PENDAHULUAN
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih
tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Jejas pada abdomen dapat
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velositas
rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan
trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Hal ini
terjadi pada kasus an.P di RSU dr.Soetomo yang mengalami ruptur multiple organ
peritonium. Pada intraperitoneal, trauma tumpul abdomen paling sering menciderai organ
limpa (40-55%), hati (35 - 45%), dan usus halus (5 -10%) (Cho et al 2012). Sedangkan
pada retroperitoneal, organ yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling
jarang cedera adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000) Pada trauma tajam
abdomen paling sering mengenai hati (40%), usus kecil(30%), diafragma(20%), dan usus
besar(15%) (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).
Kondisi klinis pada trauma tumpul abdomen yang mengakibatkan perdarahan
internaldapat berlanjut menjadi sindrom kompartemen abdominal dimana masih
kontroversial. Bagaimanapun, disfungsi organ yang disebabkan oleh hipertensi intra
abdomen berhubungan dengan sindrom kompartemen abdominal. Disfungsi tersebut
dapat berupa insufisiensi respirasi sekunder yang menekan volume tidal, menurunkan
produksi urin karena kegagalan perfusi ginjal atau disfungsi organ lain yang disebabkan
peningkatan tekanan kompartemen di abdomen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?
2. Apa yang menyebabkan trauma tumpul abdomen dan internal bleeding?
3. Bagaimana perjalanan patofisiologi penyakit pada kasus An.P dengan trauma tumpul
abdomen dan internal bleeding?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada kegawatan Internal Bleeding pada
kasus An P.
1.3.2 Tujuan khusus
a
Mengidentifikasi diagnosa
Bleeding
c
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Internal Bleeding GI track
2.1.1 Definisi Internal Bleeding pada Saluran Pencernaan
Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai dimana sering menyertai penyakit-penyakit seperti
trauma kapitis, stroke, luka bakar yang luas, sepsis ,renjatan dan gangguan hemostasis
( Bjorkman 2007)
Perdarahan internal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah perdarahan
pada saluran pencernaan yang diakibatkan trauma tumpul pada abdomen sesuai kasus
yang ditemukan di ruangan ROI RSUD Dr.Soetomo.
2.1.2 Definisi Trauma Tumpul Abdomen (Hepar, duodenum dan pankreas)
Trauma tumpul abdomen adalah semua cedera yang terjadi akibat tekanan
tumpul dari luar, yang biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, tumbukan dari hewan atau benda tumpul.
Cedera intraabdomen secara sekunder akibat tekanan tumpul yang terjadi
karena tubrukan antara orang yang terluka dengan lingkungan eksterna dan karena
proses tekanan akselerasi dan deselarasi pada organ internal orang tersebut. Mayoritas
cedera di duodenum adalah disebabkan oleh trauma tembus dan cedera ini
kebanyakkan di akibatkan oleh luka tembak (75 %) dan sisanya akibat luka tikaman
(20%). Cedera akibat tikaman pisau biasanya menyebabkan laserasi pada dinding
duodenum, sedangkan proyektil menghasilkan luka dengan derajat kerusakan jaringan
yang berbeda-beda. Trauma pada duodenum jarang terjadi, hanya kira-kira 5 % dari
cedera yang terjadi pada abdomen. Trauma pada duodenum dapat disebabkan oleh
trauma tumpul dan trauma tembus. Trauma tumpul biasanya disebabkan oleh karena
kecelakaan lalulintas, jatuh atau dipukul. Trauma tembus disebabkan oleh luka tikam
atau luka tembak. Insiden bervariasi pada lokasi anatomis dari duodenum dimana
bagian yang paling sering terkena adalah bagian kedua (33%), bagian ketiga dan
bagian keempat (20%), bagian pertama (15%). Trauma tembus bisa terjadi diseluruh
bagian duodenum sedang pada trauma tumpul, mayoritasnya terjadi pada bagian kedua
dan ketiga (Bjorkman 2007).2.2 Etiologi Internal Bleeding pada Trauma Tumpul
Abdomen
Terjadinya internal bleeding disebabkan oleh trauma tumpul akibat deselerasi dan
kompresi pada rongga peritoneum yang mengakibabtkan pankreatitis akut atau pecahnya
aneurisma aorta abdominal dan mengakibatkan perdarahan intra-abdomen dari rupturnya
lienalis ataupun hati (Smeltzer & Bare 2002)
2.3 Patofisiologi Kasus
Trauma tumpul abdomen yang di alami An.P dalam kecelakaan bermotor
melewati 3 tahapan trauma, pertama melalui mekanisme tabrakan dengan korban,
kedua antara stang atau pengendali montor dengan tubuh atau dashboard (dalam kasus
ini An.P alami hantaman tumpul pada pinggang sebelah kanan kemudian jatuh dalam
keadaan menelungkup), dan ketiga meliputi organ yang menjadi penyokong tubuh
(tulang, spinal, pelvis) dan organ bergerak dalam rongga peritoneum yakni hati,
intestinal (duodenum) dan pankreas. Pada trauma yang diakibatkan rotasi, perlukaan
sayatan, deselerasi akhirnya menyebabkan perlukaan pada bagian aorta pada thoraks
dan duodenum, dimana anatomi keduanya sangat riskan terjadi perlukaan atau ruptur
melalui tipe injury tersebut. Pukulan, tabrakan yang langsung mengenai abdomen
akhirnya menyebabkan organ dalam abdomen mengalami ruptur (Jones 2010).
Ruptur hepar pada An.P terjadi disebabkan oleh trauma tumpul dimana
mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek
kompresi dan deselerasi. Proses deselerasi yang dialami An.P berupa benturan yang
kuat dari stang/stir/pengendali motor dimana menyebabkan organ berongga, organ
solid, organ viseral dan pembuluh darah mengalami robekan dan sebagai hasilnya,
benturan yang sangat kuat pada daerah tersebut menyebabkan hepar menjadi ruptur.
Hal yang sama juga terjadi pada ruptur pankreas pada An.P.
Perubahan klinis yang pada awal terjadi cedera tidak terlihat jelas dan akan
tampak bila keadaan memberat dan berkembang menjadi peritonitis dan mengancam
nyawa. Pada perforasi retroperitoneal yang masif, keluhan yang muncul hanyalah
kekakuan pada abdomen bagian atas dengan peningkatan suhu yang progresif,
takikardi, dan terkadang terdapat keluhan mual. Setalah beberapa jam isi duodenum
akan mengalami ekstravasasi kedalam kavum peritoneum dan berkembang menjadi
peritonitis. Bila isi tumpah kedalam kantong yang lebih kecil, biasanya akan
membran sel yang kondisinya diperparah oleh adanya sitokin, yang merangsang
pelepasan radikal lebih banyak lagi. Selain itu, kurangnya penghantaran oksigen ke
jaringan yang mengalami keterbatasan produksi adenosine triphospat dan penurunan
persediaan dari adenosin trifosfat ini tergantung pada aktivitas selular. (Paula Richard,
2009)
Yang terkena dampak adalah pompa natrium-kalium. Efisien fungsi pompa sangat
penting untuk peraturan intraselular elektrolit. Ketika pompa gagal, terjadi kebocoran
natrium ke dalam sel sehingga menarik air. Sebagai sel membengkak, selaput
kehilangan integritas, menumpahkan isi intraselular ke lingkungan ekstraselular dan
lebih jauh mengakibatkan inflamasi (peradangan). Peradangan dengan cepat mengarah
pada pembentukan edema, sebagai akibat dari kebocoran kapiler, dan jaringan yang
semakin membengkak di usus akibat semakin meningkatnya tekanan intra-abdomen.
Pada awal tekanan, perfusi usus terganggu, dan siklus hipoksia selular, kematian sel,
peradangan, dan edema terus berlanjut. (Pleva Mayzlk, J. 2004)
Pada An.P juga terjadi mekanisme kompensasi dari asidosis metabolik. Asidosis
metabolik terjadi dikarenakan kerusakan ginjal akibat ruptur dan kehilangan bikarbonat
berlebih melalui saluran pencernaan karena adanya ruptur dari colon. Terjadinya
asidosis metabolik diawali dengan proses kegagalan ginjal daam mengekskresi beban
asam dan kehilangan bikarbonat basa. Kompensasi pernapasan (respiratorik) terlah
terjadi melalui hiperventilasi sehingga asidosis metabolik yang terjadi bersifat ringan.
Pada anak P juga terjadi penurunan kadar albumin (hipolbumin) yang merupakan
protein utama yang dihasilkan oleh hati dimana berfungsi banyak dalam transportasi
berbagai zat dalam sel yakni endogen (bilirubin, hormon tiroid) dan eksogen (obatobatan)(Smeltzer & Bare 2002).
yang kurus akan tampak perut membesar, dari hasil perkusi ditemukan bunyi pekak
( Bjorkman 2007).
Bila yang terkena organ berlumen gejala yang mungkin timbul adalah peritonitis
yang dapat berlangsung cepat bila organ yang terkena gaster tetapi gejala peritonitis
akan timbul lambat bila usus halus dan kolon yang terkena. Klien mengeluh nyeri pada
seluruh kuadran abdomen, bising usus menurun, kaku otot (defans muskular), nyeri
tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok (Lanas 2005).
Gejala klinis ACS antara lain (Paula Richard MD, 2009) :
1. Distensi abdomen yang berat
2. Gagal napas yang ditandai dengan PCO2 yang meningkat, volume tidal yang
berkurang, tingginya tekanan puncak inspirasi.
3. Curah jantung yang menurun
4. Tekanan darah yang labil
5. pH rendah yang menetap
6. Oliguria yang tidak respon terhadap terapi konvensional
7. Tekanan intra abdomen yang meningkat (> 40 mm Hg)
Gejala klinis yang terjadi pada ACS dikenal dengan 5P (Irga, 2008), yaitu :
1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik
(pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih
banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala
yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Parastesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
2.6 Pemeriksaan penunjang
Pada saat kedatangan ke rumah sakit, mekanisme dan pemeriksaan fisik
biasanya akurat dalam menentukan cedera intra-abdomen pada pasien dengan
kesadaran yang terjaga dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan
fisik. Banyak pasien dengan perdarahan intra-abdomen yang moderat datang dalam
kondisi hemodinamik yang terkompensasi dan tidak memiliki tanda-tanda peritoneal
ACS ditetapkan dengan terjadinya peningkatan IAP dan adanya kegagalan
sistemorgan. Derajat Intra-abdominal hypertension (IAH):
1. Grade I IAP 12-15 mmHg
2. Grade II IAP 16-20 mmHg
3. Grade III IAP 21-25 mmHg
4. Grade IV IAP > 25 mmHg
Pasien yang dirawat di ICU sebaiknya diskrining untuk melihat faktor resiko
terjadinya IAH / ACS dan dengan kegagalan organ yang baru atau progresif. Bila dua atau lebih
faktor resiko dijumpai, pengukuran IAP harus dilakukan. Dan bila IAH ditemukan,
pengukuran IAP serial harus dilakukan pada pasien tersebut.
Pengukuran IAP terdiri dari berbagai teknik yaitu penempatan metal intra-abdomen
langsung (sudah lama ditinggalkan), tekanan vena kava inferior (beresiko thrombosis
dan infeksi), tekanan gaster (jarang digunakan tetapi berguna bila terdapat trauma bulibuli dimana distensi buli merupakan kontraindikasi) dan tekanan buli-buli. Gold
standard pengukuran IAP adalah dengan tekanan buli-buli.
Untuk mengukur tekanan buli-buli, suntikkan 50-100 ml saline steril ke dalam
Foley kateter melalui lubang aspirasi, klem silang selang steril dari drain kantong urin
letak distal dari lubang aspirasi, hubungkan ujung selang drain kantong urin ke Foley
kateter, lepaskan klem sesaat agar cairan dari buli keluar dan kemudian klem ulang, Yconnect transduser tekanan ke kantong drain melalui lubang aspirasi menggunakan
jarum G 16, pastikan IAP dari transduser menggunakan puncak dari tulang simfisis
pubis sebagai titik nol dalam posisi telentang. Manometer tangan yang dihubungkan ke
Foley kateter melalui kolom cairan di selang dapat digunakan untuk menentukan
tekanan sebagai ganti transduser.
Penanganan harus berdasarkan pada pemeriksaan klinis dengan peningkatan IAP
(Intra-abdominal Preassure). IAP kritis yang menimbulkan berbagai disfungsi organ
bergantung pada keadaan premorbid pasien. Pasien gemuk setiap saat meningkat IAP
tetapi telah terkompensasi dengan hal tersebut. (Irga, 2008)
1. Grade I IAH (Intra-abdominal Hypertension) secara umum hanya memerlukan
resusitasi volume dengan pemantauan tekanan berkelanjutan. Beberapa pasien
tidak membaik keadaannya.
b. Diuretik
c. Koloid / cairan hipertonik
d. Hemodialisis / ultrafiltrasi
5. Organ Pendukung
a. Pertahankan APP > 60 mmHg dengan vasopressor
pH
7,427
N : 7,35 7,45
N : 35 45
pO2
N : 80 100
79,6 mmHg
N : 19 25
96,2
AaDO2
33,4 mmHg
BE b
-2,7 mmol/ L
SBC
22,1 mmol/ L
113,0 mmol/ L
a/A
0,7
RI
0,4
PO2 / FiO2
380,9 mmHg
N : -2 - +2
2,37 gr/dl
Interpretasi
: Hipoalbumin
N : 3,5 - 5,0
c. Elektrolit
Na
Cl
Ca
140 mmol/ L
44 mmol/ L
7,3 mmol/ L
N : 136 145
N : 98 107
N : 3,5 5,1
Kontraindikasi
mutlak
untuk
DPL
adalah
untuk
DPL
Menentukan adanya
USG
Menentukan cairan
CT SCAN
Menentukan organ
bila TD menurun
cedera bila TD
perdarahan bila TD
menurun
Diagnosis cepat dan
Keuntungan
Kerugian
normal
Paling spesifik untuk
sensitif, akurasi 98
diulang, akurasi
98%
Invasif, gagal
86-97%
Tergantung operator
Membutuhkan biaya
mengetahui cedera
diafragma atau
cedera
kulit. Gagal
mengetahui cedera
retroperitoneum
mengetahui cedera
diafragma usus,
pankreas.
pancreas
1.7 Penatalaksanaan Trauma Tumpul Abdomen
Perawatan pra-rumah sakit berfokus pada evaluasi cepat masalah yang
mengancam jiwa, dengan memulai tindakan resusitasi, dan memulai transportasi yang
cepat ke situs perawatan definitif. Prinsip penatalaksanaan awalnya sama dengan
penanganan pada trauma lainnya yaitu dengan primary survey (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure).
1. Airway
Nilai jalan nafas bebas atau tidak. Nilai apakah pasien dapat bicara dan
bernafas dengan bebas. Jika ada obstruksi, lakukan chin lift/ Jaw thrust, Suction,
Guedel Airway dan Intubasi trakea
2. Breathing
Bila jalan nafas tidak memadai, beri oksigen
3. Circulation
Menilai
sirkulasi/peredaran
darah
dan
lakukan
tatalaksana
berupa
menghentikan perdarahan eksternal bila ada, memasang dua jalur infus dgn jarum
besar (14-16G), memberi infus cairan dan penilaian ulang ABC diperlukan bila
kondisi pasien tidak stabil
4. Disability
Menilai kesadaran pasien dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respon
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar.
Glasgow Coma Scale.
ALERT/AWAKE
P
U
5. Exposure
Lepaskan baju dan semua penutup tubuh pasien, supaya dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang,
maka imobilisasi in line harus dikerjakan. Pasien cedera dengan resiko
perdarahan berlanjut dan membutuhkan transportasi yang cepat ke pusat trauma
atau fasilitas yang sesuai terdekat, dengan prosedur yang tepat dilakukan
stabilisasi
secara definitif. Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan
memasang penyalir ektern karena penyebab infeksi adalah kebocoran empedu dan
jaringan nekrotik. Kadang di pasang penyalir T ke dalam duktus koledokus dengan
tujuan dekompresi dan mencegah pembuntuan akibat edema. Upaya ketiga adalah
rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan empedu yang besar tidak mungkin
sembuh spontan maka tempat kebocoran harus dicar dan dilakukan rekonstruksi.
Penatalaksanaan Khusus berdasarkan Grade pada Trauma Duodenum
1. Hematom intramural (grade I)
Cedera duodenum yang jarang, lebih banyak terjadi pada anak-anak yang
mengalami trauma pada abdomen bagian atas, oleh karena fleksibilitas dan kelenturan
otot dinding perut anak. Cedera ini dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah
dalam lapisan submukosa dan subserosa dinding duodenum, yang memperlihatkan
bentuk seperti sosis dan dapat menimbulkan obstruksi duodenum parsial atau komplit.
Foto polos abdomen akan memperlihatkan bayangan massa tak jelas pada kuadran
kanan atas dan obliterasi bayangan psoas kanan. Pemeriksaan serial traktus
gastrointestinal atas memperlihatkan dilatasi lumen duodenum seperti gulungan
kumparan pada bagian kedua dan ketiga duodenum yang berhubungan dengan
banyaknya valvula koniventes. Diagnosis dapat dibuat dengan CT-scan double kontras
atau pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan menggunakan kontras (meglumine
diatrizoate), diikuti dengan pemeriksaan barium untuk mendeteksi tanda coiledspring sign atau stacked coin sign. Tanda ini adalah karakteristik untuk hematom
duodenum intramural.
Cedera ini biasanya ditangani tanpa pembedahan dan hasil terbaik biasanya
diperoleh melalui pengobatan konservatif, apabila cedera yang lain dapat
dikesampingkan. Setelah penanganan konservatif selama 3 minggu dengan aspirasi
NGT secara kontinyu dan nutrisi parenteral total. Bila tanda obstruksi tidak meredah/
sembuh spontan, pasien kembali dievaluasi dengan pemeriksaan kontras saluran cerna
bagian atas dengan interval 5-7 hari. USG dapat juga dilakukan untuk follow up
resolusi hematom duodenum. Bila tidak ada perkembangan maka disarankan
tindakkan laparotomi untuk menyingkirkan adanya perforasi duodenum atau cedera
kaput pankreas (pada sekitar 20% pasien) yang juga dapat menjadi penyebab
sepanjang
serosa
kebatas
antemesenterika,
membuka
serosa,
mengevakuasi hematom dan serosa yang melekat ke lapisan muskular tanpa merusak
mukosa dan dengan hati-hati memperbaiki dinding usus dengan melakukan
penjahitan menggunakan jahitan interuptus 4-0. Perlu diperhatikan bahwa hal ini
dapat menimbulkan sedikit robekan bahkan sampai robekan yang tebal pada dinding
duodenum. Bila hal itu terjadi maka diperlukan dekompresi gastrik yang lama bahkan
feeding yeyunostomi sebaiknya di buat. Pada kasus ini drainase tidak diperlukan.
Pilihan lain adalah dengan hati-hati mengeksplorasi duodenum untuk menyingkirkan
perforasi. Drainase perkutaneus terhadap hematom duodenum sudah pernah
dilaporkan.
2. Perforasi Duodenum (grade II)
Sebagian besar perforasi duodenum dapat ditangani dengan prosedur operasi
yang sederhana, terutama untuk kasus trauma tembus dimana interval waktu antara
trauma dan operasi harus singkat. Metoda perbaikan cedera duodenum dan prosedur
supportif untuk pencegahan dehisensi akan di jelaskan berikut ini.
Laserasi berat duodenum ditutup secara primerdebridement minimal. Lapisan
dalam ditutup dengan jahitan absorbel 4-0. Diikuti jahitan seromuskular nonabsorbel
interuptus 4-0. Luka obliq atau longitudinal ditutup sesuai arah cedera dengan jahitan
sekaligus lapisan serosa,muscular dan submukosa. . Laserasi simpel pada duodenum
dapat ditutup primer. Laserasi sepanjang axis duodenum dapat dijahit longitudinal
atau transverse. Penjahitan secara transverse lebih disukai oleh karena bisa terjadi
penyempitan lumen apabila penjahitan secara longitudinal.
3. Repair Perforasi
duodenum
yang
tidak
dapat
direpair
secara
primer
tanpa
mengakibatkan penyempitan dari lumen dapat direpair dengan tehnik serosa patch.
Serosa dari jejenum dijahit pada tepi defek duodenum. Studi experimental
memperlihatkan bahwa serosa yang terekspose ke dalam lumen duodenum akan
ditutupi oleh epitel.
Alternatif penggunaan serosa patch pada cedera duodenum yang berat dengan
menggunakan pedicle graft (A sampai D). Graft dapat diambil dari corpus gaster atau
dari jejenum. Defek duodenum yang besar dapat ditutup seperti pada gambar E.
Segment jejenum direpair secara end to end anastomosis. Pankreotikoduodenektomi
hanya dilakukan pada trauma duodenum bila terjadi perdarahan pankreas yang tidak
terkontrol atau bila trauma duodenum bersama-sama dengan trauma CBD distal atau
duktus pankreatikus. Drainase external juga sangat diperlukan karena mampu
mendeteksi dan mengontrol adanya fistula duodeni. Drain sebaiknya sederhana dari
karet silikon lunak, sistim tertutup dan diletakan dekat dengan lokasi defek yang
diperbaiki (Savides & Jensen 2010).
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah terjadinya peritonitis, dan syok hemoragik
dimana adanya perdarahan intraabdominal yang sulit dinilai sehingga berujung pada
kematian (Savides & Jensen 2010).
2.9 Prognosis
Tingkat kematian untuk pasien rawat inap adalah sekitar 5-10%. The National
Pediatric Trauma Registry melaporkan bahwa 9% dari pasien anak dengan trauma
tumpul abdomen meninggal. Dari jumlah tersebut, hanya 22% yang dilaporkan cedera
intraabdomen sebagai kemungkinan penyebab kematian.
Sebuah tinjauan dari Australia of intestinal injuries pada trauma tumpul
melaporkan bahwa 85% dari cedera terjadi akibat kecelakaan kendaraan. Tingkat
mortalitas adalah 6%. Dalam review besar kematian di ruang operasi di mana trauma
tumpul menyumbang 61% dari semua cedera, trauma abdomen adalah penyebab primer
kematian pada 53,4% kasus (Savides & Jensen 2010).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
DAFTAR PUSTAKA
Bethel, Susan & Baird, Marianne Saunorus. (2008). Manual Of Critical Care Nursing:
Nursing Interventions and Collaborative Management (Sixth Edition). Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins
Lanas, A. (2005). Gastrointestinal injury from NSAID therapy. How to reduce the risk of
complications. Postgrad Med 117:23, [PMID: 16001765
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2004). Textbook of medical-surgical nursing. (10th ed.) (Vol 2).
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
Bjorkman, D. (2007). GI hemorrhage and occult GI bleeding. In: Goldman L, Ausiello D.
Cecil Textbook of Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 137.
Savides TJ, Jensen DM. (2010). Gastrointestinal bleeding. In: Feldman M, Friedman LS,
Brandt LJ, eds. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 19.