PANNAKATHA
dalam jumlah besar seperti batalion, dan kemudian dunia secara keseluruhan, tampak
seperti sebuah gambaran penderitaan. Tapi, seseorang yang memandang kehidupan ini
dengan satu pandangan yang objektif, akan melihat segala sesuatu dalam perspektif
yang sesungguhnya. Ia yang budaya latihannya menganjurkan untuk tenang dan tidak
gentar di bawah semua perubahan dari kehidupan, akan dapat tersenyum ketika segala
sesuatu sama sekali berjalan salah/tidak sesuai harapannya. Orang ini tentu adalah
seorang yang patut dihargai. Mengendalikan diri dari meminum minuman memabukkan
dan penuh kewaspadaan, memantapkan dirinya di dalam kesabaran dan kesucian, orang
bijaksana itu melatih batinnya. Dan hanya melalui latihan, batin yang tenang akan
direalisasi. Satu pengertian tertentu mengenai bekerjanya kamma (perbuatan) dan
bagaimana kamma mendatangkan buah (kamma vipaka) sangat diperlukan oleh
seseorang yang secara mati-matian berusaha mengembangkan keseimbangan batin. Dari
sudut pandang kamma, seseorang akan dapat memiliki kecenderungan objektif terhadap
semua mahluk, bahkan juga terhadap benda-benda mati. Sebab terdekat dari
keseimbangan batin adalah pengertian bahwa semua mahluk merupakan hasil dari
perbuatannya, kamma. Dunia ini yang di dalamnya kita pakai sebagai tempat tinggal
sementara, mirip dengan sebuah teratai besar di mana kita semua, lelaki maupun wanita,
mengumpulkan madu dengan perjuangan yang berat. Kita membangun harapan-harapan
khayal, dan kita merencanakannya untuk hari esok. Namun satu hari, mungkin secara
tiba-tiba, dan tidak terharapkan, datanglah jam-jam tak terelakan ketika kematian, gajah,
Maccu Mara, merobek kehidupan kita dan membuat harapan-harapan kita sia-sia.
Wajah kehidupan ini hanya sebuah topeng/kedok yang menyembunyikan kematian
semata. Dengarkanlah puisi ini:
Pelajarilah ini, pelajarilah dengan baik, dunia ini adalah sebuah mimpi dan bentukbentuknya yang mengambang adalah debu impian-impian semata; Tubuh ini yang kita
beri makan dengan wewangian bersifat lebih sementara jika dibandingkan dengan
berakhirnya warna sebuah bunga; Semua milik kita merupakan belenggu yang
mengikat kita lebih kuat/hebat dibandingkan kemiskinan; Uang, keberuntungan, usia muda
dan kekuatan menarik bagi kita; kita mirip kafilah yang tertarik akan gurun yang mematikannya.
Sejarah telah lagi-lagi membuktikan, dan akan terus membuktikan bahwa tidak satupun di
dunia ini yang kekal. Bangsa-bangsa dan peradaban muncul, tumbuh dan lenyap bagaikan ombak di
lautan yang menyerah pada ombak lainnya yang baru, dan demikianlah gulungan waktu merekam
pawai yang berlalu, pandangan tak berdasar dan arus yang pudar dari sejarah kemanusiaan.
Oleh karena itu para bijaksana jaman dulu kala menyatakan:
PANNAKATHA
PANNAKATHA
PANNAKATHA
Makna perumpamaan
Inilah kehidupan manusia. Apabila kita membiarkan diri kita larut dalam keasyikan
hanya dengan makan, tidur dan kesenangan-kesenangan fisik, tanpa melakukan
kebajikan; misalnya apabila kita tidak mempraktikkan ajaran benar yang telah
diajarkan, kita tentu akan memetik buahnya, yaitu penderitaan, mirip dengan burung
gagak yang jatuh menemui kematiannya di lautan. Cerita ini adalah tentang kita semua:
Lautan mengumpamakan dunia ini, arus lautan mengumpamakan arus tumimbal lahir;
bangkai-bangkai kerbau mengumpamakan tubuh kita yang makin rapuh dan objek
kesenangan duniawi; pohon di tepi pantai mengumpamakan ajaran benar, dan burung
gagak mengumpamakan pikiran kita, yaitu: sewaktu-waktu kita merasa senang
mempraktikkan ajaran benar, dan sewaktu-waktu kita tidak suka mempraktikkan ajaran
benar.
Sumber:
Dhammadharo L. 1982. Basic Themes.Wat Asokaram, Samut Prakaan, Thailand, 216p.
PANNAKATHA
PANNAKATHA
Ciliwung selain dari air yang mengalir itu. Ditambah lagi, mereka menceritakan
kepada kita bahwa sungai Ciliwung memotong tanah merah yang dilaluinya, yang
menyebabkan airnya berwarna merah. Hampir seolah-olah sungai Ciliwung ini
melakukan sesuatu terhadap tanah merah itu, dan menyebabkan tanah merah itu
menghukum sungai itu sehingga airnya menjadi merah. Kita dapat dengan jelas
melihat bahwa air itu merupakan subyek dari proses sebab dan akibat yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang mengkondisikan; air mencebur ke tanah merah dan tanah
merah itu larut ke dalam air merupakan salah satu kondisi sebab, akibatnya air itu
berwarna merah. Kita tidak dapat menemukan tubuh yang melakukan sesuatu atau
menerima akibatnya. Kita sesungguhnya tidak dapat melihat sungai Ciliwung di
manapun. Air yang mengalir di depan kita segera mengalir pergi, air yang lebih dulu
terlihat tidak lagi di sini. Air yang baru secara konstan segera menggantikan kedudukan
air yang telah mengalir. Kita
PANNAKATHA
pembicaraan dengan mudah. Segala sesuatu yang secara konvensi kita ketahui sebagai
orang, yang kita beri nama, dan mengenai misalnya aku dan kamu, dalam
kenyataannya merupakan aliran kejadian yang kontinyu dan terkait, tersusun dari
faktor-faktor penentu yang tak terhingga yang terkait, seperti sungai itu. Mereka adalah
subyek kejadian yang tidak terhingga, diarahkan oleh penentu-penentu yang
berhubungan, baik dari aliran kejadian di dalam maupun di luar. Ketika suatu rekasi
tertentu terjadi dalam suatu sebab, maka akibat dari reaksi itu muncul, menyebabkan
perubahan-perubahan dari aliran kejadian-kejadian. Kondisi-kondisi yang kita
hubungkan itu adalah kamma (perbuatan) dan vipaka (hasil), hanya merupakan
permainan sebab akibat di dalam suatu aliran kejadian tertentu. Mereka secara
sempurna dapat berfungsi di dalam aliran itu tanpa perlu nama atau konvensi, atau kata
aku dan kamu, apakah sebagai pemilik atau pelaku dari perbuatan, ataukah sebagai
penerima hasil perbuatan itu. Namun untuk kemudahan berkomunikasi di dalam dunia
sosial, kita menggunakan konvensi nama bagi aliran kejadian tertentu, seperti Tuan
Amin dan sebagainya. Setelah menerima konvensi itu, kita juga menerima tanggung
jawab bagi aliran kejadian, menjadi pemilik, pelaku aktif dan pasif dan menerima hasil
atau akibatnya. Akan tetapi apakah kita menggunakan konvensi atau tidak, apakah kita
menerima label atau tidak, aliran kejadian itu sendiri tetap berfungsi, dikendalikan oleh
sebab dan akibat. Oleh karena itu, hal yang penting, kita harus mengerti perbedaan
antara konvensi dan kondisi yang sesungguhnya, dimana keduanya harus dipergunakan
secara terpisah sesuai konteks pembicaraannya sehingga kita tidak dibingungkan oleh
kedua hal itu. Konvensi merupakan penemuan manusia yang berguna dan praktikal.
Problema akan muncul ketika manusia bingung akan konvensi dan hakekat
sesungguhnya. Hakekat sesungguhnya tidak membingungkan, karena berfungsi terpisah
dari keinginan manusia; jadi segala problema sepenuhnya merupakan kesalahan
manusia. Kalau seseorang bertanya: Apabila bukan aku yang melakukan kamma,
maka aku yang mana (siapa) yang menerima hasil kamma? Bagian pertama dari
kalimat di atas dibicarakan menurut pengetahuan akan kenyataan, tetapi bagian kedua
dari kalimat di atas dibicarakan menurut persepsi kebiasaan orang itu (konvensi).
Secara alamiah keduanya tidak akan cocok. Dengan demikian jelas bagi kita, dalam
hakekat yang sesungguhnya, kamma dan Anatta tidak kontradiksi dan tak dapat
dipisahkan. Kamma berproses karena tidak ada Atta (aku/diri).
Sumber:
Payutto, P.A. 1993. Good, Evil and Beyond (Kamma in The Buddhas Teaching. Buddha Dhamma
Foundation, Thailand, 116p.
PANNAKATHA
PANNAKATHA
tenaga dengan kedua tangan dan kakinya, dengan kestabilan dan keseimbangan.
Dengan usaha dan tekad yang kuat, akhirnya ia dapat menyeberangi arus yang deras
dan mencapai sisi seberang sungai; sehingga ia selamat dan terbebas dari musuhmusuhnya.
Arti dari perumpamaan di atas:
1. Empat ular berbisa dan berbahaya merupakan ibarat dari empat unsur pokok
jasmani (Maha bhuta).
2. Lima orang musuh merupakan ibarat dari lima kelompok perpaduan
(Pancakkhandha).
3. Sahabat baik merupakan ibarat dari Sang Buddha.
4. Sahabat palsu yang berpura-pura sebagai sahabat baik merupakan ibarat
kesenangan dan kemelekatan (nandiraga).
5. Desa dengan enam rumah kosong merupakan ibarat dari enam landasan indera
(6 ayanana dalam).
6. Enam perampok/bandit yang sering menyatroni / mengunjungi desa dengan
keenam rumah kosongnya merupakan ibarat enam macam objek indera (6
ayatana luar).
7. Sisi sungai sebelah sini merupakan ibarat pandangan salah tentang diri (sakkaya
ditthi).
8. sisi sungai sebelah seberang merupakan ibarat Nibbana.
9. Sungai dengan arus yang deras merupakan ibarat banjir (Ogha), yaitu banjir
nafsu indera, banjir kemelekatan untuk menjadi, banjir pandangan salah dan
banjir kegelapan batin.
10. Rakit merupakan ibarat jalan mulia berunsur delapan (AriyaAtthangika Magga).
11. Penjahat yang membuat rakit dan harus mengayuh sendiri dengan kedua kaki
dan tangannya sekuat tenaga dengan penuh tekad merupakan ibarat kita semua
sebagai mahluk hidup berjuang dengan penuh semangat dan tekad dan tidak
bergantung pada orang / mahluk/ kekuasaan lain di luar diri kita.
12. Mengayuh dengan kestabilan dan keseimbangan disertai usaha dan tekad kuat
merupakan ibarat melatih dengan kestabilan dan keseimbangan dalam
keyakinan (saddha), semangat (viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samadhi)
dan kebijaksanaan (panna).
Perumpamaan yang termaktub di dalam Asivisopama Sutta ini sangat bermanfaat bagi
mereka yang sedang berlatih mengarungi samudra kehidupan ini dalam menggapai
kebahagiaan sejati. Perumpamaan ini baik sekali untuk meningkatkan pengertian
mereka yang sedang berlatih vipassana. Semoga tulisan ini menjadi kondisi inspirasi
meningkatnya pengertian akan hakekat segala sesuatu. Semoga semua mahluk
berbahagia.
Sumber: Asivisopama Sutta, Sutta Pitaka, Tipitaka..
10
PANNAKATHA
KEMELEKATAN
DENGAN
HIDUP
meratap,
bersedih,
meraung-raung,
memukul-mukul
dadanya
dan
kebingungan serta putus asa: ia mengalami dua jenis perasaan, yaitu perasaan yang
dialami melalui media jasmani dan perasaan langsung melalui batinnya. Kelihatannya
seolah-olah seorang pemanah, yang telah melepaskan anak panah pertamanya kepada
seseorang, kemudian melepaskan kembali anak panah yang kedua. Orang yang terkena
panah tersebut akan merasakan nyeri dari kedua panah tersebut. Demikianlah orang
yang tidak terpelajar, yang belum merealisasi pencerahan sempurna. Ia mengalami dua
macam nyeri, yaitu nyeri melalui media jasmani dan nyeri batiniah. Lebih jauh lagi, di
dalam mengalami perasaan yang tidak menyenangkan, ia merasa tidak senang. Dengan
tidak senang terhadap perasaan tidak menyenangkan tersebut, kecenderungan laten
kebencian
(patighanusaya)
terhadap
perasaan-perasaan
tidak
menyenangkan
terhadap
perasaan
netral
terakumulasi.
Mengalami
perasaan
PANNAKATHA
12
PANNAKATHA
Sumber:
Payutto, P.A. 1994. Dependent Origination, The Buddhist Law of Conditionality.. Buddha
Dhamma Foundation, Bangkok, 135p.
PANNAKATHA
menyelamatkan
mahluk
lain,
walaupun
mahluk
tersebut
seekor serangga.. Inipun menunjukkan bahwa orang yang penuh belas kasihan,
dalam hal tersebut walaupun ia akan menerima tindakan yang tak baik dari seseorang
yang ditolongnya, tidaklah menjadi masalah. Sudah merupakan sifat alamiahnya untuk
menolong, dan apabila dapat menolong lagi, ia akan menolong. Ia tidak memiliki lagi
keinginan untuk menyimpan dendam atau kebencian ! Oleh karena itu, belas kasihan
merupakan bahasa batin. Pada saat kita dimotivasi oleh cinta kasih dan belas kasihan,
kita terpicu untuk menolong tanpa membedakan ras (warna kulit), agama atau
kebangsaan dari mahluk yang ditolong tersebut. Dalam sisi belas kasihan, identifikasi
terhadap ras, agama dan sebagainya dikesampingkan; hal-hal ini menjadi tidak
signifikan. Selanjutnya, belas kasihan tersebut tidak hanya ditujukan kepada manusia,
tetapi juga terhadap semua mahluk hidup termasuk mahluk setan, binatang dan
serangga. Dalam rangka tema belas kasihan sebagai bahasa batin, ada sebuah puisi yang
cukup relevan, sebagai berikut:
Sekte Mahayana, Theravada, Vajrayana, Sekte Mahayana, Theravada,
Vajrayana,
Agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu, Agama Kristen, Buddha, Islam,
Hindu,
Bangsa Indonesia, Cina, India, Eropa, Jepang, Bangsa Indonesia, Cina,
India, Eropa, Jepang,
Malaysia, Amerika, Afrika Malaysia, Amerika, Afrika
Orang kulit putih, kulit hitam, kulit kuning, Orang kulit putih, kulit
hitam, kulit kuning,
d dan seterusnya dan sejenisnya sebagaimana an seterusnya dan
sejenisnya sebagaimana
kamu sukai. kamu sukai.
Apakah yang menjadi masalah? Apakah yang menjadi masalah?
Bahasa dari belas kasihan adalah bahasa batin Bahasa dari belas
kasihan adalah bahasa batin
Ketika batin berbicara Ketika batin berbicara
Seribu bunga merekah Seribu bunga merekah
dan cinta kasih mengalir dan cinta kasih mengalir
seperti matahari pagi seperti matahari pagi
meradiasi menembus jendela. meradiasi menembus jendela.
Tak ada kata Tak ada kata- -kata yang diperlukan kata yang
diperlukan
sebuah pemandangan, sebuah sentuhan sebuah pemandangan,
sebuah sentuhan
akan cukup akan cukup untuk berkata untuk berkata
bahkan seribu kata tidak dapat menjelaskan bahkan seribu kata tidak
dapat menjelaskan
14
PANNAKATHA
15
PANNAKATHA
16
PANNAKATHA
17
PANNAKATHA
PANNAKATHA
terhentinya dukkha. Namun demikian, para bhikkhu, ini hanyalah satu perumpamaan.
Kemudian salah seorang bhikkhu memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan
perumpamaan itu, dan Sang Buddha menjelaskannya, demikian:
1. Tertambat di sisi sungai sebelah sini mengumpamakan melekat terhadap enam
pintu indera, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan,
sentuhan, berpikir.
2. Tertambat di sisi sungai sebelah seberang mengumpamakan melekat terhadap
objek penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, berpikir.
3. Tenggelam di dasar sungai mengumpamakan melekat terhadap mahluk hidup
atau benda mati.
4. Mendarat di pulau di tengah sungai (delta) mengumpamakan kesombongan,
kebanggaan atau keangkuhan.
5. Diambil oleh manusia mengumpamakan bhikkhu hidup dan bergaul dengan
tidak sepantasnya terhadap umat awam.
6. Diambil oleh dewa mengumpamakan niat melakukan perbuatan baik untuk
terlahir di surga, di alam para dewa dan brahma.
7. Tenggelam ke dalam satu pusaran air mengumpamakan terjebak/melekat pada
kegemaran akan lima jenis kesenangan indera.
8. Menjadi hancur / membusuk mengumpamakan berpura-pura suci padahal
sesungguhnya tidak suci.
Walaupun Sang Buddha mengalamatkan khotbah ini kepada para bhikkhu (karena
ketika itu para bhikkhu menyertainya), uraian ini sebenarnya mengatasi ras, agama,
bangsa atau golongan (berlaku universal). Setiap orang yang tidak memiliki delapan
kekeliruan di atas dapat mencapai pantai, merealisasi kebahagiaan sejati, terhentinya
dukkha, Nibbana. Ketika seseorang mencapai pantai, merealisasi Nibbana, ia telah
terbebas dari lingkaran tumimbal lahir dan telah mengatasi dukkha.
Dalam khotbah ini, Sang Buddha mengumpamakan lautan untuk terhentinya
dukkha. Dan hal ini harap tidak dikacaukan dengan istilah lautan pada khotbah
(sutta) lain yang mengumpamakan lingkaran tumimbal lahir.
Sumber:
Samyutta Nikaya. Sutta Pitaka. Tipitaka (Pali Canon). Edisi Bahasa Inggris. Pali Text Society, Oxford..
19
PANNAKATHA
BHIKKHU - DEVA
Satu hari, ketika Sang Buddha tinggal di hutan Jeta, di dekat kota tua Savathi di
India, Beliau dikunjungi seorang dewa yang datang dari alam surga disertai sejumlah
ribuan dewa. Dewa tersebut memberikan hormatnya kepada Buddha dan kemudian
mengemukakan keluhannya demikian: O, Yang Mulia Buddha, ia meratap, Tanah
dewata begitu berisik! Dipenuhi oleh suara-suara para dewa ini. Mereka mirip setan
(peta) bagi saya, meraung-raung di tanahnya. Sungguh membingungkan berada di
tempat seperti ini. Tunjukkanlah kepada saya, bagaimana cara mengatasinya! Ini
merupakan kata-kata penting bagi seorang dewa. Alam dewa dikenal dengan ciri
khasnya, yaitu kesenangan. Penduduknya, berseni dan cenderung senang musik, hampir
mirip peta yang hidup sangat menderita dan menyedihkan. Beberapa peta memiliki
lambung yang besar dengan mulut sekecil lubang jarum sehingga mereka secara
konstan merasakan kelaparan yang mengerikan dan mereka tak pernah terpuaskan.
Dengan memanfaatkan kekuatan batinnya, Buddha menyelidiki masa lalu dewa
tersebut. Beliau mengetahui bahwa sebelum kehidupan ini, dewa tersebut adalah
seorang manusia, seorang yang tekun mempraktikkan Dhamma. Sebagai seorang muda,
ia telah memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran Buddha sehingga ia
meninggalkan kehidupan berumah tangga menjadi seorang bhikkhu. Setelah mengikuti
gurunya selama lima tahun, ia telah terlatih baik di dalam peraturan moral dan vinaya
ke-bhikkhu-an serta memiliki kemampuan bermeditasi secara mandiri. Kemudian ia
tinggal sendiri di sebuah hutan. Karena tekadnya yang kuat untuk merealisasi tingkat
kesucian Arahat, latihan bhikkhu tersebut sangat gigih dan ekstrim. Demikian tinggi
keyakinannya sehingga sebanyak mungkin waktu dihabiskan untuk bermeditasi, hampir
tidak tidur dan tidak makan. Apa hendak dikata, ia menghancurkan kesehatannya. Gas
berakumulasi di dalam lambungnya, menyebabkan ia kembung dan nyeri seperti disayat
20
PANNAKATHA
pisau. Namun demikian bhikkhu tersebut tekadnya telah bulat dan tidak mengubah
kebiasaannya. Nyerinya makin memburuk, dan memburuk, sampai satu hari, di
pertengahan meditasi berjalan, nyeri tersebut memotong kehidupannya. Secara instan,
bhikkhu tersebut tumimbal lahir di alam dewa Tavatimsa. Tiba-tiba, seperti terjaga dari
mimpi, ia tersadar berpakaian dengan cahaya keemasan dan berdiri di gerbang kerajaan
dewa yang menakjubkan. Di dalam istana dewa itu terdapat seribu dewa, dengan
pakaian lengkap dan sedang menunggu kedatangannya. Ia akan menjadi pemimpin para
dewa itu. Mereka gembira melihat kehadirannya di pintu gerbang! Dengan berteriak,
mereka membawakan instrumentalia / musik guna membuatnya gembira. Sejauh ini,
mahluk yang malang ini belum mengetahui bahwa ia baru saja meninggal di bumi dan
sekarang telah tumimbal lahir di alam dewa. Dengan berpikiran bahwa para dewa
tersebut tidak lain daripada para pengikut/umat yang sedang memberikan penghormatan
kepadanya, dewa baru tersebut merendahkan pandangannya melihat tanah, dan
menyibakkan satu ujung dari pakaian keemasannya ke bahunya. Dari tingkah laku
jasmani ini, para dewa telah menduga situasinya dan berteriak,Kamu sekarang berada
di alam dewa. Bukanlah waktunya untuk bermeditasi. Ini adalah waktu bergembira dan
santai. Kemarilah, mari kita berdansa! Pendekar kita ini terkejut mendengar mereka,
karena ia sedang melatih pengendalian indera. Akhirnya beberapa dewa pergi ke
peraduan dan membawakan sebuah cermin yang panjang. Astaga, dewa baru ini terkejut
bahwa ia bukan lagi seorang bhikkhu. Tidak terdapat tempat di seluruh alam dewa itu
yang cukup sepi untuk berlatih. Ia merasa terjebak. Dengan kesal, ia berpikir,Ketika
saya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memakai jubah, saya hanya bercitacita untuk meraih kebahagiaan tertinggi, merealisasi tingkat kesucian Arahat. Saya mirip
seorang petinju yang memasuki satu kompetisi mengharapkan sebuah medali emas dan
sebagai gantinya diberikan sebongkah kubis (sejenis sayuran). Eks-bhikkhu ini sangat
takut sekalipun hanya untuk menginjakkan kakinya di gerbang istananya. Ia mengetahui
bahwa kekuatan batinnya tidak akan kuat melawan kesenangan-kesenangan itu, yang
jauh lebih memikat dibandingkan kesenangan di alam manusia. Tiba-tiba ia menyadari
bahwa sebagai dewa ia memiliki kemampuan untuk mengunjungi alam manusia di
mana Sang Buddha mengajarkan Dhamma. Realisasi ini membuatnya gembira. Saya
dapat meraih kekayaan surgawi kapan saja, pikirnya. Namun kesempatan untuk
bertemu seorang Buddha jelas sangat langka. Tanpa berpikir kedua kali, ia pergi diikuti
oleh ribuan pengikutnya. Menemukan Buddha di hutan Jeta, dewa itu menghampiri dan
memohon pertolongan. Buddha, terkesan oleh kegigihannya dalam berlatih, dan
21
PANNAKATHA
memberikan petunjuk demikian: O, dewa, telah lurus jalan yang telah kamu lalui. Hal
itu akan membawamu kepada keselamatan, jauh dari ketakutan, yaitu meraih cita-cita
luhurmu. Kamu seyogyanya naik di dalam sebuah kendaraan yang sunyi sempurna.
Kedua roda keretamu adalah semangat batin dan fisik. Kesungguhan adalah sandaran
punggung kereta tersebut. Perhatian murni adalah tentara yang mengelilingi kereta ini,
dan pandangan benar adalah pengemudi keretanya. Seseorang, baik pria maupun
perempuan, yang memiliki kendaraan seperti itu dan mengendarainya dengan baik, tak
diragukan lagi akan merealisasi Nibbana.
Cerita tentang bhikkhu-dewa ini disarikan dari kumpulan naskah pali, yaitu Samyutta
Nikaya (bagian Sutta Pitaka, Tipitaka). Cerita ini mengilustrasikan banyak hal tentang
latihan meditasi, yaitu semangat, pandangan benar, pengendalian indera, tingkah laku
moral, kesungguhan hati, kebenaran metode latihan dan sebagainya.
Sumber:
Pandita, U. 1992. In This Very Life, The Liberation Teachings of The Buddha. Buddhist Publication
Society, Sri Lanka, 298p.
Samyutta Nikaya I. Sutta Pitaka, Tipitaka. Pali Text Society, London..
22
PANNAKATHA
SEKOLAH BINATANG
Satu bidang yang sangat kritis di dalam penyebaran dan praktik Buddha
Dhamma yang tepat guna dalam rangka merealisasi kebahagiaan sejati adalah tempat
penyebaran itu sendiri. Beragamnya tingkat kebudayaan, persepsi, minat, pengalaman
dan kematangan batin para peserta di tempat penyebaran tersebut juga sangat
mempengaruhi efektivitas dan kecepatan pencapaian tujuan tersebut. Satu cerita di
bawah ini dapat kita renungkan bersama maknanya sehingga kita dapat mengambil
tindakan yang tepat di dalam upaya mencapai tujuan jangka pendek maupun merealisasi
kebahagiaan sejati. Alkisah pada satu masa, para binatang memutuskan bahwa mereka
harus melakukan sesuatu yang heroik guna mengatasi masalah yang timbul dalam satu
dunia baru. Jadi mereka mendirikan sebuah sekolah. Mereka menerapkan kurikulum
yang terdiri dari: lari, memanjat, renang, dan terbang. Untuk mempermudah pengaturan
kurikulum itu, semua binatang harus mengambil semua mata pelajaran tersebut. Itik
piawai dalam renang, bahkan sesungguhnya lebih baik ketimbang instrukturnya, namun
ia lulus dengan angka minimum dalam terbang dan sangat buruk dalam lari. Karena
lamban dalam lari, ia harus tetap tinggal seusai jam sekolah dan juga melepaskan mata
pelajaran renang hanya untuk belajar lari. Ini berlangsung terus-menerus sehingga
kakinya yang berselaput menjadi terlalu letih dan ia pun hanya memperoleh angka ratarata dalam renang. Tetapi angka rata-rata masih bisa diterima di sekolah, jadi tak
satupun yang merisaukannya kecuali si itik itu sendiri. Kelinci menjadi juara kelas
dalam lari, tetapi mengalami gangguan saraf karena terlampau banyak tugas perbaikan
dalam mata pelajaran renang. Tupai hebat dalam memanjat, namun ia merebakkan rasa
frustrasi di kelas terbang di mana gurunya kecapekan menyuruhnya memulai dari tanah
ke atas dan bukannya dari puncak pohon ke bawah. Ia juga dilanda kram kaki dan
tangan karena usaha yang terlampau keras serta kemudian malah mendapat nilai C
23
PANNAKATHA
dalam memanjat dan D dalam lari. Sang elang adalah anak yang menyusahkan dan juga
sulit didisiplinkan. Di dalam kelas memanjat, ia mengungguli semua binatang yang lain
untuk sampai di puncak pohon, namun menuntut untuk menggunakan caranya sendiri
untuk sampai di sana. Pada akhir tahun, seekor belut yang abnormal yang dapat
berenang dengan baik, dan juga sedikit lari, memanjat dan terbang, meraih angka ratarata tertinggi dan menyampaikan kata-kata perpisahan. Anjing padang rumput keluar
dari sekolah dan menentang iuran sekolah karena pengelolanya tidak memperbolehkan
pencantuman pelajaran menggali liang ke dalam kurikulum. Anjing-anjing itu mengirim
anaknya untuk magang ke seekor luak dan kemudian bergabung dengan para marmut
serta tikus celurut untuk memulai sebuah sekolah swasta yang sukses.
Apakah fabel ini memiliki suatu pesan moral? Sepenuhnya tergantung tingkat
ketajaman persepsi, analisa, kecenderungan dan pengalaman para pembaca.
Sumber:
Canfield, J. and Mark Victor Hansen. 1995. Menjadi Kaya dan Bahagia (Chicken Soup for the Soul;
Health Communications Inc.), Gramedia, Jakarta. 284 hal.
24
PANNAKATHA
PANNAKATHA
Kemudian Sang Buddha, melihat kualifikasi yang telah dicapai oleh para pendengar,
mengajarkan Dhamma kembali secara penuh. Pada akhir dari ajaran tersebut, Deva
muda itu merealisasi tingkat kesucian pertama (Sotapana). Setelah menghormati Sang
Buddha, Deva muda tersebut kembali ke alam surga.
Sumber:
Vimanavatthu, Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka, Tipitaka, Pali Text Society, .London, 159 p.
26