doktrin informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan, yaitu :
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver),
4. Clinical privilege
5. Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.

RAHASIA PROFESI KEDOKTERAN


Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai norma dasar
yang melindungi hubungan dokter dengan pasien. Sumpah Hippocrates berbunyi:1,2

What i may see or hear in the course of the treatement or even outside of the treatment in regard
to the life of men, which on no account one must spread abroad, i will keep to myself hording suc
things shameful to be spoken about. All that may to my knowledge in the excersice of my
profession or npt in connection with it, or in daily commerce with men, which ought not be
spoken abroad, i will not divulge abroad and will never reveal.
Demikian pula di dalam kode etik kedokteran Internasional terdapat psaal yang berbunyi : a
doctor preserge absolute secrecy on all he knows about his patients because of the confidence
entrusted in him. Pasal ini tampak lebih lunak dibandingkan dengan bunyi sumpah
Hippocrates.1,2
Sumpah Dokter Indonesi salah satunya berbunyi : saya akan merahasiakan segala sesuatu yang
saya ketahui karena keprofesian saya, sedangkan Kode Etik Kedokteran Indonesia merumuskan
sebagai setiap dokter wajib merahasialan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien tiu meninggal dunia.
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 yang mengatur tentang waib simpan rahasian
kedokteran mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu yang
diketahuinya selama melakukan pekerjaan dibidang kedokteran sebagai rahasia. Namun PP
tersebut memberikan pengecualian sebagaimana terdapat dalam pasal 2, yaitu apabila terdapat
peraturan perundang-undangan yang sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang
mengaturnya lain.1
Baik UU kesehatan maupun UU Praktik Kedokteran juga mewajibkan tenaga kesehtan untuk
menyimpan rahasia kedokteran. Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang
pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2) :1
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk kepetingan kesehatan pasien


Untuk memenuhi permintahan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
Permintaan pasien sendiri
Berdasarkan ketentuan undang-undang
Ketentuan pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana oleh
karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang memperkuat
peluang bagi tenagag kesehatan dalam keadaan dan situasi tertentu dapat membuka
rahasia kedokteran: tanpa diancam pidana. Hal ini mengakibatkan bebasnya para dokter
dan tenaga administrasi kesehatan dalam membuat visum et repertum (keajiban dalam

KUHP) dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit wabah
dan karantina (diatur dalam UU terkait).1
Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya ijin atau
persetujuan atau kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya pakasa
(pasal 48 KUHP), dan dlam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu etika kedokteran
umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk kepentingan
konsultasi profesional, pendidikan dan penelitian. Permenkes No. 749a juga memberu peluang
bagi penguunaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian. 1
Dalam kaitanya dengan keadaaan yang memaksan dikenal dua keadaan yaitu pengaruh daya
paksa yang memadai (overmacht) dan keadaan yang memaksa (noodtoestand). Noodtoestand
dapat diakibatkan oleh tiga keadaan, yaitu adanya pertentangan antara dua kepentingan hukum,
pertentangan antara dua kewajiban hukum, pertentangan antara kepentingan hukum dengan
kewajiban hukum. Dalam menggunakan alasan-alasan yang bersifat hukum dI atas sebaiknya
hanya dilakukan oleh dokter yang bersangkutan dan atau pimpinan sarana kesehatan tersebut.1
Salah satu contoh dari noodtoestand di atas adalah apabila seorang dokter menemui kasus korban
child abuse yang berat atau patut diduga akan terjadi pengulangan yang lebih berat di kemudian
hari. Dalam hal ini, menjaga kerahsiaan kedokteran adalah kewajiban hukum bagi dokter, namun
memberitahukan peristiwa ini kepada pihak yang berwenang adalah demi membela kepentingan
hukum pasien. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa apabila ia tidak memberitahukan kepada pihak
yang berwenang maka keadilan akan tidak tercapai (obstruction of justice) dan si anak (pasien)
mungkin akan diperburuk keadaannya (bertentangan dengan prinsip etika kedokteran
beneficence dan non malficence).1

ASPEK HUKUM KEDOKTERAN


Peraturan pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafal sumpah doker
Saya bersumpah/berjanji bahwa:2
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan

Saya ajkan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan
martaat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
Saya akan mereahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya sadan karena
keilmuan saya sebagai dokter. .........dst.

Peraturan pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran. 2


Pasal 1 PP No 10/1966
yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialaah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran.
Pasal 2 PP No 10/1966
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3,
kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan
lain.
Pasal 3 PP No 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
1. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tnaga kesehatan
2. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan
dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Pasal 4 PP No. 10/1966

Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai waji simpan rahasia kedokteran yang tiidak atau tidak
dapat dipidana menurut pasal 322 atau 112 KUHP, menteri kesehatan dapat melakuakn tindakan
administratip berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.
Pasal 5 PP No10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh merka yang disebut dalam
pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 6 PP No 10/1966
Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan Perlindungan
Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.
Pasal 322 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimannya krena jabatan atau
pencariannya baik yang sekarang maupu yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapt dituntut
atas pengaduan orang itu.3
Pasal 48 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969
Dalam noodtoestand harus dilihat adanya:
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum

Pasal 49 KUHP

(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain,
karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan
hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang angsung disebabkan keguncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP
Barang siapa melakukn perbuatan untuk melaksanakan kententuan undang-undang tidak
dipidana.
Pasal 51 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan pernth jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenangtidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang
diperintah, dengan iikad mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan
pelaksaaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

HUBUNGAN DOKTER PASIEN


Teori hubungan dokter dengan pasien dapat dilukiskan dari aspek sifat antara lain:
1. Bersifat religious
Pada awal profesi kedokteran, dipercaya bahwa timbulnya penyakit berasal dari
kemarahan dewa. Seorang yang sedang sakit melapor kepada sang pemimpin agama lalu
dibuat upaya keagamaan utuk penyembuhan.

2. Bersifat paternalistis

Pada perkembangan selanjutnya, muncul pembagian pekerjaan dimana orang orang


pandai pada masanya memiliki pemikiran tersendiri. Salah satunya adalah ada orang
orang yang mau menolong orang sakit. Orang tersebut boleh dikatakan dokter generasi
pertama dan tidak lagi berhubungan dengan upacara keagamaan. Dokter zaman dahulu
mempunyai murid dan menurunkan keahliannya kepada muridnya itu. Profesi kedokteran
seperti ini dimulai pada abad ke -5 SM oleh Hipokrates di Yunani.
Karena pengajaran (pendidikan ) yang bersifat turun temurun tersebut, para dokter kuno
merupakan golongan yang tertutup bagi komunitas terbatas yang menguasai ilmu
pengobatan ilmu kedokteran kuno tersebut. Masyarakat atau orang awam sangat tidak
memahami proses pengobatan. Akhirnya timbul suatu hubungan yang berat sebelah dan
pasien sangat tergantung pada dokter. Para dokter kuno selain berpendidikan juga
mengaku sebagai keturunan dewa. Hubungan ini disebut hubungan paternalistis. Dokter
mengobati dengan memberi perintah yang harus dituruti oleh pasien hubungan modrl ini
berlangsung sejak abad ke-5 SM sampai zaman modern sebelum teknologi informasi
berkembang.
Ilmu kedokteran sejak zaman Hipokrates hingga sekarang disebut juga seni kedokteran
(medicine is a science and art). Dokter zaman kuno menerima imbalan sebagai tanda
kehormatan, karena itu imbalan tersebut disebut honorarium (honor=hormat). Seiring
dengan perkembangan teknologi kedoteran dan teknologi informasi, terjadilah perubahan
dalam hubungan kedokteran. Teknologi kedokteran dan informasi memberikan dampak
positif seperti diagnosa dan terapi yang tepat, selain juga damak negatif seperti tingginya
biaya pengobatan. Selain itu, akibat lain dari modernisasi adalah perubahan hubungan
dokter dan pasien dari paternalistis enjadi hubungan baru yang lebih menonjolkan aspek
bisnis sehingga hubungan dokter dan pasien berubah menjadi hubungan antara penyedia
jasa dan konsumen.
3. Bersifat penyedia jasa dan konsumen
Hubungan jenis ini disebut juga provider dan consumer relationship. Perubahan dari
paternalistis ke hubnugan ini bertepatan dengan perkembangan teknologi informasi
dimana masyarakat makin sadar akan hakhaknya serta mampu menilai pekerjaan dokter.

Berikut ini merupakan faktorfaktor yang dapat mengidentifikasi berakhirnya era


paternalistis :

Pelayanan kesehatan mulai bergeser dari pelayanana prorangan (praktik pribadi)

menuju praktik pelayanan di rumah sakit.


Perkembangan ilmu teknologi kesehatan memberikan kesempatan tindakan yang

makin canggih. Namun, tidak semua tindakan berhasil dengan baik sesuai harapan.
kekecewaan sering menimbulkan tuntutan hukum.
pengacara terlibat

Dalam era provider and costumer ini, terbentang jarak psikologis antara dokter dan pasien.
Seolah ada dua pihak yang menandatangani kontrak perjanjian dimana pasien harus membayar
dan dokter harus bekerja. Dengan demikian, unsur bisnis terasa kental. Akibat dari pola
hubungan ini, masyarakat mudah menuntut bila merasa tidak puas dan dokter bersikap defensif
( defensive medical service ), ini membuat hubungan dokter dan pasien sedikit merenggang.
Berdasarkan pola hubungan ini, tidak heran bahwa dalam undang undang perlindungan
konsumen, praktik dokter dimasukkan ke dalam industri jasa, dan dengan sendirinya praktik
kedokteran masuk dalam Undang Undang perlindungan konsumen. Kondisi ini
menggelisahkan para dokter sehingga sebagian dokter senior berusaha untuk merumuskan pola
hubungan baru, yaitu pola kemitraan dokter-pasien.1

RESIKO TERHADAP HIV / AIDS


HIV merupakan singkatan dari human immunodeficiency virus. HIV merupakan retrovirus
yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan
macrophages komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau
mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan
yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.
Sistem kekebalan dianggap defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya memerangi infeksi dan penyakit- penyakit. Orang yang kekebalan tubuhnya defisien
(Immunodeficient) menjadi lebih rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar
jarang menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan. Penyakit-penyakit yang

berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang parah dikenal sebagai infeksi oportunistik karena
infeksi-infeksi tersebut memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang melemah.
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan
berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi
HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya
berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi
AIDS.
Seperti halnya dalam kasus bahwa seorang pasien terdiagnosa tertular gonorrhea akibat
hubungan seksualnya yang tidak aman, maka perlu disarankan untuk melakukan pemeriksaan
HIV. Karena orang yang terinfeksi HIV dapat tampak seperti orang sehat lainnya tanpa gejala
pada awalnya. Dilakukan pemeriksaan darah untuk mendeteksi ada tidaknya anti bodi HIV yang
dihasilkan tubuh sebagai reaksi kekebalan terhadap infeksi HIV.
Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah
melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga
kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan
adalah privacy,confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak privacy
pasien,confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity
berartikesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Pengelolaan
informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja juga diatur Menurut Kepmenaker No.KEP.
68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS :
Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan
kegiatanlainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis. Dalam
kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV AIDS , kode etik administrator perekam medis
dan informasi kesehatan ( PORMIKI, 2006) adalah :
Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di dalamnya
sesuai

dengan

ketentuan

prosedur

manajemen,

ketetapan

pimpinan

institusi

dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan

dan hak atas informasi pasien yang terkait dengan identittas individu atau social. Administrator
informasi kesehtan wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari kode etik profesi.
Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah menyebarluaskan
informasiyang terkandung dalam laporan rekam medis HIV AIDS yang dapat merusak citra
profesi rekam administrator informasi kesehatan.
Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun
2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut
dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia, namun PP
No 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran tetap mewajibkan seluruh tenaga
kesehatan dan mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga rahasia
kedokteran.4
Pelanggaran mengenai ketentuan wajib simpan rahasia kedokteran dapat dipidana dengan pasal
322 KUHP : Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara palinglama 9 bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.4
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan adalah
untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status
kesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA
memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sbb: Semua informasi yang teridentifikasi mengenai
status kesehatan pasien, kondisi medis,diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua
informasi lain yang sifatnya pribadi,harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian.
Perkecualian untuk kerabat pasien mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang
dapat memberitahukan mengenai resiko kesehatan mereka. Informasi rahasia hanya boleh
dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit atau memang bisa dapat diberikan secara
hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain hanya sebatas apa yang harus diketahui
kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit. Semua data pasien harus dilindungi.
Perlindungan terhadap data harus sesuai selama penyimpanan.
Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV AIDS
dapatdiberikan dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan informasi

tersebut. Hal ini sesuai dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 memberikan
peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):4
1.
2.
3.
4.

untuk kepentingan kesehatan pasien


untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
permintaan pasien sendiri
berdasarkan ketentuan undang-undang

ISTRI PASIEN
Gonore adalah penyakit kelamin yang pada permulaan keluar nanah dari Orificium Urethra
Externa sesudah melakukan hubungan kelamin. Penyebabnya merupakan bakteri yaitu Neisseria
gonorrhoerae. Gejalanya sesudah lewat tunas 3-5 hari, penderita mengeluh nyeri dan panas pada
waktu kencing. Kemudian mengeluarkan nanah yang berwarna putih susu dari urethra, dan
muara uretha membengkak. Pada wanita dapat timbul flour albus. Penatalaksaan dari penyakit
Gonore adalah dengan menggunakan Penisilin G prokain dengan dosis 2,4-4,8 juta unit + 1 gram
probenisid atau Kanamisin 2 gram dosis tunggal. Dalam mengobati pasien gonore harus
dilakukan pada dua orang bersangkutan. Jadi berdasarkan kasus istri pasien juga harus diobati,
apabila tidak diobati maka suami akan tertular lagi dari istrinya yang tidak diobati.5
Penyakit menular seksual sangat mudah ditularkan dari orang ke orang. AIDS (Acquires
Immunodeficiency Syndrome) dikelompokkan dalam penyakit menular seksual seperti Gonore.
AIDS adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
diperoleh, disebabkan oleh infeksi human imuunodeficiency virus (HIV). AIDS ini bukan suatu
penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai
jenis mikroorganisme seperti, infeksi bakteri,virus, jamur bahkan timbulnya keganasan akibat
menurunnya daya tahan tubuh penderita. Jika pada 10 tahun yang lalu penyakit ini banyak
ditemukan hanya pada pelaku homoseksual, sekarang sudah banyak ditemukan pada pelaku
heteroseksual dan jika dulu banyak ditemukan hanya terbatas pada kelompok resiko tinggi
(pramuria bar, pekerja seks komersial, diskotik dan pemakai obat-obatan terlarang/narkotika)
sekarang penyakit ini sudah ada di tengah masyarakat luas. Pencegahan dapat dilakukan dengan
melakukan hubungan seks hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak mengidap
HIV (monogami); Jangan mengadakan hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi seperti

pekerja seks komersial, pelanggan-pelanggannya, kaum homoseksual, dan wisatawan asing dari
negara tempat insiden AIDS-nya tinggi; melakukan hubungan seks yang aman yaitu dengan
menggunakan kondom.5

BAB 3
Kesimpulan

Dasar dari kerahasiaan pasien adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien.
Kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga seorang
dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran dari pasien itu sendiri
kecuali diminta oleh hukum. Dokter juga dibenarkan untuk membuka rahasia pasien apabila
pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri.
Dalam keadaan di mana pasien dapat menimbulkan bahaya kepada orang sekitarnya, dokter
dapatlah memberitahu mereka yang mungkin beresiko terhadap penyakit pasien tersebut.
Contohnya adalah memberitahu pasangan pasien dengan HIV/AIDS tentang penyakitnya apabila
pasien enggan untuk melakukan seks dengan perlindungan.

Daftar Isi

1. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. h.30-9;77-83;138.
2. Univeritas Muhamadiyah Yogyakarta. World Medical Association Medical Ethics Manual.
Diunduh

dari

http://www.wma.net/en/30publications/30ethicsmanual/pdf/ethics_manual_indonesian.pdf. 8
Januari 2014.
3. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta. 1997. H.159-164;177-196
4. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta. 2006.
5. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: EGC. 2004. H.299-300; 310-2.

Anda mungkin juga menyukai