Abortus Inkomplit
Abortus Inkomplit
ABORTUS INKOMPLIT
080100050
080100273
080100289
Diketahui oleh,
Mentor
dr. Yufi Permana
Pembimbing
dr. Syamsul Arifin Nasution, Sp.OG(K)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat
pada waktunya. Pada laporan kasus ini, kami menyajikan topik mengenai abortus
khususnya abortus inkomplit. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan, RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pembimbing kami, dr. Syamsul Arifin Nasution,
Sp.OG(K) dan mentor kami dr. Yufi Permana atas kesediaan beliau-beliau sebagai
pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini dan atas perbaikan dan
masukan dalam kesempurnaan makalah ini. Besar harapan kami, melalui makalah
ini, pengetahuan dan pemahaman mengenai penyakit ini semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan laporan kasus ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai
pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya kesehatan.
Medan, 12 November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................
1
2
2
3
3
3
4
6
16
16
17
19
21
22
29
29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan
kurang dari 20/22/24 minggu. Dari 210 juta kehamilan, 75 juta dianggap tidak
direncanakan5 di mana sekitar 15% kehamilan akan berakhir pada aborsi. Pada
negara berkembang, prevalensi abortus mencapai 160 per 100000 kelahiran hidup
dan paling tinggi terdapat di Afrika yaitu 870 per 100000 kelahiran hidup. Di
Indonesia, ditunjukkan prevalensi abortus sebesar 2 juta kasus pada tahun 2000
dengan rasio 37 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif pada 6 wilayah.
Sekitar 75% abortus spontan ditemukan pada usia gestasi kurang dari 16
minggu dan 62% sebelum usia gestasi 12 minggu. Insidensi abortus inkomplit
belum diketahui secara pasti, namun demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita
hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat mengalami abortus
inkomplit. Inisidensi abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari
seluruh kehamilan.
Kasus yang diangkat dalam laporan kasus ini adalah mengenai seorang
wanita, 21 tahun, yang datang dengan keluhan keluar darah disertai jaringan dari
kemaluan. Di RSUD Dr. Pirngadi, dilakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan obstetri ginekologis, dan USG. Pasien akhirnya didiagnosis
dengan abortus inkomplit dan dilakukan kuretase emergensi dengan segera.
Terdapat berbgai faktor risiko dan penyebab dari abortus sendiri di mana
lima puluh persen sampai tujuh puluh persen abortus spontan trimester pertama
terutama abortus rekuren disebabkan oleh kelainan genetik. Selain itu, trauma
yang sering sekali terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat menyebabkan
abortus melalui beberapa mekanisme. Belangan ini, muncul konsep biomolekular
baru mengenai keterlibatan stres oksidatif oleh asap rokok terhadap risiko abortus.
Kasus yang dibahas dalam laporan kasus ini memiliki kemungkinan ketiga
faktor penyebab abortus di atas. Dengan mengetahui penyebabnya, abortus
selanjutnya pada kehamilan selanjutnya dapat dicegah. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu makalah.
1.2.
1.2.1.
Tujuan
Tujuan Umum
Untuk menyelesaiakn KKS di Ilmu Kebidanan dan Penyakit
1.2.2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kandungan
Tujuan Khusus
Mengetahui definisi abortus
Mengetahui epidemiologi abortus
Mengetahui faktor risiko abortus
Mengetahui etiologi abortus
Mengetahui patogenesis dan patofisiologi abortus
Mengetahui diagnosis abortus
Mengetahui pemeriksaan penunjang abortus
Mengetahui diagnosis banding abortus
Mengetahui penatalaksanaan abortus
Mengetahui prognosis abortus
1.3.
1.
2.
Manfaat
Bagi masyarakat awam agar lebih mengetahui mengenai abortus.
Bagi akademisi untuk menambah pengetahuan mengenai abortus.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan
kurang dari (ACOG memberi bat asan 20 minggu,1 FIGO memberi batasan 22
minggu,2 Hanretty memberikan batasan 24 minggu,3 WHO memberi batasan 28
minggu4).
2.2. Epidemiologi
20 tahun, menjadi 26% pada wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia
paternal yang sama, kenaikannya adalah dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus
bertambah pada kehamilan yang belum melebihi umur 3 bulan.8
Penelitian Basama, et al. (2009) pada 182 dengan abortus imminens
menunjukkan bahwa 29% janin akan keluar pada usia gestasi 5-6 minggu; 8,2%
pada usia gestasi 7-12 minggu; dan 5,6% pada usia gestasi 13-20 minggu. 9
Biasanya abortus imminens akan berlanjut menjadi abortus komplit 10-14 minggu
setelah pasien mengeluhkan keluar bercak-bercak darah.10 Pada penelitian Johns et
al. (2006) ditunjukkan bahwa risiko abortus komplit pada pasien abortus
imminens atau insipiens dengan usia gestasi rata-rata 8 minggu adalah 9,3%.11
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko abortus yaitu:
1. Bertambahnya usia ibu.
Abortus meningkat dengan pertambahan umur, OR 2,3 setelah usia 30
tahun. Risiko berkisar 13,3% pada usia 12-19 tahun; 11,1% pada usia 20-24
tahun; 11,9% pada usia 25-29 tahun; 15% pada usia 30-34 tahun; 24,6%
pada usia 35-39%; 51% usia 40-44 tahun; 93,4% pada usia 45 tahun ke atas.
Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko
terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan
bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita
35 tahun dan pria 40 tahun.12
2. Riwayat reproduksi abortus. Risiko pasien dengan riwayat abortus untuk
kehamilan berikutnya ditentukan dari frekuensi riwayatnya. Pada pasien
yang baru mengalami riwayat 1 kali berisiko 19%, 2 kali berisiko 24%, 3
kali berisiko 30%, dan 4 kali berrisiko 40%. Menurut Malpas dan Eastman
kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami
abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser
memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.13
3. Kebiasaan orang tua
a. Merokok dihubungkan dengan peningkatan risiko abortus. Risiko abortus
meningkat 1,2-1,4 kali lebih besar untuk setiap 10 batang rokok yang
dikonsumsi setiap hari. Asap rokok mengandung banyak ROS yang akan
mendestruksi organel seluler melalui kerusakan mitrokondria, nukleus, dan
membran sel.14 Selain itu, secara tidak langsung ROS akan menyebabkan
kerusakan sperma. Hal ini menyebabkan fragmentasi DNA rantai tunggal
maupun ganda sperma.15
Plasentasi normal diatur oleh invasi arteri spiral uterina yang diatur oleh
genomik tropoblas yang normal. Pada organogenesis embrionik dalma
menjamin invasi tropoblas, tekanan oksigen rendah, dan metabolisme
cenderung anaerob. Oleh karena itu, produksi ROS biasanya menurun.
Keadaan ini diatur aktivitas integrin yang merangsang tropoblas untuk
proliferasi. Tekanan oksigen rendah membantu implantasi sedangkan
tekanan tinggi membantuk proliferasi sel tropoblas.16
Transisi trimester 1 ke 2 membawa banyak perubahan metabolisme. Pada
akhir trimester satu, ada peningkatan tekanan oksigen dari <20 mmHg
menjadi >50 mmHg menyebabkan stress oksidatif. Pada abortus, stres
oksidatif juga dipicu oleh zymosan opsonisasi dan stimulai N-formilmetionil-leucil-fenilalanin.
Dengan faktor pemicu asap rokok, stres oksidatif akan semakin buruk. 17
Stres oksidatif sendiri dapat menyebabkan apoptosis yang mengganggu
invasi plasenta dan abortus dini. ROS akan bereaksi dengan molekul pada
berbagai sistem biologi sehingga dapat terjadi kerusakan sel yang ekstensif
dan disrupsi fungsi sel.18 Dengan risiko stres oksidatif, pasien tidak pernah
mengonsumsi vitamin yang berperan sebagai antioksidan sehingga
meningkatkan risiko abortus. Selain itu, Vural, et al. menunjukkan adanya
peningkatan radikal bebas superoksida oleh PMN pada trimester satu
kehamilan.19
b. Konsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat aborsi
spontan dua kali lebih tinggi pada wanita yang minum alkohol 2x/minggu
dan tiga kali lebih tinggi pada wanita yang mengkonsumsi alkohol setiap
hari. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa risiko abortus meningkat 1,3
kali untuk setiap gelas alkohol yang dikonsumsi setiap hari.20
c. Kafein dosis rendah tidak mempunyai hubungan dengan abortus. Akan
tetapi pada wanita yang mengkonsumsi 5 cangkir (500mg kafein) kopi
setiap hari menunjukkan tingkat abortus yang sedikit lebih tinggi.21
d. Radiasi juga dapat menyebabkan abortus pada dosis yang cukup. Akan
tetapi, jumlah dosis yang dapat menyebabkan abortus pada manusia tidak
diketahui secara pasti.22
e. Alat kontrasepsi dalam
rahim
yang
gagal
mencegah
kehamilan
Faktor Genetik
Lima puluh persen sampai tujuh puluh persen abortus spontan terutama
abortus rekuren disebabkan oleh kelainan genetik. Kelainan genetik menjadi
penyebab 70% 6 minggu pertama, 50% sebelum 10 minggu, dan 5% setelah
12 minggu. Kelainan ini dapat disebabkan faktor maternal maupun paternal.
Gamet jantan berkontribusi pada 50% material genomik embrio. Mekanisme
yang dapt berkontribusi menyebabkan kelainan genetik adalah kelainan
kromosom sperma, kondensasi kromatin abnormal, fragmentasi DNA,
peningkatan apoptosis, dan morfologi sperma yang abormal. Sekitar
42% struktur vili korionik abnormal akibat gangguan genetik.25
a. Kelainan kromosom
Sekitar 50% abortus trimester satu disebabkan oleh abnormalitas kromosom
di mana prevalensi ini menjadi 75% pada wanita berusia di atas 35 tahun
dan pada wanita dengan abortus rekuren. Sekitar 25% abortus terjadi pada
trimester satu. Tipe kelainan kromosom parental yang paling banyak adalah
translokasi seimbang, baik resiprokal (segmen distal kromosom saling
bertukar), Robertsonian (dua kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah
sentromer dengan hilangnya lengan pendek), gonosomal mosaik, dan
inversi.26 Keadaan ini dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi
translokasi dan iversi yang memainkan pernan penting pada abortus dan
abortus rekuren.28
Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang menghasikan
tambahan atau hilangnya kromosom. Triploidi dan tetraploidi terkait dengan
fertilisasi yang tidak normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi
oosit oleh dua spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian
pematangan baik pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi biasanya
disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan zigotik pertama.
Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik konvensional
melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X pada jaringan
adalah 52%, 21% dan 13%.29 Trisomi 16 adalah trisomi yang paling sering
terjadi yaitu mencakup 32% dari seluruh kasus trisomi. Kondisi lain adalah
trisomi (pada kromosom 13, 14, 15, 121, 22), poliploidi, monosomi X, dan
translokasi tidak seimbang. Secara rinci, pada usia gestasi 1 minggu, yang
paling sering terjadi adalah trisomi 17, 3 minggu trisomi 16 dan tetraploidi,
6 minggu trisomi 22, 5 minggu triploidi, 6 minggu monosomi X.30
Mikrodelesi
kromosom
yang
menyebabkan
kegagalan
spermatogenik.33
b. Kelainan gen
Gangguan genetik ini akan menyebabkan gangguan fenotipe yang memiliki
implikasi penting dalam kejadian abortus.
i.
Mutasi gen reseptor progesteron34
ii.
Mutasi gen hemostatik: mutasi FV dan mutasi gen protrombin
G20210A meningkatkan risiko 2 sampai 4,9 kali.35 Mutasi protein C/S
meningkatkan 3,5-15,4 kali risiko abortus. Mutasi misense gen MTHFR
iii.
iv.
VEGF.39
Ekspresi gen plasenta: mutasi Mash1 dan Hand1.40 Peningkatan gen
apoptosis menyebabkan kematian vili korionik.41 Mutasi PP14, MUC1,
2.
Gangguan plasenta
Mayoritas kasus abortus berkaitan dengan kelainan genetik maupun
kelainan perkembangan plasenta terutama pada vili korionik yang berperan
sebagai unit fungsional plasenta dalam hal transpor oksigen dan nutrisi pada
fetus.45 Penelitian histologi Haque, et al. pada 128 sisa konsepsi abortus,
ditunjukkan bahwa 97% menunjukkan vili plasenta berkurang, 83% vili
mengalami fibrosis stroma, 75% mengalami degenerasi fibroid, dan 75%
mengalami pengurangan pembuluh darah. Inflamasi dan gangguan genetik
dapat menyebabkan aktivasi proliferasi mesenkim dan edema stroma vili. 46
Keadaan ini akan berlanjut membentuk sisterna dan digantikan dengan
jaringan fibroid. Pada abortus, pendarahan yang merembes melalui desidua
akan membentuk lapisan di sekeliling vili korionik. Kemudian, material
pecah dan merangsang degenerasi fibrinoid.47 Penelitian Ladefogd, et al.
pada 269 jaringan abortus menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hidropik
yang signifikan antara jaringan abortus spontan dan jaringan abortus lainnya
3.
(p<0,001).48
Kelainan uterus
Pada pasien dengan abortus, prevalensi pasien dengan anomali uterus
bervariasi dari 1,8%-37,6% terutama pada kehamilan trimester akhir.49
Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan akuisita dan kelainan yang
timbul dalam proses perkembangan janin,defek duktus mulleri yang dapat
terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol
(DES). Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus adalah
leiomioma dan perlekatan intrauteri. Leiomioma uterus yang besar dan
majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abortus, bahkan lokasi
leiomioma
tampaknya
lebih
penting
daripada
ukurannya.
Mioma
10
hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi
dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.27,51
5. Kelainan Koagulasi dan Imunologi
Kehamilan adalah suatu keadaan di mana hemostatis berada dalam kondisi
prokoagulasi dengan peningkatan konsentrasi faktor koagulan dan
penurunan
faktor
antikoagulan.52
Mikropartikel
prokoagulan
yang
11
12
besar
kemungkinanya
menjadi
predisposisi
meningkatnya
kemungkinan abortus. 51
10. Trauma
Sekitar 7% wanita mengalami trauma selama kehamilan tetapi banyak kasus
yang tidak dilaporkan. Berdasarkan studi kasus yang terjadi, mekanisme
trauma paling banyak adalah kecelakaan lalu lintas (55%), jatuh (13%),
penyiksaan diri sendiri (10%), jatuh dari sepeda (4%), jatuh saat berjalan
(4%), atau penyebab lainnya (11%). Pada umumnya, mekanisme trauma
yang paling banyak adalah jatuh sendiri dan kesengajaan. Data
epidemiologis 16 negara menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas,
kebakaran, dan jatuh yang paling banyak menyebabkan mortalitas maternal.
Keadaan ini akan menyebabkan abrupsio plasenta, pendarahan fetomaternal,
rupture uteri, trauma janin langsung.63
Kontraksi preterm ditemukan pada 25% pasien trauma dan semakin
meningkat sesuai dengan ISS. Penelitian Ikossi, et al. (2004) pada 1195
wanita hamil yang mengalami trauma menunjukkan bahwa 17 meninggal
dan dari wanita hamil yang selamat, 66 mengalami risko tinggi abortus.
5,1% pasien melahirkan secara normal, 75% dengan sectio caesarea yang
dilakukan <24 jam melahirkan. Indikasi dilakukan sectio caesarea cito
adalah fetal distress, maternal distress, atau kombinasi keduanya.64
Penelitian Shah, et al. pada 114 pasien, ditunjukkan bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan abortus adalah kematian maternal, trauma abdomen
berat, syok hemoragik. Pasien dengan ISS >15, trauma terutama pada
toraks, abdomen, atau ekstremitas inferior (AIS >2) atau AIS pada kepala >
13
2 akan memiliki risiko tinggi untuk mengalami keguguran. Hal ini berkaitan
dengan hipoksia janin dan vaskokontriksi pembuluh darah maternal.65
Penelitian Ali, et al. pada 20 wanita hamil menunjukkan bahwa ISS>12
menunjukkan 65% abortus dengan 1 kematian maternal 25. Kematian fetal
dibanding maternal berkisar 3-9:1 26.66
Uterus dilindungi pelvik sampai usia kehamilan 12 minggu, jadi jarang
terjadi trauma akibat trauma abdomen lansung. Setelah 20 minggu, diatas
umbulukus, kandung kemih tersisihkan oleh pembesaran uterus sehingga
uterus lebih rentan terkena trauma. Dinding uterus juga menjadi lebih tipis
dan cairan amnion menurun seiring dengan penambahan gestasi. Pada
trauma kapitis, terjadi perubahan fungsi HPA sehingga regulasi hormon
yang
menyokong
kehamilan
menjadi
terganggu.67
Kelley,
et
al.
14
2.5. Klasifikasi
Abortus dapat diklasifikasikan berdasarkan
1. Tujuan
a. Abortus medisinalis yaitu abortus yang sengaja dilakukan dengan alasan
bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu. Pertimbangan ini
dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis kebidanan dan
kandungan, spesialis penyakit dalam, dan spesialis jiwa, bila perlu ditambah
dengan pertimbangan dari tokoh agama yang terkait.
b. Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan
yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.51,70
c. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan apapun.
2. Jenis (dibahas pada diagnosis)
3. Waktu
Menurut Shiers (2003), disebut abortus dini bila abortus tejadi pada usia
kehamilan <12 minggu dan >12 minggu disebut abortus lanjut. 71 Abortus
trimester satu biasanya diakibatkan kelaian genetik atau penyakit autoimun
yang diderita ibu, abortus trimester dua biasanya disebabkan oleh kelainan
uterus, dan abortus trimester tiga.72
2.6. Patogenesis & Patofisiologi
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua yang
menyebabakn nekrosis jaringan. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat
perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan
mengawali adanya proses abortus. Karena hasil konsepsi tersebut terlepas dapat
15
menjadi benda asing dalam uterus yang menyebabkan uterus kontraksi dan
mengeluarkan isinya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan
secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan
dalam
cavum uteri atau di kanalis servikalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses
pengeluaran hasil konsepsi. Pada kehamilan 8-14 minggu biasanya diawali
dengan pecahnya selaput ketuban dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat
namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Jenis ini sering menimbulkan
perdarahan pervaginam banyak. Pada kehamilan minggu ke 14-22, janin biasanya
sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian.
Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menimbulkan
gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam banyak. Perdarahan
pervaginam umumnya lebih sedikit namun rasa sakit lebih menonjol.
Pada abortus hasil konsepsi yang dikeluarkan terdapat dalam berbagai
bentuk yaitu kantong amnion kosong, di dalam kantung amnion terdapat benda
kecil yang bentuknya masih belum jelas (blighted ovum), atau janin telah mati
lama. Plasentasi tidak adekuat sehingga sel tropoblas gagal masuk ke dalam arteri
spiralis. Akibatnya, terjadi peredaran darah prematur dari ibu ke anak.27,51,70
2.7. Diagnosis
Abortus diduga pada wanita yang pada masa reproduktif mengeluh tentang
perdarahan pervaginam setelah terlambat haid. Hipotesis dapat diperkuat pada
pemeriksaan bimanual dan tes kehamilan. Harus diperhatikan banyaknya
perdarahan, pembukaan serviks, adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina.
Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya sedikit-sedikit dan berlangsung
lama, ekaligus dalam jumlah yang besar dapat disertai gumpalan, dan akibat
perdarahan tidak menimbulkan gangguan apapun atau syok. Disebut pendarahan
ringan-sedang bila doek bersih selama 5 menit, darah segar tanpa gumpalan, darah
yang bercampur dengan mukus. Pendarahan berat bila pendarahan yang banyak,
merah terang, dengan atau tanpa gumpalan, doek penuh darah dalam waktu 5
menit, dan pasien tampak pucat.3
16
17
diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semua sudah keluar dengan lengkap.
Pada penderita ini disertai anemia sebaiknya disuntikan sulfas ferrosus atau
transfusi bila anemia. Pendarahan biasanya tinggal bercak-bercak dan
anamnesis di sini berperan penting dalam menentukan ada tidaknya riwayat
keluarnya jaringan dari jalan lahir Pada inspekulo, ditemukan darah segar
di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan
5. Missed Abortion ditandai dengan kematian embrio atau fetus dalam
kandungan >8 minggu sebelum minggu ke-20. Pada anamnesis akan
ditemukan uterus berkembang lebih rendah dibanding usia kehamilannya,
bisa tidak ditemukan pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada
riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan
bercak darah di sekitar dinding vagina, portio tertutup, tidak ditemukan
jaringan
6. Abortus rekuren adalah abortus spontan sebanyak 3x/ lebih berturut-turut.
Pada anamnesis akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda abortus di atas,
riwayat menggunakan IUD atau percobaan aborsi sendiri, dan adanya
demam.
7. Abortus Septik ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritonium. Hasil diagnosis ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret
yang bau dari vagina, uterus besar dan ada nyeri tekan dan bila sampai
sepsis dan syok (lelah, panas, menggigil)
8. Blighted ovum adalah suatu keadaan di mana embrio tidak terbentuk tetapi
terdapat kantung gestasi. Kofirmasi tidak ada embrio pada kantung gestasi
(diameter minimal 25 mm) dengan USG.
2.8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk abortus meliputi:3,51,75
1. Ultrasonografi
Pada usia 4 minggu, dapat terlihat kantung gestasi eksentrik dengan
diameter 2-3 mm. Pada usia gestasi 5 minggu, terlihat diameter kantung
gestasi 5 mm, kantung telur 3-8 mm. Pada usia gestasi 6 minggu, terlihat
diameter kantung gestasi 10 mm, embrio 2-3 mm, dan terdapat aktivitas
jantung. Pada usia gestasi 7 minggu, diameter kantung gestasi 20 mm,
18
terlihat bagian kepala dan badan yang menyatu. Pada usia gestasi 8
minggu, diameter kantung gestasi 25 mm, herniasi midgut, terlihat
rhombencephalon, dan limb buds. Pada usia gestasi 9 minggu, tampak
pleksus koroidalis, vertebra, dan ekstremitas. Pada usia gestasi 10 inggu,
telah terlihat bilik jantung, lambung, kandung kemih, dan osifikasi tulang,
pada usia gestasi 11, usus telah terbentuk dan struktur lainnya cenderung
telah terbentuk dengan baik. Abortus dapat ditegakkan dari USG
transabdominal bila pada embrio >8 mm tidak ditemukan aktivitas jantung.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kariotipe genetik
Tiroid, KGD
BIopsi endometrium fase luteal untuk kadar progesteron
Infeksi
Imunologis
Beta hCG
Serum beta HCG >2500 IU per mL disertai
dengan
USG
transvaginal90% KDR
Serum beta HCG >6500 IU per mL disertai dengan USG abdomen 90%
KDR
Gejala
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
penunjang
19
Abortus
iminens
Abortus
insipien
perdarahan dari
uterus pada
kehamilan sebelum
20 minggu berupa
flek-flek
nyeri perut ringan
keluar jaringan (-)
perdarahan banyak
dari uterus pada
kehamilan sebelum
20 minggu
nyeri perut berat
keluar jaringan (-)
Abortus
inkomplit
Abortus
komplit
perdarahan (-)
nyeri perut (-)
keluar jaringan (+)
perdarahan (-)
nyeri perut (-)
biasanya tidak
merasakan keluhan
apapun kecuali
merasakan
pertumbuhan
kehamilannya tidak
seperti yang
diharapkan. Bila
kehamilannya > 14
minggu sampai 20
minggu penderita
merasakan rahimnya
semakin mengecil,
tanda-tanda
kehamilan sekunder
pada payudara mulai
menghilang.
Tanda kehamilan (+)
Terdapat banyak atau
sedikit gelembung
mola
Perdarahan banyak /
sedikit
Nyeri perut (+)
ringan
Missed
abortion
Mola
hidatidosa
20
Blighted
ovum
KET
2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abortus masih kontroversial. Namun, biasanya didasari
oleh jenis abortus yang terjadi. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin,
hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis.
Langkah pertama dari serangkaian penatalaksanaan abortus adalah penilaian
kondisi klinis pasien. Penilaian ini masih berkaitan dengan upaya diagnosis dan
memulai pertolongan awal kegawatdaruratan. Dengan langkah ini, dapat dikenali
berbagai komplikasi yang dapat mengancam keselamatan pasien seperti syok,
infeksi/sepsis, perdarahan hebat (masif) atau taruma intraabdomen. Melalui
pengenalan ini, dapat diambil langkah untuk mengatasi kondisi kegawatdarutan.3
Penatalaksanaan abortus secara spesifik disesuaikan dengan jenis
abortusnya yaitu:
1. Abortus imminens
Tirah baring tidak memberikan hasil lebih baik namun dianjurkan untuk
membatasi
aktivitas
agar
meminimalkan
kemungkinan
rangsangan
21
perbandingan
abortus
antara
kelompok
yang
menerima
22
ekspektatif,
23
24
prosedur ini tidak memerlukan anestesi umum dan memiliki efektivitas yang
cukup baik (persentase evakuasi komplit rata-rata >98%). Walaupun begitu,
perhitungan statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna.88 Heath
et al. menunjukkan bahwa tidak ada manfaat pemeriksaan histopatologi
jaringan kuretase. Akan tetapi, hal ini tetap saja diperiksakan untuk
mencegah kemungkinan KET.92
Beberapa studi menganjurkan terapi misoprostol. 93 Efikasi misoprostol
berkisar 13%-96% dengan banyak faktor yang mempengaruhinya misal,
abortus, dan ukuran kantung gestasi. Angka keberhasilan tinggi (70%-96%)
ditemukan pada kasusu abortus inkomplit dengan misoprostol dosis tinggi
(1200 mcg-2400 mcg) yang berikan pervaginam.94,95
Chung et al. menunjukkan bahwa 400 mcg misoprostol oral setiap 4 jam
menunjukkan efikasi yang baik dengan dosis maksimum 1200 mcg. 96
Gonlund yang membandingkan rawat ekspektatif dengan misoprostol
vaginal 400 mcg menunjukkan keberhasilan 90% lebih baik dengan evaluasi
pada hari 8 dan 14.97 Studi yang membandingkan rute oral dan vaginal
menunjukkan bahwa vaginal lebih baik.98 Meka et al. menganjurkan
penatalaksanaan dengan 600 mcg misoprostol pervaginam dan kontrol tes
kehailan urin setelah 3 minggu tatalaksana.99
Mengenai efektivitas melalui rute apa misoporstol harus diberikan masih
kontroversial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa misoprostol lebih
efektif diberikan per bukal atau per vaginam agar tidak perlu melalui proses
first pass metabolism. Meta analisis pada 15 penelitian (2118 wanita)
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna kejadian abortus pada
25
4.
a.
b.
c.
Abortus komplit
Perbaiki keadaan umum
Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat
Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan
26
Bila gestasional <12 minggu, bisa langsung dilakukan dilatasi dan kuretase
jika seviks memungkinkan. Bila gestasional >12 minggu / <20 minggu,
dilakukan induksi (untuk mengeluarkan janin) & diberi Invus (iv) cairan
oksitosin (untuk profilaksis retensi cairan). Terdapat tehnik pemberian
prostagalandin untuk induksi serta berefek pd pembukaan ostium serviks,
dgn pemberian mesoprostol (sublingual). Bila usia gestasi lebih dari 4
minggu memungkinkan terjadinya gangguan trombosis darah oleh karena
hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan
evakuasi dan kuretase.27
7. Abortus infeksi atau septik
Kuretase dilakukan setelah 6 jam diberikan antibiotika yang adekuat. Pada
infeksi berat, diberikan ampisilin intravena 2 g setiap 6 jam, gentamisin 5
mg/kgBB intravena selama 24 jam, dan metronidazole 500 mg intravena
setiap 8 jam. Pada infeksi ringan, cukup diberikan amoxicillin oral 3 kali
sehari selama 5 hari, metronidazole oral 400 mg 3 kali sehari selama 5 hari,
dan gentamisin intravena 5 mg/kgBB bila perlu.103
8. Blighted ovum
Dilatasi dan kuraetase secara selektif.
2.11. Pencegahan
Pada serviks inkompeten, dilakukan operasi untuk mengecilkan ostium uteri
pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah
memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri
internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Jika berhasil maka
kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan dan benang dipotong
pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut dapat dilakukan menurut cara
Shirodkar atau cara Mac Donald.104
2.12. Prognosis
Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten, angka
kesembuhan setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85 %,
apapun terapinya. Bahkan, Warburton dan Fraser (1964) menunjukkan
kemungkinan abortus rekuren adalah 25-30% berapapun jumlah abortus
27
sebelumnya. Poland, et al. (1977) mencatat bahwa apabila seorang wanita pernah
melahirkan bayi hidup, risiko untuk setiap abortus rekuren adalah 30%. Namun,
apabila wanita belum pernah melhairkan bayi hidup dan pernah mengalami paling
sedikit satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46%. Wanita dengan
abortus spontan tiga kali atau lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran
preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan
berikutnya (Thom dkk, 1992).27,51
BAB 3
STATUS PASIEN
SMF OBSTETRI & GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
1. Identitias Pasien
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Suku/Agama
Status
Alamat
Tanggal Masuk
No. MR
: Ny. H
: 21 tahun
: SMA
: Ibu Rumah Tangga
: Jawa/Islam
: Menikah
: Jalan Gatot Subroto Km 11,8 No. 20 Deli Serdang
: 31 Oktober 2013 pukul 07.12 WIB
: 90.38.12
2. Anamnesis
Keluhan utama
Telaah
-
Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu ini dan memberat dalam 1 hari
terakhir. Darah yang keluar berwarna merah kehitaman disertai gumpalan
28
darah, frekuensi 1-2 kali ganti pembalut per hari. Pasien melihat keluar
gumpalan darah seperti jaringan atau mata ikan. Keluhan ini disertai
dengan nyeri perut seperti mulas-mulas dan nyeri pinggang. Awalnya,
pasien mengaku tidak memeriksakan dirinya ke dokter atau bidan karena
ia menganggap hal ini wajar akan tetapi karena darah yang keluar
semakin deras dan menggumpal, pasien memutuskan untuk datang ke
-
IGD RSUPM.
Pasien mengaku dirinya tidak haid sejak bulan September 2013. Pasien
melakukan pemeriksaan tes pack urin merek Sensitif dan mendapatkan
hasil yang positif. Akan tetapi, pasien belum pernah konfirmasi hasil
kehamilan ini ke dokter kandungan. Pasien tidak pernah mengonsumsi
dari kemaluan.
Riwayat keluar air-air dari kemaluan disangkal, riwayat kusuk (-),
riwayat campur (-), riwayat keputihan (-), dan riwayat minum jamu-jamu
(-).
BAK (+), BAB (+), kesan normal.
29
Lama Haid
: 5-7 hari, teratur
Ganti pembalut : 2-3 kali sehari
Nyeri haid
:Riwayat Persalinan
1. Hamil ini
Riwayat Pernikahan
Pertama kali dengan suami sekarang yang berusia 25 tahun, sudah menikah
1 tahun.
Riwayat Kontrasepsi
Tidak pernah.
Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien saat ini tinggal dengan suaminya. Pasien adalah seorang ibu ruma
tangga dan suami pasien bekerja sebagai pegawai swasta di suatu pabrik.
Biaya hidup sehari-hari diperoleh dari gaji yang didapat suami pasien.
Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi alkohol maupun merokok. Akan
tetapi, suami pasien sering merokok saat di rumah sekitar 5-8 batang per
hari.
Riwayat Operasi
Tidak dijumpai
3. Pemeriksaan Fisik
Status Praesens
Sensorium
:
TD
:
HR
:
RR
:
Temperatur
:
Status Generalisata
Kepala
:
Compos mentis
110/60 mmHg
90 x/i, teratur
20 x/i
36,8 C
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Anemis
Ikterus
Sianosis
Dyspnea
Edema
:
:
:
:
:
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Toraks
30
Pemeriksaan
Fisik
Inspeksi
Depan
Belakang
Simetris fusiformis,
Simetris fusiformis,
pernafasan
pernafasan
torakoabdominal,
torakoabdominal,
pergerakan otot-otot nafas
pergerakan otot-otot nafas
tambahan (-),
tambahan (-)
hiperpigmentasi areola
mammae (+)
Palpasi
Stem fremitus kanan=kiri,
Stem fremitus paru
kesan normal.
kanan=kiri, kesan normal.
Perkusi
Sonor pada kedua lapangan Sonor pada kedua lapangan
paru.
paru.
Batas jantung relatif
Atas : ICR III sinistra
Kanan: LSD
Kiri : 2 cm LMCS, ICR V
Auskultasi
Paru
Paru
SP: vesikuler pada seluruh
SP: vesikuler pada seluruh
lapangan paru
lapangan paru
ST: ST: Jantung
HR 100 x/i, reguler,
intensitas kuat, M1>M2,
A2>A1, P2>P1, T1>T2,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
: Inspeksi : Simetris, jejas (-)
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi: Peristaltik (+) N
Ekstremitas
: jejas (-), luka (-), edema (-)
31
Abdomen
Ekstremitas
: Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R ttb
Perkusi : Timpani
Auskultasi: Normoperistaltik
: Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal.
Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis
tidak dijumpai
Status Obstetrikus
Abdomen
: Soepel, tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
Leopold I
: TFU tidak teraba
Leopold II
: Tidak dapat dinilai
Leopold III
: Tidak dapat dinilai
Leopold IV
: Tidak dapat dinilai
P/V
: (+)
Tanda Chadwick : (+)
Status Ginekologis
Inspeksi
: Massa (-), P/V (+)
Inspekulo
: Portio
: licin, erosi (-), lividae (+), fluksus (+) dari
kanalis servikalis, OUE terbuka.
Vagina : massa (-), laserasi (-), fluksus (+), tampak
gumpalan darah di introitus vagina,
dibersihkan kesan tidak mengalir.
VT
: Korpus uteri antefleksi, besar biasa, tanda Hegar (+),
tanda Piskacek (+)
Adneksa kanan-kiri sulit dinilai
Parametrium lemas
Cavum douglas tidak menonjol, nyeri (-).
Nyeri goyang serviks (-)
4. Penjajakan
Laboratorium
Darah Lengkap
Hemoglobin
: 14,1 g/dl
Hematokrit
: 40,4 %
Red Blood Cell
: 4,65x106/mm
Leukosit
: 9300/mm
Trombosit
: 279.000/mm
MCV
: 36,9 fL
MCH
: 30,2 fL
MCHC
: 34,4 fL
PT
: 14,3 (14,9)
INR
: 1,19 (1-1,3)
Tes beta HCG urin : (+)
Ultrasonografi Transabdominal
32
Diagnosis
Abortus inkomplit
6.
Penatalaksanaan
- Kuretase emergensi
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 2 g (profilaksis)
7.
Laporan Kuretase
- Ibu dibaringkan di meja operasi dengan posisi litotomi dengan infus
terpasang dengan baik. Dilakukan pengosongan kandung kemih dan
vulva hygiene lalu dilakukan pemasangan doek steril kecuali lapangan
-
operasi.
Dilakukan pemasangan sims spekula atas dan bawah
Dilakukan pemasangan tenakulum pada arah jam 11
Kemudian sinus spekulum atas dilepaskan
Dilakukan sondase didapatkan uterus antefleksi panjang 7 cm
Dilakukan kuretase dengan sendok kuret tajam dari anah jam 12 searah
jarum jam hingga terdengar suara kerokan kelapa dan keluar buih
Didapatkan sisa jaringan sebesar 50 gram dan stoll cell 50 cc
Tenakulum dilepas dan sims spekulo bawah dilepas
Evaluasi perdarahan: t.a.a.
Keadaan umum ibu post kuret: stabil
Rencana post kuretase:
Awasi vital sign dan tanda-tanda pendarahan
Cek darah lengkap 2 jam post kuretase, jika Hb 8gr/dl, transfusi sesuai
kebutuhan.
Pemeriksaan histopatologi jaringan kuretase
Terapi
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
33
8.
Follow Up
Tanggal
S:
31 Oktober 2013
Keluar darah dari kemaluan
O:
Status Praesens
Sens : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 18 x/i
T : 36,5c
Status Obstetrikus
Abdomen:
Soepel,
peristaltik (+), nyeri tekan
(+)
TFU: tidak teraba
P/V: (+)
BAK: (+) N
BAB: (+) N
Laboratorium
Hb 11,2 g/dL; Ht 32,3%;
WBC 8.800/mm3;
PLT
3
234.000/mm
A:
Post kuretase a/i abortus
inkomplit
P:
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12
jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8
jam
Rencana Besok aff infus dan kateter
:
urin
1 November 2013
Keluar darah dari kemaluan
(-)
Status Praesens
Sens : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,3c
Status Obstetrikus
Abdomen: Soepel, peristaltik
(+), nyeri tekan (-)
TFU: tidak teraba
P/V: (-)
BAK: (+) N
BAB: (+) N
USG TAS
Tidak tampak gambaran
hipoekoik di kavum uteri
Post kuretase a/i abortus
inkomplit
- Tab cefadroxil 500 mg 2 x
1
- Tab metronidazole 2 x 1
- Vitamin B kompleks 3 x 1
Pulang berobat jalan
34
BAB 4
ANALISIS KASUS
Kasus
Ny H datang ke IGD
RSUPM dengan keluhan
keluar
darah
dari
kemaluan sejak 1 minggu
ini dan memberat dalam
1 hari terakhir.
Teori
Pendarahan pervaginam
adalah suatu kondisi di
mana keluarnya darah
dari vagina. Pendarahan
pervaginam terdiri dari
mayoritas
pendarahan
antepartum, pendarahan
postpartum,
maupun
pendarahan
akibat
abnormalitas ginekologi
tertentu sehingga harus
diketahui status gestasi
pasien.
Kehamilan yaitu masa
yang
dimulai
dari
konsepsi, nidasi, embrio,
hingga menjadi fetus.
Tanda-tanda kehamilan
meliputi
amenorrhea,
hiperemesis,
dan
perubahan
fisiologis
tubuh ibu hamil. Tanda
pasti
adalah
bila
pemeriksa
mersakan
gerakan janin dan adanya
denyut jantung janin.
Analisis
Pasien ini mengalami
pendarahan pervaginam
dengan
berbagai
diagnosis
banding
penyebabnya.
35
Darah
yang
keluar
berwarna
merah
kehitaman
disertai
gumpalan
darah,
frekuensi 1-2 kali ganti
pembalut
per
hari.
Kadang, pasien melihat
keluar gumpalan darah
seperti jaringan atau mata
ikan. Keluhan ini disertai
dengan nyeri perut seperti
mulas-mulas dan nyeri
pinggang.
36
37
kapitis.
Pada
penatalaksanaan
abortus
imminens,
dilakukan
rawat
ekspektatif dengan tirah
baring
total
untuk
mengurangi
rangsang
mekanik pada uterus
yang akan mengaktifkan
hormon progesteron.
Salah satu penyebab
abortus adalah kelainan
genetik. Setengah dari
kasus abortus trimester
satu disebabkan oleh
kelainan genetik. Sekitar
15%
disebabkan
monosomi, 54% trisomi,
dan 3% trisomi ganda.
Kebanyakan abortus yang
akan diakibatkan adalah
abortus rekuren.
Gangguan genetik diteliti
menyebabkan gangguan
vili
korionik
dan
gangguan
implantasi
plasenta.
Stres oksidatif sendiri
dapat
menyebabkan
apoptosis
yang
mengganggu
invasi
plasenta dan abortus dini.
ROS
akan
bereaksi
dengan molekul pada
berbagai sistem biologi
sehingga dapat terjadi
kerusakan
sel
yang
ekstensif dan disrupsi
fungsi sel.
Dengan
risiko
stres
oksidatif, pasien tidak
38
Pada
pemeriksaan
obstetrikus,
dijumpai
abdomen seopel, nyeri
tekan tidak dijumpai,
TFU tidak teraba, dan
terdapat
perdarahan
pervaginam.
pernah
mengonsumsi
vitamin yang berperan
sebagai
antioksidan
sehingga meningkatkan
risiko
abortus.
Pada
penelitian Rumbold, et al.
(2005)
ditunjukkan
bahwa vitamin C dan E
tetapi tidak vitamin A
dalam manfaat mencegah
abortus
karena
berhubungan
dengan
kandungan antioksidan
pada vitamin C dan E.
Status praesens yang
normal
menunjukkan
pasien berada dalam
kondisi
yang
stabil.
Status generalisata dalam
batas normal memberikan
informasi bahwa tidak
ada penyulit penyakit
dalam kehamilan dengan
batasan
pemeriksaan
fisik.
Hiperpigmentasi
mammae
merupakan
salah satu perubahan
fisiologis pada wanita
hamil.
Pada abortus inkomplit,
tidak ada pemeriksaan
obstetrik yang spesifik.
Yang dapat terlihat hanya
pendarahan pervaginam.
menyebabkan
stress
oksidatif
dalam
hal
mengatur
implantasi
plasenta. Risiko asap
rokok akan memperburuk
stres
oksidatif
yang
terjadi. Selain itu, pasien
tidak
mengonsumsi
vitamin C dan E yang
dapat berfungsi sebagai
antioksidan.
Hasil
pemeriksaan
obstetrikus pasien ini
menunjukkan diagnosis
pasien ini lebih ke arah
abortus
inkomplit
dibanding
abortus
komplit karena masih
dijumpai
adanya
pendarahan pervaginam.
Pada
pemeriksaan Pada pemeriksaan VT Dari hasil pemeriksaan
ginekologis,
dari ditemukan kanalis serviks ginekologis,
terlihat
39
inspekulo
tampak
gumpalan
darah
di
introitus vagina. Pada VT
dijumpai serviks l1 cm;
uterus lebih besar dari
besar biasa; parametrium
kanan-kiri sulit dinilai;
nyeri goyang serviks (+),
cavum douglas menonjol.
40
Sarana
opertif
yang
tersedia di RSUD Dr.
Pirngadi adalah kuretase
sehingga penatalaksanaan
yang dilakukan adalah
kuretase tajam yang
dijadwalkan secepatnya
atau emergensi.
41
kehilangan
darah
minimal (RR 0,28), nyeri
minimal
(RR
0,74),
waktu lebih singkat (-1,2
menit). Walaupun begitu,
perhitungan
statistik
menunjukkan perbedaan
yang tidak bermakna.
Selain itu, prosedur ini
hanya
memerlukan
anestesi lokal.
42
BAB 5
PERMASALAHAN
1. Bagaimana tatalaksana pasien ini di daerah terpencil?
BAB 6
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Ny. H, 21 tahun, G1P0A0, datang ke IGD RSUPM dengan keluhan keluar
darah dari kemaluan sejak 1 minggu ini dan memberat dalam 1 hari terakhir.
Darah yang keluar berwarna merah kehitaman disertai gumpalan darah, dan
disertai jaringan. Pasien juga merasakan nyeri perut dan nyeri pinggang.
Pasien ini memiliki riwayat trauma dan riwayat keluarga mengalami
abortus. Suami pasien juga sering merokok saat berada di rumah. Status
praesens
dalam
batas
normal.
Status
generalisata
menunjukkan
43
menonjol.
Pasien
didiagnosis
dengan
abortus
inkomplit.
DAFTAR PUSTAKA
1. DeCherney AH, Nathan L, & Goodwin TM. Spontaneous Abortion. Robertson A
(editor). In: Current Diagnosis and Treatment in Obstetric and Gynecology. New
York: McGraw-Hill, 2003.
2. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Saifuddin AB, Rachimhadhi T,
Wiknjosastro GH (editor), In: Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2010.
3. Hanretty KP. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In: Obstetrics
Illustrated, 6th Edition. London: Churchill-Livingstone, 2003.
4. World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008
5. Sharing responsibility: women, society and abortion worldwide. New York, The
Allan Guttmacher Institute,1999.
6. Christopher P. Crum. The Female Genital Tract. In: Ramzi S. Cotran, Vinay
Kumar, Tucker Collins. Pathologic Basis of Disease.7th ed. Philadelphia: WB.
Saunders 2004; 1079-80.
7. Greenwold N, Jauniaux E. Collection of villous tissue under ultrasound guidance to
improve the cytogenetic study of early pregnancy failure. Hum Reprod 2002; 17:
45256.
8. Regan L, Rai R. Epidemiology and the medical causes of miscarriage. Baillieres
Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2000; 14: 83954.
9. Basama FM, Crosfill F. The outcome of pregnancies in 182 women with threatened
miscarriage. Arch Gynecol Obstet 2004; 270:86-90
44
10. Weiss JL, Malone FD, Vidaver J, et al. Threatened abortion: A risk factor for poor
pregnancy outcome, a population-based screening study. Am J Obstet Gynecol
2004; 190:745-50.
11. Johns J, Jauniaux E. Threatened miscarriage as a predictor of obstetric outcome.
Obstet Gynecol 2006; 107:845-50.
12. Tien JC & Tan TYT. Non surgical intervensions for threatened and recurrent
miscarriages. Singapore Med J, 2007; 48(12): 1074.
13. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. In: James, et al. (eds), High Risk
Pregnancy Management Options. 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2006; 160-182.
14. Pierce GB, Parchment RE, Lewellyn AL. Hydrogen peroxideas a mediator of
programmed cell death in the blastocyst. Differentiation 1991;46:181186.
15. Suganuma R, Yanagimachi R, Meistrich ML. Decline in fertility of mouse sperm
with abnormal chromatin during epididymal passage as revealed by ICSI. Hum
Reprod 2005; 20: 3101-3108.
16. Caniggia I, Mostachfi H & Winter J. Hypoxia-inducible factor-1 mediates the
biological effects of oxygen on human trophoblast differentiation through TGFbeta. J Clin Invest 2000; 105: 577-587.
17. Gupta S, Agarwal A, Banerjee J & Alvarez J. The role of oxidative stress in
spontaneous abortion and recurrent pregnancy loss: a systematic review. CME
Review Article 2012; 62(5): 335-347.
18. Cohen RK & Koren G. Antioxidants and fetal protection against ethanol
teratogenicity: review of the experimental data and implications to humans.
Neurotoxicol Teratol 2003; 25: 1-9.
19. Vural P, Akgul C, Yildirim A, et al. Antioxidant defence in recurrent abortion. Clin
Chim Acta 2000; 295: 169-177.
20. Burd L, Roberts D, Odendaal H. ethanol and the placenta: a review. Journal of
maternalfetal and neonatal medicine 2007, 20(5):361375.
21. Weng X, Odouli R & Li DK. Maternal caffeine consumption during pregnancy and
the risk of miscarriage: a prospective cohort study. Am J Obstet Gynecol 2008; 198:
279-308.
22. Brent RL. Saving lives and changing family histories: Appropriate counseling of
pregnant women and men and women of reproductive age, concerning the risk of
diagnostic radiation exposures during and before pregnancy. Am J Obstet Gynecol,
2009, 200(1):4-24.
23. King H, Webb RT & Mortensen PB. Risk of stillbirth and neonatal death linked
with maternal mental illness: a national cohort study. archives of disease in
childhood, fetal and neonatal, 2009 94(2): 105-110.
24. Fertl KI, Bergner A, Beyer R, Klapp BF & Rauchfuss BF. Levels and effects of
different forms of anxiety during pregnancy after a prior miscarriage. Eur. J.
Obstet. Gynecol. Reprod. Biol. 2009; 142: 23-29.
25. Miozzo M & Simoni G. The role of imprinted genes in fetal growth. Biol Neonate
2002;81:217-228.
26. Korevaar JC, Leschot NJ, Bossuyt PM, Knegt AC, Schoorl KB, Wouters CH, et al.
Selective chromosome analysis in couples with two or more miscarriages: case
control study. BMJ 2005; 331: 137-141.
27. Cunningham. Recurrent Miscarriage: Abortion. Mark E (editor), In: Williams
Obstetrics 23rd Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010.
45
28. Stirrat GM. Recurrent miscarriage I: definition and epidemiology. Lancet 1990;
336: 673-675
29. Godjin M. Chromosome abnormalities in first-trimester pregnancy loss. University
of Amsterdam, 2003; 1: 1-19.
30. Eiben B, Bartels I & Bahr-Porsch. Cytogenetic analysis of 50 spontaneous
abortions with the direct preparationn method of chorionic villi and its implications
for studying genetic causes of pregnancy wastage. American journal of Human
Genetics 1990: 47; 656-663.
31. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Womens Health Reports 2003, 3:
361-366.
32. Robinson WP, McFadden DE & Stephenson MD. The origin of abnormalities in
recurrent aneuploidy/polyploidy. Am J Hum Genet. 2001; 69(6): 1245-1254.
33. Shi Q & Martin RH. Aneuploidy in human sperm: a review of the frequency and
distribution of aneuploidy, effects of donor age and lifestyle factors. Cytogenet Cell
Genet 2000, 90:219-226.
34. Schweikert A, Rau T, Berkholz A, Allera A, Daufeldt S, Wildt L, et al. Association
of progesterone receptor polymorphism with recurrent abortions. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol 2004: 113; 67-72.
35. Lebedev N, Nazarenko SA. Tissue-Specific Placental Mosaicism for Autosomal
Trisomies in Human Spontaneous Abortuses. Russian J of Genet 2001,
37(11):1224-1237.
36. Lee RM, Silver RM. Recurrent pregnancy loss: Summary and clinical
recommendations. Semin Reprod Med 2000, 18: 433-440.
37. Brosens JJ, Hodgetts A, Zaidi FF, Sherwin JR, Fusi L, Salker MS, et al. Proteomic
analysis of endometrium from fertile and infertile patients suggests a role for
apolipoprotein A-I in embryo implantation failure and endometriosis. Mol Hum
Reprod 2010;16:273-285.
38. Teklenburg G, Salker M, Heijnen C, Macklon NS & Brosens JJ. The molecular
basis of recurrent pregnancy loss: impaired natural embryo selection. Mol Hum
Reprod, 2010: 16(12): 886-895.
39. Suryanarayana V, Rao L, Kanakavalli M, Padmalatha V, Raseswari T, &
Deenadayal M. Association between novel HLA-G genotypes and risk of recurrent
miscarriages: A case-control study in a South Indian population. Repro Sci, 2008;
15: 817-824.
40. Rossant. Placental development: lessons from mouse mutants. Nat Rev Genet,
2001; 2(7): 538-548.
41. Choi HK, Choi BC, Lee SH, Kim JW, Cha KY & Baek KH. Expression of
angiogenesis and apoptosisrelated genes in chorionic villi derived from recurrent
pregnancy patients. Mol Reprod Dev, 2003; 66:24-33.
42. Laird SM, Tuckerman EM, Cork BA, Linjawi S, Blakemore AF, Li TC, et al. A
review of immune cells and molecules in women with recurrent miscarriage.
Human Reproduction Update 2003: 9(2); 163-174.
43. Salmon JE. A noninflammatory pathway for pregnancy loss:innate immune
activation.
44. Novak RF. A Brief Review of Anatomy, Histology and ultrastructure of the full
term placenta. Archives of Pathology & Laboratory Medicine 1991;115: 654-659.
45. Haque AU, Siddique S, Jafari M, Hussain I & Siddiqui S. Pathology of chorionic
villi in spontaneous abortions. International Journal of Pathology 2004; 2(1): 5-9
46. Emmrich P. Pathology of the placenta. Zentralbl Pathol 1992; 138: 1-8.
46
47
48
88. Chow AW, Marshall, JR, Guze LB. A double-blind comparison ofclindamycin with
penicillin plus chloramphenicol in treatment of septic abortion. J Infect Dis
1977;135(Suppl):S3539
89. Seeras R, Evaluation of prophylactic use of tetracycline after evacuation in
abortion in Harare Central Hospital. Seeras R , Evaluation of prophylactic use of
tetracycline after evacuation in abortion inHarare Central Hospital. East Afr Med J
1989;66(9):60710..
90. Zhang J, Giles JM, Barnhart K, Creinin MD,Westhoff C, Frederick MM. A
comparison of medical management with misoprostol and surgical management for
early pregnancy failure. N Engl J Med 2005;353:7619..
91. Gulmezoglu MW & Thike BK. Antibiotics for incomplete abortion. Cochrane,
2012; 1: 1-10.
92. Heath V, Chadwick V, Cooke I, Manek S & MacKenzie IZ. Should tissue from
pregnancy termination and uterine evacuation routinely be examined
histologically?. BJOG 2000;107:72730
93. Misoprostol for treatment for incomplete abortion
94. Tang OS, Lau WNT, Ng EHY, Lee SWH, & Ho PC. A prospective randomized
study to compare the use of repeated doses of vaginal with sublingual misoprostol
in the management of first trimester silent miscarriages. Hum Reprod 2003;18:176
81;
95. IGO_incomp_Blum.pdf chung et al
96. Sagili H & Divers M. Review modern management of miscarriage. RCOG 2007; 9:
102-108.
97. Ngoc NT, Blum J,Westheimer E, Quan TT,Winikoff B. Medical treatment of
missed abortion using misoprostol. Int J Gynecol Obstet 2004;87:13842
98. Meka A & Reddy BM. Recurrent spontaneous abortion: an overview of genetic and
non gentic background.
99. Corrado F, Dugo C, Cannata M, Di Bartolo M, Scilipoti A & Stella N. A
randomised trial of progesterone prophylaxis aftermidtrimester amniocentesis.
European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2002;
100(2): 196-8.
100. Wiebe et al. Reducing surgery in management of spontaneous abortions. Can
Fam Physician, 1999: 45: 1-10.
101. Hure AJ, Powers JR & Loxton D. Misarriage, preterm delivery, dan stillbirth.
PLoS One, 2012; 7(5): 1-9.
102. World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008.
103. Pernoll ML. Habitual Abortion. Dalam: Benson and Pernolls Handbook of
Obstetrics and Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies, 2001.
104. Tien JC & Tan TYT. Non-surgical Interventions for Threatened and Recurrent
Miscarriages. Singapore Med J 2007; 48(12): 1074-1081.
49