Anda di halaman 1dari 4

Analisa Kompetensi

Manajer Keuangan disetiap UKM berkompeten dalam menguraikan bagaimana


penetapan biaya tradisional bisa mendorong kearah produk undercosting atau produk
overcosting, mendiskusikan empat cara dalam sistem activity-based costing ((a)
mengidentifikasi tingkat perbedaan sumber daya dan aktivitas yang digunakan dalam
proses produksi. (b). menaksir biaya aktivitas dan mengkalkulasi suatu tingkat tarip cost
driver.(c) membebankan biaya-biaya aktivitas pada jasa dan barang-barang.(d).
menganalisa profitabilitas pelanggan dan produk.).Menerapkan activity-based costing
untuk jasa dan perdagangan. Membedakan antara activity-based costing, unit level
costing, dan ABC full costing untuk jasa dan barang..
Kontribusi terhadap Ketahanan Ekonomi Desa
A.Activity-based costing (ABC) adalah suatu sistem penetapan biaya yang
membebankan biaya-biaya berdasar pada bagaimana pekerjaan dilakukan dalam suatu
UKM dan didasarkan pada kebutuhan secara terus-menerus ketersediaan perangsang
untuk peningkatan. Menggunakan rantai nilai untuk mengikuti aliran biaya-biaya dan
aktivitas sehingga menyediakan suatu landasan yang bermanfaat dimana biaya-biaya
dapat dikenali, digolongkan, dan dilacak. Secara khas, rantai nilai adalah satu
kumpulan proses yang berhubungan yang mengalir didalam suatu urutan logis. Hal
ini bermanfaat, didalam suatu sistem ABC untuk mebedakan proses ini ke dalam dua
kategori- proses produksi dan proses bisnis.
Activity-Based Costing (ABC) adalah konsep perhitungan biaya dalam akuntansi
manajemen yang didasarkan pada aktivitas-aktivitas bisnis dalam organisasi yang dapat
diterapkan untuk menghitung biaya produk dengan lebih akurat. Produk merupakan hasil
aktivitas-aktivitas bisnis dan aktivitas-aktivitas tersebut memanfaatkan sumberdaya yang
berarti menimbulkan biaya. Biaya produk dihubungkan ke aktivitas-aktivitas bisnis
relevan dan kemudian ke sumberdaya-sumberdaya yang dimanfaatkan. Hal ini
menghasilkan perhitungan biaya produk yang lebih akurat dibandingkan dengan
perhitungan menggunakan konsep tradisional. ABC baik untuk diterapkan di perusahaan
yang memproduksi lebih dari satu jenis produk dan memiliki komponen biaya tidak
langsung yang signifikan.
Penelitian ini dilakukan terhadap sebuah perusahaan manufaktur dan bertujuan untuk
membuat konsep sistem perhitungan biaya produk menggunakan Activity-Based Costing.
Konsep sistem tersebut dapat diterapkan untuk menghasilkan informasi biaya produk
untuk mendukung keputusan manajerial bersifat strategik yaitu penetapan harga jual dan
bauran produk. Biaya tiap aktivitas bisnis juga tersedia dan dapat
dihitung sehingga informasinya dapat digunakan untuk mendukung aksi-aksi manajerial
dalam melakukan perbaikan efisiensi proses bisnis.
Analisis dilakukan pada kondisi 'as-is' di perusahaan yang menerapkan sistem tradisional

untuk perhitungan biaya produknya. Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan
observasi kemudian dimanfaatkan untuk mengembangkan konsep sistem Activity-Based
Costing sebagai kondisi to-be yang diusulkan agar diterapkan untuk
menghitung biaya produk dan biaya aktivitas yang diperlukan sebagai pendukung sistem
informasi biaya produk sesuai kebutuhan pengambilan keputusan manajerial.
Penelitian ini menemukan bahwa sistem perhitungan biaya produk tradisional
menghasilkan nilai biaya produk yang tidak akurat yang berpotensi mengarah ke
informasi yang bias untuk pengambilan keputusan manajerial. Konsep Activity-Based
Costing yang dirancang untuk perusahaan menghubungkan produk ke aktivitas-aktivitas
bisnis spesifik, kemudian ke sumberdaya-sumberdaya sesuai yang dimanfaatkan
aktivitas-aktivitas tersebut, menyediakan perhitungan biaya produk yang lebih akurat.
Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan yang disebabkan dari penggunaan metode
tradisional, maka dapat digunakan metode Activity Based Costing (ABC) dalam
perhitungan harga pokok konstruksi. Dalam Activity Based Costing mempergunakan
lebih dari satu pemicu biaya untuk mengalokasikan biayaoverhead ke masing-masing
proyek. Sehingga, biaya overhead yang dialokasikan akan menjadi lebih proporsional dan
informasi mengenai harga pokok konstruksinya lebih akurat.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
dengan metode studi kasus. Penggunaan metode studi kasus dipergunakan untuk
menjawab rumusan masalah yang diawali dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa
dan difokuskan pada fenomena kontemporer.Data yang digunakan diperoleh melalui
wawancara, dokumentasi, observasi.
Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa PT. X menggunakan metode tradisional
dalam perhitungan harga pokok konstruksinya dengan menggunakan jumlah hari tenaga
kerja langsung sebagai dasar penentuan biaya overhead untuk masing-masing proyek.
Setiap proyek yang dikerjakan oleh PT. X memiliki tingkat kompleksitas dan
karakteristik yang berbeda-beda.
Pada pembahasan ditunjukkan adanya perbedaan hasil perhitungan dengan menggunakan
metode tradisional dengan metode Activity Based Costing. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penggunaan Activity Based Costing akan sangat membantu
perusahaan karena memberikan informasi yang lebih akurat mengenai harga pokok
konstruksi sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang bijaksana bagi
perusahaan.
Balance Score Card
Pengertian balanced scorecard sendiri jika diterjemahkan bisa bermakna sebagai rapot
kinerja yang seimbang (balanced). Kenapa disebut seimbang karena pendekatan ini
hendak mengukur kinerja organisasi secara komprehensif melalui empat dimensi utama,
yakni : dimensi keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan dimensi learning &
growth.
Halo Pak. "Scorecard" itu arti harafiahnya adalah "rapot", atau laporan kinerja
(performance), mirip seperti yang digunakan oleh seorang mahasiswa ketika belajar.
Terutama di masa lalu, isi scorecard perusahaan umumnya terfokus pada hal-hal yang

sifatnya finansial saja, sepertiSales, Profit, ROE, ROA, EBITDA dll.


Kaplan dan Norton dari Harvard lalu mempelajari bahwa laporan kinerja keuangan
perusahaan bukanlah alat prediksi yang baik bagi tingkat kinerja dan kelangsungan hidup
perusahaan di masa depan. Studi yang mereka lakukan atas demikian banyak perusahaan
memperlihatkan bahwa faktor-faktor non-finansial seperti tingkat kepuasan pelanggan,
inovasi produk dan jasa, maupun efisiensi proses kerja mempengaruhi kinerja organisasi
di masa depan.
Sehingga mereka menganjurkan bahwa selain faktor-faktor finansial, perusahaan
sebaiknya juga memperhatikan dan mengukur kinerja mereka di bidang non-finansial
tadi. Artinya, laporan kinerjanyapun seimbang ("scorecard" yang "balanced"); tidak
hanya faktor finansial yang diperhatikan, namun juga yang non-finansial. Studi-studi
mereka memperlihatkan bahwa faktor-faktor finansial dan non-finansial ini dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yang disebut perspektif, yaitu "financial"
(berhubungan dengan keuangan), "customer perspective" (berhubungan dengan
pelanggan), "internal business process perspective" (proses bisnis atau proses kerja di
dalam perusahaan) dan "learning & growth perspective" (berhubungan dengan
pembelajaran, SDMdan usaha-usaha organisasi untuk terus-menerus memperbaiki diri
dan bertumbuh).
Jadi kalau yang diukur di perspektif/bagian keuangan adalah sales, profit, net margin,
maka di perspektif customer, hal-hal yang diukur misalnya bisa tingkat kepuasan
pelanggan, market share, dan untuk perspektif "business process", hal-hal yang diukur
misalnya "volume produksi", "defect rate", dll. Keempat perspektif ini saling
berhubungan dalam hubungan "sebab-akibat" ("cause and effect") dan umumnya
digambarkan dengan apa yang disebut dengan "strategy map" suatu peta yang
menggambarkan strategi organisasi didalam menghasilkan nilai tambah.
Sebagai ilustrasi, perusahaan mendapatkan angka penjualan dan keuntungan yang tinggi
("akibat") karena berhasil memuaskan pelanggan ("sebab"). Kepuasan pelanggan
("akibat") bisa didapatkan karena perusahaan menghasilkan produk unggulan ("sebab")
yang dihasilkan melalui proses kerja yang efisien, dan proses kerja yang efisien itu
dihasilkan oleh pekerja-pekerja yang kompeten dan memiliki semangat kerja yang tinggi.
Satu pemahaman yang sering tidak akurat atas konsep Balanced Scorecard adalah bahwa
hanya ada empat perspective di dalam Balanced Scorecard. Padahal "perspective" ini
hanyalah pengelompokkan umum atas proses pertambahan nilai yang umumnya terjadi di
dalam organisasi, yang jumlahnya tidak harus empat. Tulisan-tulisan awal dari Kaplan
dan Norton bahkan memperlihatkan contoh-contoh scorecard yang terdiri dari lima atau
lebih perspektif, walau empat sering menjadi norma umum.
Berapapun jumlah perspektif, yang penting scorecard yang dihasilkan secara keseluruhan
ini menggambarkan strategi pertambahan nilai di dalam organisasi.Untuk informasi lebih

detil, Bapak dapat membaca buku-buku dan artikel-artikel yang ditulis oleh Kaplan dan
Norton maupun oleh penulis lainnya.Sekian dulu dan semoga membantu.

Anda mungkin juga menyukai