Rererat PPOK
Rererat PPOK
PENDAHULUAN
Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari
posisi 12 ke 5 sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi ke-enam
menjadi ke-tiga, sebagai penyebab kematian terbanyak. Polusi udara terutama
asap rokok menjadi penyebab meningkatnya prevalensi penderita penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK).
Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-kadang
susah buat bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka kemungkinan
dia mengalami penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia internasional
dikenal sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable.
Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap
partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak
sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga
memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna sehingga memperberat
derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat obstruksi jalan nafas
kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim (emfisema). Proses
inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment terhadap jalan nafas
kecil dan menurunnya elastic recoil paru sehingga kemampuan jalan nafas tetap
membuka saat ekspirasi menjadi terganggu.
PPOK atau COPD ini ditandai dengan keterbatasan dalam bernafas yang
cukup lama dan terdapatnya beberapa perubahan patologi pada jalan nafas disertai
gangguan pada saluran nafas yang signifikan.
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar
pasien merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
pasien) dan meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari.
Walaupun demikian keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan
secara total. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut dr.Wiwien H. Wiyono Sp.P
BAB II
PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh
diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor, antara
lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya produksi
sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di dalam
saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya
kombinasi penyakit saluran napas kecil ([small airway disease]) dan destruksi
parenkim (emfisema). Kerusakan
2. Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena
itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa
banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.
Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi
sputum kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari,
memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat
terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,
debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat masak,
misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang tahun),
disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah penderita
di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan
aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok,
asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
3. Faktor Resiko
3.1.
Genetik.
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan
merupakan contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko
genetik yang telah diketahui adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu
penghambat yang bersikulasi dari protease serine.
3.2.
Merokok.
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala
dan gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka
mortalitas PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok,
bergantung pada banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali
mulai merokok, jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status
merokok saat ini.
3.3. Debu dan Bahan Kimia Okupasi.
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor
resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik.
3.4. Polusi Udara Dalam Rumah.
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi dengan
baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
3.5. Polusi Udara Di Luar Rumah.
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak
jelas, tetapi tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara
dari pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
3.6. Stress Oksidatif.
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang
dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara
eksogen dari polusi udara atau asap rokok. Akibat dari ketidakseimbangan
antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru mengalami stress
oksidatif. Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga mengaktivase
mekanisme molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.
3.7. Infeksi.
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran
nafas, dapat juga berperan
akan
BAB III
Patogenesis dan Patofisologi PPOK
Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paruparu yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat pada
penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan
kerusakan jaringan
Vaskular Pulmonal
Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.
Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel
Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru. Berbagai
mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor kemotakik),
memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan menginduksi perubahan
struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari sel
inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi, inaktifasi
antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.
PATOGENESIS
Asap rokok, Partikel dan gas beracun
Faktor penjamu
Inflamasi paru
Antioksidan
Antiprotease
Stress oksidatif
Protease
Mekanisme perbaikan
Patologi PPOK
Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan
FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara
8
sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan
ketidakseimbangan
BAB IV
DIAGNOSIS PPOK
Diagnosis PPOK secara teoritis ditegakkan didasarkan atas anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan fungsi paru atau
spirometri.
I.
Anamnesis
PPOK adalah suatu penyakit menahun, gangguan saluran napas secara
bertahap selama bertahun-tahun. Umumnya terjadi pada perokok, dimulai
dengan berkurangnya kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat,
terjadinya perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Timbul batuk
prodiktif yang lama, mulai sering mendapat infeksi berulang saluran nafas,
kemudian secara perlahan disertai sesak nafas, dan sudah tidak mampu untuk
melakukan aktifitas sehari hari.
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap
penderita yang mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum
dan/ atau adanya faktor resiko (genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan
rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender, usia, infeksi saluran nafas, dll).
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok,
dan dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin
berat, timbul sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan
bertambah hebat dan berkurang bila infeksi menghilang. Umumnya sputum
pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila terdapat infeksi akan menjadi
purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak bertambah berat bila
terdapat infeksi.
10
II.
Pemeriksaan Fisik
Pada stadium dini tidak diketemukan kelainan. Hanya kadang kadang
terdengar ronkhi pada waktu inspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak,
akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi dan inspirasi disertai mengi.
Pasien biasanya tampak kurus, juga didapatkan tanda tanda overinflasi
paru seperti diameter anteroosterior dada meningkat ( barrel-shaped chest ),
kifosis, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sternal kurang
dari 3 jari, iga lebih horisontal dan sudut subkostal bertambah.
Pada perkusi dada terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas
paru hati lebih rendah, dan pekak jantung berkurang. Suara nafas vesikuler
berkurang dengan ekspirasi memanjang atau kadang normal. Kadang disertai
kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Lebih sering didapatkan dengan
hernia inguinalis.
III.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau tidak ada
kelainan, dapat juga ditemukan gambaran bayangan bronkus yang menebal,
corakan bronkovaskuler meningkat,bula, diapragma letak rendah dan
mendatar, paru paru lebih hiperlusen karena adanya air trapping, disertai
posisi jantung yang menggantung.
IV.
11
DIAGNOSIS PPOK
Sesak nafas
Batuk kronik disertai dahak
Keterbatasan aktifiti
Faktor resiko
Usia
Riwayat pajanan : asap rokok, polusi
udara, polusi tempat kerja
Pemeriksaan fisik *
Curiga PPOK **
Pemeriksaan foto
torak
Normal
PPOK secara
klinis
Beresiko PPOK
derajat 0
PPOK
Derajat I/II/III/IV
Bukan PPOK
KETERANGAN
Pelebarab sela iga
* Pemeriksaan fisik :
otot
bantu
pernapasan
12
Suara
nafas
vesikuler
Jantung pendulum
Kelainan
Hiperinflasi
Hiperlusen
Diafragma mendatar
Corakan
bronkovaskuler
meningkat
Bullae
KLASIFIKASI PPOK
13
14
15
16
BAB V
Diagnosis Banding
Diagnosis Banding PPOK Adalah
Asma
Pneumotoraks
17
BAB VI
Penyakit Komorbid Dalam PPOK
18
50% dari 1.145 pasien dengan PPOK memiliki 1 sampai 2 komorbiditas, 15,8%
memiliki 3 sampai 4 komorbiditas, dan 6,8% memiliki 5 atau lebih kondisi
komorbiditas.
COPD merupakan penyebab utama rawat inap pada orang dewasa, orang
dewasa terutama yang lebih tua. Komorbiditas adalah penyebab umum rawat inap
tersebut. Dalam review oleh Holguin dan rekan, komorbiditas sering dilaporkan
pada pasien rawat inap dengan diagnosis primer atau sekunder COPD: hipertensi
17%, penyakit jantung 25%, diabetes 11%, pneumonia 12% . Dalam studi lain
dari 270 pasien dirawat di rumah sakit dengan COPD, Antonelli Incalzi dan rekan
kerja mencatat hipertensi pada 28%, diabetes pada 14%, dan penyakit jantung
iskemik pada 10%.
Merokok, penuaan, dan faktor-faktor lain seperti pengobatan, interaksi
obat, kurangnya perawatan penyakit penyerta, dan kurangnya definisi kasus
khusus untuk komorbiditas menambah kompleksitas mempelajari komorbiditas
pada pasien dengan COPD. -Blockers dapat memperburuk fungsi paru-paru
dalam subset pasien dengan COPD, tapi menghindari obat ini pada pasien dengan
COPD dapat berkontribusi untuk peningkatan kejadian kardiovaskular, terutama
pada mereka yang berisiko. Antikolinergik inhalasi dapat mempengaruhi tekanan
intraokular
atau
fungsi
kandung
kemih.
Kortikosteroid
inhalasi
dapat
19
Gula darah tinggi juga telah dikaitkan dengan hasil yang buruk selama
perawatan pasien dengan PPOK eksaserbasi, yang mengarah ke perawatan rumah
sakit lebih lama dan kematian dini. Asosiasi dan interaksi antara PPOK dan DM
tidak sepenuhnya dipahami saat ini dan dapat menjadi perhatian utuk penelitianpenelitian selanjutnya;.
BAB VII
PENATALAKSANAAN PASIEN PPOK
Dampak PPOK pada seseorang pasien, bergantung tidak hanya pada
derajat keterbatasan saluran nafas, tetapi juga pada keparahan gejalanya. Staging
berdasarkan spirometri, adalah pendekatan pragmatik yang ditujukan pada
implementasi praktis dan harus digunakan sebagai alat edukasi dan suatu indikasi
umum untuk dilakukan pengobatan.
Terapi farmakologis digunakan untuk mencegah dan mengendalikan
gejala, mengurangi kekerapan dan keparahan eksaserbasi, meningkatkan kondisi
kesehatan dan meningkatkan toleransi olah raga.
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK sendiri :
20
1.
2.
Mengurangi gejala
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
merokok juga menjadi perhatian utama, karena asap rokok merupakan penyebab
terpenting bagi timbulnya PPOK.
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan melalui 4 komponen
program tatalaksana :
1.
penyakit
terhadap
kehidupan
pasien
seperti
21
dalam
mengurangi
resiko
berkembangnya
PPOK
dan
22
3.
23
EDUKASI
Berhenti merokok
Pengetahuan
dasar PPOK
Pada Pasien
dengan DM
Kontrol Gula darah
Pencegahan
perburukan
penyakit
Menghindari
pencetus
Penyesuaian
Aktifitas
FARMAKOLOGI
REGULER
Bronkodilator
Anti kolinergik
2 Agonis
Xantin
Kombinasi SABA +
Antikolinergik
Kombinasi LABA +
Kortikosteroid
Antioksidan
NON FARMAKOLOGI
Rehabilitasi
Terapi oksigen
Vaksinasi *
Nutrisi
Ventilasi non mekanik
Intervensi bedah
Dipertimbangkan
mukolitik
Keterangan :
Kortikosteroid hanya diberikan kepada penderita dengan uji steroid
positif. Uji steroid positif adalah bila dengan pemberian steroid oral
selama 10-14 hari atau inhalasi selama 6 minggu 3 bulan
menujukkan perbaikan gejala klinis atau fungsi paru.
SABA : short acting 2 Agonis
LABA : long actng 2 Agonis
* Vaksinasi Influensa dipertimbangkan pemberiannya pada :
Pasien usia diatas 60 tahun
Pasien PPOK sedang dan berat
24
4.
a. Bronkodilator
Agonis beta-2 kerja cepat kombinasi dengan antikolinergik
perinhalasi (nebuliser)
Xantin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
Gol. Makrolid baru
Gol. Kuinolon
Sefalosporin generasi III / IV
d. Mukolitik
2.
Terapi oksigen
3.
Terapi nutrisi
4.
5.
6.
Edukasi
25
BAB VIII
REHABILITASI PENDERITA PPOK
Pada penderita PPOK, terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas
pada sistim pernapasan dan menurunnya aktivitas fisik pada kehidupan seharihari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas akan
meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progrresif, makin
lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan
stamina fisiknya.
Parameter penting keberhasilan penanganan pasien PPOK adalah
meningkatnya kualitas hidup pasien. Dalam mengelola penderita PPOK, di
samping pemberian obat-obatan dan penghentian merokok juga diperlukan terapi
tambahan yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut yakni rehabilitasi
medis, khususnya fisioterapi pernapasan.
Fisioterapi pernapasan adalah suatu tindakan dalam rehabilitasi medis
yang bertujuan mengurangi cacat atau ketidak mampuan penderita, dan
diharapkan penderita merasa terbantu untuk mengatasi ketidak mampuannya
sehingga mereka dapat mengurus diri sendiri tanpa banyak tergantung pada orang
lain. Namun sayangnya upaya ini kurang diminati oleh para dokter bahkan sering
kali dilupakan orang.
TUJUAN REHABILITASI PARU
Rehabilitasi didefinisikan sebagai : memulihkan individu ke arah potensi
fisik, medik, mental, emosional, ekonomi sosial dan vokasional sepenuhnya
menurut kemampuannya. Maka jelaslah bahwa tingkat pemenuhan tujuan
program rehabilitasi paru tergantung pada derajat insufisiensi pernapasan, dan
tindakan yang ditempuh tergantung pula pada faktor-faktor yang berpengaruh
pada penderita. Meskipun demikian, tiap usaha harus dilakukan untuk membawa
penderita. ke arah perbaikan fisik yang maksimal dan pemakaian energi yang
optimal tetapi efisien, sehingga penderita dapat melakukan pekerjaannya seharihari. Jika hal ini tidak mungkin, harus diusahakan latihan kerja yang lebih ringan,
26
dan harus ditekankan agar penderita mempunyai percaya diri dan mengurangi
ketergantungan pada keluarga dan masyarakat.
REHABILITASI PARU PADA PPOK
Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medis pada paru
(rehabilitasi pulmonal) yakni:
1) Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1.1. Latihan relaksasi
1.2. Terapi fisik dada
1.3. Latihan pernapasan
1.4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
I. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan
tegangan
otot
pernapasan,
terutama
otot
bantu
pernapasan.
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu
merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan
ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama
bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke
depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil
setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan
pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan.
Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi
yang nyaman yaitu telentang dengan bantal menyangga kepala dan guling
di bawah lutut atau sambil duduk.
II. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan
menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi
27
2.
28
3.
4.
5.
sebagai
usaha
pernapasan,
sementara
otot-otot
bantu
29
BAB IX
Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan
penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi.
Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena
terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan
produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
Penyebab dari penyakit ini yaitu dari kebiasaan sehari-hari seperti merokok,
lingkungn yang tidak bersih, mempunyai penyakit saluran pernfasan, dan lainlain. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan secara total karena penyakit ini
merupakan penyakit komplikasi seperti asma, emphiema, bronkitis. Hanya saja
akan berkurang secara bertahap apabila rutin berkonsultasi dengan dokter,
mengubah pola hidup sehari-hari dan sering berolahraga
30
Tinjauan Pustaka
1. Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E
dkk.. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi
revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.
2. NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive
pulmonary disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.
3. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic
effect of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:34760.
4. Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic
disease: an epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.
5. Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and
pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.
6. Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:33951.
7. Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD.
Chest 2002;121suppl:127-30.
8. Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD
and systemic inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax
2004;59:574-80.
9. Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient
particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.
10. Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA,
Hurst JR. Airway and systemic inflammation and decline in lung function in
patients with COPD. Chest 2005;128:1995-2004.
11. Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of
COPD. Thorax 2002;57:1067-70.
12. Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in
asthma, COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 105560.
13. Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac
Soc 2005;2:26-33.
14. Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group.
Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit
Care Med 1997; 156:341-57.
15. Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal
muscle inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J
2005;26:390-7.
16. Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is
reversible factor in the prognosis of chronic obstructive pulmonary disease.
Am J Respir Crit Care Med 1998;157:1791-7.
31
32