ASFIKSIA Fiks
ASFIKSIA Fiks
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak kematian dari kasus yang wajar terjadinya tak dapat diramalkan
sebelumnya. Mendadak atau merupakan kematian tak ada yang melihat. Kematian
mendadak sering terjadi dan didapatkan pada orang yang sebelumnya tampak
dalam keadaan yang sehat. Kematian mendadak yang disebabkan oleh penyakit,
seringkali mendatangkan kecurigaan baik bagi penyidik maupun masyarakat
umum, khususnya bila kematian tersebut menimpa orang yang cukup dikenal oleh
masyarakat, kematian di hotel, cottage, atau motel.
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan
dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat
disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang
diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu
keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan
kadar karbondioksida, keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan
terjadinya kematian.
Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam
kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah
yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh
dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya asfiksia mekanik
mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana
pasal 179 KUHP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya dari keadilan. Untuk itu,
sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu
forensik, salah satunya asfiksia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian (Budiyanto, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia
atau hipoksia (Amir, 2008).
B. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Budiyanto, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik,
dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun
keracunan (Knight, 2001 ).
C. Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
-
Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di
tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas
dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan
asfiksia murni atau sufokasi.
-
Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus
alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik,
sitokrom
Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian
O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang efisien,
misalnya pada keadaan hipoglikemia.
D. Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan
(Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagianbagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian
bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang
karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.Di sini
sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ
tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.
Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja
jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat.
Keadaan ini didapati pada:
-
asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
1.
Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan
merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi)
bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan.
Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan
darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.
2.
Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran
hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat
keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin
jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke
stadium apnoe.
3.
Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah,
hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan
semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusatpusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak
teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat
lagi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi.
Umumnya berkisar antara 3-5 menit.
4. Stadium akhir
F. Tanda Kardinal Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 2001), yaitu:
a. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian
belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga
bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada
lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan
faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
b.
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan
dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5
gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi
bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik
dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada
wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah
perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena
akumulasi darah.
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap
cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia
adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan
sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti
akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini
tidak relevan dalam diagnosis asfiksia
Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat
badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher.
Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut.Bila korban cukup lama
tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila
segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh.
Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat,
tidak sempat terjadi proses pembendungan.Pada pembukaan kulit di daerah
leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal
tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan
asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan
berupa garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis
interna, setentang dengan tekanan tali pada leher.
Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali
bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi
petunjuk yang baik.
H.
Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Budiyanto, 1997):
1.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi
lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas
fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadangkadang bercampur darah akibat pecahnya
kapiler.Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat
longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadangkadang dijumpai pula di kulit wajah.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot. Penulis lain mengatakan
bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat
akibat hipoksia.
b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Budiyanto, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah subglotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6.
I.
ASFIKSIA MEKANIK
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik),
(Budiyanto, 1997), misalnya:
a) Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan
(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).
b) Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c) Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Defenisi
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan
gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 2001).
2. Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada
di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher,
sehingga saluran pernafasan menjadi tersumbat.
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan
pada vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi
terhambat.
c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan
kasus dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang
berada di sekitar leher.
3.
Jenis Penggantungan
a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
lantai.
Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh
tergantung, misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut,
saluran nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri
karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak
sadar.
4.
10
Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008),
yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik,
tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan,
kering seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan
vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan
warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati
juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras
(seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan
lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak begitu jelas.
Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat
badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher
dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam
kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu
bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak
simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera
diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab,
bintik perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan
kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianose,
kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma.
11
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki
dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di
dapati di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh
sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya
darah.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan
congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat
Tardieus spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna
gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang
lain jarang.
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line)
pada tunika intima dari arteri karotis interna.
BAB III
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian
organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi
kematian.Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.
Stadium pada asfiksia yaitu stadium dyspneu, stadium konvulsi, stadium apneu,
dan stadium akhir. Tanda-tanda pada asfiksia yaitu (1)Tardieus spot (Petechial
hemorrages) yaitu terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar. (2)Kongesti dan Oedema, (3)Sianosis,(4)Tetap cairnya darah,
DAFTAR PUSTAKA
13
1. Knight B. Asphyxia and Pressure on the Neck and Chest. In: Simpsons Forensic
Medicine, eleventh ed.london, Oxford University Press, Inc. 2001.p;87-90.
2. Amir,Amri. Abortus. Dalam; Amri, Amir. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi II.
Medan; Ramadhan 2005.
3. Amir, Amri.. Dalam Amir, Amri. Asfiksia.Edisi II. Medan: USU Press, 2001.
4. Budiyanto, Arif. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 1997. Hal 37-54.
5. Idries A.M. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta; Binarupa Aksara;
1997.
6. Mansjoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran Forensik &Medikolegal. Abortus ed.
Ketifga. Bagian Ilmu kedokteran Forensik & Medikolegal FK UNAIR;
Surabaya, 2007.
7. Shkrum MJ, Ramsay DA. Chapter 3; Asphyxia In; Forensic Pathology of
Trauma; Common Problems for the Pathologist. New Jersey; Humana Press Inc;
2007. P121-133
8. Sampurna B, Samsu Z. Peranan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Penegakan
Hukum Sebuah Pengantar. Jakarta; Pustaka Dwipar; 2003. p97-110
14