Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Kulit dengan fungsinya sebagai pertahanan primer tubuh merupakan salah


satu bagian tubuh yang paling sering terpapar ke lingkungan sekitar. Biasanya
hampir sebagian besar paparan yang ada tidak menimbulkan reaksi dan
manifestasi klinis tertentu. Namun dalam keadaan tertentu reaksi sensitisasi dapat
timbul dan menampakkan gejala berupa reaksi hipersensitivitas tipe lambat, yang
dikenal sebagai Dermatitis Kontak Alergika (DKA).(1,2)
Dermatitis merupakan suatu proses inflamasi pada kulit, dimana pada fase
akut ditandai oleh timbulnya eritema dan vesikel, sedangkan pada fase kronik
ditandai dengan kulit yang kering, terbentuknya likenifikasi dan fisura.

(2,3,4)

Dermatitis kontak alergika (DKA) terjadi ketika alergen mengalami kontak


dengan kulit yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen tertentu.(5)
Inflamasi

pada

kulit

terjadi

melalui

mekanisme

imunologik

(reaksi

hipersensitivitas tipe IV), disebabkan karena adanya paparan alergen spesifik


(hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi sebelumnya. (6,7,)
Prevalensi DKA pada populasi umum diperkirakan berkisar antara 26-40%
pada orang dewasa dan 21-36% pada anak-anak.
meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

(4)

(6)

Angka kejadian DKA

Prevalensi DKA lebih rendah

pada anak-anak dipengaruhi oleh paparan alergen yang lebih sedikit dibandingkan
dengan orang dewasa. (3) Individu yang lebih muda (18 sampai 25 tahun) memiliki
onset lebih cepat dan resolusi cepat terhadap suatu dermatitis dibandingkan orang
yang lebih tua. Insidensi DKA pada usia lebih dari 70 tahun lebih rendah
dibandingkan dengan usia yang lebih muda. (5)

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi

Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis darisuatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis
kontak. Pertama,dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,
kedua, dermatitis kontak alergika (DKA) adalah inflamasi pada kulit melalui
mekanisme

imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV), disebabkan karena

adanya paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah tersensitisasi
sebelumnya. (5,6,7)
Epidemiologi
Prevalensi di Amerika Serikat penyakit DKA ini terhitung sebesar 7% dari
penyakit yang terkait dengan pekerjaan. Berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi DKA dipengaruhi oleh alergen-alergen
tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak perempuan (18,8%) ditemukan
memiliki DKA dibandingkan laki-laki (11,5%). Dermatitis kontak iritan (DKI)
lebih tinggi yang berkisar 80% dari seluruh kasus dermatitis kontak. Angka
kejadian dermatitis kontak alergika dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia,
jenis kelamin, etnik dan pekerjaan.
Etiologi
Dermatitis kontak alergika merupakan inflamasi pada kulit yang terjadi
melalui mekanisme

imunologik (reaksi hipersensitivitas tipe IV), disebabkan

karena adanya paparan alergen spesifik (hapten) pada kulit yang telah
tersensitisasi sebelumnya. (5,6,7) Terdapat lebih dari 3700 alergen yang dilaporkan
dapat memicu reaksi DKA. (3,10)
Patogenesis
DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai
imunitas seluler (hipersensitivitas tipe 4). (5,6,7,8) Patogenesis DKA diklasifikasikan
menjadi 2 bagian, yaitu fase induksi (fase sensitisasi atau fase aferen) dan fase
elisitasi (fase eferen). Fase sensitisasi dimulai pada saat kulit penderita pertama
kalinya terpapar dengan alergen kontak sampai pada saat penderita tersensitisasi,
artinya jika terjadi paparan ulang terhadap alergen yang sama akan dapat memicu
terjadinya reaksi DKA. Fase efektor dimulai dari paparan ulang alergen kontak
yang sama sampai waktu terjadinya manifestasi klinik DKA, seperti eritema,
edema dan munculnya vesikel.

Reaksi inflamasi yang timbul pada DKA

dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti frekuensi dan durasi paparan alergen.
(3,5,8)

Tahapan imunopatologi pada DKA meliputi : (3,5,8)


a. Fase Aferen (Fase Sensitisasi)
Haptem yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara
kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLADR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit menstimulasi sel
T, tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat
alergen maka akan dilepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel
Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut mengubah
fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC I dan MHC II, ICAM-1,
LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu
TNF yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi
perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin ini juga meningkatkan MHC I
dan MHC II.
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans
mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik,
yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel
Langerhans, dan kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah
diproses. Ada atau tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mengekspresi reseptot IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel
T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T memori (sel
T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar di seluruh
tubuh. Pada saat tersebut individu dikatakan telah tersensitisasi.

Sinyal antegenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi


sedangkan sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi, dengan demikian terjadinya
sensitisasi kontak tergantung pada adaya sinyal iritan yang dapat berasal dari
alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respon iritan,
dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang atau kombinasi ketiganya.
Maka suatu tindakan yang ditujukan utuk mengurangi iritasi akan menurunkan
potensi sensitisasi.
b. Fase Eferen (Fase Elisitasi)
Fase elisitasi pada hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang
alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, kemudian diikat oleh
HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLADR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T
memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL2 dan mengekspresi IL-2R yang akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi sel T
di kulit.
Sel T teraktivasi juga mengeluarkan IFN yang akan mengaktifkan
keratinosit

mengekspresi

ICAM-1

dan

HLA-DR.

Adanya

ICAM-1

memungkinkan keratinosit berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang akan


megekspresi LFA-1. Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit berinteraksi
langsung dengan sel T CD4+ dan memungkinkan presentasi antigen kepada sel
tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit.
Keratinosit juga menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF dan
GMCSF yang semuanya dapat mengaktivasi sel T. IL-1 dapat menstimulasi
keratinosit menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel
mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain
histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan PGD2, dan leukotrien B4
(LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari
keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskular dan meningkatnya
permeabilitas shingga molekul larut seperti komplemen dan kinin mudah berdifusi

ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan
menarik neutrofil, monosit dan sel darah yang lain dari pembuluh darah ke dalam
dermis. Proses ini akan menimbulkan manifestasi klinik DKA.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesis
Ada beberapa yang harus diperhatikan pada anamnesis berkaitan dengan
kasus DKA, yaitu adanya keluhan gatal pada kulit, riwayat paparan terhadap
bahan alergen sebelumnya, munculnya keluhan pada kulit terjadi setelah paparan
terhadap alergen yang sama, mulai muncul 48-96 jam setelah paparan ulang, dan
sering berulang selama beberapa tahun.

(2)

Selain hal tersebut, ada beberapa hal

yang juga perlu diketahui dari anamnesis yaitu data demografi pasien termasuk
pekerjaan dan hobi, riwayat penyakit dahulu dan pengobatan dan riwayat penyakit
keluarga. (8)
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan efloresensi DKA polimorf, batas
tegas, dimana alergen kuat selalu menyebabkan pembentukan vesikel, sedangkan
alergen yang lemah ditandai dengan adanya papula. Pada fase akut ditandai
dengan gejala pruritus, edema, makula eritematous batas tegas dan vesikel
hanya pada area terpapar (lokalisata). Lesi subakut dapat berupa : eritema,
papula, dan skuama. Bila kontak dengan alergen berulang, maka dapat ditemukan
gejala dan tanda DKA kronik, berupa plak eritematosa batas tidak tegas, pada
permukaan lesi bisa didapatkan skuama, fissura, likenifikasi; dan lesi dapat
meluas melewati area yang terpapar (diseminata).

(1,2,3)

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai Gold Standard untuk menegakkan
diagnosa DKA adalah uji tempel (patch test). (8,10) Uji tempel (patch test) dengan
menggunakan bahan standar atau bahan yang dicurigai menyebabkan timbulnya
DKA. Adapun indikasi dilakukannya uji tempel yaitu pada kasus dermatitis yang
bersifat kronik dan/atau adanya gatal yang selalu berulang, adanya likenifikasi,
dan pada kecurigaan adanya DKA sebagai penyebab atau komplikasi dari keluhan

tersebut.

Sedangkan

kontraindikasi

uji

tempel

yaitu

imunodefisiensi,

mengkonsumsi obat-obatan yang menekan respon imun dan penyakit autoimun. (9)
Konsentrasi zat alergen pada uji tempel sangat berpengaruh terhadap
interpretasi hasil uji tempel karena konsentrasi yang terlalu rendah dapat
menimbulkan hasil negatif palsu, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat
menimbulkan hasil positif palsu.

(2)

Pembacaan dan interpretasi hasil uji tempel

dilakukan setelah 24 jam, 72 jam dan setelah 7 hari .(8,9,11) Pembacaan pada hari ke
7 dapat membantu menilai hasil positif yang muncul lebih lambat (lebih dari 4
hari) yang pada pemeriksaan 24 jam serta 72 jam bernilai negatif, misal untuk zat
allergen seperti neomisin, tixocortol pivalate dan nikel.(9)
Tatalaksana
Tatalaksana dari Dermatitis Kontak Alergika (DKA) adalah sebagai
berikut:
1. Topikal
a. Lesi basah (madidans) : kompresi terbuka

Daftar Pustaka
1. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical.
Dermatology. 6th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008.
2. Marks JG, Elsner P, Deleo VA. Contact & Occupational Dermatology. 3rd
ed.USA: Mosby Inc; 2002.
3. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat
Jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Anda mungkin juga menyukai