Dengan kata lain, dalam konteks negara kebangsaan (nation state) seperti Indoneisa, syariah
dapat berfungsi sebagai substansi nilai yang potensial untuk memberikan akar bagi tumbuhnya
ketaatan yang murni (pure legal obedience) dan tulus terhadap konstitusi dan perundangundangan yang ada. Ia hadir untuk memberikan makna bahwa hidup berbangsa dan bernegara
memerlukan ruh, semangat ketulusan, rasa memiliki dan komitmen terhadap konsensus serta
keputusan hukum bersama, sebagai kelanjutan dari adanya kedalaman penghayatan dan
keterpanggilan yang tumbuh dan berkembang dari pemaknaan hidup yang berdimensi keahlian
(religious meaning of life).
Pada keterkaitan pemaknaan yang demikian, maka perangkat dan produk perundangundangan yang ada bukanlah semata aturan duniawi (profane) yang hanya layak untuk dijadikan
acuan kognitif dan otak-atik pengertian semantic perundang-undangan (Begriff und
Normwissenschaft) dalam sengketa dan pendebatan tekhnis yuridis formil, tetapi lahir dan ada
untuk ditaati dan dijadikan pedoman berdasarkan ketulusan dan kemurnian prinsip ketaatan.
Maka melalui syariah, manusia Indonesia pada dasarnya dapat diajarkan untuk hormat
konstitusi dan taat kitab suci. Allah berfirman:
Artinya:
58; Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
59; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 58-59)
Karena syariah pada prakteknya juga dapat dimaknai sebagai seperangkat nilai yang sudah
dikembangkan sebagai suatu disiplin ilmu, maka teoretisasi dan sejarah pemikiran syariah sudah
melahirkan derivasi epistemologis dan tekhnis keilmuan secar relatif detail. Dikenallah
kemudian, klasifikasi bidang keilmuan syariah yang dipengaruhi oleh tradisi keilmuan hukum
sipil/continental (civil law): hukum tentang perseorangan dan keluarga (fiqh al-akhwal assyakhsiyyah), hukum tentang harta benda (al-ahkam al-maliyyah), hukum publik/pidana (alahkam al-jinayyah), dan seterusnya.
Sayangnya, karena dualisme tradisi pendidikan (pendidikan umum dan keagamaan) di
negara-negara Muslim, maka tradisi keilmuan yang bersifat saling memperkarya dan meminjam
antara ilmu-ilmu syariah dan ilmu hukum tidak dapat berkembang. Lebih jauh, secara perlahanlahan seiring dengan memudarnya tradisi ijtihad, maka proses saling meminjam dan
memperkarya itu berubah menjadi tradisi keilmuan dan sikap ilmuwan yang defensif, menolak,
dan tertutup. Arah dan penajaman spesialisasi keilmuan, kemudian lebih menunjang
keberlangsungan dualisme tersebut. Dus, tidak mudah untuk mengembangkan keilmuan syariah
secara dialektis: saling meminjam dan mengisi diantara keilmuan syariah dan hukum.
Tidak dapat dipungkiri, memang ada problem filosofis dan ontologi keilmuan antara ilmu
syariah dan ilmu hukum. Satu contoh saja, dalam ilmu-ilmu syariah dikenal nilai hukum yang
tidak dapat berubah (qathiyyat). Sementara, dalam ilmu hukum (terutama madzhab
freirechtslehre) nilai hukum itu diciptakan oleh manusia dan sepenuhnya bergantung kepada
kesepakatan manusia tentang apa yang dianggap sebagai nilai yang berubah dan nilai yang tetap.
Contoh yang lain adalah bentuk sanksi dalam hukum. Dalam pandangan sebagian besar
fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang
kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara,
dalam pemikiran pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum dan kriminologi, sanksi itu dapat
dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat rehabilitatif atau
tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa fisik yang arahnya adalah
menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan bagi manusia yang lain (bersifat fisik
dan personal).
Dalam perspektif rehabilitatif, maka pandangannya adalah kesalahan individu itu bersifat
juga kesalahan kolektif. Manusia mencuri bukan karena semata kesalahan yang bersangkutan,
tetapi hal itu juga didorong oleh sistem sosial ekonomi yang membuat dia sebagai pencuri.
Dengan demikian tugas pemidanaan adalah menormalkan kembali si pelaku kejahatan dan tidak
hanya fokus pada penjeraan dengan hukuman fisik. Dalam perspektif demikian, tidak ada istilah
penjara, tetapi yang ada adalah Lembaga Pemasyarakatan. Di sisi lain, sanksi dalam perspektif
personal dan fisik lebih memfokuskan pada tindak kriminalitas yang dilakukan adalah kesalahan
individu dan hukuman yang diberikan harus berorientasi pada pembebanan fisik untuk pelaku
sehingga menimbulkan efek jera baginya dan peringatan bagi calon pelaku. Maka dalam
kerangka demikian, pelaku tindak pidana dimasukkan ke dalam Penjara.
Daerah model pemikiran dan contoh praktek tersebut masih dapat diperbanyak dan lebih
diperdalam. Untuk pendalaman dan penajaman, setiap mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta sudah selayaknya mulai berfikir untuk :
a; Memperkaya literatur bacaan tentang ilmu-ilmu kesyariahan dan ilmu hukum dalam bingkai
b;
c;
d;
e;
Label
: Motivation