Height Meassurement For Patient With and Without Specific Condition
Height Meassurement For Patient With and Without Specific Condition
ASSESMENT OF GROWTH
Oleh:
Elfira Isba Puspasari
(NIM : 145070301111037)
JURUSAN GIZI KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
untuk
melihat
ketidak-seimbangan
asupan
protein
dan
energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.
kondisi seseorang/pasien dan usia (usia balita, dewasa atau usia lanjut).
D. Prosedur Pengukuran
1. Pengukuran Tinggi Badan pada Kondisi Normal
Pengukuran tinggi badan untuk orang atau anak dengan kondisi kesehatan yang
normal dapat dilakukan dengan menggunakan mikrotoise. Mikrotoise ini memiliki
kapasitas ukur 2 meter dan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran ini hanya dapat dilakukan jika
pasien dapat berdiri.
Persiapan (Cara Memasang Microtoise) :
1. Letakan alat pengukur di lantai yang datar dan menempel pada dinding. Dinding
jangan ada lekukan atau tonjolan (rata).
2. Tarik papan penggeser tegak lurus keatas dan tarik sampai angka pada jendela baca
menunjukkan angka 0 (nol). Kemudian dipaku atau direkat dengan lakban pada
bagian atas microtoise.
3. Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita, beri lagi perekat pada posisi
sekitar 10 cm dari bagian atas microtoise.
Prosedur Pengukuran Tinggi Badan:
1. Minta responden melepaskan alas kaki (sandal/sepatu), serta topi dan asesoris kepala
yang lainnya.
2. Pastikan alat geser berada diposisi atas.
3. Reponden diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser.
4. Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit menempel pada
dinding tempat microtoise di pasang.
5. Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas.
6. Gerakkan alat geser sampai menyentuh bagian atas kepala responden. Pastikan alat
geser berada tepat di tengah kepala responden. Dalam keadaan ini bagian belakang
alat geser harus tetap menempel pada dinding.
7. Baca angka tinggi badan pada jendela baca ke arah angka yang lebih besar (ke
bawah ) Pembacaan dilakukan tepat di depan angka (skala) pada garis merah, sejajar
dengan mata petugas.
8. Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur harus berdiri di atas
bangku agar hasil pembacaannya benar.
9. Pencatatan dilakukan dengan ketelitian sampai satu angka dibelakang koma (0,1cm).
Contoh 157,3 cm; 160,0 cm; 163,9 cm.
perubahan postur tubuh dan penipisan diskus vertebra yang dapat menyebabkan
penurunan tinggi badan lansia. Pada kondisi pasien sakit, kesulitan pengukuran dapat
terjadi karena hal-hal tertentu yang tidak memungkinkan pasien untuk berdiri. Jika
seorang seseorang masih sehat dan dapat berdiri tegak maka pengukuran tinggi badan
dapat dilakukan dengan mikrotoise. Namun apabila seseorang tersebut sudah tidak
dapat berdiri tegak, maka pengukuran tinggi badannya dapat dilakukan dengan
beberapa cara berikut:
a. Pengukuran dengan tinggi lutut
Teknik pengukuran tinggi lutut sangat erat hubungannya dengan tinggi badan
sehingga
sering
digunakan
untuk
mengestimasi
tinggi
badan
dengan
gangguanlekukan spinal atau tidak dapat berdiri. Tinggi lutut diukur dengan alat
Knee Height Caliper dalam posisi duduk dan atau berbaring.
a. Subyek yang diukur dalam posisi duduk atau berbaring/tidur.
b. Pengukuran dilakukan pada kaki kiri subyek antara tulang tibia dengan
tulang paha membentuk sudut 90o
c. Alat ditempatkan di antara tumit sampai bagian proksimal dari tulang
platela.Pembacaan skala pada alat ukur dengan ketelitian 0,1 cm
Data tinggi lutut yang telah didapat kemudian dapat dimasukkan ke dalam
rumus berikut.
Rumus Chumlea:
TB pria = 64,19 (0,04 x umur (tahun) + (2,02 x tinggi lutut (cm))
TB wanita = 84,88 (0,24 x umur (tahun) + (1,83 x tinggi lutut (cm))
b. Pengukuran dengan rentang lengan/ arm span
Rentang lengan relative kurang dipengaruhi oleh pertambahan usia. Pada
kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai rentang lengan
yang lebih
badan, meskipun tidak seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara rentang
lengan dan tinggi badan.
Cara pengukuran rentang lengan ialah sebagai berikut:
1) Pengukuran rentang lengan dilakukan dengan instrument pita ukur yang
menempel secara horizontal di dinding, dan dilengkapi dengan penunjuk
angka yang dapat disesuaikan.
2) Subyek berdiri dengan punggung menempel pada tembok. Kedua tangan
direntangkan 90 derajat sumbu tubuh ke arah lateral.
3) Tangan yang satu diposisikan sehingga berada pada ujung pita pengukur (pada
titik nol), kemudian penunjuk angka digeser hingga menyentuh tangan yang
kedua.
4) Baca hasil pengukuran hingga ketelitian 0.1 cm.
Rumus:
Pria
= 118,24 + (0,28 x Panjang Depa) (0,07 x Umur) cm
Wanita = 63,18 + (0,63 x Panjang Depa) (0,17 x Umur) cm
Langkah pengukuran:
1)
2)
3)
4)
Height (m)
Men16 Men>54year
54year
Height (m)
Women16 Women>54year
-54years
s
18,5
19
19,5
20
20,5
21
21,5
22
22,5
1,46
1,48
1,49
1,51
1,53
1,55
1,57
1,58
1,6
1,45
1,46
1,47
1,49
1,51
1,52
1,54
1,56
1,57
1,47
1,48
1,5
1,51
1,52
1,54
1,55
1,56
1,58
1,4
1,42
1,44
1,45
1,47
1,48
1,5
1,52
1,53
Catatan : Pengukuran harus dilakukan setidaknya dua kali. Jika ada variasi
yang besar antara dua pengukuran, cek kembali posisi tubuh dan ulangi
pengukuran.
Menurut Fatma, et al. 2008 bahwa untuk mengestimasi tinggi badan
berdasarkan tinggi duduk dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
7)
67,5 cm.
Setelah pengukuran selesai, kemudian bayi/anak diangkat.
E. Kesalahan Pengukuran
Dalam proses pengukuran paling tidak ada tiga faktor yang terlibat, yaitu alat ukur,
benda ukur dan orang yang melakukan pengukuran. Hasil pengukuran tidak mungkin
mencapai kebenaran yang absolut karena adanya keterbatasan dari berbagai macam faktor.
Yang diperoleh dari pengukuran tersebut adalah hasil yang dianggap paling mendekati
dengan ukuran geometris obyek ukur. Meskipun hasil pengukuran itu merupakan hasil
yang dianggap benar, masih juga terjadi penyimpangan hasil pengukuran. Berikut adalah
beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan pengukuran.
1. Kesalahan pengukuran karena alat ukur
Suatu alat ukur tentunya memiliki sifat yang menguntungkan maupun merugikan.
Sifat yang merugikan ini antara lain kestabilan nol, kepasifan, pengambangan, dan
sebagainya. Kalau sifat-sifat yang merugikan ini tidak diperhatikan tentu akan
menimbulkan banyak kesalahan dalam pengukuran. Oleh karena itu, untuk mengurangi
terjadinya penyimpangan pengukuran sampai seminimal mungkin maka alat ukur yang
akan dipakai harus dikalibrasi dan diatur sedemikian rupa terlebih dahulu.
2. Kesalahan pengukuan karena benda ukur
Tidak semua benda ukur berbentuk pejal yang terbuat dari besi, seperti rol atau
bola baja, balok dan sebagainya yang statis dan tidak mudah bergerak. Kadang-kadang
benda ukur terbuat dari bahan alumunium, misalnya kotak-kotak kecil, silinder, dan
sebagainya. Benda ukur seperti ini mempunyai sifat elastis, artinya bila ada beban atau
tekanan dikenakan pada benda tersebut maka akan terjadi perubahan bentuk. Begitu
juga dengan manusia, yang tentu saja dapat beepindah posisi selama proses
pengukuran. Bila kita tidak hati-hati dalam mengukur,
Kondisi badan yang kurang sehat dapat mempengaruhi proses pengukuran yang
akibatnya hasil pengukuran juga kurang tepat. Misalnya saja pada orang yang
penglihatannya sudah tidak terlalu jelas, walaupun sudah memakai kaca mata hasil
pembacaan skala ukurnya juga tidak akan selalu tepat. Jadi, kondisi yang sehat
memang diperlukan sekali untuk melakukan pengukuran, apalagi untuk pengukuran
dengan ketelitian tinggi.
b. Kesalahan Karena Metode Pengukuran yang Digunakan
Alat ukur dalam keadaan baik, badan sehat untuk melakukan pengukuran, tetapi
masih juga terjadi penyimpangan pengukuran. Hal ini tentu disebabkan metode
pengukuran yang kurang tepat. Kekurangtepatan metode yang digunakan ini berkaitan
dengan cara memilih alat ukur dan cara menggunakan atau memegang alat ukur. Cara
memegang atau meletakkan alat ukur pada benda kerja juga akan mempengaruhi
ketepatan hasil pengukuran. Bila posisi alat ukur ini kurang diperhatikan letaknya
oleh si pengukur maka tidak bisa dihindari terjadinya penyimpangan dalam
pengukuran.
c. Kesalahan Karena Pembacaan Skala Ukur
Kebanyakan yang terjadi karena kesalahan posisi waktu membaca skala ukur.
Kesalahan ini sering disebut, dengan istilah paralaks, yang sering kali terjadi pada
pengukur yang kurang memperhatikan bagaimana seharusnya dia melihat skala ukur
pada waktu alat ukur sedang digunakan. Di samping itu, si pengukur yang kurang
memahami pembagian divisi dari skala ukur dan kurang mengerti membaca skala
ukur yang ketelitiannya lebih kecil dari yang biasanya digunakannya juga akan
berpengaruh terhadap ketelitian hasil pengukurannya.
Jadi, faktor manusia memang sangat menentukan dalam proses pengukuran.
Untuk memperoleh hasil pengukuran yang betul-betul dianggap presisi tidak hanya
diperlukan asal bisa membaca skala ukur saja, tetapi juga diperlukan pengalaman dan
ketrampilan dalam menggunakan alat ukur. Ada beberapa faktor yang harus dimiliki
oleh seseorang yang akan melakukan pengukuran yaitu:
1. Memiliki pengetahuan teori tentang alat ukur yang memadai dan memiliki
ketrampilan atau pengalaman dalam praktik pengukuran.
2. Memiliki pengetahuan tentang sumber yang dapat
menimbulkan
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. EGC. Jakarta
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Pedoman Pengukuran dan Pemeriksaan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI . Jakarta
Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono dan TBW Rahardjo. 2008. Model Prediksi Tinggi Badan
Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk.
Majalah
Kedokteran
Indonesia,
Vol.
58,
No.
12.
Diakses
dari
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/921/917. Diakses
pada tanggal 22 Februari 2015.
Fatmah. 2006. Persamaan (Equation) Tinggi Badan Manusia Usia Lanjut (Manula)
Berdasarkan Usia dan Etnis Pada 6 Panti Terpilih Di Dki Jakarta dan Tangerang Tahun
2005. MAKARA, KESEHATAN, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 7-16
Murbawani, Etisa Adi et al. 2012. Tinggi Badan yang Diukur dan Berdasarkan Tinggi Lutut
Menggunakan Rumus Chumlea pada Lansia. Media Medika Indonesiana(46): 1: 3-4.
Diakses dari http://www.ejournal.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 19 Februari 2015.
Narendra,
Moersintowarti
B.
2006.
PENGUKURAN
ANTROPOMETRI
PADA
FK
Unair
/RSU
Dr.
Soetomo
Surabaya.
Diakses
dari
Pengukuran
Antropometri.
Diakses
dari
http://www.catalog.ihsn.org/
http://ridhoafri.blogspot.com/2014/
Refika
Dita.
2012. Anthropometri
Lansia.
sehatceriaavail.blogspot.com/