Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih
tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada abdomen dapat
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velositas
rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan
trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Hal ini
terjadi pada kasus an.P di RSU dr.Soetomo yang mengalami ruptur multiple organ
peritonium. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ
limpa (40-55%), hati (35 - 45%), dan usus halus (5 -10%) (Cho et al 2012). Sedangkan
pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling
jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000) Pada trauma tajam
abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil(30%), diafragma(20%), dan usus
besar(15%) (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Kondisi klinis pada trauma tumpul abdomen yang mengakibatkan perdarahan
internaldapat berlanjut menjadi sindrom kompartemen abdominal dimana masih
kontroversial. Bagaimanapun, disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra
abdomen berhubungan dengan sindrom kompartemen abdominal. Disfungsi tersebut
dapat berupa insufisiensi respirasi sekunder yang menekan volume tidal, menurunkan
produksi urin karena kegagalan perfusi ginjal atau disfungsi organ lain yang disebabkan
peningkatan tekanan kompartemen di abdomen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?
2. Apa yang menyebabkan trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?
3. Bagaimana perjalanan patofisiologi penyakit pada kasus An.P dengan trauma tumpul
abdomen dan internal bleeding?

4. Apa tatalaksana trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?


5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang trauma tumpul abdomen dan internal
bleeding?
6. Bagaimana prognosis trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada trauma tumpul abdomen dan internal bleeding
pada An.P?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada kegawatan Internal Bleeding pada
kasus An P.
1.3.2 Tujuan khusus
a

Menjelaskan konsep dasar Internal Bleeding.

Menjelaskan Asuhan keperawatan klien pada kegawatan Internal Bleeding, meliputi :


a

Pengkajian Internal Bleeding

Mengidentifikasi diagnosa

keperawatan pada klien pada kegawatan Internal

Bleeding
c

Melakukan perencanaan pada klien anak dengan Internal Bleeding.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Internal Bleeding GI track
2.1.1 Definisi Internal Bleeding pada Saluran Pencernaan
Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai dimana sering menyertai penyakit-penyakit seperti
trauma kapitis, stroke, luka bakar yang luas, sepsis ,renjatan dan gangguan hemostasis
( Bjorkman 2007)
Perdarahan internal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah perdarahan
pada saluran pencernaan yang diakibatkan trauma tumpul pada abdomen sesuai kasus
yang ditemukan di ruangan ROI RSUD Dr.Soetomo.
2.1.2 Definisi Trauma Tumpul Abdomen (Hepar, duodenum dan pankreas)
Trauma tumpul abdomen adalah semua cedera yang terjadi akibat tekanan
tumpul dari luar, yang biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, tumbukan dari hewan atau benda tumpul.
Cedera intraabdomen secara sekunder akibat tekanan tumpul yang terjadi
karena tubrukan antara orang yang terluka dengan lingkungan eksterna dan karena
proses tekanan akselerasi dan deselarasi pada organ internal orang tersebut. Mayoritas
cedera di duodenum adalah disebabkan oleh trauma tembus dan cedera ini
kebanyakkan di akibatkan oleh luka tembak (75 %) dan sisanya akibat luka tikaman
(20%). Cedera akibat tikaman pisau biasanya menyebabkan laserasi pada dinding
duodenum, sedangkan proyektil menghasilkan luka dengan derajat kerusakan jaringan
yang berbeda-beda. Trauma pada duodenum jarang terjadi, hanya kira-kira 5 % dari
cedera yang terjadi pada abdomen. Trauma pada duodenum dapat disebabkan oleh
trauma tumpul dan trauma tembus. Trauma tumpul biasanya disebabkan oleh karena
kecelakaan lalulintas, jatuh atau dipukul. Trauma tembus disebabkan oleh luka tikam
atau luka tembak. Insiden bervariasi pada lokasi anatomis dari duodenum dimana
bagian yang paling sering terkena adalah bagian kedua (33%), bagian ketiga dan
bagian keempat (20%), bagian pertama (15%). Trauma tembus bisa terjadi diseluruh
bagian duodenum sedang pada trauma tumpul, mayoritasnya terjadi pada bagian kedua

dan ketiga (Bjorkman 2007).2.2 Etiologi Internal Bleeding pada Trauma Tumpul
Abdomen
Terjadinya internal bleeding disebabkan oleh trauma tumpul akibat deselerasi dan
kompresi pada rongga peritoneum yang mengakibabtkan pankreatitis akut atau pecahnya
aneurisma aorta abdominal dan mengakibatkan perdarahan intra-abdomen dari rupturnya
lienalis ataupun hati (Smeltzer & Bare 2002)
2.3 Patofisiologi Kasus
Trauma tumpul abdomen yang di alami An.P dalam kecelakaan bermotor
melewati 3 tahapan trauma, pertama melalui mekanisme tabrakan dengan korban,
kedua antara stang atau pengendali montor dengan tubuh atau dashboard (dalam kasus
ini An.P alami hantaman tumpul pada pinggang sebelah kanan kemudian jatuh dalam
keadaan menelungkup), dan ketiga meliputi organ yang menjadi penyokong tubuh
(tulang, spinal, pelvis) dan organ bergerak dalam rongga peritoneum yakni hati,
intestinal (duodenum) dan pankreas. Pada trauma yang diakibatkan rotasi, perlukaan
sayatan, deselerasi akhirnya menyebabkan perlukaan pada bagian aorta pada thoraks
dan duodenum, dimana anatomi keduanya sangat riskan terjadi perlukaan atau ruptur
melalui tipe injury tersebut. Pukulan, tabrakan yang langsung mengenai abdomen
akhirnya menyebabkan organ dalam abdomen mengalami ruptur (Jones 2010).
Ruptur hepar pada An.P terjadi disebabkan oleh trauma tumpul dimana
mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek
kompresi dan deselerasi. Proses deselerasi yang dialami An.P berupa benturan yang
kuat dari stang/stir/pengendali motor dimana menyebabkan organ berongga, organ
solid, organ viseral dan pembuluh darah mengalami robekan dan sebagai hasilnya,
benturan yang sangat kuat pada daerah tersebut menyebabkan hepar menjadi ruptur.
Hal yang sama juga terjadi pada ruptur pankreas pada An.P.
Perubahan klinis yang pada awal terjadi cedera tidak terlihat jelas dan akan
tampak bila keadaan memberat dan berkembang menjadi peritonitis dan mengancam
nyawa. Pada perforasi retroperitoneal yang masif, keluhan yang muncul hanyalah
kekakuan pada abdomen bagian atas dengan peningkatan suhu yang progresif,
takikardi, dan terkadang terdapat keluhan mual. Setalah beberapa jam isi duodenum
akan mengalami ekstravasasi kedalam kavum peritoneum dan berkembang menjadi
peritonitis. Bila isi tumpah kedalam kantong yang lebih kecil, biasanya akan

terbungkus dan terlokalisasi, walaupun terkadang dapat bocor kedalam cavum


peritonium melalui foramen Winslowi dan akhirnya timbul peritonitis generalisata.
Secara teori, perforasi duodenum dihubungkan dengan kebocoran amilase dan enzim
pencernaan lainnya, dan telah di kemukakan bahwa penentuan konsentrasi serum
amilase dapat membantu dalam diagnosis. Pada cedera duodenum, akibat kebocoran
konsentrasi amilase bervariasi dan konsentrasi amilase seringkali membutuhkan
waktu beberapa jam sampai hari untuk meningkat setelah cedera (Smeltzer & Bare
2002)
Setiap kelainan yang meningkatkan tekanan dalam rongga perut dapat
menimbulkan hipertensi intra-abdomen. Dalam beberapa situasi, seperti pankreatitis
akut atau pecahnya aneurisma aorta abdominal. Obstruksi mekanis usus halus, dan
pembesaran abdomen bisa menimbulkan peningkatan tekanan intra-abdomen. Namun,
trauma tumpul abdomen dengan perdarahan intra-abdomen dari lienalis, hati, adalah
penyebab paling umum dari hipertensi intra-abdomen. Distensi usus, sebagai akibat
dari syok hipovolemik dan perpindahan volume yang besar, merupakan penyebab
penting hipertensi intra-abdomen, dan selanjutnya mengakibatkan ACS pada pasien
trauma. (Paula Richard MD, 2009)
Pada kondisi syok, vasokonstriksi dimediasi oleh sistem saraf simpatik
mengakibatkan kurangnya suplai darah ke kulit, otot, ginjal, dan saluran pencernaan,
hal ini bertujuan untuk menyuplai jantung dan otak. Redistribusi darah dari usus
menghasilkan hipoksia seluler di jaringan usus. Hipoksia ini berhubungan dengan 3
bagian penting dari perkembangan kompensasi positif yang mencirikan patogenesis
hipertensi intra-abdomen dan perkembangannya menjadi ACS:
1. Pelepasan sitokin
2. Pembentukan oksigen radikal bebas, dan
3. Penurunan produksi adenosin trifosfat pada sel
Sebagai respon terhadap jaringan yang mengalami hipoksia, maka sitokin
dilepaskan. Molekul-molekul ini meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, yang mengarah pada terjadinya edema. Setelah seluler mengalami
re-perfusi, oksigen radikal bebas dihasilkan. Agen ini mempunyai efek toksik pada

membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokin, yang merangsang
pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke
jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphospat dan penurunan
persediaan dari adenosin trifosfat ini tergantung pada aktivitas selular. (Paula Richard,
2009)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat
penting untuk peraturan intraselular elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran
natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sebagai sel membengkak, selaput
kehilangan integritas, menumpahkan isi intraselular ke lingkungan ekstraselular dan
lebih jauh mengakibatkan inflamasi (peradangan). Peradangan dengan cepat mengarah
pada pembentukan edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan yang
semakin membengkak di usus akibat semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen.
Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, dan siklus hipoksia selular, kematian sel,
peradangan, dan edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlk, J. 2004)
Pada An.P juga terjadi mekanisme kompensasi dari asidosis metabolik. Asidosis
metabolik terjadi dikarenakan kerusakan ginjal akibat ruptur dan kehilangan bikarbonat
berlebih melalui saluran pencernaan karena adanya ruptur dari colon. Terjadinya
asidosis metabolik diawali dengan proses kegagalan ginjal daam mengekskresi beban
asam dan kehilangan bikarbonat basa. Kompensasi pernapasan (respiratorik) terlah
terjadi melalui hiperventilasi sehingga asidosis metabolik yang terjadi bersifat ringan.
Pada anak P juga terjadi penurunan kadar albumin (hipolbumin) yang merupakan
protein utama yang dihasilkan oleh hati dimana berfungsi banyak dalam transportasi
berbagai zat dalam sel yakni endogen (bilirubin, hormon tiroid) dan eksogen (obatobatan)(Smeltzer & Bare 2002).

2.4 WOC Kasus (terlampir)


2.5 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ mana yang
terkena, apabila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien) maka akan tampak
gejala perdarahan secara umum seperti pucat, anemis bahkan sampai dengan tandatanda syok hemoragic. Gejala perdarahan di intra peritoneal akan ditemukan klien
mengeluh nyeri dari mulai nyeri ringan sampai dengan nyeri hebat, nyeri tekan dan
kadang nyeri lepas, defans muskular (kaku otot), bising usus menurun, dan pada klien

yang kurus akan tampak perut membesar, dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak
( Bjorkman 2007).
Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis
yang dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis
akan timbul lambat bila usus halus dan kolon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada
seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku otot (defans muskular), nyeri
tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok (Lanas 2005).
Gejala klinis ACS antara lain (Paula Richard MD, 2009) :
1. Distensi abdomen yang berat
2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang
berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
3. Curah jantung yang menurun
4. Tekanan darah yang labil
5. pH rendah yang menetap
6. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
7. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)
Gejala klinis yang terjadi pada ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :
1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik
(pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih
banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala
yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Parastesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
2.6 Pemeriksaan penunjang
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik
biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan
kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan

fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam
kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
ACS ditetapkan dengan terjadinya peningkatan IAP dan adanya kegagalan
sistemorgan. Derajat Intra-abdominal hypertension (IAH):
1. Grade I IAP 12-15 mmHg
2. Grade II IAP 16-20 mmHg
3. Grade III IAP 21-25 mmHg
4. Grade IV IAP > 25 mmHg
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko
terjadinya IAH / ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Bila dua atau lebih
faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan,
pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen
langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis
dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma bulibuli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold
standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril ke dalam
Foley kateter melalui lubang aspirasi, klem silang selang steril dari drain kantong urin
letak distal dari lubang aspirasi, hubungkan ujung selang drain kantong urin ke Foley
kateter, lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang, Yconnect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan
jarum G 16, pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis
pubis sebagai titik nol dalam posisi telentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke
Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan
tekanan sebagai ganti transduser.
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP
(Intra-abdominal Preassure). IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ
bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP
tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. (Irga, 2008)
1. Grade I IAH (Intra-abdominal Hypertension) secara umum hanya memerlukan
resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien
tidak membaik keadaannya.

2. Pasien dengan grade II harus ditangani berdasarkan gejalanya. Bila oliguria


ringan dengan kompresi jantung dan paru minimal, dapat diresusitasi lebih
lanjut dan dilanjutkan dengan memantau tekanan. Bila pasien mengalami
cedera intra-kranial atau kompresi berat yang lebih, operasi dekompresi harus
dipikirkan.
3. Grades III dan IV ditangani dengan operasi dekompresi. Saat ini sebagian besar
penulis menyetujui bahwa tekanan kritis untuk ACS adalah antara 20 hingga 25
mmHg.
Pilihan terapi medis untuk mengurangi IAP
1. Memperbaiki komplians dinding abdomen
a. Sedasi dan analgesic
b. Blokade neuromuscular
c. Hindari ketinggian kepala tempat tidur > 30 degrees
2. Evakuasi isi intra-lumen
a. Dekompresi nasogaster
b. Dekompresi rectum
c. Agent gastro-/colo-prokinetik
3. Evakuasi kumpulan cairan abdominal
a. Parasentesis
b. Drainase perkutan
4. Koreksi keseimbangan cairan positif
a.

Hindari resusitasi cairan berlebih

b. Diuretik
c. Koloid / cairan hipertonik
d. Hemodialisis / ultrafiltrasi
5. Organ Pendukung
a. Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor

b. Optimalkan ventilasi, alveolar recruitment


c. Gunakan tekanan jalan napas transmural
d. Pplattm = Pplat IAP
e. Pikirkan untuk menggunakan volumetric preload indices
f. Jika menggunakan PAOP/CVP, gunakan tekanan transmural
g. PAOPtm = PAOP 0.5 * IAP
h. CVPtm = CVP 0.5 * IAP
Terdapat manajemen nonoperatif pada IAH / ACS yang terdiri dari lima intervensi
terapi
1. Evakuasi isi intralumen
2. Evakuasi space-occupying lesion intra-abdomen
3. Memperbaiki komplians dinding abdomen
4. Optimalkan kebutuhan cairan
Optimalkan perfusi jaringan regional dan sistemik
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin yang meliputi Hemoglobin, hematokrit untuk
melihat pendarahan dimana kalo pendarahan maka Hemoglobin dan hematokrit
akan menurun selain itu leukosit akan meninggi karena adanya proses infeksi.
Jika kadar serum amilase 100 unit dalam 100 ml cairan intra abdomen,
kemungkinan besar terjadi trauma pada pankreas. Lipase amilse serum tidak
sensitive maupun spesifik sebagai penanda untuk cedera pankreas atau usus
besar. Tingkat normal tidak mengecualikan cedera pankreas utama. Amilase
atau lipase mungkin meningkat karena iskemia pankreas yang disebabkan oleh
hipotensi sistemik yang menyertai trauma. Namun, hiperamilasemia persisten
atau hiperlipasemia meningkatkan kemungkinan cedera intra-abdomen yang
signifikan dan merupakan indikasi untuk penyelidikan radiografi dan bedah
agresif lainnya. LFT mungkin berguna pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen, namun hasil tes mungkin meningkat dalam kondisi lain misalnya,
penyalahgunaan alkohol (Bethel et al 2008)
a. BGA ( analisa gas darah)
Analisa Gas Darah ( 11 November 2014 )

pH

7,427

N : 7,35 7,45

pCO2 29,5 mmHg

N : 35 45

pO2

N : 80 100

79,6 mmHg

HCO3 19,6 mmol/L

N : 19 25

TCO2 20,5 mmol/ L


BE ecf - 5,0 mmol/ L
SO2

96,2

AaDO2

33,4 mmHg

BE b

-2,7 mmol/ L

SBC

22,1 mmol/ L

113,0 mmol/ L

a/A

0,7

RI

0,4

PO2 / FiO2

380,9 mmHg

N : -2 - +2

Interpretasi : Asidosis metabolik terkompensasi respiratorik

b. Kadar Albumin (11 November 2014)


Albumin

2,37 gr/dl

Interpretasi

: Hipoalbumin

N : 3,5 - 5,0

c. Elektrolit
Na
Cl
Ca

140 mmol/ L
44 mmol/ L
7,3 mmol/ L

N : 136 145
N : 98 107
N : 3,5 5,1

2.6.2 Pemeriksaan Radiologi


1. X-Ray
Meskipun nilai keseluruhan film polos dalam evaluasi pasien
dengan trauma tumpul abdomen terbatas tetapi dapat menscreening
trauma tumpul dengan foto servical lateral, Thorax AP dan foto

abdomen dengan posisi terlentang, setengah tegak dan lateral


dekubitus.
Foto toraks dapat membantu dalam diagnosis cedera perut
seperti hemidiaphragma yang pecah (misalnya, pipa nasogastrik
terlihat di dada) atau pneumoperitoneum. Rontgen panggul atau dada
dapat menunjukkan fraktur tulang belakang torakolumbalis.
Foto abdomen menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi
cedera tumpul untuk usus. Selain itu, udara bebas intraperitoneal, atau
terperangkap udara retroperitoneal dari perforasi duodenum, dapat
dilihat.
Pada trauma dengan hemodinamik tidak stabil tidak diperlukan
pemeriksaan screening x-ray, tetapi pasien stabil dengan sangkaan
cedera thoracoabdominal atau pada cedera diatas umbilicus berguna
untuk menyingkirkan hemo atau pneumothorax dan bisa juga melihat
udara di intraperitoneal.
2. CT Scan
CT scan merupakan kriteria standar untuk mendeteksi cedera
organ padat. Selain itu, CT scan perut dapat mengungkapkan
cedera yang terkait lainnya, terutama patah tulang belakang dan
panggul dan cedera di rongga dada. Pada Blunt abdominal
trauma dengan cedera limpa dan hemoperitoneum, CT scan
memberikan pencitraan yang sangat baik dari duodenum,
pancreas, dan system Genitourinary. Gambar dapat membantu
melihat jumlah darah di perut dan dapat mengungkapkan
gambaran organ yang cedera. Walaupun dengan keterbatasan
CT scan memiliki sensitivitas untuk mendiagnosa cedera viskus
diafragma, pancreas, dan berongga walaupun relatif mahal dan
memakan waktu dan memerlukan kontras oral atau intravena,
yang dapat menyebabkan reaksi alergi.
Hasil CT scan pada kasus trauma tumpul yang menyebabkan
ruptur hepar grade II pada An. P:

Gambar : Grade II liver injury

3. Focused Assessment Sonograghy in Trauma (FAST)


Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang cepat, portable,
noninvasive, dan akurat yang dapat dilakukan oleh dokter ahli
bedah darurat dan trauma untuk mendektesi hemoperitoneum.
Bahkan, di pusat medis, pemeriksaan FAST telah hamper
menggantikan DPL sebagai prosedur pilihan dalam evaluasi
pasien trauma hemodinamik tidak stabil. Pemeriksaan FAST
didasarkan pada factor-faktor seperti habitus tubuh, lokasi
cedera, adanya darah beku, posisi pasien, dan jumlah dari cairan
bebas. Dicari scan dari kantung pericard, fossa hepatorenalis,
fossa splenorenalis ataupun cavum douglas.
4. Peritoneal Lavage
Indikasi DPL dalam mendiagnosa trauma tumpul dengan
sangkaan pasien dengan cedera tulang belakang, pasien dengan
beberapa luka dan shock, pasien dengan bekas cedera perut
pasien mabuk dan pasien dengan cedera intra-abdomen
potensial yang akan menjalani anestesi lama untuk prosedur
lain.

Kontraindikasi

mutlak

untuk

DPL

adalah

untuk

laparotomi. Kontraindikasi relatif meliputi obsesitas morbid,


sejarah operasi perut bertulang, dan kehamilan. DPL dianggap
positif pada pasien trauma tumpul jika 10 mL aspirasi keluar
darah (yaitu, 1 L normal saline dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum melalui kateter dan diperiksa) memiliki > 100.000
RBC /mL, > 500 WBC/mL, kadar amilase tinggi, empedu,
bakteri, atau urin. Hanya sekitar 30 mL darah diperlukan dalam
peritoneum untuk menghasilkan hasil DPL mikroskopis positif.

Tabel 2. Tabel Perbandingan DPL, USG dan CT Scan


KRITERIA
Indikasi

DPL
Menentukan adanya

USG
Menentukan cairan

CT SCAN
Menentukan organ

bila TD menurun

cedera bila TD

perdarahan bila TD
menurun
Diagnosis cepat dan

Keuntungan

Kerugian

Diagnosis cepat, tidak

normal
Paling spesifik untuk

sensitif, akurasi 98

invasif dan dapat

cedera, akurasi 92-

diulang, akurasi

98%

Invasif, gagal

86-97%
Tergantung operator

Membutuhkan biaya

mengetahui cedera

distorsi gas usus

dan waktu yang

diafragma atau

dan udara di bawah

lebih lama, tidak

cedera

kulit. Gagal

mengetahui cedera

retroperitoneum

mengetahui cedera

diafragma usus dan

diafragma usus,

pankreas.

pancreas
1.7 Penatalaksanaan Trauma Tumpul Abdomen
Perawatan pra-rumah sakit berfokus pada evaluasi cepat masalah yang
mengancam jiwa, dengan memulai tindakan resusitasi, dan memulai transportasi yang
cepat ke situs perawatan definitif. Prinsip penatalaksanaan awalnya sama dengan
penanganan pada trauma lainnya yaitu dengan primary survey (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure).
1. Airway
Nilai jalan nafas bebas atau tidak. Nilai apakah pasien dapat bicara dan
bernafas dengan bebas. Jika ada obstruksi, lakukan chin lift/ Jaw thrust, Suction,
Guedel Airway dan Intubasi trakea
2. Breathing
Bila jalan nafas tidak memadai, beri oksigen
3. Circulation
Menilai

sirkulasi/peredaran

darah

dan

lakukan

tatalaksana

berupa

menghentikan perdarahan eksternal bila ada, memasang dua jalur infus dgn jarum
besar (14-16G), memberi infus cairan dan penilaian ulang ABC diperlukan bila
kondisi pasien tidak stabil

4. Disability
Menilai kesadaran pasien dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respon
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar.
Glasgow Coma Scale.
ALERT/AWAKE

RESPON BICARA (VERBAL)

RESPON NYERI (PAIN)


TAK ADA RESPONS

P
U

5. Exposure
Lepaskan baju dan semua penutup tubuh pasien, supaya dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in line harus dikerjakan. Pasien cedera dengan resiko
perdarahan berlanjut dan membutuhkan transportasi yang cepat ke pusat trauma
atau fasilitas yang sesuai terdekat, dengan prosedur yang tepat dilakukan
stabilisasi

selama perjalanan. Sehingga perlu pengamanan jalan nafas,

pemasangan IV line dan pemberian cairan. Gunakan intubasi endotrakeal untuk


mengamankan jalan napas dari setiap pasien yang tidak mampu mempertahankan
jalan napas atau yang memiliki potensi ancaman saluran napas. Mengamankan
jalan napas dalam hubungannya dengan in-line imobilisasi serviks pada setiap
pasien yang mungkin telah menderita trauma serviks. Menjaga saturasi oksigen
lebih dari 90 92%. Perdarahan eksternal jarang dikaitkan dengan trauma tumpul
abdomen. Jika ada perdarahan eksternal, kontrol dengan tekanan langsung.
Perhatikan tanda-tanda perfusi sistemik yang tidak memadai. Pertimbangkan
perdarahan intraperitoneal jika ada tanda syok hemoragik tanpa adanya
perdarahan eksternal.
Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus
segera dinilai kemungkinan perdarahan intraabdominal maupun kontaminasi GI
tract dengan melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) ataupun FAST
(Focused Assesment Sonography in Trauma). Adapun indikasi laparotomi untuk
trauma tumpul abdomen adalah:
1. Adanya tanda-tanda peritonitis
2. Perdarahan atau syok yang tidak terkontrol
3. Perburukan klinis selama observasi
4. Adanya perdarahan peritoneum setelah pemeriksaan FAST dan DPL

5. Udara bebas, udara retroperitoneal atau rupture diafragma


6. Hipotensi dengan dugaan adanya perdarahan intraabdomina
7. CT scan dengan kontras menunjukkan adanya ruptur saluran cerna,
cedera buli intraperitoneal, cedera pembuluh darah ginjal ataupun
kerusakan parenchyma viscera (Lanas 2005).
Penatalaksanaan non operatif
Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil. Angka
keberhasilan yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan berdasarkan CT
scan, atau derajat hemoperitoneum yang terjadi. Keuntungan dari penatalaksanaan
non-operatif adalah menghindari terjadinya laparotomi non-terapetik beserta
komplikasinya, mengurangi kebutuhan transfusi, dan komplikasi intra-abdominal
yang lebih sedikit.
CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam
mengidentifikasi dan menentukan derajat kerusakan hepar dan lien. Adanya kontras
yang bebas atau perdarahan yang sedang berlangsung merupakan indikasi untuk
angiografi dan embolisasi.8,16
Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital, pemeriksaan fisik, dan
nilai laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila salah satu memburuk, maka hal
tersebut merupakan indikasi untuk intervensi pembedahan.
Penatalaksanaan operatif
Tatalaksananya meliputi tiga upaya dasar, yaitu mengatasi perdarahan,
mencegah infeksidengan debrideman jaringan hati yang avaskuler dan penyaliran,
serta rekonstruksi saluran empedu. Penghentian untuk sementara waktu
dilakukan dengan cara penekanan manual langsung d a e r a h y a n g b e r d a r a h
dengan tampon, atau dengan klem vaskuler atraumatik di daerah
foramen winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding
foramen winslow dengan jari atau klem vaskuler, yang disebut perasat Pringle
menyebabkan a. hepatika dan v. porta tertutup sama sekali. Jaringan hati dapat
menahan keadaan iskemia sampai 60 menit apabila dilakukan oklusi itu. Waktu
tersebut umumnya cukup untuk melakukan resusitasi dan menghentikan perdarahan

secara definitif. Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan
memasang penyalir ektern karena penyebab infeksi adalah kebocoran empedu dan
jaringan nekrotik. Kadang di pasang penyalir T ke dalam duktus koledokus dengan
tujuan dekompresi dan mencegah pembuntuan akibat edema. Upaya ketiga adalah
rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan empedu yang besar tidak mungkin
sembuh spontan maka tempat kebocoran harus dicar dan dilakukan rekonstruksi.
Penatalaksanaan Khusus berdasarkan Grade pada Trauma Duodenum
1. Hematom intramural (grade I)
Cedera duodenum yang jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak yang
mengalami trauma pada abdomen bagian atas, oleh karena fleksibilitas dan kelenturan
otot dinding perut anak. Cedera ini dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah
dalam lapisan submukosa dan subserosa dinding duodenum, yang memperlihatkan
bentuk seperti sosis dan dapat menimbulkan obstruksi duodenum parsial atau komplit.
Foto polos abdomen akan memperlihatkan bayangan massa tak jelas pada kuadran
kanan atas dan obliterasi bayangan psoas kanan. Pemeriksaan serial traktus
gastrointestinal atas memperlihatkan dilatasi lumen duodenum seperti gulungan
kumparan pada bagian kedua dan ketiga duodenum yang berhubungan dengan
banyaknya valvula koniventes. Diagnosis dapat dibuat dengan CT-scan double kontras
atau pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan menggunakan kontras (meglumine
diatrizoate), diikuti dengan pemeriksaan barium untuk mendeteksi tanda coiledspring sign atau stacked coin sign. Tanda ini adalah karakteristik untuk hematom
duodenum intramural.
Cedera ini biasanya ditangani tanpa pembedahan dan hasil terbaik biasanya
diperoleh melalui pengobatan konservatif, apabila cedera yang lain dapat
dikesampingkan. Setelah penanganan konservatif selama 3 minggu dengan aspirasi
NGT secara kontinyu dan nutrisi parenteral total. Bila tanda obstruksi tidak meredah/
sembuh spontan, pasien kembali dievaluasi dengan pemeriksaan kontras saluran cerna
bagian atas dengan interval 5-7 hari. USG dapat juga dilakukan untuk follow up
resolusi hematom duodenum. Bila tidak ada perkembangan maka disarankan
tindakkan laparotomi untuk menyingkirkan adanya perforasi duodenum atau cedera
kaput pankreas (pada sekitar 20% pasien) yang juga dapat menjadi penyebab

alternatif untuk terjadinya obstruksi duodenum. Pada penelitian 6 kasus hematom


duodenum dan yeyunum akibat trauma tumpul, hematom mengalami resolusi tanpa
tindakan operasi sebanyak 5 kasus, durasi lama rawat rat-rata 16 hari ( antara 10- 23
hari) dan durasi nutrisi parenteral total rata-rata 9 hari ( antara 4-16 hari). Pada kasus
ke 6 pemeriksaan serial abdomen bagian atas mempelihatkan adanya obstruksi yang
gagal mengalami resolusi setelah penanganan konservatif selama 18 hari dan pada
saat dilakukan laparotomi ditemukan striktur pada yeyunum dan kolon karena
terbentuk fibrosis, tetapi akhirnya dapat direseksi dengan sukses.
Hematom intramural yang besar yang melibatkan dua atau lebih segmen
jarang sembuh secara spontan. Penanganan hematom intramural ditemukan pada
laparotomi kontroversial. Salah satu pilihan yaitu dengan melakukan insisi
longitudinal

sepanjang

serosa

kebatas

antemesenterika,

membuka

serosa,

mengevakuasi hematom dan serosa yang melekat ke lapisan muskular tanpa merusak
mukosa dan dengan hati-hati memperbaiki dinding usus dengan melakukan
penjahitan menggunakan jahitan interuptus 4-0. Perlu diperhatikan bahwa hal ini
dapat menimbulkan sedikit robekan bahkan sampai robekan yang tebal pada dinding
duodenum. Bila hal itu terjadi maka diperlukan dekompresi gastrik yang lama bahkan
feeding yeyunostomi sebaiknya di buat. Pada kasus ini drainase tidak diperlukan.
Pilihan lain adalah dengan hati-hati mengeksplorasi duodenum untuk menyingkirkan
perforasi. Drainase perkutaneus terhadap hematom duodenum sudah pernah
dilaporkan.
2. Perforasi Duodenum (grade II)
Sebagian besar perforasi duodenum dapat ditangani dengan prosedur operasi
yang sederhana, terutama untuk kasus trauma tembus dimana interval waktu antara
trauma dan operasi harus singkat. Metoda perbaikan cedera duodenum dan prosedur
supportif untuk pencegahan dehisensi akan di jelaskan berikut ini.
Laserasi berat duodenum ditutup secara primerdebridement minimal. Lapisan
dalam ditutup dengan jahitan absorbel 4-0. Diikuti jahitan seromuskular nonabsorbel
interuptus 4-0. Luka obliq atau longitudinal ditutup sesuai arah cedera dengan jahitan
sekaligus lapisan serosa,muscular dan submukosa. . Laserasi simpel pada duodenum
dapat ditutup primer. Laserasi sepanjang axis duodenum dapat dijahit longitudinal
atau transverse. Penjahitan secara transverse lebih disukai oleh karena bisa terjadi
penyempitan lumen apabila penjahitan secara longitudinal.
3. Repair Perforasi

Kebanyakkan cedera duodenum dapat diperbaiki dengan repair primer satu


atau dua lapis. Penutupan dapat dilakukan secara tranversal, jika memungkinkan
hindari kontak dengan lumen dan dalam penjahitan hindari juga inversi yang
berlebihan. Duodenotomi longitudinal dapat menyerupai tranversal bila panjang
cedera duodenum <50% lingkar duodenum. Bila penutupan primer dapat merusak
lumen duodenum, maka ada beberapa pilihan yang direkomendasikan. Pedicled
mucosal graft menggunakan segmen yeyunum atau dengan flap gastric island dari
corpus gastricum yang dianjurkan untuk defek duodenum yang lebar. Kemungkinan
lain adalah menggunakan tambahan dari serosa yeyunum untuk menutup defek
duodenum. Walaupun cukup memuaskan dalam penelitian, aplikasi klinik kedua
metoda ini sangat terbatas dan pernah dilaporkan terjadi kebocoran pada garis sutura
duodenum. Meletakan loop yeyunum diatas daerah yang cedera seperti serosa
yeyunum untuk melapisi duodenum juga bisa disarankan.
4. Laserasi dan Transeksi Duodenum (grade III)
Pada transeksi duodenum komplit, metoda perbaikan yang lebih di sukai
adalah anastomosis primer. Anastomosis primer dapat dilakukan setelah tepi mukosa
dapat di debridement, duodenum dapat dimobilisasi, selain itu bila kehilangan
jaringan minimal, bila ampula tidak terlibat dan efek dapat ditutup tanpa tension.
Perforasi duodenum sederhana ditutup dengan jahitan simpul kontinyu dengan benang
3-0 yang dapat diserap, melalui seluruh lapisan dinding, diikuti pada lapisan luar
dengan jahitan matras terputus dengan benang yang tidak dapat diserap pada lapisan
seromuskular. Cara ini biasanya dilakukan untuk kasus cedera duodenum pars I,III
dan IV dimana teknik mobilisasinya tidak sulit.
Grade III : Transeksi pada duodenum diterapi dengan debridement dan
penjahitan end to end:
1. Pada cedera dengan transeksi lengkap dari D1,D2 dan D3 dapat
diperbaiki dengan anastomosis primer end to end.
2. Anastomosis 2 lapis dilakukan dengan menjahit dinding posterior
dengan jahitan seromuskular interuptus
3. Jepit duodenum dengan klem usus untuk menghindari tumpahnya isi
usus sewaktu penjahitan lapisan dalam
4. Penjahitan seromuskular pada dinding anterior menggunakan jahitan
matras horizontal atau teknik Lambert

Namun demikian apabila terdapat sejumlah besar kehilangan jaringan dan


aproksimasi ujung duodenum tidak bisa di lakukan karena kemunginan terjadi tension
dan bila kasus transeksi komplit ini terjadi pada bagian pertama duodenum maka
dilakukan anterectomi dengan penutupan stump duodenum dan gastroyeyunostomi
(Billroth II).
Apabila mobilisasi tidak adekuat sehingga bisa menyebabkan cedera pada
CBD dan bila trauma dekat dengan ampulla Vater ,maka pilihan yang paling mungkin
adalah penutupan duodenum distal dan anastomose Roux-en-Y duodenoyeyunal dapat
dilakukan. Mobilisasi bagian kedua duodenum terbatas oleh adanya pembagian
asupan darah dengan caput pankreas. Anastomosis direk ke loop Roux-en-Y diatas
defek duodenum secara end to side merupakan cara terpilih. Hal ini dapat juga di
lakukan sebagai metoda alternatif penanganan operasi pada defek ekstensif pada
bagian lain duodenum saat anastomosis primer tidak dapat dilakukan.
Pada transeksi yang luas dengan udem atau inflamasi, loop Roux-en-Y pada
yeyunum dapat digunakan untuk menutup defek. Ruptur duodenum yang extensive
dapat diterapi dengan reseksi dan end to end Roux-en-Y duodenojejunostomy.
Alternatif lain adalah dengan mengunakan patch dari yeyunum untuk
menutupi defek yang besar sebagai graft serosa. Patch repair dengan mukosa
yeyunum (mucosal jejunal patch repair) jarang dilakukan.
Cedera

duodenum

yang

tidak

dapat

direpair

secara

primer

tanpa

mengakibatkan penyempitan dari lumen dapat direpair dengan tehnik serosa patch.
Serosa dari jejenum dijahit pada tepi defek duodenum. Studi experimental
memperlihatkan bahwa serosa yang terekspose ke dalam lumen duodenum akan
ditutupi oleh epitel.
Alternatif penggunaan serosa patch pada cedera duodenum yang berat dengan
menggunakan pedicle graft (A sampai D). Graft dapat diambil dari corpus gaster atau
dari jejenum. Defek duodenum yang besar dapat ditutup seperti pada gambar E.
Segment jejenum direpair secara end to end anastomosis. Pankreotikoduodenektomi
hanya dilakukan pada trauma duodenum bila terjadi perdarahan pankreas yang tidak
terkontrol atau bila trauma duodenum bersama-sama dengan trauma CBD distal atau
duktus pankreatikus. Drainase external juga sangat diperlukan karena mampu
mendeteksi dan mengontrol adanya fistula duodeni. Drain sebaiknya sederhana dari
karet silikon lunak, sistim tertutup dan diletakan dekat dengan lokasi defek yang
diperbaiki (Savides & Jensen 2010).

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah terjadinya peritonitis, dan syok hemoragik
dimana adanya perdarahan intraabdominal yang sulit dinilai sehingga berujung pada
kematian (Savides & Jensen 2010).
2.9 Prognosis
Tingkat kematian untuk pasien rawat inap adalah sekitar 5-10%. The National
Pediatric Trauma Registry melaporkan bahwa 9% dari pasien anak dengan trauma
tumpul abdomen meninggal. Dari jumlah tersebut, hanya 22% yang dilaporkan cedera
intraabdomen sebagai kemungkinan penyebab kematian.
Sebuah tinjauan dari Australia of intestinal injuries pada trauma tumpul
melaporkan bahwa 85% dari cedera terjadi akibat kecelakaan kendaraan. Tingkat
mortalitas adalah 6%. Dalam review besar kematian di ruang operasi di mana trauma
tumpul menyumbang 61% dari semua cedera, trauma abdomen adalah penyebab primer
kematian pada 53,4% kasus (Savides & Jensen 2010).

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS

DAFTAR PUSTAKA

Bethel, Susan & Baird, Marianne Saunorus. (2008). Manual Of Critical Care Nursing:
Nursing Interventions and Collaborative Management (Sixth Edition). Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins
Lanas, A. (2005). Gastrointestinal injury from NSAID therapy. How to reduce the risk of
complications. Postgrad Med 117:23, [PMID: 16001765
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2004). Textbook of medical-surgical nursing. (10th ed.) (Vol 2).
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Bjorkman, D. (2007). GI hemorrhage and occult GI bleeding. In: Goldman L, Ausiello D.
Cecil Textbook of Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 137.
Savides TJ, Jensen DM. (2010). Gastrointestinal bleeding. In: Feldman M, Friedman LS,
Brandt LJ, eds. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 19.

Anda mungkin juga menyukai