Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH NUTRITIONAL ASSESMENT

ASSESMENT OF GROWTH

HEIGHT MEASSUREMENT FOR PATIENT


WITH AND WITHOUT SPECIFIC CONDITION

Oleh:
Elfira Isba Puspasari
(NIM : 145070301111037)
JURUSAN GIZI KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERITAS BRAWIJAYA MALANG
2014

HEIGHT MEASSUREMENT FOR PATIENT WITH AND


WITHOUT SPECIFIC CONDITION
A. Anthropometry
Antropometri berasal dari kata anthropos yang berarti manusia dan metros yang
berarti ukuran. Secara umum, antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Antropometri
dapat didefinisikan sebagai suatu studi tentang pengukuran tubuh manusia dalam hal
dimensi tulang, otot, dan jaringan lemak. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum
digunakan

untuk

melihat

ketidak-seimbangan

asupan

protein

dan

energi.

Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh
seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh.

B. Pengukuran Antropometrik (Anthropometric Measurements)


Pengukuran tubuh, seperti tinggi dan berat badan serta pengukuran bagian tubuh
lain, merupakan alat yang penting dalam menentukan dan mengevaluasi status gizi
seseorang atau sekelompok masyarakat.
Pengukuran antropometri ada 2 tipe yaitu pertumbuhan, dan ukuran komposisi tubuh
yang dibagi menjadi pengukuran lemak tubuh dan massa tubuh yang bebas lemak.
Dengan pengukuran antropometri ini akan diketahui tinggi badan, berat badan, dan
ukuran badan aktual seseorang. Selanjutnya tinggi badan, berat badan dan ukuran tubuh
(termasuk skinfolds dan circumferences) aktual seseorang ini dapat digunakan untuk tujuan
menilai pertumbuhan dan distribusi lemak tubuh seseorang, serta dapat berguna sebagai
data referensi.
Beberapa syarat yang mendasari penggunaan antropometri adalah alatnya mudah
didapat dan digunakan, pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan
objektif, dilakukan dengan tenaga khusus dan profesional, biaya relatif murah, hasilnya
mudah disimpulkan, dan diakui kebenarannya secara ilmiah.

C. Pengukuran Tinggi Badan


PRINSIP

Dasar pengukuran menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal.


Panjang pengukuran menggunakan length board pada subjek yang kurang dari dua

tahun atau untuk bayi <85 cm).


Tinggi diukur menggunakan mikrotoise dengan subyek dalam posisi berdiri ketika

usia > dua tahun).


Tinggi badan per umur (TB/U) adalah suatu indeks dari stunting (pendek) yang

menggambarkan status gizi masa lalu.


Tinggi badan dipengaruhi oleh genetik, sehingga tinggi badan orang tua hampir selalu
merupakan penentu yang signifikan pada tinggi badan sang anak.
Ada beberapa pengukuran tinggi badan yang penggunaannya dibedakan berdasarkan

kondisi seseorang/pasien dan usia (usia balita, dewasa atau usia lanjut).

D. Prosedur Pengukuran
1. Pengukuran Tinggi Badan pada Kondisi Normal

Pengukuran tinggi badan untuk orang atau anak dengan kondisi kesehatan yang
normal dapat dilakukan dengan menggunakan mikrotoise. Mikrotoise ini memiliki
kapasitas ukur 2 meter dan ketelitian 0,1 cm. Pengukuran ini hanya dapat dilakukan jika
pasien dapat berdiri.
Persiapan (Cara Memasang Microtoise) :

1. Letakan alat pengukur di lantai yang datar dan menempel pada dinding. Dinding
jangan ada lekukan atau tonjolan (rata).
2. Tarik papan penggeser tegak lurus keatas dan tarik sampai angka pada jendela baca
menunjukkan angka 0 (nol). Kemudian dipaku atau direkat dengan lakban pada
bagian atas microtoise.
3. Untuk menghindari terjadi perubahan posisi pita, beri lagi perekat pada posisi
sekitar 10 cm dari bagian atas microtoise.
Prosedur Pengukuran Tinggi Badan:
1. Minta responden melepaskan alas kaki (sandal/sepatu), serta topi dan asesoris kepala
yang lainnya.
2. Pastikan alat geser berada diposisi atas.
3. Reponden diminta berdiri tegak, persis di bawah alat geser.
4. Posisi kepala dan bahu bagian belakang, lengan, pantat dan tumit menempel pada
dinding tempat microtoise di pasang.
5. Pandangan lurus ke depan, dan tangan dalam posisi tergantung bebas.
6. Gerakkan alat geser sampai menyentuh bagian atas kepala responden. Pastikan alat
geser berada tepat di tengah kepala responden. Dalam keadaan ini bagian belakang
alat geser harus tetap menempel pada dinding.
7. Baca angka tinggi badan pada jendela baca ke arah angka yang lebih besar (ke
bawah ) Pembacaan dilakukan tepat di depan angka (skala) pada garis merah, sejajar
dengan mata petugas.

8. Apabila pengukur lebih rendah dari yang diukur, pengukur harus berdiri di atas
bangku agar hasil pembacaannya benar.
9. Pencatatan dilakukan dengan ketelitian sampai satu angka dibelakang koma (0,1cm).
Contoh 157,3 cm; 160,0 cm; 163,9 cm.

2. Pengukuran Tinggi Badan pada Kondisi Tertentu


Tinggi badan sangat diperlukan dalam pengukuran status gizi seseorang. Pada
lansia dan beberapa kondisi tertentu (misalnya sakit), terjadi kesulitan dalam mengukur
tinggi badan. Pada lansia, hal ini disebabkan karena pada proses penuaan, terjadi

perubahan postur tubuh dan penipisan diskus vertebra yang dapat menyebabkan
penurunan tinggi badan lansia. Pada kondisi pasien sakit, kesulitan pengukuran dapat
terjadi karena hal-hal tertentu yang tidak memungkinkan pasien untuk berdiri. Jika
seorang seseorang masih sehat dan dapat berdiri tegak maka pengukuran tinggi badan
dapat dilakukan dengan mikrotoise. Namun apabila seseorang tersebut sudah tidak
dapat berdiri tegak, maka pengukuran tinggi badannya dapat dilakukan dengan
beberapa cara berikut:
a. Pengukuran dengan tinggi lutut
Teknik pengukuran tinggi lutut sangat erat hubungannya dengan tinggi badan
sehingga

sering

digunakan

untuk

mengestimasi

tinggi

badan

dengan

gangguanlekukan spinal atau tidak dapat berdiri. Tinggi lutut diukur dengan alat
Knee Height Caliper dalam posisi duduk dan atau berbaring.
a. Subyek yang diukur dalam posisi duduk atau berbaring/tidur.
b. Pengukuran dilakukan pada kaki kiri subyek antara tulang tibia dengan
tulang paha membentuk sudut 90o
c. Alat ditempatkan di antara tumit sampai bagian proksimal dari tulang
platela.Pembacaan skala pada alat ukur dengan ketelitian 0,1 cm

Data tinggi lutut yang telah didapat kemudian dapat dimasukkan ke dalam
rumus berikut.
Rumus Chumlea:
TB pria = 64,19 (0,04 x umur (tahun) + (2,02 x tinggi lutut (cm))
TB wanita = 84,88 (0,24 x umur (tahun) + (1,83 x tinggi lutut (cm))
b. Pengukuran dengan rentang lengan/ arm span
Rentang lengan relative kurang dipengaruhi oleh pertambahan usia. Pada
kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai rentang lengan

yang lebih

lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan sehingga dapat disimpulkan


bahwa rentang lengan cenderung tidak banyak berubah sejalan penambahan usia.
Sehingga rentang lengan direkomendasikan sebagai parameter prediksi tinggi

badan, meskipun tidak seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara rentang
lengan dan tinggi badan.
Cara pengukuran rentang lengan ialah sebagai berikut:
1) Pengukuran rentang lengan dilakukan dengan instrument pita ukur yang
menempel secara horizontal di dinding, dan dilengkapi dengan penunjuk
angka yang dapat disesuaikan.
2) Subyek berdiri dengan punggung menempel pada tembok. Kedua tangan
direntangkan 90 derajat sumbu tubuh ke arah lateral.
3) Tangan yang satu diposisikan sehingga berada pada ujung pita pengukur (pada
titik nol), kemudian penunjuk angka digeser hingga menyentuh tangan yang
kedua.
4) Baca hasil pengukuran hingga ketelitian 0.1 cm.

Rumus:
Pria
= 118,24 + (0,28 x Panjang Depa) (0,07 x Umur) cm
Wanita = 63,18 + (0,63 x Panjang Depa) (0,17 x Umur) cm

c. Pengukuran dengan demi-span


Pengukuran demi-span diukur dengan mengukur jarak antara pertengahan
sternum sampai ujung jari tengah (lengan kiri) dalam posisi lengan horizontal dan
sejajar dengan bahu

Langkah pengukuran:
1)
2)
3)
4)

Mencari dan menandai titik tengah dari posisi sternum.


Minta pasien untuk menempatkan lengan kanan dalam posisi horizontal
Periksa apakah lengan pasien adalah horizontal dan searah dengan bahu
Menggunakan pita pengukur, mengukur jarak dari tanda di garis tengah pada

posisi sternum ke antara jari tengahdan jari manis


5) Periksa apakah lengan datar dan pergelangan tangan lurus
6) Baca skala dalam cm
Panjang depa dalam centimeter, tinggi badan dihitung dengan rumus:
TB wanita = (1,35 x panjang depa (cm)) + 60,1
TB laki-laki = (1,40 x panjang depa (cm)) + 57,8
d. Pengukuran dengan panjang ulna
Panjang Ulna diukur dengan dari siku (di prosesus olecranon) hingga
pergelangan tangan (di prosesus styloideus). Panjang ulna, seperti rentang lengan,
juga dapat digunakan untuk memprediksi tinggi badan. Prinsipnya ialah
pertumbuhan tulang panjang akan linier dengan pertumbuhan tinggi badan. Hal
ini mendasari penggunaan prediksi tinggi badan dengan menggunakan panjang
tulang, salah satunya ialah ulna.

Hasilnya dalam meter dimasukkan dalam tabel TABEL ESTIMASI


LENGAN BAWAH (ULNA)
Ulna Lenght
(cm)

Height (m)
Men16 Men>54year
54year

Height (m)
Women16 Women>54year
-54years

s
18,5
19
19,5
20
20,5
21
21,5
22
22,5

1,46
1,48
1,49
1,51
1,53
1,55
1,57
1,58
1,6

1,45
1,46
1,47
1,49
1,51
1,52
1,54
1,56
1,57

1,47
1,48
1,5
1,51
1,52
1,54
1,55
1,56
1,58

1,4
1,42
1,44
1,45
1,47
1,48
1,5
1,52
1,53

e. Pengukuran dengan tinggi duduk


Salah satu pengukuran alternative lain untuk mengetahui tinggi badan
adalah dengan mengukur tinggi duduk (sitting height). Prosedur pengukuran
tinggi duduk adalah sebagai berikut :
1) Subjek duduk tegak menghadap ke depan, bahu dan lengan bagian atas santai,
dan lengan bawah dan kedua tangan dijulurkan ke depan secara horizontal
dengan telapak tangan saling berhadapan. Kedua paha sejajar, dan lutut
ditekuk 90 dengan kaki segaris dengan paha.
2) Ukur jarak vertikal antara permukaan tempat duduk dan bagian atas kepala
dengan sebuah anthropometer. Bahu dan bagian atas ekstremitas harus rileks.
Ukur pada titik maksimum saat respirasi tenang.

Catatan : Pengukuran harus dilakukan setidaknya dua kali. Jika ada variasi
yang besar antara dua pengukuran, cek kembali posisi tubuh dan ulangi
pengukuran.
Menurut Fatma, et al. 2008 bahwa untuk mengestimasi tinggi badan
berdasarkan tinggi duduk dapat menggunakan rumus sebagai berikut :

Prediksi tinggi badan laki-laki = 58,047 + 1,210 tinggi duduk


Prediksi tinggi badan perempuan = 46,551 + 1,309 tinggi duduk
3. Pengukuran Tinggi Badan pada Anak dan Bayi belum bisa berdiri
Pengukuran panjang badan dimaksudkan untuk mendapatkan data panjang badan
anak yang belum bisa berdiri agar dapat diketahui status gizi anak.
Prosedur Pengukuran Tinggi Badan:
1) Letakkan alat ukur pada permukaan yang rata (bisa meja atau di lantai)
2) Letakkan alat ukur dengan posisi panel kepala (bagian yang tidak bisa digeser) di
sebelah kiri dan panel penggeser di sebelah kanan pengukur.
3) Tarik geser bagian panel yang dapat digeser sampai diperkirakan cukup panjang
untuk menaruh bayi/anak.
4) Baringkan bayi/ anak dengan posisi terlentang, diantara kedua siku, dan kepala
bayi/anak menempel pada bagian panel yang tidak dapat digeser.
5) Rapatkan kedua kaki dan tekan lutut bayi/ anak sampai lurus dan menempel pada
meja/tempat menaruh alat ukur. Tekan telapak kaki bayi/anak sampai membentuk
siku, kemudian geser bagian panel yang dapat digeser sampai persis menempel pada
telapak kaki bayi/ anak.
6) Bacalah panjang badan anak pada skala kearah angka yang lebih besar. Misalkan:

7)

67,5 cm.
Setelah pengukuran selesai, kemudian bayi/anak diangkat.

E. Kesalahan Pengukuran
Dalam proses pengukuran paling tidak ada tiga faktor yang terlibat, yaitu alat ukur,
benda ukur dan orang yang melakukan pengukuran. Hasil pengukuran tidak mungkin
mencapai kebenaran yang absolut karena adanya keterbatasan dari berbagai macam faktor.
Yang diperoleh dari pengukuran tersebut adalah hasil yang dianggap paling mendekati
dengan ukuran geometris obyek ukur. Meskipun hasil pengukuran itu merupakan hasil
yang dianggap benar, masih juga terjadi penyimpangan hasil pengukuran. Berikut adalah
beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan pengukuran.
1. Kesalahan pengukuran karena alat ukur
Suatu alat ukur tentunya memiliki sifat yang menguntungkan maupun merugikan.
Sifat yang merugikan ini antara lain kestabilan nol, kepasifan, pengambangan, dan
sebagainya. Kalau sifat-sifat yang merugikan ini tidak diperhatikan tentu akan
menimbulkan banyak kesalahan dalam pengukuran. Oleh karena itu, untuk mengurangi
terjadinya penyimpangan pengukuran sampai seminimal mungkin maka alat ukur yang
akan dipakai harus dikalibrasi dan diatur sedemikian rupa terlebih dahulu.
2. Kesalahan pengukuan karena benda ukur
Tidak semua benda ukur berbentuk pejal yang terbuat dari besi, seperti rol atau
bola baja, balok dan sebagainya yang statis dan tidak mudah bergerak. Kadang-kadang
benda ukur terbuat dari bahan alumunium, misalnya kotak-kotak kecil, silinder, dan
sebagainya. Benda ukur seperti ini mempunyai sifat elastis, artinya bila ada beban atau
tekanan dikenakan pada benda tersebut maka akan terjadi perubahan bentuk. Begitu
juga dengan manusia, yang tentu saja dapat beepindah posisi selama proses
pengukuran. Bila kita tidak hati-hati dalam mengukur,

maka penyimpangan hasil

pengukuran pasti akan terjadi.


3. Kesalahan pengukuran karena faktor si pengukur
Kesalahan pengukuran kebanyakan juga dapat disebabkan oleh faktor manusia
yang melakukan pengukuran. Bagaimanapun pasti sulit diperoleh hasil yang sama dari
dua orang yang melakukan pengukuran walaupun kondisi alat ukur, benda ukur dan
situasi pengukurannya dianggap sama. Kesalahan pengukuran dari faktor manusia ini
dapat dibedakan antara lain sebagai berikut: kesalahan karena kondisi manusia,
kesalahan karena metode yang digunakan, kesalahan karena pembacaan skala ukur
yang digunakan.
a. Kesalahan Karena Kondisi Manusia

Kondisi badan yang kurang sehat dapat mempengaruhi proses pengukuran yang
akibatnya hasil pengukuran juga kurang tepat. Misalnya saja pada orang yang
penglihatannya sudah tidak terlalu jelas, walaupun sudah memakai kaca mata hasil
pembacaan skala ukurnya juga tidak akan selalu tepat. Jadi, kondisi yang sehat
memang diperlukan sekali untuk melakukan pengukuran, apalagi untuk pengukuran
dengan ketelitian tinggi.
b. Kesalahan Karena Metode Pengukuran yang Digunakan
Alat ukur dalam keadaan baik, badan sehat untuk melakukan pengukuran, tetapi
masih juga terjadi penyimpangan pengukuran. Hal ini tentu disebabkan metode
pengukuran yang kurang tepat. Kekurangtepatan metode yang digunakan ini berkaitan
dengan cara memilih alat ukur dan cara menggunakan atau memegang alat ukur. Cara
memegang atau meletakkan alat ukur pada benda kerja juga akan mempengaruhi
ketepatan hasil pengukuran. Bila posisi alat ukur ini kurang diperhatikan letaknya
oleh si pengukur maka tidak bisa dihindari terjadinya penyimpangan dalam
pengukuran.
c. Kesalahan Karena Pembacaan Skala Ukur
Kebanyakan yang terjadi karena kesalahan posisi waktu membaca skala ukur.
Kesalahan ini sering disebut, dengan istilah paralaks, yang sering kali terjadi pada
pengukur yang kurang memperhatikan bagaimana seharusnya dia melihat skala ukur
pada waktu alat ukur sedang digunakan. Di samping itu, si pengukur yang kurang
memahami pembagian divisi dari skala ukur dan kurang mengerti membaca skala
ukur yang ketelitiannya lebih kecil dari yang biasanya digunakannya juga akan
berpengaruh terhadap ketelitian hasil pengukurannya.
Jadi, faktor manusia memang sangat menentukan dalam proses pengukuran.
Untuk memperoleh hasil pengukuran yang betul-betul dianggap presisi tidak hanya
diperlukan asal bisa membaca skala ukur saja, tetapi juga diperlukan pengalaman dan
ketrampilan dalam menggunakan alat ukur. Ada beberapa faktor yang harus dimiliki
oleh seseorang yang akan melakukan pengukuran yaitu:
1. Memiliki pengetahuan teori tentang alat ukur yang memadai dan memiliki
ketrampilan atau pengalaman dalam praktik pengukuran.
2. Memiliki pengetahuan tentang sumber yang dapat

menimbulkan

penyimpangan dalam pengukuran dan mengetahui cara mengatasinya.


3. Memiliki kemampuan dalam persoalan pengukuran yang meliputi cara
menggunakannya, mengalibrasi dan memeliharanya.
4. Kesalahan karena faktor lingkungan

Selama melakukan pengukuran, ruangan yang digunakan untuk pengukuran harus


bersih, terang dan teratur rapi letak peralatan ukurnya. Ruang pengukuran yang banyak
debu atau kotoran lainnya sudah tentu dapat menganggu jalannya proses pengukuran.
Disamping si pengukur sendiri merasa tidak nyaman juga peralatan ukur bisa tidak
normal bekerjanya karena ada debu atau kotoran yang menempel pada muka sensor
mekanis dan benda kerja yang kadang-kadang tidak terkontrol oleh si pengukur. Ruang
pengukuran juga harus terang, karena ruang yang kurang terang atau remang-remang
dapat mengganggu dalam membaca skala ukur yang hal ini juga bisa menimbulkan
penyimpangan hasil pengukuran.

DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. EGC. Jakarta
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Pedoman Pengukuran dan Pemeriksaan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI . Jakarta
Fatmah, Hardinsyah, Boedhihartono dan TBW Rahardjo. 2008. Model Prediksi Tinggi Badan
Lansia Etnis Jawa Berdasarkan Tinggi Lutut, Panjang Depa, dan Tinggi Duduk.
Majalah

Kedokteran

Indonesia,

Vol.

58,

No.

12.

Diakses

dari

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/921/917. Diakses
pada tanggal 22 Februari 2015.
Fatmah. 2006. Persamaan (Equation) Tinggi Badan Manusia Usia Lanjut (Manula)
Berdasarkan Usia dan Etnis Pada 6 Panti Terpilih Di Dki Jakarta dan Tangerang Tahun
2005. MAKARA, KESEHATAN, VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 7-16
Murbawani, Etisa Adi et al. 2012. Tinggi Badan yang Diukur dan Berdasarkan Tinggi Lutut
Menggunakan Rumus Chumlea pada Lansia. Media Medika Indonesiana(46): 1: 3-4.
Diakses dari http://www.ejournal.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 19 Februari 2015.
Narendra,

Moersintowarti

B.

2006.

PENGUKURAN

ANTROPOMETRI

PADA

PENYIMPANGAN TUMBUH KEMBANG ANAK (Anthropometric measurement of


deviation in child growth and development). Divisi Tumbuh kembang Anak dan
Remaja

FK

Unair

/RSU

Dr.

Soetomo

Surabaya.

Diakses

dari

http://old.pediatrik.com/pkb/20060220-873im2-pkb.pdf. Diakses pada tanggal 20


Februari 2015.
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES). 2004. Anthropometry
Procedures Manual. http://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/nhanes_03_04/BM.pdf
Diakses pada tanggal 19 Februari 2015
Panduan

Pengukuran

Antropometri.

Diakses

dari

http://www.catalog.ihsn.org/

index.php/catalog/2409/download/37718 . Diakses pada tanggal 19 Februari 2015.


Fitry, Unun. 2013. Antropometri Height Measurements. https://www.scribd.com/doc/
137322532/task-measurement-height-docx. Diakses pada tanggal 22 Februari 2015
Mukhlish, Faishal. 2014. Alat Ukur. http://faishal-mukhlish.blogspot.com/2014/06/alatukur.html. Diakses pada tanggal 19 Februari 2015.

M. Harry. 2014. Kesalahan dalam Pengukuran.

http://ridhoafri.blogspot.com/2014/

06/kesalahan-dalam-pengukuran.html. Diakses pada tanggal 19 Februari 2015.


Tiarapuri,

Refika

Dita.

2012. Anthropometri

Lansia.

sehatceriaavail.blogspot.com/

2012/01/anthropometri-lansia.html. Diakses pada tanggal 19 Februari 2015.


Citerawati, YettiWira. 2012. ASSESMENT OF GROWTH (HEIGHT MEASSUREMENT
FOR PATIENT WITH AND WITHOUT SPECIFIC CONDITION). Diakses dari
https://adingpintar.files.wordpress.com/2012/09/ assesment-of-growth-1.pdf. Diakses
pada tanggal 19 Februari 2015.

Anda mungkin juga menyukai