Anda di halaman 1dari 20

GAGAL NAPAS

1. Pendahuluan
A. Defenisi
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer
dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1).
Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60
mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) > 50mmHg(2,
3).
B. Klasifikasi gagal napas
Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat
diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang
dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada
penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana
PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan
dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai
kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan
hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan
PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal
napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal
napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai
peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion
hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat
(H2CO3), yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35).
Sebaliknya gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal
(7,35 - 7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini
disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara

retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya


HCO3- serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan
disebut gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang
akut pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Napas(2)


meskipun bikarbonat serum meningkat. Namun, dengan
meningkatnya kadar HCO3- serum,

PaCO2 akan secara bermakna

lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gagal napas hipeerkapnia


akut.(2)

C. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi gagal napas sulit untuk diketahui,
karena gagal napas mewakili suatu sindroma daripada proses
patologis tunggal. Data di Eropa menunjukkan angka kejadian gagal
napas akut yang mengancam jiwa antara 77,6 dan 88,6 kasus per
100.000 penduduk pertahun(4).

2. Etiologi
Ada banyak penyebab gagal napas. Meskipun secara garis
besar dapat dipisahkan penyebab gagal napas tipe 1 (oksigenisasi) dan
gagal napas tipe 2 (ventilasi), tetapi tidak ada aturan mutlak dan
banyak penyebab gagal napas berpotensi untuk menyebabkan pola

gagal napas tipe 1 atau tipe 2(5). Gagal napas dapat dipicu oleh
kelainan di salah satu komponen dari sistem pernapasan, dari saluran
napas bagian atas sampai dengan sistem muskuloskeletal(6):
Obstruksi jalan napas: benda asing, tumor, hilangnya refleks jalan
napas (seperti pada penurunan kesadaran), bronkospasme, bronkitis
kronis
Parenkim paru: penumonia, acute respiratory distress syndrome
(ARDS), edema alveolar, kolaps lobus paru, kontusio paru atau
perdarahan, atelektasis, penyakit paru intertisial, emfisema
Pleura: pneumotoraks, efusi pleura, hemotoraks
Vaskular: emboli paru
Sistem saraf pusat: obat-obatan sedatif, opiat, segala kondisi yang
menyebabkan koma, penyakit motor neuron
Sistem saraf perifer: sindroma Guillain-Barre, lesi saraf frenikus,
poliomielitis
Sistem muskular: mieastenia gravis, distrofi otot, blokade
neuromuskular residu setelah anastesi, diafragma letak tinggi/
imobilisasi diafragma (cth. oleh karena obesitas dan nyeri abdomen)
Sistem skeletal: fraktur tulagn rusuk, kiposkilosis

3. Patofisiologi
Gagal napas dapat timbul dari kelainan di saluran napas,
alveoli, sistem saraf pusat dan perifer, otot pernapasan dan dinding
dada. Pemahaman mengenai patofisiologi gagal napas merupakan hal
yang sangat penting dalam penatalaksanaannya nanti. Secara umum
mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi meliputi
gangguan diffusi, ketidaksesuaian ventilasi/perpusi (V/Q missmatch),
pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt) dan hipoventilasi.(7) Sesuai
patofisiologinya gagal napas dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu
hipoksemia atau kegagalan oksigenisasi dan hiperkapnia atau
kegagalan ventilasi

3.1 Kegagalan Oksigenisasai (Gagal napas tipe 1/Hipoksemia)

Gagal napas hipoksemia adalah tidak adekuatnya pertukaran


gas di paru karena ketidakmampuan untuk mengoksidasi darah vena.
Ciri utama gagal napas hipoksemia adalah adanya kadar PaO2
dibawah 60 mmHg pada udara ruangan yang sesuai dengan SpO2
dibawah 90%. Gambar 2 menunjukkan mekanisme patofisiologis dan
penyebab klinis dari gagal napas hipoksemia.

Gambar 2. Mekanisme Patofisiologis Gagal Napas Hipoksemia(2)

3.1.1 Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi (V/Q missmatch)


Merupakan penyebab hipoksemia yang paling sering.
Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak
melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi. Sebaliknya beberapa
area di paru mendapatkan ventilasi yang kurang dibandingkan
banyaknya aliran darah yang menuju area tersebut. Di sisi lain,
beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih
dibandingkan aliran darah regiomal yang relatif sedikit.(1)
Darah yang melalui kapiler paru di area hipoventilasi relatif,
akan kurang mendapat oksigen dibanding keadaan normal. Hal ini
menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidakseimbangan V/Q

terhadap pertukaran gas antara kapiler - alveolus seringkali kompleks,


Contoh dari penyakit paru yang merbah distribusi ventilasi atau aliran
darah seningga terjadi ketidaksesuain V/Q adalah : Asma dan penyakit
paru obstruktif kronis, dimana variasi pada resistensi jalan napas
cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit
vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi
berubah. Petunjuk akan adanya ketidakseimbangan V/Q adalah PaO2
dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan
pemberian oksigen tambahan.(1, 2, 6)
3.1.2 Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt)
Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasl dari paru, akibatnya ialah
pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Mekanisme hipoksemia ini
dikenal sebagai pirau kanan-ke-kiri. Hal ini dapt terjadi pada:
1.Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
dengangkan aliran darah dipertahankan. 2. Penyakit jantung
kongenital dengan defek septum. 3. ARDS, dimana terjadi edema paru
yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi
pirau kanan ke kiri yang hebat.(1)
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri adalah: 1) Hipoksemia
berat dalam pernapasan udara ruangan. 2) Hanya sedikit peningkatan
PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3) Dibutuhkan FiO2> 0,6
untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). paO2 < 550 mmHg saat
mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat pernapasan dengan
O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.(1)
3.1.3 Hipoventilasi alveolar
Volume respirasi/menit (VE) adalah sejumlah udara yang
dihirup atau dihembuskan permenit dan bertanggungjawab untuk
menjaga PaCO2 dalam batas normal (35-45mmHg). VE memiliki dua
komponen: frekuensi pernafasan (RF) dan volume tidal (VT), dan VT
meiliki komponen: volume dead space (VD) dan volume alveolar (VA)
yang menjadi komponen efisien terakhir untuk mengeliminasi CO2.(3)

in PiO
45 mmHg). It has two components:
respiratory
frequency
(RF)and
and
F.J. Belda
et al. / Trends
in Anaesthesia
Critical Care
3 (2013)
265e26
2 will
6.prod
Pos
tidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:
2.5. 3Diffusion di
dead
space volume (VD) and the alveolar volume (VA) being the
Table
1
Table
9
differentiate
between
rightfailure.
or left
ventricular
failure
because
the
Causes
hypoxaemic
respiratory
Causes
of increase in
elimination.
lastofthe
efcient
component
for CO
2
will
be infre
110
Another
Remember that:
pathophysiological
mechanisms for hypoxaemia are different. In
1. Ventilation/perfusion mismatch: shunt effect
1. Obstructive pulm
Ingat
bahwa
98%)
ability
lun
2of>the
right2. ventricular
failuredysfunction
the cause is due to pulmonary hypertenSevere haemodynamic
2.(SpO
Interstitial
pulmo
0
0
PaCO
the
V CO
A
produced
at the
Alveolar
hypoventilation
3. Acute
reduction
Following
2in
sion3.whilst
left2 =V
ventricular
failure hypoxaemia can be related
4. Low FiO2
4.
Pulmonary
through
thisembo
me
not produce
s
to a desaturation
of2 mixed
blood
toorganism
the shuntand
effect
Beingimpairment
V0 CO
the CO
production
byor
the
V0 A due
the
2venous
Diffusion
5.
Acute
pulmonary
dimana5. VCO2
adalah
nilai
CO
yang
diproduksi
dan
VA
adalah
venous
blood
an
5,14,152
FiO
Other
common
causes
of hypoxaemia
to pulmonary
oedema. In this
alveolar ventilation.
sense
all causes
producing
alveolar
6.increasing
Positive pressure
could
slow
down
14,15
ventilasi
alveolar. Dalam
hal
ini
penyebab yang
(and
hypercapnoea).
The
hypoventilation
carried
CO
of haemodynamic
origin
aresemua
hypovolaemia
andmenghasilkan
anaemia.
2 retention
blood cells are f
2.4. Hypoxaem
most frequent are VT and/or RF reduction. Nevertheless, as can be
hipoventilasi
alveolar
akan
mencapai
suatu
retensi
CO
(dan
2 the
differentiate between right or left ventricular failure because
alveolar capillar
seen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO
will2 be high
110 reserve
mmHg in
pathophysiological mechanisms for hypoxaemia are different.
0A) and In
hiperkapnia).
Yang
paling
sering
adalah
VT
dan/atau
berkurangnya
production
(without
a
compensatory
increase
of
V
in
cases
of > 98%).This hypox
2.3.
Alveolar
hypoventilation
(SpO
2
right ventricular failure the cause is due to pulmonary hypertenelimination is ev
increase in VD/VT (see Table 3).
Thisall
may
Following
the only
abo
RF.
Namun
demikian,
hiperkapnia
juga
terkait
dengan
peningkatan
sion whilst in the left ventricular failure hypoxaemia can be related
times
higher
tha
Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygen
not
produce
signicant
h
during
re
w
Minute volume
(VE)venous
is theblood
amount
gas due
per minute
to a desaturation
of mixed
or toof
theexhaled
shunt effect
Membrane
th
).
Indeed, following
the alveolar
gasdan
equation
:
(PaO2peningkatan
produksipressure
CO2 (tanpa
kompensasi
dari VA)
juga 4,5,9increasing
5,14,15
FiO2 to 30%.
breathing
air.
Other common
causes
of hypoxaemia
toand
pulmonary
oedema.for maintaining
normal range (35e
is responsible
PaCO
pulmonary
bro
2 in the
14,15
of45
haemodynamic
origin
hypovolaemia
and
anaemia.
in PiO2 will p
granulomatosis
dalam
kasus
peningkatan
pada VD/VT
(Tabel
1). frequency (RF) and
mmHg).
has
twoare
components:
respiratory
PaO2adanya
ItPiO
2 " PaCO2 =R$
2.4.
Hypoxaemia
diseases due
do to
notl
tidal volume (VT) and in turn, VT has another two components:
Being PiO2 oxygen inspired pressure (P barometric times FiO2;
during
exercise
2.5. Diffusion
dead space volume
(VD) and the alveolar volume (VA) being the
R respiratory
quotient
(relationship
betweenThis hypoxaemia
150
athypoventilation
FiO
2.3. Alveolar
2 0.21) and
9
transit
time isofn
Tabel
1.
Penyebab
peningkatan
CO2
dan
VD/VT(3)
last the efcient component for CO2 elimination.
This maymembrane.
only happen
at
CO2 production and O2 consumption: 250/300 0.8).
How
Another
in
Remember
that:
during
re
where
comb
This
way,(VE)
following
the
equation
we
cangas
seeper
that
an increase in
Minutepeningkatan
volume
is the
of exhaled
minute
Penyebab
produksi
COamount
in anaesthesia th
2
Penyebab
peningkatan
VD/VT
ability
of the ll
breathing
Obviously,
reduce
PaO
,
although
the
resulting
hypoxaemia
is
not
PaCO2 will
in
the
normal
range
(35e
and is responsible
for
maintaining
PaCO
2
2
ofair.
alveolar-capil
0
0
PaCO

V
CO
=V
A
produced
2
2 example,
1.Luka
bakar
1.Penyakit
paru
obstruktif
produce
aatpa
in PiO2 will
65 mmHg
relevant.
hypoventilation
with
a PaCO
45
mmHg).
It has For
two
components:
respiratory
frequency
(RF)
and
2 of
xaemia
in pneu
2.Sepsis
(emfisema)
through
this
will produce:
0(VT) and in turn, VT has another
tidal Being
volume
components:
quent
interventi
by paru
thetwo
organism
and V0 A the
3.Agitasi V CO2 the CO2 production
2. Penyakit
interstitial
venous
blood
2.5. Diffusion
disorders
dead
space
volume (VD) and the alveolar
volume
(VA)
being
4.Olah
raga ventilation.
3. Penurunan
curah
jantung
akutthe alveolar
alveolar
In this sense
all80
causes
producing
970 mmHgSpO
PaO

150
"
65=0:8$
150
"

>
90%
2
2
last
the efcient component for CO2 elimination.
slow do
5.Hipertermia
Emboli paru
3.could
Mechanical
retention
(and hypercapnoea). The
hypoventilation carried CO2 4.
Another
infrequent
ca
Remembermalignan
that:
6.Hipertermia
5. Hipertensi pulmonal akut
blood cells ar
most frequent
are
VTdiet
and/or
reduction.
Nevertheless,
as canand
be
If 30% oxygen
is
administered
PaOtekanan
turn
in 130 mmHg
2 will
7.Intake
hiperkalorik
atau
kaya RF
6. Ventilasi
positif,
ability of the
lung tocapil
trans
alveolar
Mechanical
r
0
seen
in
Table
2, hypercapnoea
isterutama
alsoEven
related
to
anof
increase
in produced
CO2
karbohidrat
dengan
PEEP
(Positive
will
in cases
severe hyperPaO
PaCO
V20 CO
at
the
alveola
2
2 =VbeA above 100 mmHg.
effective
alveol
high
reserve
8.Menggigil,
kejang,
tremor
end-expiratory
pressure)
mmHg
with
30%
oxygen,
PaO
capnoea,
lets
saya a
PCO2 of 80
production
(without
compensatory
increase
of
V0A)
and inthe
cases
of
2
through
this membrane
without
concom
Being V0 CO2 the CO2 production by the organism and V0 A the
elimination
is
increase in VD/VT (see Table 3).
venous blood
and
alveol
but
of
particula
alveolar ventilation.
In this sense
all causesdari
producing
Hipekapnia
akan menghasilkan
penurunan
tekanan alveolar
oksigen
times higher
could slow
down
oxygen
Hypercapnoea inevitably produces a drop in the alveolar oxygen
which
cause
alte
retention
(and
hypercapnoea).
The
hypoventilationTable
carried
CO
2
Membrane
4,5,9
2
blood
cells
are
fully
oxyg
alveolar
(PaO
).
Sesuai
dengan
persamaan
gas
alveolar
:
2
).
Indeed,
following
the
alveolar
gas
equation
:
pressure
(PaO
2
pump failure ar
4,5
most frequent are
VT of
and/or
RFinreduction.
Nevertheless,
as can be
Causes
increase
CO2 production.
pulmonary
b
alveolar nents
capillary
bed;
of the
resth
seen in Table 2, hypercapnoea is also related to an increase in CO2
granulomatos
Burns 2 =R$
high reserve
in the tra
PaO2 PiO
2 "1.PaCO
production
(without
a compensatory increase of V0A) and in cases of
2. Sepsis
diseases
do an
elimination
even less
3.1. isDepression
o
increase
in VD/VT
(see
Table
3).
3.oxygen
Agitation
Being
PiO
inspired
pressure
(P
barometric
times
FiO
;
2
2
times higher
than exerci
the O2
during
Dimana
PiO
2 adalah tekanan oksigen inspirasi (P barometrik dikali
Hypercapnoea4.inevitably
produces a drop in the alveolar oxygen
Exercise
and R respiratory quotient (relationship
150 at FiO2 0.21)
Membrane
thickening
4,5,9 between
transit
time o
5.
Hyperthermia
Depression
following
the
alveolar
gas equation
:
pressure
FiO
mmHg
pada
FiO
R
adalah
rasio
pertukaran
udara
2). Indeed,
2; 150(PaO
2 0.21) dan
and O2 consumption:
250/300 0.8).
CO2 production
pulmonary
brosis,
asbes
6. Malignant
hyperthermia
membrane.
oblongata
is aH
7.
Hypercaloric
intake
or
carbohydrate
rich
diet
granulomatosis
and
oth
following
the
equation
we
can
see
that
an
increase
in
pernapasan
(rasio
steady-state
CO
memasuki
dan
O
meninggalkan
2
2
PaO2This
PiOway,
"
PaCO
=R$
in
anaesthesia
because most hy
2
2
8. Shivering, seizures, tremor
do not produc
not
PaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is diseases
the
of respiratory
alveolar-cac
ruang
alveolar:
250/300inspired
= 0.8) pressure (P barometric times FiO2;
Being
PiO2 oxygen
during
exercise
because
relevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHg
xaemia in pn
150 at FiO2 0.21) and R respiratory quotient (relationship between
transit time of the veno
Dengan demikian, mengikuti persamaan ini kita dapat melihat
will produce:
quent interve
CO2 production and O2 consumption: 250/300 0.8).
membrane. However the
bahwa
peningkatan
mengurangi
PaO
, meskipun
This way,
followingPaCO
the equation
can see that
an2increase
in
2 akang we
in anaesthesia that may p
PaO2 150 " 65=0:8$ 150 " 80 70 mmHgSpO2 > 90%
PaCO2 will reduce PaO2, although the resulting hypoxaemia is not
3. Mechanica
of alveolar-capillary
surf
hipoksemia yang dihasilkan tidak relevan. Misalnya, hipoventilasi
relevant. For example, hypoventilation with a PaCO2 of 65 mmHg
xaemia in pneumonecto
If 30%
is administered PaO2 will turn in 130 mmHg and
will produce:
dengan
PaCOoxygen
2 65 mmHg akan menghasilkan:
quent interventions
if pa
Mechanica
266

PaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hypereffective alve
PaO
" 65=0:8$
150
70 mmHgSpO
8080mmHg
with 30% oxygen,
capnoea,
lets
say a PCO
2 150
2 > 90%the PaO
2 of "
2
3. Mechanical
respirato
without
conco
but of particu
Jikaoxygen
30% oksigen
diberikanPaO
PaO2
130 mmHg
If 30%
is administered
turnmenjadi
in 130 mmHg
and
2 willakan
Mechanical
respirator
which
cause a
PaO2 will be above 100 mmHg. Even in cases of severe hyperTable
2
dan PaO2 akan diatas 100 mmHg. Bahkan pada kasus yang
effective alveolar ventil
pump
failure
with4,530% oxygen, the PaO2
capnoea, lets
say
PCO2 ofin80
production.
Causes
ofaincrease
CO2mmHg
without concomitant hyp
nents of the r
1. Burns
Table2.2 Sepsis
3. of
Agitation
Causes
increase in CO2 production.4,5

but of particular import


which cause alteration o
3.1. are
Depressio
pump failure
organi

hiperkapnia berat, katakanlah PCO2 80 mmHg dengan 30% oksigen,


PaO2 akan menjadi 110 mmHg dan tidak terdeteksi oleh pulse
oksimetri (SpO2 >98%).
Setelah semua hal diatas kita bisa katakan hiperkapnia tidak
menghasilkan hipoksemia yang signifikan dan bahwa hal itu dapat
dibalikkan dengan meningkatkan FiO2 sampai 30%.(3)
3.1.4 Penurunan tekanan parsial oksigen inspirasi
Hipoksemia ini tidak terlalu penting karena sangat jarang. Hal
ini hanya dapat terjadi ketika berada pada ketinggian, atau bila FiO2
rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana
sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). Jelas, melihat persamaan
gas alveolar, penurunan PiO2 secara paralel akan menghasilkan
penurunan PaO2.(3)
3.1.5 Kelainan difusi (impaired diffusion)
Penyebab hipoksemia yang jarang lainnya adalah gangguan
kemampuan paru-paru untuk mengangkut oksigen ke dalam dan
keluar darah. Hal ini dihasilkan pada tingkat membrana alveolarkapiler. Gas berdifusi melalui membran ini karena tekanan gradien
antara darah vena dan gas alveolar. Dalam keadaan normal, terdapat
waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedia
paru untuk mendapatkana kesetimbangan gas dengan alveolus.
Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalau
cepat sehingga tidak cukup bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami
kesetimbagnan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan
menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga disufi
oksigen melalui membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu
transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Penebalan membran
dan gangguan difusi disebabkan oleh fibrosis paru, asbestoss,
pneumoconiosis, penyakit vaskular paru, pulmonary alveolar
proteinosis.(1, 3)

3.2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Napas Tipe II/Hiperkapnia)

Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk


mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan
ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau
hiperkapnia) disertai dengan penurnan pH yang abnormal dan
penurunan PO2 atau hipoksemia. Hal ini muncul sebagai akibat dari
ketidakseimbangan antara tiga komponen pompa otot pernapasan;
beban pada sistem pernapasan, kapasitas pompa otot pernapasan dan
dorongan dari persyarafan pernapasan.

KEGAGALAN DORONGAN
Batang otak korteks

BEBAN TINGGI
Resistif ambang elastik

KEGAGALAN TRANSMISI
& PERGERAKAN

KEGAGALAN POMPA
OTOT PERNAPASAN
Gagal napas tipe 2

Saraf tulang belakang


Saraf perifer
Neuromuscular juntion
Otot pernapasan

4. Diagnosis
A. Tanda dan gejala
Manifestasi dari gagal napas mencerminkan gabungan dari
gambaran klinis penyakit yang mendasarinya, faktor pencetus, serta
manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran
klinisnya cukup bervariasi karena berbagai faktor dapat menjadi
pencetusnya (Tabel 2).

Tabel 2. Manifestasi klinis hipoksemia dan hiperkapnia(6)


Hipoksemia

Hiperkapnia

Neurologis

Anietas
Perubahan status mental
Kejang
bingung

Somnolen dan letargi


Asteriks
Tidak dapat tenang
Bicara kacau
Sakit kepala
Penurunan kesadaran

Kardiovaskular

Takikardi
Aritmia
Bradikardi dan hipotensi (jika memberat)

Vasodilaatasi perifer
Takikardi
Aritmia

Pernapasan

Takipnu
Penggunaan otot aksessoris pernapasan

Tanda obstruksi atau


penyempitan jalan napas
(cth: stridor, mengi)

Umum

Sianosis
Diaporesis

Perifer hangat

Tanda dan gejala hiposkemia merupakan akibat langsung dari


hipoksia jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk
menentukan adanya hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2
mencapai 40 sampai 50 mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap
penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung, dan paru-paru.
Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis,
berupa sakit kepala, perubahan mental, gangguan dalam presepsi dan
penilaian, berbicara kacau, gangguan fungsi motorik, agitasi dan
gelisah yang dapat berlanjut menjadi tidak sadar.(8) Respon
kardiovaskular terhadap hipoksemia awalnya berupa takikardi dan
peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap,
dapat terjadi bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan
aritmia. Hipoksemia dapat menyebabkan vasokontriksi pada
pembuluh darah paru-paru. Meskipun sianosis sering dianggap
sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat
diandalkan. Gejala klasik dispnea
Hiperkapnia yang terjadi dalam ruangan selalu disertai
hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah
penekanan sistem saraf pusat. Itulah mengapa hiperkapnia yang berat
kadang-kadang disebut sebagai narkosis CO2. hiperkapnia
mengakibatkan vasodilatasi serebral, peningkatan aliran darah

serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial. Akibatnya timbul


gejala yang khas, berupa sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu
bangun tidur pada pagi hari karena PaCO2 sedikit meningkat pada
waktu tidur. Tanda dan gejala lain adalah edema papil, iritabilitas
neuromuskular, perasaan yang berubah-ubah, dan rasa mengantuk
yang terus bertambah, yang akhirnya menuju penurunan kesadaran
dan koma. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan
yang paling kuat untuk bernapas, tetapi juga mempunyai efek
menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu,
orang dengan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap
peningkatan PaCO2 dan menjadi tergantung pada dorongan hipoksia.
Hiperkania menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru-paru,
segingga dapat memperberat hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi
CO2 sangat berat, maka dapat terjadi penurunan kontraktilitas
miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal jantung dan hipotensi.
Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik yang sering
bercampur dengan asidosis metabolik jika terjadi hipoksia. Campuran
ini dapat mengakibatkan penurunan yang serius dari pH darah. respon
kompensasi ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi
bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap normal.(2)

B. Laboratorium
Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe
gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal
napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk
patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal
napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan
kesulitan respirasi adalah peningkatan laju pernapasan Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan unutk menilai gangguan respirasi
akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Bare, dimana

kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.


Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi
jaringan.

C. Pemeriksaan penunjang
Pulse oximetry
Saturasi oksigen darah kapiler > 90% dianggap normal.
Penurunan SpO2 secara tiba-tiba <80% berhubungan dengan gagal
napas. Pada umumnya, pasien menunjukkan gejala klinis gagal napas
ketika SpO2 <90%. Bersamaan dengan pengukuran saturasi SpO2,
serum bikarbonat (HCO3) dapat menolong untuk menentukan apakah
COPD dengan retensi karbon dioksida (HCO3 meningkat) yang
mendasari gagal napas tersebut atau adanya suatu asidosis (HCO3
menurun). Ketidakakuratan dapat terjadi dengan perfusi ujung jari
yang buruk. Masalah ini dapat diatasi dengan menempelkan probe ke
lobus telinga. Cat kuku, kulit yang berpigmen gelap, anemia,
pencahayaan yang terang, korboksihemaglobinemia, dan
methaemoglobinemia dapat juga menurunkan akurasi.(9)

Foto toraks
Harus dilakukan pada pasien dengan gagal napas dalam rangka
untuk membantu diagnosis penyebab. Gambaran infiltrat yang difus
pada foto toraks berhubungan dengan pneumonia, edema paru,
aspirasi, penyakit paru interstitial yang progresif, memar paru, dan
perdarahan alveolar. Perubahan minimal pada foto toraks

sering

terlihat pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis, asma,


emboli paru dan depresi pernapasan. Foto toraks juga digunakan
untuk menilai pneumotoraks, kolpas paru dan efusi. Pada pasien asma,
hiperinflasi paru berhubungan dengan obstruksi saluran udara kecil
yang berat.

5. Diagnosis banding
Diagnosa banding gagal napas adalah edema paru dan acute
respiratory distress syndrome.

6. Penatalaksanaan
Gagal napas merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk
itu penanganannnya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),
dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal
napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas
adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan
perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal napas tersebut.
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan
nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya doperlukan kombinasi
keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
6.1 Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk
mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam
keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dulakukan pengobatan
spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
6.1.1 Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan
tidak terangsang oleh hiperbaric drive melainkan terhadap hypoxemic
drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat
menjadi apnoe.(10)

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah


pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian
oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam
jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.(11)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.
Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasu hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat
diberikan terus-menerus.(12)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu lowflow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery (sistem arus
tinggi) (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem
arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan
FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak
meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki
efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya
electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal
catheters, dan dibandingkan nasal kanul konvesional alat-alat tersebut
lebih efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi diantaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat venturi mask
menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini
bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen
rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagl napas tipe 2,
bernapas dengan mask ini mengurangi risiko retensi CO2 dan
memperbaiki hioksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai,
dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan

arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai
40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total
kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen
dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian
FiO2 dan pasien dengan ventilasi abnormal.(11)

Tabel 3. Cara pemberian oksigen(11)


Alat

02 flow rate
(L/m)

FiO2

Keuntungan

Kerugian

Low flow delivery devices :


Kanul nasal

2-6

0,24 - 0,35

Pasien nyaman

FiO2 bervariasi dengan VE

Simple mask

4-8

0,24 - 0,40

FiO2 bervariasi dengan VE

High-flow delivery devices :


Venturi mask

2 - 12

0,25 - 0,50

FiO2 konstan dengan VE

Aliran tidak adekuat pada


FiO2 tinggi

Nonrebreathing mask

6 -15

0,70 - 0,90

FiO2 tinggi

Tidak nyaman; FiO2 tidak


dapat disesuaikan

High-flow O2 blender

6 - 20

0,50 - 0,90

FiO2 tinggi pada aliran


total tinggi

6.1.2 Atasi Hiperkabia : Perbaiki Ventilasi


Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenisasi dan
pemberian obat-obatan pernapasan. PAda semua pasien gangguan
pernapasan harus dipikirkan dan diperikja adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti
endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas
artifisial dibandingkan jalan napas alami.(1, 11)
Risiko jalan napas aritifisial adalah trauma insersi, kerusakan
trakea (erosi), gangguan respon batuk, risiko aspirasi, gangguan fungsi
mukosiliar, risiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja
pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi
obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obatobatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, danrute bronkoskopi fiberoptik(1,
11)

Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah


oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan
napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik dengan jalan napas
artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada
Tabel 4.
Tabel 4. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis
a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b. PaCO2 > 55mmHg dengan pH<7,25
c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular

Secara Klinis
a. Perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas
b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi jika obstruksi
terletak di atas trakea)
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien, dan butuh
penyedotan

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi


endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon
terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu
dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi
tekanan positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-invasif,
NIPPV=NIV)(1, 11)
Ventilasi : Bantuan ventilasi dan ventilasi mekanik
Pada keadaan darurat bantuan napas dapat dilakukan secara
mulut kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup
muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan memompa
kantungnya untuk memasukkana udara ke dalam paru.
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar.
Mungkin ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak
adekuatnya respon ventilasi pada bagian imbalan ventilasi-perfusi.
Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan
asidosis respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2 > 46

mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena kompensasi


metabolik. Pada pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi
mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif
yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan
yang lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode assistcontrol atau synchronized intermittent ventilation dengan setting rate
sesuai dengan laju napas spontan pasien untuk menyakinkan
kenyamanan pasien.(13)
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal
napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas
yang tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas
adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang
tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan
tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat mendadak
dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator
harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75% pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48
jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka
kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas
dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara statistik angka survival
berhubungan sekali dengan diagnosa utama, usia, dan jumlah organ
yang mengalami kegagalan fungsi.(11)
6.1.3 Terapi supportif lainnya
Fisioterapi dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga unutk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila
perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan
telapak tangan pada saat inspirasi. PAsien melakukan batuk yang
efektif. Dilakukan juga tepuka-tepukan pada dada, punggung,
dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator(1)

Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik)


Obat-obat ini lebih efektif diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan jika diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk
efek bronkodilatasi yang sama, efek samping secara inhalasi lebih
sedikit sehingga dosis besar dapat diberikans ecara inhalasi. Terapi
yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik
yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada
nebulasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/
nebulasi jontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan
pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.
Diantara yang tersedia adalah elbuterol, metaproterenal, terbutalin.
Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan
hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walupun jarang
terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan
kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartment
ekstrasi ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta
adregenik(1, 11)
Antikolinergik/parasimpatolitik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung
pada drajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan
pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan inflamasi,
dibandingkan bronkitis kronik, dima tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk
bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas,
antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
adregergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered
dose inhaler) atau solusio untuk nebulasi. Efek samping jarang terjadi,
seperti takikardi, palpitasi, dan retensi urin.(1, 11)
Teofilin
Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.
Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,

daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung


dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki
potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi
yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status
mental, dan kejang.(1, 14)
Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar
belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi
saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid
serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid
akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian
kortikosteroid parenteral. (1, 6)

Bibliography
1.!

2.!
3.!
4.!

5.!
6.!
7.!
8.!

9.!
10.!

11.!

12.!

13.!
14.!

Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing;
2009. p. 218-26.
Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine.
2102;40(6):2937.
Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of
respiratory failure. Trends in Anaesthesia and Critical
Care. 2013;3(5):265-9.
Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of
acute respiratory failure. Critical care. 2003 Aug;7(4):
288-90. PubMed PMID: 12930552. Pubmed Central
PMCID: 270706.
Burt CC, Arrowsmith JE. Respiratory failure. Surgery.
2009;27(11):475-9.
Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery.
2012;30(10):518-24.
West JB. Respiratory physiology e the essentials. 9th ed.
Baltimore: Lippincott, Williams and Wilkins; 2012.
Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and
pathophysiologic aspects of respiratory failure.
Principles of pulmonary medicine. 6 ed. Piladelphia:
Elsevier; 2014. p. 344-50.
Jubran A. Pulse oximetry. Critical care. 1999;3(2):R11R7. PubMed PMID: 11094477. Pubmed Central PMCID:
137227.
Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing;
2009. p. 161-5.
Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard
FS, Sue DY, Vintch JRE, editors. Current Diagnosis &
Treatment Critical Care. 3rd ed. New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2008. p. 247-313.
Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of
patients with chronic obstructive pulmonary disease: an
old tool revisited. American journal of respiratory and
critical care medicine. 2003 Nov 1;168(9):1021-2.
PubMed PMID: 14581283.
Neema PK. Respiratory failure. Indian Journal of
Anasthesia. 2003;47(5):360-6.
Forte P, Mazzone M, Portale G, Falcone C, Mancini F,
Silveri NG. Approach to respiratory failure in emergency
department. European review for medical and

pharmacological sciences. 2006 May-Jun;10(3):135-51.


PubMed PMID: 16875048.

Anda mungkin juga menyukai