Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

ABORTUS INKOMPLIT

Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti kepaniteraan klinik


senior di SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSUD Dr. Pirngadi Medan
Disusun oleh,
Citra Aryanti
Toh Chia Thing
Loh Hui Wen

080100050
080100273
080100289

Diketahui oleh,
Mentor
dr. Yufi Permana

Pembimbing
dr. Syamsul Arifin Nasution, Sp.OG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFERSI DOKTER


SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. PIRNGADI
MEDAN
2013

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan kasus ini dapat kami selesaikan tepat
pada waktunya. Pada laporan kasus ini, kami menyajikan topik mengenai abortus
khususnya abortus inkomplit. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan, RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pembimbing kami, dr. Syamsul Arifin Nasution,
Sp.OG(K) dan mentor kami dr. Yufi Permana atas kesediaan beliau-beliau sebagai
pembimbing kami dalam penulisan laporan kasus ini dan atas perbaikan dan
masukan dalam kesempurnaan makalah ini. Besar harapan kami, melalui makalah
ini, pengetahuan dan pemahaman mengenai penyakit ini semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan laporan kasus ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai
pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya kesehatan.
Medan, 12 November 2013
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................

1.1. Latar Belakang.................................................................................


1.2. Tujuan...............................................................................................
1.3. Manfaat............................................................................................

1
2
2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................


2.1. Definisi...................................................................................
2.2. Epidemiologi...........................................................................
2.3. Faktor Risiko..........................................................................
2.4. Etiologi...................................................................................
2.5. Klasifikasi...............................................................................
2.6. Patogenesis dan Patofisiologi.................................................
2.7. Diagnosis................................................................................
2.8. Pemeriksaan Penunjang..........................................................
2.9. Diagnosis Banding..................................................................
2.10. Penatalaksanaan......................................................................
2.11. Prognosis.................................................................................
2.12. Pencegahan.............................................................................

3
3
3
4
6
16
16
17
19
21
22
29
29

BAB 3 STATUS PASIEN........................................................................... 30


BAB 4 ANALISIS KASUS......................................................................... 30
BAB 5 PERMASALAHAN........................................................................ 45
BAB 6 PENUTUP....................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 47

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan
kurang dari 20/22/24 minggu. Dari 210 juta kehamilan, 75 juta dianggap tidak
direncanakan5 di mana sekitar 15% kehamilan akan berakhir pada aborsi. Pada
negara berkembang, prevalensi abortus mencapai 160 per 100000 kelahiran hidup
dan paling tinggi terdapat di Afrika yaitu 870 per 100000 kelahiran hidup. Di
Indonesia, ditunjukkan prevalensi abortus sebesar 2 juta kasus pada tahun 2000
dengan rasio 37 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif pada 6 wilayah.
Sekitar 75% abortus spontan ditemukan pada usia gestasi kurang dari 16
minggu dan 62% sebelum usia gestasi 12 minggu. Insidensi abortus inkomplit
belum diketahui secara pasti, namun demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita
hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat mengalami abortus
inkomplit. Inisidensi abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari
seluruh kehamilan.
Kasus yang diangkat dalam laporan kasus ini adalah mengenai seorang
wanita, 21 tahun, yang datang dengan keluhan keluar darah disertai jaringan dari
kemaluan. Di RSUD Dr. Pirngadi, dilakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan obstetri ginekologis, dan USG. Pasien akhirnya didiagnosis
dengan abortus inkomplit dan dilakukan kuretase emergensi dengan segera.
Terdapat berbgai faktor risiko dan penyebab dari abortus sendiri di mana
lima puluh persen sampai tujuh puluh persen abortus spontan trimester pertama
terutama abortus rekuren disebabkan oleh kelainan genetik. Selain itu, trauma
yang sering sekali terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat menyebabkan
abortus melalui beberapa mekanisme. Belangan ini, muncul konsep biomolekular
baru mengenai keterlibatan stres oksidatif oleh asap rokok terhadap risiko abortus.
Kasus yang dibahas dalam laporan kasus ini memiliki kemungkinan ketiga
faktor penyebab abortus di atas. Dengan mengetahui penyebabnya, abortus

selanjutnya pada kehamilan selanjutnya dapat dicegah. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu makalah.
1.2.
1.2.1.

Tujuan
Tujuan Umum
Untuk menyelesaiakn KKS di Ilmu Kebidanan dan Penyakit

1.2.2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Kandungan
Tujuan Khusus
Mengetahui definisi abortus
Mengetahui epidemiologi abortus
Mengetahui faktor risiko abortus
Mengetahui etiologi abortus
Mengetahui patogenesis dan patofisiologi abortus
Mengetahui diagnosis abortus
Mengetahui pemeriksaan penunjang abortus
Mengetahui diagnosis banding abortus
Mengetahui penatalaksanaan abortus
Mengetahui prognosis abortus

1.3.
1.
2.

Manfaat
Bagi masyarakat awam agar lebih mengetahui mengenai abortus.
Bagi akademisi untuk menambah pengetahuan mengenai abortus.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan
kurang dari (ACOG memberi bat asan 20 minggu,1 FIGO memberi batasan 22
minggu,2 Hanretty memberikan batasan 24 minggu,3 WHO memberi batasan 28
minggu4).
2.2. Epidemiologi

Dari 210 juta kehamilan, 75 juta dianggap tidak direncanakan5 di mana


sekitar 15% kehamilan akan berakhir pada aborsi.6 Sekitar 500.000 wanita
meninggal akibat komplikasi persalinan, 7 juta wanita mengalami gangguan
kesehatan setelah melahirkan. Pada negara berkembang, prevalensi abortus
mencapai 160 per 100000 kelahiran hidup dan paling tinggi terdapat di Afrika
yaitu 870 per 100000 kelahiran hidup.4

Guttmacher, et al. (2003) menunjukkan bahwa angka abortus di AS


mencapai 1278.000 kasus dengan rasio 20,8 per 1000 kelahiran pada wanita usia
produktif (15-49 tahun). Di Indonesia, ditunjukkan prevalensi abortus sebesar 2
juta kasus pada tahun 2000 dengan rasio 37 per 1000 kelahiran pada wanita usia
produktif pada 6 wilayah. Motif sebagain besar kasus abortus adalah abortus
kriminalis.
Sekitar 75% abortus spontan ditemukan pada usia gestasi kurang dari 16
minggu dan 62% sebelum usia gestasi 12 minggu. Insidensi abortus inkomplit
belum diketahui secara pasti, namun demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita
hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat mengalami abortus
inkomplit. Inisidensi abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari
seluruh kehamilan.7
Risiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas
di samping dengan semakin lanjutnya usia ibu dan ayah. Frekuensi abortus yang
dikenali secara klinis bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari

20 tahun, menjadi 26% pada wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia
paternal yang sama, kenaikannya adalah dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus
bertambah pada kehamilan yang belum melebihi umur 3 bulan.8
Penelitian Basama, et al. (2009) pada 182 dengan abortus imminens
menunjukkan bahwa 29% janin akan keluar pada usia gestasi 5-6 minggu; 8,2%
pada usia gestasi 7-12 minggu; dan 5,6% pada usia gestasi 13-20 minggu. 9
Biasanya abortus imminens akan berlanjut menjadi abortus komplit 10-14 minggu
setelah pasien mengeluhkan keluar bercak-bercak darah.10 Pada penelitian Johns et
al. (2006) ditunjukkan bahwa risiko abortus komplit pada pasien abortus
imminens atau insipiens dengan usia gestasi rata-rata 8 minggu adalah 9,3%.11
2.3. Faktor Risiko
Faktor risiko abortus yaitu:
1. Bertambahnya usia ibu.
Abortus meningkat dengan pertambahan umur, OR 2,3 setelah usia 30
tahun. Risiko berkisar 13,3% pada usia 12-19 tahun; 11,1% pada usia 20-24
tahun; 11,9% pada usia 25-29 tahun; 15% pada usia 30-34 tahun; 24,6%
pada usia 35-39%; 51% usia 40-44 tahun; 93,4% pada usia 45 tahun ke atas.
Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko
terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan
bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita
35 tahun dan pria 40 tahun.12
2. Riwayat reproduksi abortus. Risiko pasien dengan riwayat abortus untuk
kehamilan berikutnya ditentukan dari frekuensi riwayatnya. Pada pasien
yang baru mengalami riwayat 1 kali berisiko 19%, 2 kali berisiko 24%, 3
kali berisiko 30%, dan 4 kali berrisiko 40%. Menurut Malpas dan Eastman
kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami
abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser
memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.13
3. Kebiasaan orang tua
a. Merokok dihubungkan dengan peningkatan risiko abortus. Risiko abortus
meningkat 1,2-1,4 kali lebih besar untuk setiap 10 batang rokok yang
dikonsumsi setiap hari. Asap rokok mengandung banyak ROS yang akan
mendestruksi organel seluler melalui kerusakan mitrokondria, nukleus, dan

membran sel.14 Selain itu, secara tidak langsung ROS akan menyebabkan
kerusakan sperma. Hal ini menyebabkan fragmentasi DNA rantai tunggal
maupun ganda sperma.15
Plasentasi normal diatur oleh invasi arteri spiral uterina yang diatur oleh
genomik tropoblas yang normal. Pada organogenesis embrionik dalma
menjamin invasi tropoblas, tekanan oksigen rendah, dan metabolisme
cenderung anaerob. Oleh karena itu, produksi ROS biasanya menurun.
Keadaan ini diatur aktivitas integrin yang merangsang tropoblas untuk
proliferasi. Tekanan oksigen rendah membantu implantasi sedangkan
tekanan tinggi membantuk proliferasi sel tropoblas.16
Transisi trimester 1 ke 2 membawa banyak perubahan metabolisme. Pada
akhir trimester satu, ada peningkatan tekanan oksigen dari <20 mmHg
menjadi >50 mmHg menyebabkan stress oksidatif. Pada abortus, stres
oksidatif juga dipicu oleh zymosan opsonisasi dan stimulai N-formilmetionil-leucil-fenilalanin.
Dengan faktor pemicu asap rokok, stres oksidatif akan semakin buruk. 17
Stres oksidatif sendiri dapat menyebabkan apoptosis yang mengganggu
invasi plasenta dan abortus dini. ROS akan bereaksi dengan molekul pada
berbagai sistem biologi sehingga dapat terjadi kerusakan sel yang ekstensif
dan disrupsi fungsi sel.18 Dengan risiko stres oksidatif, pasien tidak pernah
mengonsumsi vitamin yang berperan sebagai antioksidan sehingga
meningkatkan risiko abortus. Selain itu, Vural, et al. menunjukkan adanya
peningkatan radikal bebas superoksida oleh PMN pada trimester satu
kehamilan.19
b. Konsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat aborsi
spontan dua kali lebih tinggi pada wanita yang minum alkohol 2x/minggu
dan tiga kali lebih tinggi pada wanita yang mengkonsumsi alkohol setiap
hari. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa risiko abortus meningkat 1,3
kali untuk setiap gelas alkohol yang dikonsumsi setiap hari.20
c. Kafein dosis rendah tidak mempunyai hubungan dengan abortus. Akan
tetapi pada wanita yang mengkonsumsi 5 cangkir (500mg kafein) kopi
setiap hari menunjukkan tingkat abortus yang sedikit lebih tinggi.21

d. Radiasi juga dapat menyebabkan abortus pada dosis yang cukup. Akan
tetapi, jumlah dosis yang dapat menyebabkan abortus pada manusia tidak
diketahui secara pasti.22
e. Alat kontrasepsi dalam

rahim

yang

gagal

mencegah

kehamilan

menyebabkan risiko abortus, khususnya abortus septik meningkat.23


f. Psikologis seperti ansietas dan depresi.24
2.3. Etiologi
1.

Faktor Genetik
Lima puluh persen sampai tujuh puluh persen abortus spontan terutama
abortus rekuren disebabkan oleh kelainan genetik. Kelainan genetik menjadi
penyebab 70% 6 minggu pertama, 50% sebelum 10 minggu, dan 5% setelah
12 minggu. Kelainan ini dapat disebabkan faktor maternal maupun paternal.
Gamet jantan berkontribusi pada 50% material genomik embrio. Mekanisme
yang dapt berkontribusi menyebabkan kelainan genetik adalah kelainan
kromosom sperma, kondensasi kromatin abnormal, fragmentasi DNA,
peningkatan apoptosis, dan morfologi sperma yang abormal. Sekitar
42% struktur vili korionik abnormal akibat gangguan genetik.25

a. Kelainan kromosom
Sekitar 50% abortus trimester satu disebabkan oleh abnormalitas kromosom
di mana prevalensi ini menjadi 75% pada wanita berusia di atas 35 tahun
dan pada wanita dengan abortus rekuren. Sekitar 25% abortus terjadi pada
trimester satu. Tipe kelainan kromosom parental yang paling banyak adalah
translokasi seimbang, baik resiprokal (segmen distal kromosom saling
bertukar), Robertsonian (dua kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah
sentromer dengan hilangnya lengan pendek), gonosomal mosaik, dan
inversi.26 Keadaan ini dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi

lahir mati.27 Secara struktural abnormalitas kromosom yang dapat terjadi


yaitu delesi, translokasi, inversi, dan duplikasi. Walaupun begitu, hanya

translokasi dan iversi yang memainkan pernan penting pada abortus dan
abortus rekuren.28
Aneuploidi disebabkan oleh nondisjungsi selama meiosis yang menghasikan
tambahan atau hilangnya kromosom. Triploidi dan tetraploidi terkait dengan
fertilisasi yang tidak normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi
oosit oleh dua spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian
pematangan baik pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi biasanya
disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan zigotik pertama.
Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik konvensional
melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X pada jaringan
adalah 52%, 21% dan 13%.29 Trisomi 16 adalah trisomi yang paling sering
terjadi yaitu mencakup 32% dari seluruh kasus trisomi. Kondisi lain adalah
trisomi (pada kromosom 13, 14, 15, 121, 22), poliploidi, monosomi X, dan
translokasi tidak seimbang. Secara rinci, pada usia gestasi 1 minggu, yang
paling sering terjadi adalah trisomi 17, 3 minggu trisomi 16 dan tetraploidi,
6 minggu trisomi 22, 5 minggu triploidi, 6 minggu monosomi X.30

Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap meiosis sebagai


efek peningkatan usia ibu. Trisomi biasanya disebabkan oleh dispermia dan
kegagalan meiosis sel maternal saat pembelahan oosit diploid. Biasanya
pertumbuhan janin terhambat dan plasenta besar kistik. Beberapa hasil
konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang ditandai dengan kantong

kehamilan yang besar dan degenerasi kistik plasenta. Tetraploid jarang


berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu. Monosomi X
merupakan kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara
aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus.31
Pada genomik mosaik, dua atau lebih jalur genetik akan dipresentasikan
masing-masing. Inaktivasi kromosom X terjadi di mana salah satu atau dua
kromosom X inaktif selama embriogenesis dini di mana seharusnya proses
ini penting sebagai kompensasi untuk gen kromosom X yaitu delesi pada
Xq28.32

Mikrodelesi

kromosom

yang

menyebabkan

kegagalan

spermatogenik.33
b. Kelainan gen
Gangguan genetik ini akan menyebabkan gangguan fenotipe yang memiliki
implikasi penting dalam kejadian abortus.
i.
Mutasi gen reseptor progesteron34
ii.
Mutasi gen hemostatik: mutasi FV dan mutasi gen protrombin
G20210A meningkatkan risiko 2 sampai 4,9 kali.35 Mutasi protein C/S
meningkatkan 3,5-15,4 kali risiko abortus. Mutasi misense gen MTHFR
iii.

C677T dan A1298C.36


Mutasi gen inflamasi: mutasi gen SCO2 yang diperlukan dalam
oksidase sitokrom c.37 Polimorfisme A/G intron 6 dari gen eNOS,38 dan

iv.

VEGF.39
Ekspresi gen plasenta: mutasi Mash1 dan Hand1.40 Peningkatan gen
apoptosis menyebabkan kematian vili korionik.41 Mutasi PP14, MUC1,

CD95, aneksin II reaksi imunolofik fetomaternal.42


v. Mutasi gen mitokondria.43
b. Kelainan HLA
Ligase CD40 pada trimester awal menginhibisi aksis HPA.44

2.

Gangguan plasenta
Mayoritas kasus abortus berkaitan dengan kelainan genetik maupun
kelainan perkembangan plasenta terutama pada vili korionik yang berperan
sebagai unit fungsional plasenta dalam hal transpor oksigen dan nutrisi pada
fetus.45 Penelitian histologi Haque, et al. pada 128 sisa konsepsi abortus,
ditunjukkan bahwa 97% menunjukkan vili plasenta berkurang, 83% vili
mengalami fibrosis stroma, 75% mengalami degenerasi fibroid, dan 75%
mengalami pengurangan pembuluh darah. Inflamasi dan gangguan genetik
dapat menyebabkan aktivasi proliferasi mesenkim dan edema stroma vili. 46
Keadaan ini akan berlanjut membentuk sisterna dan digantikan dengan
jaringan fibroid. Pada abortus, pendarahan yang merembes melalui desidua
akan membentuk lapisan di sekeliling vili korionik. Kemudian, material
pecah dan merangsang degenerasi fibrinoid.47 Penelitian Ladefogd, et al.
pada 269 jaringan abortus menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hidropik
yang signifikan antara jaringan abortus spontan dan jaringan abortus lainnya

3.

(p<0,001).48
Kelainan uterus
Pada pasien dengan abortus, prevalensi pasien dengan anomali uterus
bervariasi dari 1,8%-37,6% terutama pada kehamilan trimester akhir.49
Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan akuisita dan kelainan yang
timbul dalam proses perkembangan janin,defek duktus mulleri yang dapat
terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol
(DES). Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus adalah
leiomioma dan perlekatan intrauteri. Leiomioma uterus yang besar dan
majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abortus, bahkan lokasi
leiomioma

tampaknya

lebih

penting

daripada

ukurannya.

Mioma

submokosa, tapi bukan mioma intramural atau subserosa, lebih besar


kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma
dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya bila hasil pemeriksaan klinis
lainnya ternyata negatif dan histerogram menunjukkan adanya defek
pengisian dalam kavum endometrium. Miomektomi sering mengakibatkan
jaringan parut uterus yang dapat mengalami ruptur pada kehamilan

berikutnya, sebelum atau selama persalinan. Perlekatan intrauteri (sinekia


atau sindrom Ashennan) paling sering terjadi akibat tindakan kuretase pada
abortus yang terinfeksi atau pada missed abortus atau mungkin pula akibat
komplikasi postpartum. Keadaan tersebut disebabkan oleh destruksi
endometrium yang sangat luas. Selanjutnya keadaan ini mengakibatkan
amenore dan abortus habitualis yang diyakini terjadi akibat endometrium
yang kurang memadai untuk mendukung implatansi hasil pembuahan.50
Inkomptensi
serviks
adalah
ketidakmampuan
serviks
untuk
mempertahankan suatu kehamilan oleh karena defek fungsi maupun struktur
pada serviks. Inkompetensi serviks biasanya menyebabkan abortus pada
trimester kedua dengan insidensi 0,5-8%. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan hilangnya barrier mekanik yang memisahkan kehamilan dari
flora bakteri vagina dan kebanyakan asimptomatik. Serviks merupakan
barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora bakteri vagina.
Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah membran plasenta mengalami
ruptur pada prolaps yang disertai dengan balloning membran plasenta ke
dalam vagina.51
4. Kelainan endokrin
a. Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron
Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan suatu
keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi
progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang berkembangnya dinding
endometrium.
b. Sindrom ovarium polikistik, hipersekresi LH, dan hiperandrogenemia
Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus. Dua
mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah
peningkatan hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap
fungsi ovarium.
c. Faktor Endokrin Sistemik seperti DM atau hipotiroid.
d. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari
korpus luteum atau plasenta mempunyai hubungan dengan kenaikan insiden
abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi

10

hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi
dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.27,51
5. Kelainan Koagulasi dan Imunologi
Kehamilan adalah suatu keadaan di mana hemostatis berada dalam kondisi
prokoagulasi dengan peningkatan konsentrasi faktor koagulan dan
penurunan

faktor

antikoagulan.52

Mikropartikel

prokoagulan

yang

bersirkulasi berada adalam keadaan tidak stabil.53 Pasien dengan abortus


rekuren selalu berada dalam konsisi protombotik.54
HCG dan glikodelin diproduksi dalam kadar yang tinggi oleh desidualisasi
endometrium. Glikodelin spesifik dan oligosakarida membentuk struktur
yang disebut struktur LacdiNAc. Glikodelin memicu pembentukan mRNA
hCG, produksi protein pada trimester pertama, dan perkembangan sel
tropoblas trimester tiga.55 hCG membawa struktur SLeX dan SLea yang
menyebabkan pencegahan perlekatan selektin E, L, atau P dari leukosit
maternal ke sinsitiotropoblas janin. Pada pasien abortus, glikodelin meurun
sehingga terjadi aktivasi system imun maternal sehingga terjadi rejeksi
janin.56 Selain itu, penelitian Gardiner pada 22 pasien abortus rekuren
trimester awal menunjukkan penurunan kadar tissue factor pathway
inhibitor yang penting dalam regulasi aktivasi protein C/S.57
a. Trombofilia: mekanisme yang berhubungan adalah trombosis uteroplasenta
sehingga mengganggu oksigenasi ke janin.
b. Antibodi antifosfolipid: patogenesis aPL terkait dengan trombosis plasenta
yang menyebabkan cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan
fungsi dan diferensiasi tropoblas dini.
c. Defek Trombofilik yang diturunkan: penyakit ini merupakan kelainan faktor
pembekuan yang diturunkan secara genetik yang dapat menyebabkan
trombosis patologis akibat ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah
dan antikoagulasi. Teori yang paling banyak menjelaskan tentang hal ini
adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan oleh mutasi faktor V
Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas antitrombin
III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene tetrahydrofolate

11

reductase yang menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum


(hiperhomosisteinemia).27,51
6. Kelainan Imunologi
Sekitar 15% dari 1000 wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor
autoimun. Faktor autoimun misal SLE, APS, antikoagulan lupus, antibodi
antikardiolipin. Insidensi berkisar 1-5% tetapi risikonya mencapai 70%.
Selain itu, faktor alloimun dapat mempengaruhi melalui HLA. Bila kadar
atau reseptor leptin menurun, terjadi aktivasi sitrokin proinflamasi, dan
terjadi peningkatan risiko abortus. Mekanismenya berhubungan dengan
timbal balik aktif reseptor di vili dan ekstravili tropoblas.58
7. Inflamasi
Sitokin pada fetomaternal penting dalam survival fetus dan ibu juga
angiogenesis. Ketidakseimbangan Th1/Th2, keseimbangan aktivasi inhibisi
sel NK berperan penting dalam mengatur hal ini. 59 Penurunan ekspresi Ki67 dan peningkatan materi apoptosis ditemukan pada pemeriksaan
sinsiotropoblas jaringan abortus yag mana menandakan adanya hubungan
antara mekanisme inflamasi dan apoptosis dalam abortus.60 Kokawa et al.
Menunjukkan adanya fragmen DNA internukleosomal dan perubahan
apoptosis pada vili korionik manusia dan desidua selama kehamilan
trimester pertama.61 Lea et al. juga menunjukkan adanya peingkatan
apoptosis pada sel epitel di sekeliling iterus saat implantasi plasenta.62
8. Infeksi. Berbagai macam infeksi dapat menyebabkan abortus pada manusia,
tetapi hal ini tidakumum terjadi. Organisme seperti Treponema pallidum,
Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorhoeae, Streptococcus agalactina,
virus herpes simpleks, sitomegalovirus, Listeria monocytogenes dicurigai
berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan dapat
menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma
urealyticum dari 4 traktus genetalia sebagaian wanita yang mengalami
abortus telah menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi
mikoplasma yang menyangkut traktus genetalia dapat menyebabkan

12

abortus. Dari kedua organisme tersebut, Ureaplasma Urealyticum


merupakan penyebab utama.27,51
9. Penyakit kronik
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan
ibu misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan
abortus.27 Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan sebelum
20 minggu, tetapi keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan
persalinan prematur. Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang
paling

besar

kemungkinanya

menjadi

predisposisi

meningkatnya

kemungkinan abortus. 51
10. Trauma
Sekitar 7% wanita mengalami trauma selama kehamilan tetapi banyak kasus
yang tidak dilaporkan. Berdasarkan studi kasus yang terjadi, mekanisme
trauma paling banyak adalah kecelakaan lalu lintas (55%), jatuh (13%),
penyiksaan diri sendiri (10%), jatuh dari sepeda (4%), jatuh saat berjalan
(4%), atau penyebab lainnya (11%). Pada umumnya, mekanisme trauma
yang paling banyak adalah jatuh sendiri dan kesengajaan. Data
epidemiologis 16 negara menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas,
kebakaran, dan jatuh yang paling banyak menyebabkan mortalitas maternal.
Keadaan ini akan menyebabkan abrupsio plasenta, pendarahan fetomaternal,
rupture uteri, trauma janin langsung.63
Kontraksi preterm ditemukan pada 25% pasien trauma dan semakin
meningkat sesuai dengan ISS. Penelitian Ikossi, et al. (2004) pada 1195
wanita hamil yang mengalami trauma menunjukkan bahwa 17 meninggal
dan dari wanita hamil yang selamat, 66 mengalami risko tinggi abortus.
5,1% pasien melahirkan secara normal, 75% dengan sectio caesarea yang
dilakukan <24 jam melahirkan. Indikasi dilakukan sectio caesarea cito
adalah fetal distress, maternal distress, atau kombinasi keduanya.64
Penelitian Shah, et al. pada 114 pasien, ditunjukkan bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan abortus adalah kematian maternal, trauma abdomen
berat, syok hemoragik. Pasien dengan ISS >15, trauma terutama pada
toraks, abdomen, atau ekstremitas inferior (AIS >2) atau AIS pada kepala >

13

2 akan memiliki risiko tinggi untuk mengalami keguguran. Hal ini berkaitan
dengan hipoksia janin dan vaskokontriksi pembuluh darah maternal.65
Penelitian Ali, et al. pada 20 wanita hamil menunjukkan bahwa ISS>12
menunjukkan 65% abortus dengan 1 kematian maternal 25. Kematian fetal
dibanding maternal berkisar 3-9:1 26.66
Uterus dilindungi pelvik sampai usia kehamilan 12 minggu, jadi jarang
terjadi trauma akibat trauma abdomen lansung. Setelah 20 minggu, diatas
umbulukus, kandung kemih tersisihkan oleh pembesaran uterus sehingga
uterus lebih rentan terkena trauma. Dinding uterus juga menjadi lebih tipis
dan cairan amnion menurun seiring dengan penambahan gestasi. Pada
trauma kapitis, terjadi perubahan fungsi HPA sehingga regulasi hormon
yang

menyokong

kehamilan

menjadi

terganggu.67

Kelley,

et

al.

menunjukkan adanya hipopituarisme pada 40% pasien dengan trauma


kapitis.68 Penelitian Weiss, et al. pada 761 wanita hamil yang mengalami
trauma, biasanya berusia muda.69
Trauma akibat laparotomi kadang-kadang dapat mencetuskan terjadinya
abortus. Pada umumnya, semakin dekat tempat pembedahan tersebut
dengan organ panggul, semakin besar kemungkinan terjadinya abortus.
Meskipun demikian, sering kali kista ovarii dan mioma bertangkai dapat
diangkat pada waktu kehamilan apabila mengganggu gestasi. Peritonitis
dapat menambah besar kemungkinan abortus.27

14

2.5. Klasifikasi
Abortus dapat diklasifikasikan berdasarkan
1. Tujuan
a. Abortus medisinalis yaitu abortus yang sengaja dilakukan dengan alasan
bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu. Pertimbangan ini
dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis kebidanan dan
kandungan, spesialis penyakit dalam, dan spesialis jiwa, bila perlu ditambah
dengan pertimbangan dari tokoh agama yang terkait.
b. Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan
yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.51,70
c. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan apapun.
2. Jenis (dibahas pada diagnosis)
3. Waktu
Menurut Shiers (2003), disebut abortus dini bila abortus tejadi pada usia
kehamilan <12 minggu dan >12 minggu disebut abortus lanjut. 71 Abortus
trimester satu biasanya diakibatkan kelaian genetik atau penyakit autoimun
yang diderita ibu, abortus trimester dua biasanya disebabkan oleh kelainan
uterus, dan abortus trimester tiga.72
2.6. Patogenesis & Patofisiologi
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh
bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua yang
menyebabakn nekrosis jaringan. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat
perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan
mengawali adanya proses abortus. Karena hasil konsepsi tersebut terlepas dapat

15

menjadi benda asing dalam uterus yang menyebabkan uterus kontraksi dan
mengeluarkan isinya.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan
secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan

dalam

cavum uteri atau di kanalis servikalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses
pengeluaran hasil konsepsi. Pada kehamilan 8-14 minggu biasanya diawali
dengan pecahnya selaput ketuban dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat
namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Jenis ini sering menimbulkan
perdarahan pervaginam banyak. Pada kehamilan minggu ke 14-22, janin biasanya
sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian.
Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menimbulkan
gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam banyak. Perdarahan
pervaginam umumnya lebih sedikit namun rasa sakit lebih menonjol.
Pada abortus hasil konsepsi yang dikeluarkan terdapat dalam berbagai
bentuk yaitu kantong amnion kosong, di dalam kantung amnion terdapat benda
kecil yang bentuknya masih belum jelas (blighted ovum), atau janin telah mati
lama. Plasentasi tidak adekuat sehingga sel tropoblas gagal masuk ke dalam arteri
spiralis. Akibatnya, terjadi peredaran darah prematur dari ibu ke anak.27,51,70
2.7. Diagnosis
Abortus diduga pada wanita yang pada masa reproduktif mengeluh tentang
perdarahan pervaginam setelah terlambat haid. Hipotesis dapat diperkuat pada
pemeriksaan bimanual dan tes kehamilan. Harus diperhatikan banyaknya
perdarahan, pembukaan serviks, adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina.
Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya sedikit-sedikit dan berlangsung
lama, ekaligus dalam jumlah yang besar dapat disertai gumpalan, dan akibat
perdarahan tidak menimbulkan gangguan apapun atau syok. Disebut pendarahan
ringan-sedang bila doek bersih selama 5 menit, darah segar tanpa gumpalan, darah
yang bercampur dengan mukus. Pendarahan berat bila pendarahan yang banyak,
merah terang, dengan atau tanpa gumpalan, doek penuh darah dalam waktu 5
menit, dan pasien tampak pucat.3

16

Bentuk pengeluaran hasil konsepsi bervariasi berupa pada usia gestasi di


bawah 14 minggu dimana plasenta belum terbentuk sempurna dikeluarkan seluruh
atau sebagian hasil konsepsi, di atas 16 minggu, dengan pembentukan plasenta
sempurna dapat didahului dengan ketuban pecah diikuti pengeluaran hasil
konsepsi, dan dilanjutkan dengan pengeluaran plasenta, berdasarkan proses
persalinannya dahulu disebutkan persalinan immaturus, dan hasil konsepsi yang
tidak dikeluarkan lebih dari 6 minggu, sehingga terjadi ancaman baru dalam
bentuk gangguan pembekuan darah.73
Diagnosis abortus dilakukan berdasarkan jenisnya, yaitu:27,51,70,73,74
1. Abortus Iminens adalah pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari
20 minggu, hasil konsepsi masih di dalam uterus dan tidak ada dilatasi
serviks. Pasien akan atau tidak mengeluh mules-mules, uterus membesar,
terjadi pendarahan sedikit seperti bercak-bercak darah menstruasi tanpa
riwayat keluarnya jaringan terutama pada trimester pertama kehamilan.
Pada pemeriksaan obstetrik dijumpai tes kehamilan positif dan serviks
belum membuka. Pada inspekulo dijumpai bercak darah di sekitar dinding
vagina, porsio tertutup, tidak ditemukan jaringan.
2. Abortus Insipiens adalah erdarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi
serviks uteri meningkat dan hasil konsepsi masih dalam uterus. Pasien akan
mengeluhkan mules yang sering dan kuat, keluar darah dari kemaluan tanpa
riwayat keluarnya jaringan, pendarahan biasanya terjadi pada trimester
pertama kehamilan, darah berupa darah segar menglair. Pada inspekulo,
ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak
ditemukan jaringan.
3. Abortus inkomplit adalah pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan masih terdapat sisa hasil konsepsi tertinggal
dalam uterus. Pada anamnesis, pasien akan mengeluhkan pendarahan
berupa darah segar mengalir terutama pada trimester pertama dan ada
riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir.
4. Abortus Komplit adalah keaddan di mana semua hasil konsepsi telah
dikeluarkan. Pada penderita terjadi perdarahan yang sedikit, ostium uteri
telah menutup dan uterus mulai mengecil. Apabila hasil konsepsi saat

17

diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semua sudah keluar dengan lengkap.
Pada penderita ini disertai anemia sebaiknya disuntikan sulfas ferrosus atau
transfusi bila anemia. Pendarahan biasanya tinggal bercak-bercak dan
anamnesis di sini berperan penting dalam menentukan ada tidaknya riwayat
keluarnya jaringan dari jalan lahir Pada inspekulo, ditemukan darah segar
di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan
5. Missed Abortion ditandai dengan kematian embrio atau fetus dalam
kandungan >8 minggu sebelum minggu ke-20. Pada anamnesis akan
ditemukan uterus berkembang lebih rendah dibanding usia kehamilannya,
bisa tidak ditemukan pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada
riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan
bercak darah di sekitar dinding vagina, portio tertutup, tidak ditemukan
jaringan
6. Abortus rekuren adalah abortus spontan sebanyak 3x/ lebih berturut-turut.
Pada anamnesis akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda abortus di atas,
riwayat menggunakan IUD atau percobaan aborsi sendiri, dan adanya
demam.
7. Abortus Septik ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritonium. Hasil diagnosis ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret
yang bau dari vagina, uterus besar dan ada nyeri tekan dan bila sampai
sepsis dan syok (lelah, panas, menggigil)
8. Blighted ovum adalah suatu keadaan di mana embrio tidak terbentuk tetapi
terdapat kantung gestasi. Kofirmasi tidak ada embrio pada kantung gestasi
(diameter minimal 25 mm) dengan USG.
2.8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk abortus meliputi:3,51,75
1. Ultrasonografi
Pada usia 4 minggu, dapat terlihat kantung gestasi eksentrik dengan
diameter 2-3 mm. Pada usia gestasi 5 minggu, terlihat diameter kantung
gestasi 5 mm, kantung telur 3-8 mm. Pada usia gestasi 6 minggu, terlihat
diameter kantung gestasi 10 mm, embrio 2-3 mm, dan terdapat aktivitas
jantung. Pada usia gestasi 7 minggu, diameter kantung gestasi 20 mm,

18

terlihat bagian kepala dan badan yang menyatu. Pada usia gestasi 8
minggu, diameter kantung gestasi 25 mm, herniasi midgut, terlihat
rhombencephalon, dan limb buds. Pada usia gestasi 9 minggu, tampak
pleksus koroidalis, vertebra, dan ekstremitas. Pada usia gestasi 10 inggu,
telah terlihat bilik jantung, lambung, kandung kemih, dan osifikasi tulang,
pada usia gestasi 11, usus telah terbentuk dan struktur lainnya cenderung
telah terbentuk dengan baik. Abortus dapat ditegakkan dari USG
transabdominal bila pada embrio >8 mm tidak ditemukan aktivitas jantung.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kariotipe genetik
Tiroid, KGD
BIopsi endometrium fase luteal untuk kadar progesteron
Infeksi
Imunologis
Beta hCG
Serum beta HCG >2500 IU per mL disertai

dengan

USG

transvaginal90% KDR
Serum beta HCG >6500 IU per mL disertai dengan USG abdomen 90%
KDR

2.9. Diagnosis banding27,51,70,73,74


Diagnosis
banding

Gejala

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan
penunjang

19

Abortus
iminens

Abortus
insipien

perdarahan dari
uterus pada
kehamilan sebelum
20 minggu berupa
flek-flek
nyeri perut ringan
keluar jaringan (-)
perdarahan banyak
dari uterus pada
kehamilan sebelum
20 minggu
nyeri perut berat
keluar jaringan (-)

- TFU sesuai dengan


umur kehamilan
- Dilatasi serviks (-)

Abortus
inkomplit

perdarahan banyak / sedang dari uterus


pada kehamilan
sebelum 20 minggu nyeri perut ringan
keluar jaringan
sebagian (+)

Abortus
komplit

perdarahan (-)
nyeri perut (-)
keluar jaringan (+)

perdarahan (-)
nyeri perut (-)
biasanya tidak
merasakan keluhan
apapun kecuali
merasakan
pertumbuhan
kehamilannya tidak
seperti yang
diharapkan. Bila
kehamilannya > 14
minggu sampai 20
minggu penderita
merasakan rahimnya
semakin mengecil,
tanda-tanda
kehamilan sekunder
pada payudara mulai
menghilang.
Tanda kehamilan (+)
Terdapat banyak atau
sedikit gelembung
mola
Perdarahan banyak /
sedikit
Nyeri perut (+)
ringan

Missed
abortion

Mola
hidatidosa

- tes kehamilan urin masih


positif
- USG : gestasional sac
(+), fetal plate (+),
fetal movement (+),
fetal heart movement
(+)
TFU sesuai dengan
- tes kehamilan urin masih
umur kehamilan
positif
Dilatasi serviks (+)
- USG : gestasional sac
(+), fetal plate (+),
fetal movement (+/-),
fetal heart movement
(+/-)
TFU kurang dari umur - tes kehamilan urin masih
kehamilan
positif
Dilatasi serviks (+)
- USG : terdapat sisa hasil
teraba jaringan dari
konsepsi (+)
cavum uteri atau
masih menonjol pada
osteum uteri
eksternum
TFU kurang dari umur - tes kehamilan urin masih
kehamilan
positif
Dilatasi serviks (-)
bila terjadi 7-10 hari
setelah abortus.
USG : sisa hasil
konsepsi (-)
TFU kurang dari umur - tes kehamilan urin
kehamilan
negatif setelah 1
Dilatasi serviks (-)
minggu dari
terhentinya
pertumbuhan
kehamilan.
- USG : gestasional sac
(+), fetal plate (+),
fetal movement (-),
fetal heart movement
(-)

- TFU lebih dari umur


kehamilan
- Terdapat banyak atau
sedikit gelembung
mola
- DJJ (-)

- tes kehamilan urin masih


positif
(Kadar HCG lebih dari
100,000 mIU/mL)
- USG : adanya pola badai
salju (Snowstorm).

20

Blighted
ovum
KET

Mual - muntah (+)


Perdarahan berupa
flek-flek
Nyeri perut ringan
Tanda kehamilan (+)
Nyeri abdomen (+)
Tanda kehamilan (+)
Perdarahan
pervaginam (+/-)

- TFU kurang dari usia


kehamilan
- OUE menutup
-

- tes kehamilan urin positif


- USG : gestasional sac
(+), namun kosong
(tidak terisi janin).
Nyeri abdomen (+)
- Lab darah : Hb rendah,
Tanda-tanda syok
eritrosit dapat
(+/-) : hipotensi,
meningkat, leukosit
pucat, ekstremitas
dapat meningkat.
dingin.
- Tes kehamilan positif
Tanda-tanda akut
- USG : gestasional sac
abdomen (+) : perut
diluar cavum uteri.
tegang bagian
bawah, nyeri tekan
dan nyeri lepas
dinding abdomen.
Rasa nyeri pada
pergerakan servik.
Uterus dapat teraba
agak membesar dan
teraba benjolan
disamping uterus
yang batasnya sukar
ditentukan.
Cavum douglas
menonjol berisi
darah dan nyeri bila
diraba

2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abortus masih kontroversial. Namun, biasanya didasari
oleh jenis abortus yang terjadi. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin,
hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis.
Langkah pertama dari serangkaian penatalaksanaan abortus adalah penilaian
kondisi klinis pasien. Penilaian ini masih berkaitan dengan upaya diagnosis dan
memulai pertolongan awal kegawatdaruratan. Dengan langkah ini, dapat dikenali
berbagai komplikasi yang dapat mengancam keselamatan pasien seperti syok,
infeksi/sepsis, perdarahan hebat (masif) atau taruma intraabdomen. Melalui
pengenalan ini, dapat diambil langkah untuk mengatasi kondisi kegawatdarutan.3
Penatalaksanaan abortus secara spesifik disesuaikan dengan jenis
abortusnya yaitu:
1. Abortus imminens
Tirah baring tidak memberikan hasil lebih baik namun dianjurkan untuk
membatasi

aktivitas

agar

meminimalkan

kemungkinan

rangsangan

21

prostaglandin. Tidak dianjurkan terapi dengan hormon estrogen dan


progesteron. Meta analisis menunjukkan bahwa tatalaksana abortus
imminens dengan preparat progesteron dengan plasebo menunjukkan hasil
yang hampir sama (RR 0,53; 95CI 0,35-0,79). Regimen progesteron yang
dipakai yaitu dydrogesteron oral 40 mg lalu 10 mg dilanjutkan sampai 16
minggu, pervaginam 25-90 mg sampai 14 hari berhenti berdarah, dan
dydrogesteron oral 10 mg dilanjutkan sampai 1 minggu setelah berhenti
berdarah.77

Terapi dydrogesteron dipertimbangkan dengan asumsi farmakodinamik


untuk menyokong pertumbuhan uterus. Akan tetapi, penelitian menunjukkan
bahwa

perbandingan

abortus

antara

kelompok

yang

menerima

dydrogesteron dengan kelompok kontrol tidak menunjukkan hasil yang


berbeda (p<0,001) dengan konsentrasi progesteron yang hampir sama.78
Akan tetapi, penelitian Zibdeh et al. menunjukkan adanya pengurangan
insidensi abortus rekuren pada kelompok yang diterapi dydrogesteron
dibanding kelompok kontrol (OR 0,38, p<0,001).79 Begitu juga pada kasus
abortus iminens (OR 3,77).80
Hindari campur terlebih dahulu karena dapat terjadi kolonisasi bakteri pada
kavum uteri di mana bakteri dapat lanjut menginvasi membran fetus,
plasenta, cairan amnion yang meningkatkan risiko abortus. Selain itu, cairan
semen dari laki-laki dapat merangsang kontraksi uterus dan pengeluaran
oksitosin.81 Vitamin diberkan dengan asumsi fungsi antioksidan untuk
mengatasi penyebab stres oksidatif pada kasus abortus. Penelitian Rumbold,
et al. (2005) pada 35353 kehamilan menunjukkan bahwa pemberian vitamin
A gagal menunjukkan penurunan angka abortus tetapi pemberian vitamin C
dan E meunjukkan hasil sebaliknya.82 Suatu RCT pada 183 wanita
menunjukkan bahwa suplementasi hCG tidak menurunkan angka abortus

22

pada abortus imminens.83 Pemberian tokolitik seperti beta agonis dinilai


bermanfaat dalam menurunkan risiko abortus (OR 0,17).84
2. Abortus insipiens
Umumnya harus dirawat. Karena tidak ada kemungkinan kelangsungan
hidup bagi janin, maka dapat diberikan misoprostol untuk mengeluarkan
konsepsi. Dapat analgetik mungkin diberikan. Demikian pula, setelah janin
lahir, kuretase mungkin diperlukan.77
Pada kehamilan kurang dari 12 atau 16 minggu biasanya perdarahan tidak
banyak namun bahaya perforasi lebih besar pada kerokan sehingga proses
abortus harus dipercepat. Dengan pemberian infuse oksitosin janin dapat
keluar. Regimen lain yang dapat diberikan adalah ergometrin im (dapat
diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol 400 g oral (dapat
diulang sekali setelah 4 jam bila perlu). Apabila plasenta masih tertinggal
pengeluaran plasenta dilakukan secara manualdan disusul kerokan. Namun
bahaya yang perforasi yang terakhir ini tidak begitu besar karena dinding
uterus jadi lebih tebal karena hasil konsepsi telah keluar.51,70
3. Abortus inkomplit
Abortus inkomplit dapat ditatalaksana dengan rawat

ekspektatif,

pembebahan, maupun medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif


berkisar antara 52%-81% setelah follow up 2 minggu. 84 Terapi
medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80% ke atas.
Namun, tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara keduanya.85
Reynold et al. (2005) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan statistik
yang signifikan mengenai efikasi medikamentosa dan pembedahan dalam
penatalaksanaan abortus inkomplit. Namun, terdapat peningkatan risiko
infeksi pelvik pada penatalaksanaan secara surgikal (p<0,001). Hal ini
berlaku saat kantung gestas <24 mm. Setelahnya, efikasi medikamentosa
dibanding pemebdahan akan berkurang 85%.86 Penelitian Weeks et al.
Dengan 600 mcg misoprostol oral dengan aspirasi vakum manual
menunjukkan bahwa lebih baik dengan misoprostol, tetapi tidak bermakna
(96,3 vs 91,4).87
a. Perbaiki keadaan umum: volume intravaskuler efektif harus dipertahankan
untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat.

23

b. Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat


Sekitar 13% abortus bersifat infeksius baik pre dan post operasi. Fawcus et
al. (1997) menunjukkan 49,5% wanita hamil dengan abortus inkomplit
diberikan terapi antibiotik dan transfusi.88 Penelitian Chow et al. (1997)
pada 77 pasien abortus menunjukkan penatalaksanaan dengan penicillin +
chloraphenicol lebih baik dibanding chloramphenicol tunggal.89 Seeras
(1989) menunjukkan tidak ada perbedaan insidensi sepsis antara kelompok
kontrol dengan kelompok yang menerima tetrasiklin kapsul 500 mg 4 kali
sehari (RR 1,36, 95CI 0,86-2,14).90 Pada RCT yang menilai profilaksis
doksisiklin sebelum kuretase, ditunjukkan tidak ada efek yang bermakna
terhadap penurunan motralitas infeksi pasca kuretase.91
c. Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan
laparotomi eksplorasi, sampai pengangkatan rahim
Pada perdarahan ringan dan kehamilan <16 minggu, dapat dilakukan
pengeluaran hasil konsepsi yang terjepit pada serviks dengan jari atau
forceps cincin. Bila perdarahan sedang-berat dan usia kehamilan <16
minggu, dilakukan evakuasi hasil konsepsi dari uterus dengan pilihan
aspirasi vakum. Indikasi aspirasi vakum manual adalah pada kasus abortus
insipien atau inkomplit <16 minggu (sumber lain menyebutkan batasan usia
kehamilan <12-14 minggu). Bila evakuasi tidak memungkinkan untuk
segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang setelah 15
menit bila diperlukan) atau misoprostol 400 g oral (dapat diulang setelah 4
jam bila diperlukan). Pada kehamilan >16 minggu, dilakukan induksi
ekspulsi janin infus oksitosin 40 IU dalam 1 L kristaloid dengan kecepatan
40 tetes per menit sampai ekspulsi hasil konsepsi terjadi. Bila perlu, dapat
diberikan misoprostol 200 g per vaginam tiap 4 jam hingga terjadi
ekspulsi, dosis total tidak lebih dari 800 g. Setelah itu, mengevakuasi sisa
hasil konsepsi yang tersisa dari uterus.77
Penelitian Gulmezoglu menunjukkan bahwa metode operatif yang dipilih
untuk abortus inkomplit adalah aspirasi vakum dengan efek samping yang
rendah: kehilangan darah minimal (RR 0,28), nyeri minimal (RR 0,74),
waktu lebih singkat (-1,2 menit) dibanding kuretase tajam. Di samping itu,

24

prosedur ini tidak memerlukan anestesi umum dan memiliki efektivitas yang
cukup baik (persentase evakuasi komplit rata-rata >98%). Walaupun begitu,
perhitungan statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna.88 Heath
et al. menunjukkan bahwa tidak ada manfaat pemeriksaan histopatologi
jaringan kuretase. Akan tetapi, hal ini tetap saja diperiksakan untuk
mencegah kemungkinan KET.92
Beberapa studi menganjurkan terapi misoprostol. 93 Efikasi misoprostol
berkisar 13%-96% dengan banyak faktor yang mempengaruhinya misal,
abortus, dan ukuran kantung gestasi. Angka keberhasilan tinggi (70%-96%)
ditemukan pada kasusu abortus inkomplit dengan misoprostol dosis tinggi
(1200 mcg-2400 mcg) yang berikan pervaginam.94,95

Chung et al. menunjukkan bahwa 400 mcg misoprostol oral setiap 4 jam
menunjukkan efikasi yang baik dengan dosis maksimum 1200 mcg. 96
Gonlund yang membandingkan rawat ekspektatif dengan misoprostol
vaginal 400 mcg menunjukkan keberhasilan 90% lebih baik dengan evaluasi
pada hari 8 dan 14.97 Studi yang membandingkan rute oral dan vaginal
menunjukkan bahwa vaginal lebih baik.98 Meka et al. menganjurkan
penatalaksanaan dengan 600 mcg misoprostol pervaginam dan kontrol tes
kehailan urin setelah 3 minggu tatalaksana.99
Mengenai efektivitas melalui rute apa misoporstol harus diberikan masih
kontroversial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa misoprostol lebih
efektif diberikan per bukal atau per vaginam agar tidak perlu melalui proses
first pass metabolism. Meta analisis pada 15 penelitian (2118 wanita)
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna kejadian abortus pada

25

kelompok yang diberikan progestogen oral/im/vaginal dan plasebo. Mittal et


al. (2004) juga menunjukkan efikasi misoprostol yang sama antara kedua
kelompok.100 Wiebe et al (2004) pada wanta abortsi menunjukkan bahwa
terapi misoprostol vaginal lebih efektif dibanding bukal setelah terapi
metroteksat.101 Akan tetapi, Middleton et al. (2005) pada 442 wanita
menunjukkan bahwa efikasi terapi misoprostol bukal lebih baik dibanding
vaginal setelah mifepriston.102

4.
a.
b.
c.

Abortus komplit
Perbaiki keadaan umum
Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat
Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan

laparotomi eksplorasi, sampai pengangkatan rahim.51,77


5. Abortus rekuren
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh
karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum,
pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak,
larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin,
hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis.
Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya
tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital.
Jika pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus kristaloid untuk
stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang
ada, ke rumah sakit untuk diperiksa.51
6. Missed abortion

26

Bila gestasional <12 minggu, bisa langsung dilakukan dilatasi dan kuretase
jika seviks memungkinkan. Bila gestasional >12 minggu / <20 minggu,
dilakukan induksi (untuk mengeluarkan janin) & diberi Invus (iv) cairan
oksitosin (untuk profilaksis retensi cairan). Terdapat tehnik pemberian
prostagalandin untuk induksi serta berefek pd pembukaan ostium serviks,
dgn pemberian mesoprostol (sublingual). Bila usia gestasi lebih dari 4
minggu memungkinkan terjadinya gangguan trombosis darah oleh karena
hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan
evakuasi dan kuretase.27
7. Abortus infeksi atau septik
Kuretase dilakukan setelah 6 jam diberikan antibiotika yang adekuat. Pada
infeksi berat, diberikan ampisilin intravena 2 g setiap 6 jam, gentamisin 5
mg/kgBB intravena selama 24 jam, dan metronidazole 500 mg intravena
setiap 8 jam. Pada infeksi ringan, cukup diberikan amoxicillin oral 3 kali
sehari selama 5 hari, metronidazole oral 400 mg 3 kali sehari selama 5 hari,
dan gentamisin intravena 5 mg/kgBB bila perlu.103
8. Blighted ovum
Dilatasi dan kuraetase secara selektif.
2.11. Pencegahan
Pada serviks inkompeten, dilakukan operasi untuk mengecilkan ostium uteri
pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah
memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri
internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Jika berhasil maka
kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan dan benang dipotong
pada usia kehamilan 38 minggu. Operasi tersebut dapat dilakukan menurut cara
Shirodkar atau cara Mac Donald.104
2.12. Prognosis
Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten, angka
kesembuhan setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85 %,
apapun terapinya. Bahkan, Warburton dan Fraser (1964) menunjukkan
kemungkinan abortus rekuren adalah 25-30% berapapun jumlah abortus

27

sebelumnya. Poland, et al. (1977) mencatat bahwa apabila seorang wanita pernah
melahirkan bayi hidup, risiko untuk setiap abortus rekuren adalah 30%. Namun,
apabila wanita belum pernah melhairkan bayi hidup dan pernah mengalami paling
sedikit satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46%. Wanita dengan
abortus spontan tiga kali atau lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran
preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan
berikutnya (Thom dkk, 1992).27,51

BAB 3
STATUS PASIEN
SMF OBSTETRI & GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUD DR. PIRNGADI MEDAN
1. Identitias Pasien
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Suku/Agama
Status
Alamat
Tanggal Masuk
No. MR

: Ny. H
: 21 tahun
: SMA
: Ibu Rumah Tangga
: Jawa/Islam
: Menikah
: Jalan Gatot Subroto Km 11,8 No. 20 Deli Serdang
: 31 Oktober 2013 pukul 07.12 WIB
: 90.38.12

2. Anamnesis
Keluhan utama
Telaah
-

: Keluar darah dari kemaluan


:

Hal ini dialami pasien sejak 1 minggu ini dan memberat dalam 1 hari
terakhir. Darah yang keluar berwarna merah kehitaman disertai gumpalan

28

darah, frekuensi 1-2 kali ganti pembalut per hari. Pasien melihat keluar
gumpalan darah seperti jaringan atau mata ikan. Keluhan ini disertai
dengan nyeri perut seperti mulas-mulas dan nyeri pinggang. Awalnya,
pasien mengaku tidak memeriksakan dirinya ke dokter atau bidan karena
ia menganggap hal ini wajar akan tetapi karena darah yang keluar
semakin deras dan menggumpal, pasien memutuskan untuk datang ke
-

IGD RSUPM.
Pasien mengaku dirinya tidak haid sejak bulan September 2013. Pasien
melakukan pemeriksaan tes pack urin merek Sensitif dan mendapatkan
hasil yang positif. Akan tetapi, pasien belum pernah konfirmasi hasil
kehamilan ini ke dokter kandungan. Pasien tidak pernah mengonsumsi

vitamin apapun untuk kehamilannya.


Pada tanggal 1 Oktober 2013, pasien mengaku pernah jatuh terduduk ke
lantai saat mandi di kamar mandi dan terantuk kepalanya. Selain itu,
pasien baru pindah rumah dan pasien mengangkat benda berat seperti
lemari dan sejenisnya. Namun, tidak ada nyeri perut atau keluarnya darah

dari kemaluan.
Riwayat keluar air-air dari kemaluan disangkal, riwayat kusuk (-),
riwayat campur (-), riwayat keputihan (-), dan riwayat minum jamu-jamu

(-).
BAK (+), BAB (+), kesan normal.

Riwayat dan Kebiasaan


Riwayat Penggunaan Obat
Tidak jelas
Riwayat Penyakit Terdahulu
Tekanan darah tinggi, gula, jantung, asma, dan alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Kakak kandung pasien juga mengalami abortus pada kehamilan pertamanya.
Pada kehamilan kedua, kakak kandung pasien melahirkan dengan normal di
bidan, anak sehat, dan cukup bulan.
Riwayat Haid
HPHT
: 25-08-2013
TTP
: 01-06-2014
ANC
: tidak pernah dilakukan
Menarche
: 15 tahun
Siklus
: 25-32 hari

29

Lama Haid
: 5-7 hari, teratur
Ganti pembalut : 2-3 kali sehari
Nyeri haid
:Riwayat Persalinan
1. Hamil ini
Riwayat Pernikahan
Pertama kali dengan suami sekarang yang berusia 25 tahun, sudah menikah
1 tahun.
Riwayat Kontrasepsi
Tidak pernah.
Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien saat ini tinggal dengan suaminya. Pasien adalah seorang ibu ruma
tangga dan suami pasien bekerja sebagai pegawai swasta di suatu pabrik.
Biaya hidup sehari-hari diperoleh dari gaji yang didapat suami pasien.
Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi alkohol maupun merokok. Akan
tetapi, suami pasien sering merokok saat di rumah sekitar 5-8 batang per
hari.
Riwayat Operasi
Tidak dijumpai
3. Pemeriksaan Fisik
Status Praesens
Sensorium
:
TD
:
HR
:
RR
:
Temperatur
:
Status Generalisata
Kepala
:

Compos mentis
110/60 mmHg
90 x/i, teratur
20 x/i
36,8 C
Mata
Hidung
Mulut
Telinga

Anemis
Ikterus
Sianosis
Dyspnea
Edema

:
:
:
:
:

(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

: Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-),


sklera ikterik (-/-), pupil isokor ka=ki,
3 mm
: Konka eutrofi, septum medial
: Kandidiasis oral (-), uvula medial,
tonsil T1/T1
: Sekret (-/-), pendengaran (+)

Toraks

30

Pemeriksaan
Fisik
Inspeksi

Depan

Belakang

Simetris fusiformis,
Simetris fusiformis,
pernafasan
pernafasan
torakoabdominal,
torakoabdominal,
pergerakan otot-otot nafas
pergerakan otot-otot nafas
tambahan (-),
tambahan (-)
hiperpigmentasi areola
mammae (+)
Palpasi
Stem fremitus kanan=kiri,
Stem fremitus paru
kesan normal.
kanan=kiri, kesan normal.
Perkusi
Sonor pada kedua lapangan Sonor pada kedua lapangan
paru.
paru.
Batas jantung relatif
Atas : ICR III sinistra
Kanan: LSD
Kiri : 2 cm LMCS, ICR V
Auskultasi
Paru
Paru
SP: vesikuler pada seluruh
SP: vesikuler pada seluruh
lapangan paru
lapangan paru
ST: ST: Jantung
HR 100 x/i, reguler,
intensitas kuat, M1>M2,
A2>A1, P2>P1, T1>T2,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
: Inspeksi : Simetris, jejas (-)
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi: Peristaltik (+) N
Ekstremitas
: jejas (-), luka (-), edema (-)

31

Abdomen

Ekstremitas

: Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R ttb
Perkusi : Timpani
Auskultasi: Normoperistaltik
: Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal.
Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis
tidak dijumpai

Status Obstetrikus
Abdomen
: Soepel, tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
Leopold I
: TFU tidak teraba
Leopold II
: Tidak dapat dinilai
Leopold III
: Tidak dapat dinilai
Leopold IV
: Tidak dapat dinilai
P/V
: (+)
Tanda Chadwick : (+)
Status Ginekologis
Inspeksi
: Massa (-), P/V (+)
Inspekulo
: Portio
: licin, erosi (-), lividae (+), fluksus (+) dari
kanalis servikalis, OUE terbuka.
Vagina : massa (-), laserasi (-), fluksus (+), tampak
gumpalan darah di introitus vagina,
dibersihkan kesan tidak mengalir.
VT
: Korpus uteri antefleksi, besar biasa, tanda Hegar (+),
tanda Piskacek (+)
Adneksa kanan-kiri sulit dinilai
Parametrium lemas
Cavum douglas tidak menonjol, nyeri (-).
Nyeri goyang serviks (-)
4. Penjajakan
Laboratorium
Darah Lengkap
Hemoglobin
: 14,1 g/dl
Hematokrit
: 40,4 %
Red Blood Cell
: 4,65x106/mm
Leukosit
: 9300/mm
Trombosit
: 279.000/mm
MCV
: 36,9 fL
MCH
: 30,2 fL
MCHC
: 34,4 fL
PT
: 14,3 (14,9)
INR
: 1,19 (1-1,3)
Tes beta HCG urin : (+)
Ultrasonografi Transabdominal

32

- Kandung kemih terisi baik


- Uterus antefleksi, besar biasa ukuran 67,7 mm x 59,7 mm x 46,8 mm
- Tampak gestational sca intrauterin dengan batas tidak beraturan
- Tampak gambaran hipoekoik di kavum uteri
- Tampak fetal pole, DJJ (-)
- Cairan bebas (-)
Kesimpulan
: Sisa konsepsi
5.

Diagnosis
Abortus inkomplit

6.

Penatalaksanaan
- Kuretase emergensi
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 2 g (profilaksis)

7.

Laporan Kuretase
- Ibu dibaringkan di meja operasi dengan posisi litotomi dengan infus
terpasang dengan baik. Dilakukan pengosongan kandung kemih dan
vulva hygiene lalu dilakukan pemasangan doek steril kecuali lapangan
-

operasi.
Dilakukan pemasangan sims spekula atas dan bawah
Dilakukan pemasangan tenakulum pada arah jam 11
Kemudian sinus spekulum atas dilepaskan
Dilakukan sondase didapatkan uterus antefleksi panjang 7 cm
Dilakukan kuretase dengan sendok kuret tajam dari anah jam 12 searah
jarum jam hingga terdengar suara kerokan kelapa dan keluar buih
Didapatkan sisa jaringan sebesar 50 gram dan stoll cell 50 cc
Tenakulum dilepas dan sims spekulo bawah dilepas
Evaluasi perdarahan: t.a.a.
Keadaan umum ibu post kuret: stabil
Rencana post kuretase:
Awasi vital sign dan tanda-tanda pendarahan
Cek darah lengkap 2 jam post kuretase, jika Hb 8gr/dl, transfusi sesuai
kebutuhan.
Pemeriksaan histopatologi jaringan kuretase
Terapi
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

33

8.

Follow Up
Tanggal
S:

31 Oktober 2013
Keluar darah dari kemaluan

O:
Status Praesens
Sens : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
HR : 72 x/i
RR : 18 x/i
T : 36,5c
Status Obstetrikus
Abdomen:
Soepel,
peristaltik (+), nyeri tekan
(+)
TFU: tidak teraba
P/V: (+)
BAK: (+) N
BAB: (+) N
Laboratorium
Hb 11,2 g/dL; Ht 32,3%;
WBC 8.800/mm3;
PLT
3
234.000/mm
A:
Post kuretase a/i abortus
inkomplit
P:
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12
jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8
jam
Rencana Besok aff infus dan kateter
:
urin

1 November 2013
Keluar darah dari kemaluan
(-)
Status Praesens
Sens : compos mentis
TD : 100/60 mmHg
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,3c
Status Obstetrikus
Abdomen: Soepel, peristaltik
(+), nyeri tekan (-)
TFU: tidak teraba
P/V: (-)
BAK: (+) N
BAB: (+) N
USG TAS
Tidak tampak gambaran
hipoekoik di kavum uteri
Post kuretase a/i abortus
inkomplit
- Tab cefadroxil 500 mg 2 x
1
- Tab metronidazole 2 x 1
- Vitamin B kompleks 3 x 1
Pulang berobat jalan

34

BAB 4
ANALISIS KASUS
Kasus
Ny H datang ke IGD
RSUPM dengan keluhan
keluar
darah
dari
kemaluan sejak 1 minggu
ini dan memberat dalam
1 hari terakhir.

Pasien mengaku dirinya


tidak haid sejak bulan
September 2013. Pasien
melakukan pemeriksaan
tes pack urin merek
Sensitif dan mendapatkan
hasil yang positif. Akan
tetapi, pasien belum
pernah konfirmasi hasil
kehamilan ini ke dokter
kandungan.
HPHT : 25 Agustus 2013
TTP : 1 Juni 2014

Teori
Pendarahan pervaginam
adalah suatu kondisi di
mana keluarnya darah
dari vagina. Pendarahan
pervaginam terdiri dari
mayoritas
pendarahan
antepartum, pendarahan
postpartum,
maupun
pendarahan
akibat
abnormalitas ginekologi
tertentu sehingga harus
diketahui status gestasi
pasien.
Kehamilan yaitu masa
yang
dimulai
dari
konsepsi, nidasi, embrio,
hingga menjadi fetus.
Tanda-tanda kehamilan
meliputi
amenorrhea,
hiperemesis,
dan
perubahan
fisiologis
tubuh ibu hamil. Tanda
pasti
adalah
bila
pemeriksa
mersakan
gerakan janin dan adanya
denyut jantung janin.

Analisis
Pasien ini mengalami
pendarahan pervaginam
dengan
berbagai
diagnosis
banding
penyebabnya.

Pasien ini kemungkinan


mengalami abortus walau
status gestasi pasien
harus
dikonfirmasi
dengan
pemeriksaan
USG
untuk
menyingkirikan
kemungkinan penyebab
pendarahan pervaginam
lainnya seperti kehamilan
ektopik
atau
mola
hidatidosa. Tanda pasti
adalah bila pemeriksa

35

Akan tetapi, kondisi ini


tetap harus dikonfirmasi
dengan
pemeriksaan
USG
transvaginal
maupun transabdominal.

Darah
yang
keluar
berwarna
merah
kehitaman
disertai
gumpalan
darah,
frekuensi 1-2 kali ganti
pembalut
per
hari.
Kadang, pasien melihat
keluar gumpalan darah
seperti jaringan atau mata
ikan. Keluhan ini disertai
dengan nyeri perut seperti
mulas-mulas dan nyeri
pinggang.

Pada tanggal 1 Oktober


2013, pasien mengaku
pernah terjatuh ke lantai

mersakan gerakan janin


dan
adanya
denyut
jantung janin belum dapat
menjadi patokan karena
tanda ini secara normal
baru dirasakan pada usia
kehamilan di atas 20
minggu.
Jenis
abortus
harus Pasien pada kasus ini
dibedakan
karena kemungkinan mengalami
penatalaksanaan
untuk jenis abortus inkomplit.
setiap jenisnya berbeda.
Pada abortus imminens,
darah
yang
keluar
biasanya berupa bercakbercak tanpa keluarnya
jaringan dan nyeri perut
ringan. Pada abortus
insipiens,
pendarahan
pervaginam
sedang
sampai banyak tanpa
disertai
keluarnya
jaringan dan nyeri perut
berat.
Pada
abortus
inkomplit,
pendarahan
pervaginam
sedang
sampai banyak disertai
keluarnya
sebagian
jaringan. Pada abortus
komplit,
pendarahan
biasanya sedikit atau
bahkan tidak ada disertai
riwayat keluar darah yang
banyak disertai jaringan,
dan
nyeri
perut
cenderung
tidak
dirasakan lagi.
Ada berbagai macam Trauma pada kepala dan
penyebab
abortus abdomen menjadi salah
diantaranya
kelainan satu
penyebab

36

saat mandi di kamar


mandi. Namun, tidak ada
nyeri
perut
atau
keluarnya darah dari
kemaluan. Selain itu,
pasien baru pindah rumah
dan pasien mengangkat
benda berat seperti lemari
dan sejenisnya.

genetik, penyakit ibu,


infeksi, stres oksidatif,
trauma, dan diet yang
kurang.
Penelitian Ikossi, et al.
(2004) pada 1195 wanita
hamil yang mengalami
trauma
menunjukkan
bahwa 17 meninggal dan
66 mengalami risko
tinggi abortus. Penelitian
Weiss, et al. pada 761
wanita
hamil
yang
mengalami
trauma,
biasanya berusia muda.
Penelitian Ali, et al. pada
20
wanita
hamil
menunjukkan
bahwa
ISS>12
menunjukkan
65% abortus.
Pasien dengan ISS >15,
trauma terutama pada
toraks, abdomen, atau
ekstremitas inferior (AIS
>2) atau AIS pada kepala
>2 akan memiliki risiko
tinggi untuk mengalami
keguguran.
Hal
ini
berkaitan
dengan
hipoksia
janin
dan
vaskokontriksi pembuluh
darah maternal.
Pada trauma kapitis,
terjadi perubahan fungsi
HPA sehingga regulasi
hormon yang menyokong
kehamilan
menjadi
terganggu. Kelley, et al.
menunjukkan
adanya
hipopituarisme pada 40%
pasien dengan trauma

independen abortus pada


pasien ini.
Mengangkat barang berat
disinyalir
dapat
meningkatkan rangsang
mekanik pada uterus
yang akan mengaktifkan
hormon progesteron.
Penyebab lainnya perlu
ditinjau lagi walaupun
penatalaksanaan
bergantung pada jenis
abortus. Hanya saja, bila
terdapat
keterlibatan
genetik,
harus
dipertimbangkan dengan
seksama untuk rencana
kehamilan berikutnya.
Selain
itu,
ada
pertimbangan lain di
mana uterus dilindungi
pelvik
sampai
usia
kehamilan 12 minggu,
jadi seharusnya jarang
terjadi trauma. Setelah 20
minggu, uterus membesar
diatas
umbilikus,
kandung
kemih
tersisihkan
oleh
pembesaran
uterus
sehingga uterus lebih
rentan terkena trauma.

37

Kakak kandung pasien


juga mengalami abortus
pada
kehamilan
pertamanya.
Pada
kehamilan kedua, kakak
kandung
pasien
melahirkan
dengan
normal di bidan, anak
sehat, dan cukup bulan.

Suami pasien sering


merokok saat di rumah
sekitar 5-8 batang per
hari.
Pasien
tidak
pernah
mengonsumsi
vitamin
apapun
untuk
kehamilannya

kapitis.
Pada
penatalaksanaan
abortus
imminens,
dilakukan
rawat
ekspektatif dengan tirah
baring
total
untuk
mengurangi
rangsang
mekanik pada uterus
yang akan mengaktifkan
hormon progesteron.
Salah satu penyebab
abortus adalah kelainan
genetik. Setengah dari
kasus abortus trimester
satu disebabkan oleh
kelainan genetik. Sekitar
15%
disebabkan
monosomi, 54% trisomi,
dan 3% trisomi ganda.
Kebanyakan abortus yang
akan diakibatkan adalah
abortus rekuren.
Gangguan genetik diteliti
menyebabkan gangguan
vili
korionik
dan
gangguan
implantasi
plasenta.
Stres oksidatif sendiri
dapat
menyebabkan
apoptosis
yang
mengganggu
invasi
plasenta dan abortus dini.
ROS
akan
bereaksi
dengan molekul pada
berbagai sistem biologi
sehingga dapat terjadi
kerusakan
sel
yang
ekstensif dan disrupsi
fungsi sel.
Dengan
risiko
stres
oksidatif, pasien tidak

Bila terdapat riwayat


keluarga
dan
pasien
mengalami abortus pada
trimester pertama dapat
mengindikasikan adanya
faktor risiko genetik pada
pasien ini. Bila psien
bersedia, dapat dilakukan
kariotipe
untuk
menemukan ada tidaknya
penyebab genetik ini.

Asap rokok mebentuk


banyak
karbon
monoksida yang bersifat
teratogenik dana dapat
menyebabkan
mutasi
genetik. Asap rokok juga
dapat
menyebabkan
terbentuknya
banyak
radikal bebas.
Pada akhir trimester satu,
secara
normal
ada
peningkatan
tekanan
oksigen dari <20 mmHg
menjadi >50 mmHg

38

Status praesens dan status


generalisata dalam batas
normal.
Dijumpai
hiperpigmentasi mammae
pada inspeksi toraks
depan.

Pada
pemeriksaan
obstetrikus,
dijumpai
abdomen seopel, nyeri
tekan tidak dijumpai,
TFU tidak teraba, dan
terdapat
perdarahan
pervaginam.

pernah
mengonsumsi
vitamin yang berperan
sebagai
antioksidan
sehingga meningkatkan
risiko
abortus.
Pada
penelitian Rumbold, et al.
(2005)
ditunjukkan
bahwa vitamin C dan E
tetapi tidak vitamin A
dalam manfaat mencegah
abortus
karena
berhubungan
dengan
kandungan antioksidan
pada vitamin C dan E.
Status praesens yang
normal
menunjukkan
pasien berada dalam
kondisi
yang
stabil.
Status generalisata dalam
batas normal memberikan
informasi bahwa tidak
ada penyulit penyakit
dalam kehamilan dengan
batasan
pemeriksaan
fisik.
Hiperpigmentasi
mammae
merupakan
salah satu perubahan
fisiologis pada wanita
hamil.
Pada abortus inkomplit,
tidak ada pemeriksaan
obstetrik yang spesifik.
Yang dapat terlihat hanya
pendarahan pervaginam.

menyebabkan
stress
oksidatif
dalam
hal
mengatur
implantasi
plasenta. Risiko asap
rokok akan memperburuk
stres
oksidatif
yang
terjadi. Selain itu, pasien
tidak
mengonsumsi
vitamin C dan E yang
dapat berfungsi sebagai
antioksidan.

Tidak ada komplikasi lain


dalam kehamilan.
Hiperpigmentasi
mammae menunjukkan
kemungkinan
dalam
kondisi gestasi.

Hasil
pemeriksaan
obstetrikus pasien ini
menunjukkan diagnosis
pasien ini lebih ke arah
abortus
inkomplit
dibanding
abortus
komplit karena masih
dijumpai
adanya
pendarahan pervaginam.
Pada
pemeriksaan Pada pemeriksaan VT Dari hasil pemeriksaan
ginekologis,
dari ditemukan kanalis serviks ginekologis,
terlihat

39

inspekulo
tampak
gumpalan
darah
di
introitus vagina. Pada VT
dijumpai serviks l1 cm;
uterus lebih besar dari
besar biasa; parametrium
kanan-kiri sulit dinilai;
nyeri goyang serviks (+),
cavum douglas menonjol.

Pada USG dijumpai


bahwa uterus antefleksi,
besar biasa ukuran 67,7
mm x 59,7 mm x 46,8
mm; tampak gestational
sac intrauterin dengan
batas tidak beraturan,
masih
tampak
sisa
jaringan hasil konsepsi,
tampak fetal pole, DJJ
(-), cairan bebas (-).
Tes beta hCG dijumpai
positif.

terbuka, jaringan dapat


diraba dalam kavum uteri
atau
kadang
sudah
menonjol dari ostium
uteri eksternum. Pada
pemeriksaan inspekulo,
ditemukan darah segar di
sekitar dinding vagina,
porsio
terbuka,
dan
ditemukan jaringan di
jalan lahir.
Pada usia 4 minggu,
dapat terlihat kantung
gestasi eksentrik dengan
diameter 2-3 mm. Pada
usia gestasi 5 minggu,
terlihat diameter kantung
gestasi 5 mm, kantung
telur 3-8 mm. Pada usia
gestasi 6 minggu, terlihat
diameter kantung gestasi
10 mm, embrio 2-3 mm,
dan terdapat aktivitas
jantung. Pada usia gestasi
7
minggu,
diameter
kantung gestasi 20 mm,
terlihat bagian kepala dan
badan yang menyatu.
Pada usia gestasi 8
minggu,
diameter
kantung gestasi 25 mm,
herniasi midgut, terlihat
rhombencephalon,
dan
limb buds. Pada usia
gestasi 9 minggu, tampak
pleksus
koroidalis,
vertebra, dan ekstremitas.
Pada usia gestasi 10
inggu, telah terlihat bilik
jantung,
lambung,

bahwa hasil pemeriksaan


mendukung
untuk
diagnosis
abortus
inkomplit.

Adanya gestational sac


dan fetal pole menjadi
suatu konfirmasi bahwa
telah terbentuk hasil
konsepsi atau dengan
kata lain pasien benarbenar hamil. Kantung
gestasi yang dijumpai
pada
intrauterine
menunjukkan kehamilan
terjadi dalam rahim,
bukan kehamilan ektopik
yang menjadi diagnosis
banding abortus.
Pada pemeriksaan USG
juga masih tampak sisa
jaringan hasil konsepsi
berarti jaringan sebagaian
suadah
keluar
dan
sebagian
lagi
masih
tersisa.
Hasil
pemeriksaan
ini
mengonfirmasi
jenis
abortus yaitu abortus
inkomplit dibanding jenis
abortus lainnya.
Diagnosis
banding
dengan missed abortion
dapat disingkirkan karena
tes beta hCG dengan urin

40

kandung kemih, dan


osifikasi tulang, pada usia
gestasi 11, usus telah
terbentuk dan struktur
lainnya cenderung telah
terbentuk dengan baik.
Abortus dapat ditegakkan
dari USG transabdominal
bila pada embrio >8 mm
tidak ditemukan aktivitas
jantung.
Penatalaksanaan
pada Abortus inkomplit dapat
kasus ini adalah kuretase ditatalaksana
dengan
emergensi
rawat
ekspektatif,
pembedahan,
maupun
medikamentosa.
Menurut SPM POGI, bila
perdarahan ringan dan
kehamilan <16 minggu,
dapat
dilakukan
pengeluaran
hasil
konsepsi yang terjepit
pada serviks dengan jari
atau forseps cincin. Bila
perdarahan sedang-berat
dan usia kehamilan <16
minggu,
dilakukan
evakuasi hasil konsepsi
dari uterus dengan pilihan
aspirasi vakum atau
kuretase tajam (sumber
lain menyebutkan batasan
usia kehamilan <12-14
minggu).
Penelitian Gulmezoglu
menunjukkan
bahwa
metode operatif yang
dipilih untuk abortus
inkomplit adalah aspirasi
vakum
dengan
efek
samping yang rendah:

menunjukkan hasil yang


positif.

Sarana
opertif
yang
tersedia di RSUD Dr.
Pirngadi adalah kuretase
sehingga penatalaksanaan
yang dilakukan adalah
kuretase tajam yang
dijadwalkan secepatnya
atau emergensi.

41

kehilangan
darah
minimal (RR 0,28), nyeri
minimal
(RR
0,74),
waktu lebih singkat (-1,2
menit). Walaupun begitu,
perhitungan
statistik
menunjukkan perbedaan
yang tidak bermakna.
Selain itu, prosedur ini
hanya
memerlukan
anestesi lokal.

42

BAB 5
PERMASALAHAN
1. Bagaimana tatalaksana pasien ini di daerah terpencil?

BAB 6
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Ny. H, 21 tahun, G1P0A0, datang ke IGD RSUPM dengan keluhan keluar
darah dari kemaluan sejak 1 minggu ini dan memberat dalam 1 hari terakhir.
Darah yang keluar berwarna merah kehitaman disertai gumpalan darah, dan
disertai jaringan. Pasien juga merasakan nyeri perut dan nyeri pinggang.
Pasien ini memiliki riwayat trauma dan riwayat keluarga mengalami
abortus. Suami pasien juga sering merokok saat berada di rumah. Status
praesens

dalam

batas

normal.

Status

generalisata

menunjukkan

hiperpigmentasi mammae yang mrupakan perubahan fisiologis saat hamil.

43

Pada pemeriksaan obstetrikus, dijumpai abdomen seopel, nyeri tekan tidak


dijumpai, TFU tidak teraba, dan terdapat perdarahan pervaginam. Pada
pemeriksaan ginekologis, dari inspekulo tampak gumpalan darah di introitus
vagina. Pada VT dijumpai serviks l1 cm; uterus lebih besar dari besar
biasa; parametrium kanan-kiri sulit dinilai; nyeri goyang serviks (+), cavum
douglas

menonjol.

Pasien

didiagnosis

dengan

abortus

inkomplit.

Penatalaksanaan pada kasus ini adalah kuretase emergensi.


6.2. Saran
Bagi akademisi atau peneliti untuk terus melakukan penelitian dalam rangka
penemuan pencegahan dan penatalaksanaan medikamentosa yang lebih efektif
untuk abortus inkomplit.

DAFTAR PUSTAKA
1. DeCherney AH, Nathan L, & Goodwin TM. Spontaneous Abortion. Robertson A
(editor). In: Current Diagnosis and Treatment in Obstetric and Gynecology. New
York: McGraw-Hill, 2003.
2. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Saifuddin AB, Rachimhadhi T,
Wiknjosastro GH (editor), In: Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2010.
3. Hanretty KP. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In: Obstetrics
Illustrated, 6th Edition. London: Churchill-Livingstone, 2003.
4. World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008
5. Sharing responsibility: women, society and abortion worldwide. New York, The
Allan Guttmacher Institute,1999.
6. Christopher P. Crum. The Female Genital Tract. In: Ramzi S. Cotran, Vinay
Kumar, Tucker Collins. Pathologic Basis of Disease.7th ed. Philadelphia: WB.
Saunders 2004; 1079-80.
7. Greenwold N, Jauniaux E. Collection of villous tissue under ultrasound guidance to
improve the cytogenetic study of early pregnancy failure. Hum Reprod 2002; 17:
45256.
8. Regan L, Rai R. Epidemiology and the medical causes of miscarriage. Baillieres
Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2000; 14: 83954.
9. Basama FM, Crosfill F. The outcome of pregnancies in 182 women with threatened
miscarriage. Arch Gynecol Obstet 2004; 270:86-90

44

10. Weiss JL, Malone FD, Vidaver J, et al. Threatened abortion: A risk factor for poor
pregnancy outcome, a population-based screening study. Am J Obstet Gynecol
2004; 190:745-50.
11. Johns J, Jauniaux E. Threatened miscarriage as a predictor of obstetric outcome.
Obstet Gynecol 2006; 107:845-50.
12. Tien JC & Tan TYT. Non surgical intervensions for threatened and recurrent
miscarriages. Singapore Med J, 2007; 48(12): 1074.
13. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. In: James, et al. (eds), High Risk
Pregnancy Management Options. 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders,
2006; 160-182.
14. Pierce GB, Parchment RE, Lewellyn AL. Hydrogen peroxideas a mediator of
programmed cell death in the blastocyst. Differentiation 1991;46:181186.
15. Suganuma R, Yanagimachi R, Meistrich ML. Decline in fertility of mouse sperm
with abnormal chromatin during epididymal passage as revealed by ICSI. Hum
Reprod 2005; 20: 3101-3108.
16. Caniggia I, Mostachfi H & Winter J. Hypoxia-inducible factor-1 mediates the
biological effects of oxygen on human trophoblast differentiation through TGFbeta. J Clin Invest 2000; 105: 577-587.
17. Gupta S, Agarwal A, Banerjee J & Alvarez J. The role of oxidative stress in
spontaneous abortion and recurrent pregnancy loss: a systematic review. CME
Review Article 2012; 62(5): 335-347.
18. Cohen RK & Koren G. Antioxidants and fetal protection against ethanol
teratogenicity: review of the experimental data and implications to humans.
Neurotoxicol Teratol 2003; 25: 1-9.
19. Vural P, Akgul C, Yildirim A, et al. Antioxidant defence in recurrent abortion. Clin
Chim Acta 2000; 295: 169-177.
20. Burd L, Roberts D, Odendaal H. ethanol and the placenta: a review. Journal of
maternalfetal and neonatal medicine 2007, 20(5):361375.
21. Weng X, Odouli R & Li DK. Maternal caffeine consumption during pregnancy and
the risk of miscarriage: a prospective cohort study. Am J Obstet Gynecol 2008; 198:
279-308.
22. Brent RL. Saving lives and changing family histories: Appropriate counseling of
pregnant women and men and women of reproductive age, concerning the risk of
diagnostic radiation exposures during and before pregnancy. Am J Obstet Gynecol,
2009, 200(1):4-24.
23. King H, Webb RT & Mortensen PB. Risk of stillbirth and neonatal death linked
with maternal mental illness: a national cohort study. archives of disease in
childhood, fetal and neonatal, 2009 94(2): 105-110.
24. Fertl KI, Bergner A, Beyer R, Klapp BF & Rauchfuss BF. Levels and effects of
different forms of anxiety during pregnancy after a prior miscarriage. Eur. J.
Obstet. Gynecol. Reprod. Biol. 2009; 142: 23-29.
25. Miozzo M & Simoni G. The role of imprinted genes in fetal growth. Biol Neonate
2002;81:217-228.
26. Korevaar JC, Leschot NJ, Bossuyt PM, Knegt AC, Schoorl KB, Wouters CH, et al.
Selective chromosome analysis in couples with two or more miscarriages: case
control study. BMJ 2005; 331: 137-141.
27. Cunningham. Recurrent Miscarriage: Abortion. Mark E (editor), In: Williams
Obstetrics 23rd Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010.

45

28. Stirrat GM. Recurrent miscarriage I: definition and epidemiology. Lancet 1990;
336: 673-675
29. Godjin M. Chromosome abnormalities in first-trimester pregnancy loss. University
of Amsterdam, 2003; 1: 1-19.
30. Eiben B, Bartels I & Bahr-Porsch. Cytogenetic analysis of 50 spontaneous
abortions with the direct preparationn method of chorionic villi and its implications
for studying genetic causes of pregnancy wastage. American journal of Human
Genetics 1990: 47; 656-663.
31. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Womens Health Reports 2003, 3:
361-366.
32. Robinson WP, McFadden DE & Stephenson MD. The origin of abnormalities in
recurrent aneuploidy/polyploidy. Am J Hum Genet. 2001; 69(6): 1245-1254.
33. Shi Q & Martin RH. Aneuploidy in human sperm: a review of the frequency and
distribution of aneuploidy, effects of donor age and lifestyle factors. Cytogenet Cell
Genet 2000, 90:219-226.
34. Schweikert A, Rau T, Berkholz A, Allera A, Daufeldt S, Wildt L, et al. Association
of progesterone receptor polymorphism with recurrent abortions. Eur J Obstet
Gynecol Reprod Biol 2004: 113; 67-72.
35. Lebedev N, Nazarenko SA. Tissue-Specific Placental Mosaicism for Autosomal
Trisomies in Human Spontaneous Abortuses. Russian J of Genet 2001,
37(11):1224-1237.
36. Lee RM, Silver RM. Recurrent pregnancy loss: Summary and clinical
recommendations. Semin Reprod Med 2000, 18: 433-440.
37. Brosens JJ, Hodgetts A, Zaidi FF, Sherwin JR, Fusi L, Salker MS, et al. Proteomic
analysis of endometrium from fertile and infertile patients suggests a role for
apolipoprotein A-I in embryo implantation failure and endometriosis. Mol Hum
Reprod 2010;16:273-285.
38. Teklenburg G, Salker M, Heijnen C, Macklon NS & Brosens JJ. The molecular
basis of recurrent pregnancy loss: impaired natural embryo selection. Mol Hum
Reprod, 2010: 16(12): 886-895.
39. Suryanarayana V, Rao L, Kanakavalli M, Padmalatha V, Raseswari T, &
Deenadayal M. Association between novel HLA-G genotypes and risk of recurrent
miscarriages: A case-control study in a South Indian population. Repro Sci, 2008;
15: 817-824.
40. Rossant. Placental development: lessons from mouse mutants. Nat Rev Genet,
2001; 2(7): 538-548.
41. Choi HK, Choi BC, Lee SH, Kim JW, Cha KY & Baek KH. Expression of
angiogenesis and apoptosisrelated genes in chorionic villi derived from recurrent
pregnancy patients. Mol Reprod Dev, 2003; 66:24-33.
42. Laird SM, Tuckerman EM, Cork BA, Linjawi S, Blakemore AF, Li TC, et al. A
review of immune cells and molecules in women with recurrent miscarriage.
Human Reproduction Update 2003: 9(2); 163-174.
43. Salmon JE. A noninflammatory pathway for pregnancy loss:innate immune
activation.
44. Novak RF. A Brief Review of Anatomy, Histology and ultrastructure of the full
term placenta. Archives of Pathology & Laboratory Medicine 1991;115: 654-659.
45. Haque AU, Siddique S, Jafari M, Hussain I & Siddiqui S. Pathology of chorionic
villi in spontaneous abortions. International Journal of Pathology 2004; 2(1): 5-9
46. Emmrich P. Pathology of the placenta. Zentralbl Pathol 1992; 138: 1-8.

46

47. Ladefoged C. A histopathological investigation of 260 early abortions. Acta Obstet


Gynecol Scand 1980; 59: 509-512.
48. Salim R, Regan L, Woelfer B, Backos M & Jurkovic D. A comparative study of the
morphology of congenital uterine anomalies in women with and without a history
of recurrent first trimester miscarriage. Hum. Reprod. 2003: 18; 162-166.
49. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Womens Health Reports 2003,
3:361366. Current Science Inc. ISSN 15345874 Copyright 2003 by Current
Science Inc
50. Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006. Hal.302-304; 309-310
51. Brenner, B., 2004. Haemostatic changes in pregnancy. Thromb. Res. 114, 409414
52. Roberts, D., Schwartz, R.S., 2002. Clotting and hemorrhage in the placentaa
delicate balance. N. Engl. J. Med. 347, 5759
53. Rai, R., Tuddenham, E., Backos, M., Jivraj, S., Elgaddal, S., Choy, S., Cork, B.,
Regan, L., 2003. Thromboelastography, whole-blood haemostasis and recurrent
miscarriage. Hum. Reprod. 18, 25402543.
54. Jeschke, U., Richter, D.U., Walzel, H., Bergemann, C., Mylonas, I., Sharma, S.,
Keil, C., Briese, V., Friese, K., 2003a. Stimulation of hCG and inhibition of hPL in
isolated human trophoblast cells in vitro by glycodelin A. Arch. Gynecol. Obstet.
268, 162167.
55. Toth B, Bastug M, Scholz C, Arck P, Schulze S & Kunze S, et al. Leptin and
peroxisome proliferator-activatedreceptors: impact on normal and disturbed first
trimester human pregnancy. Histol. Histopathol., 2008; 23:1465-1475.
56. Gardiner C, Cohen S, Austin S, Machin SJ, & Mackie IJ. Pregnancy loss, tissue
factor pathway inhibitor deficiency, and resistance to activated protein C. J Thromb
Haemost 2006; 4: 2724-2726.
57. Lappas M, Permezel M & Rice GE. Leptin and adiponectin stimulatethe release of
proinflammatory cytokines and prostaglandinsfrom human placenta and maternal
adipose tissue via nuclear factorkappaB,peroxisomal proliferator-activated
receptor-gamma andextracellularly regulated kinase 1/2. Endocrinology, 2005;
146: 3334-3342.
58. Hiby SE, Regan L, Lo W, Farrell L, Carrington M & Moffett A. Association of
maternal killer-cell immunoglobulin-like receptors and parental HLA-C genotypes
with recurrent miscarriage. Hum. Reprod., 2008; 23; 972-976.
59. Expression of Ki-67, Bcl-2 and Bax in the First Trimester Abortion Materials.
60. Kokawa K, Shikone T, Nakano R: Apoptosis in human chorionic villi and decidua
during normal embryonic development and spontaneous abortion in the first
trimester. Placenta 1998, 19:21-26
61. Lea RG, Al-Sharekh N, Tulppala M, Critchley HOD: The immunolocalization of
Bcl-2 at the maternal-fetal interface in healthy and failing pregnancies. Hum
Reprod 1997, 12:153-158.
62. foley_ch18_p213-222.pdf
63. Ikossi DG, Lazar AA, Morabito D, Fildes J, & Knudson MM. Profile of mothers at
risk: an analysis of injury and pregnancy loss in 1195 trauma patients. J Am oll
Surg, 2004; 9(16): 49-56.
64. Connor JP, Brudney A, Ferrer K & Fazleabas AT.GlycodelinA expression in the
uterine cervix. Gynecol Oncol., 2000; 79: 216219.
65. Eblen AC, GercelTaylor C, Shields LBE, Sanfilippo JS, Nakajima ST & Taylor
DD. Alterations in humoral immune responses associated with recurrent pregnancy
loss. Fertil Steril 2000; 73;305313.

47

66. Segal-Lieberman G, Karasik A, Shimon I. Hypopituitarism following closed head


injury. Pituitary 2000;3:181184
67. Kelly DF, Gonzalo IT, Cohan P, et al. Hypopituitarism following traumatic brain
injury and aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a preliminary report. J
Neurosurg 2000;93:743752
68. Weiss HB, Songer TJ, Fabio A. Fetal deaths related to maternal injury. JAMA
2001;286:18631868..
69. Mochtar, Rustam., S., Amru. 2012. Abortus. Dalam: Sinopsis Obstetri (Obstetri
Fisiologi & Obstetri Patologi). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
70. Toth B, Jeschke U, Rogenhofer N, Scholz C, Wufel W, Thaler CJ, et al. Recurrent
miscarriage: current concepts in diagnosis and treatment. Journal of Reproductive
Immunology 2010; 12(6): 1-8.
71. Dolitzky, M., Inbal, A., Segal, Y., Weiss, A., Brenner, B., Carp, H., 2006. A
randomized study of thromboprophylaxis in women with unexplained consecutive
recurrent miscarriages. Fertil. Steril. 86, 362366.
72. Norwitz, E.R., Schorge, J.O, 2008. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga; Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah, F.F.,
2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri Patologi. Ed. 2. Jakarta : EGC
73. Evans & Arthur T. Manual of Obstetric 7th. Lippincott Williams and Wilkins. 2007.
74. NICE. Ectopic pregnancy and miscarriage. NICE, 2012; 154: 1-38.
75. POGI. Standar Pelayanan Medik. POGI, 2006.
76. Meka A & Reddy BM. Recurrent spontaneous abortions: an overview of genetic
and non gentic background.
77. The Impact of Dydrogesterone Supplementation on Hormonal Profile and
Progesterone-induced Blocking Factor Concentrations in Women with Threatened.
78. El-Zibdeh MY. Dydrogesterone in the reduction of recurrent spontaneous abortion.
J Steroid Biochem Mol Biol 2005; 97:431-4
79. Omar MH, Mashita MK, Lim PS, Jamil MA. Dydrogesterone in threatened
abortion: pregnancy outcome. J Steroid Biochem Mol Biol 2005; 97:421-5
80. Yost NP, Owen J, Berghella V, et al. Effect of coitus on recurrent preterm birth.
Obstet Gynecol 2006; 107:793-7
81. Rumbold A, Middleton P, Crowther CA. Vitamin supplementation for preventing
miscarriage. Cochrane Database Syst Rev 2005; CD004073
82. Qureshi NS, Edi-Osagie EC, Ogbo V, Ray S, Hopkins RE. First trimester
threatened miscarriage treatment with human chorionic gonadotrophins: a
randomised controlled trial. BJOG 2005; 112:1536-41.
83. Bui Q. Management Options for Early Incomplete Miscarriage. University of
California.
84. Sur SD, Raine-Fenning NJ. The management of miscarriage. Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol. 2009;23(4):479-491.
85. Reynolds A, Ayres-de-Campos D, Costa MA & Montenegro N. How should
success be defined when attempting medical resolution of first-trimester missed
abortion?. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2005;118:716
86. Wood SL, Brain PH. Medical management of missed abortion: a randomised
controlled trial. Obstet Gynecol 2002;99:5636..
87. Fawcus S, McIntyre J, Jewkes RK, Rees H, Katzenellenbogen JM,Shabodien R, et
al. Management of incomplete abortions at South African public hospitals.
National Incomplete Abortion Study Reference Group. S Afr Med J 1997;1(4):438
442

48

88. Chow AW, Marshall, JR, Guze LB. A double-blind comparison ofclindamycin with
penicillin plus chloramphenicol in treatment of septic abortion. J Infect Dis
1977;135(Suppl):S3539
89. Seeras R, Evaluation of prophylactic use of tetracycline after evacuation in
abortion in Harare Central Hospital. Seeras R , Evaluation of prophylactic use of
tetracycline after evacuation in abortion inHarare Central Hospital. East Afr Med J
1989;66(9):60710..
90. Zhang J, Giles JM, Barnhart K, Creinin MD,Westhoff C, Frederick MM. A
comparison of medical management with misoprostol and surgical management for
early pregnancy failure. N Engl J Med 2005;353:7619..
91. Gulmezoglu MW & Thike BK. Antibiotics for incomplete abortion. Cochrane,
2012; 1: 1-10.
92. Heath V, Chadwick V, Cooke I, Manek S & MacKenzie IZ. Should tissue from
pregnancy termination and uterine evacuation routinely be examined
histologically?. BJOG 2000;107:72730
93. Misoprostol for treatment for incomplete abortion
94. Tang OS, Lau WNT, Ng EHY, Lee SWH, & Ho PC. A prospective randomized
study to compare the use of repeated doses of vaginal with sublingual misoprostol
in the management of first trimester silent miscarriages. Hum Reprod 2003;18:176
81;
95. IGO_incomp_Blum.pdf chung et al
96. Sagili H & Divers M. Review modern management of miscarriage. RCOG 2007; 9:
102-108.
97. Ngoc NT, Blum J,Westheimer E, Quan TT,Winikoff B. Medical treatment of
missed abortion using misoprostol. Int J Gynecol Obstet 2004;87:13842
98. Meka A & Reddy BM. Recurrent spontaneous abortion: an overview of genetic and
non gentic background.
99. Corrado F, Dugo C, Cannata M, Di Bartolo M, Scilipoti A & Stella N. A
randomised trial of progesterone prophylaxis aftermidtrimester amniocentesis.
European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2002;
100(2): 196-8.
100. Wiebe et al. Reducing surgery in management of spontaneous abortions. Can
Fam Physician, 1999: 45: 1-10.
101. Hure AJ, Powers JR & Loxton D. Misarriage, preterm delivery, dan stillbirth.
PLoS One, 2012; 7(5): 1-9.
102. World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008.
103. Pernoll ML. Habitual Abortion. Dalam: Benson and Pernolls Handbook of
Obstetrics and Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies, 2001.
104. Tien JC & Tan TYT. Non-surgical Interventions for Threatened and Recurrent
Miscarriages. Singapore Med J 2007; 48(12): 1074-1081.

49

Anda mungkin juga menyukai