Anda di halaman 1dari 122

Mengoptimalkan Sumber Daya Lahan Nasional untuk

Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAH DAN AGROKLIMAT


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
2005

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat


Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah Indonesia
1905-2005
Mengoptimalkan Sumber Daya Lahan Nasional untuk
Pembangunan Pertanian dan Kesejahteraan Masyarakat
V.116 hlm.:Ilus:23,5
ISBN 979-9474-47-7
Lembaga Penelitian tanah-sejarah

Diterbitkan pertama kali tahun 2005:


Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Jl. Ir. H. Juanda 98 Bogor 16123
Telepon : 0251 323012
Fax
: 0251 311256

KATA PENGANTAR
Buku Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian
Tanah : Mengoptimalkan Sumber Daya Lahan
Nasional untuk Pembangunan Pertanian dan
Kesejahteraan Masyarakat ini, memuat gambaran
umum perjalanan dan perkembangan kegiatan
penelitian tanah di Indonesia, khususnya dari era
pemerintahan Belanda sampai sekarang.
Buku ini diterbitkan berkaitan dengan peringatan 100 tahun (satu
abad) usia Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
(Puslitbangtanak). Kami sebagai penerus yang masih aktif di
Puslitbangtanak, merasa terpanggil untuk menerbitkan buku ini dengan
harapan para pembaca dapat mengikuti perkembangan penelitian tanah
di Indonesia, dan dengan demikian akan timbul rasa apresiasi kepada
para pendahulu/peneliti yang telah menuangkan pikirannya dalam
bidang penelitian tanah di Indonesia, dan pada saat yang sama timbul
tanggung jawab moral, untuk meneruskan kegiatan penelitian tanah di
Indonesia secara lebih baik.
Sejarah organisasi dan kegiatan penelitian tanah di Indonesia,
sumber daya penelitian, serta hasil-hasil penelitian yang telah dicapai
selama ini dirangkum secara singkat dalam buku ini, dengan merujuk
informasi dari buku-buku yang telah diterbitkan sebelumnya, yang
juga mengulas secara umum sejarah penelitian pertanian di Indonesia.
Untuk hal ini, kami memberikan apresiasi dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada penerbit buku-buku tersebut.
Kami sadari bahwa buku yang ringkas ini, tidaklah dapat
memuat semua informasi perjalanan penelitian tanah yang sangat luas.
Namun demikian, kami berharap kehadiran buku ini dapat
memperkaya informasi, khususnya yang berkaitan dengan penelitian
tanah di Indonesia.
Bogor, Januari 2005
Kepala Pusat Penelitian
dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat

Dr. Abdurachman Adimihardja

PENGANTAR
KEPALA BADAN PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Sumber daya lahan (tanah dan iklim),
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
keberhasilan suatu sistem usaha pertanian, karena
hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber
daya lahan. Dengan demikian, penguasaan informasi
dan teknologi pengelolaan sumber daya lahan
merupakan suatu hal sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan
pembangunan pertanian dalam mendukung pencapaian ketahanan
pangan dan peningkatan kesejahteraan para petani. Lembaga penelitian
pemerintah yang berkecimpung dalam pengumpulan informasi dan
penciptaan inovasi teknologi sumber daya lahan pada saat ini diberi
nama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
(Puslitbangtanak). Pusat ini merupakan salah satu unit kerja Badan
Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sebelum menyandang nama
ini, sesuai dengan perkembangan visi litbang pemerintah dan
penyesuaian organisasi, Pusat ini sempat sebelumnya berganti nama
beberapa kali.
Sebagai suatu institusi yang telah lama berdiri, Puslitbangtanak
telah melakukan berbagai kegiatan penelitian untuk pengumpulan data
dan informasi, dan pencarian inovasi teknologi pengelolaan lahan
dalam berbagai ekosistem, seperti ekosistem lahan sawah, lahan
kering, dan lahan rawa. Beberapa informasi dan teknologi yang
dihasilkan, telah disampaikan kepada pengguna dan telah
dimanfaatkan serta mempunyai dampak secara nasional dalam
pembangunan pertanian. Meskipun demikian, meningkatnya
permintaan pangan untuk kebutuhan dalam negeri, serta tuntutan
ekspor pertanian untuk menambah devisa negara, menimbulkan
desakan untuk memanfaatkan sumber daya lahan lebih optimal, terasa
makin mendesak.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa keunggulan
komparatif saja, yaitu berupa sumber daya lahan yang luas tidak bisa

diandalkan, tanpa adanya usaha-usaha untuk lebih meningkatkan


produktivitas lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah
subur yang ada saat ini telah dimanfaatkan untuk pertanian secara
intensif. Lahan-lahan yang belum dimanfaatkan kondisi kesuburannya
relatif lebih rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk
memperbaiki produktivitasnya. Karena itu, kegiatan litbang sumber
daya lahan ke depan untuk mencari inovasi teknologi tetap sangat
diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber
daya lahan lebih optimal.
Pada kesempatan ini, saya menyambut baik upaya
Puslitbangtanak menerbitkan buku ini dalam rangka memperingati satu
abad lembaga litbang tanah. Buku yang bernuansa sejarah ini, dapat
dilihat dalam dua aspek, yaitu pertama adalah kita dapat mempelajari
sumbangan apa yang telah diberikan institusi selama ini kepada
masyarakat, dan yang kedua dan sangat penting adalah apa yang akan
harus kita upayakan ke depan untuk membantu para pengguna sumber
daya lahan, utamanya petani, untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka.
Melalui buku ini kita juga dapat memberikan apresiasi kepada
para peneliti pendahulu yang telah menyumbangkan tenaga dan
pikirannya untuk menghasilkan karya-karya yang sangat berguna bagi
pembangunan pertanian di Indonesia, melalui inovasi teknologi
pengelolaan sumber daya lahan. Sehubungan dengan itu, saya
sampaikan apresiasi kepada para peneliti litbang tanah dan agroklimat
dan selamat berulang tahun ke-100 bagi lembaga penelitian tanah dan
agroklimat, dengan harapan kiprah ke depan akan lebih baik lagi
sesuai dengan tuntutan kebutuhan akan inovasi teknologi pertanian.
Bogor,

Januari 2005

Kepala Badan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Achmad Suryana

vi

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK


INDONESIA ............................................................................

iii

PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN


PENGEMBANGAN PERTANIAN .......................................

DAFTAR ISI ............................................................................

vii

PENDAHULUAN ....................................................................

SEJARAH ORGANISASI DAN KEGIATAN


PENELITIAN TANAH DI INDONESIA ..............................
Organisasi Penelitian ..........................................................
Kegiatan Penelitian .............................................................

3
3
9

SUMBER DAYA MANUSIA .................................................

21

SARANA DAN PRASARANA ...............................................


Laboratorium Kimia ............................................................
Laboratorium Fisika ............................................................
Laboratorium Mineralogi ....................................................
Laboratorium Penginderaan Jauh (Inderaja) .......................
Laboratorium Numerik dan Sistem Informasi Spasial
Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH) .................................
Laboratorium Gas Rumah Kaca ..........................................
Unit Basis Data ...................................................................
Kebun Percobaan Lahan Rawa, Balandean, Kalimantan
Selatan .................................................................................
Kebun Percobaan Lahan Masam, Taman Bogo, Lampung .
Perpustakaan .......................................................................
Museum Tanah Nasional ....................................................
Website Puslitbangtanak ......................................................

23
23
24
24
25

KARYA-KARYA UNGGULAN PUSLITBANGTANAK ...


Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Potensi
Sumber Daya Lahan Nasional ............................................
Kontribusi dalam Program Transmigrasi Nasional .............

31

vii

26
26
27
27
28
28
29
29

31
35

Halaman
Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah
Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Kering
Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa .
Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Iklim
Nasional ..............................................................................
Kontribusi dalam Kebijakan Pupuk Nasional .....................
Penyusunan Metode Analisis dan Panduan ........................
Pengembangan Sistem Klasifikasi Tanah Nasional.............

40
40
42
42

INOVASI TEKNOLOGI UNGGULAN ................................


Bidang Penelitian Tanah .....................................................
Bidang Penelitian Agroklimat dan Hidrologi .....................
Bidang Penelitian Lahan Rawa ...........................................
Bidang Penelitian Pencemaran Lingkungan .......................

43
43
71
80
91

KERJASAMA PENELITIAN ................................................

93

PEMBINAAN JARINGAN PENELITIAN DAN


PENGKAJIAN .........................................................................

101

KESAN DAN HARAPAN TERHADAP


PUSLITBANGTANAK ...........................................................

103

PENUTUP ................................................................................

113

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................

115

viii

35
37
38

PENDAHULUAN

egiatan pembangunan pertanian di manapun, termasuk di


Indonesia, tidak bisa terlepas dari pengelolaan sumber daya
lahan, karena sumber daya lahan (tanah dan iklim) merupakan faktor
yang mempengaruhi produksi pertanian. Indonesia yang mempunyai
luas daratan 192 juta ha (lebih kurang 102 juta ha sesuai untuk
pertanian) dengan tenaga kerja yang melimpah, merupakan potensi
yang sangat besar bagi pembangunan pertanian. Kenyataan inilah yang
menyebabkan Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Meskipun
demikian, keunggulan komparatif ini belum bisa dinikmati secara
optimal, karena saat ini kita masih harus mengimpor beberapa jenis
bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tuntutan
pemenuhan bahan pangan yang semakin meningkat akibat
pertambahan penduduk, menyebabkan perlunya peningkatan
produktivitas lahan pertanian yang ada saat ini.
Dalam rangka pemanfaatan secara optimal lahan pertanian di
Indonesia, berbagai penelitian telah dilakukan sejak dulu sampai
sekarang, dan akan terus dilakukan di masa yang akan datang, sesuai
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan kemajuan ilmu dan
teknologi.
Dalam beberapa publikasi, tercatat bahwa penelitian di bidang
pertanian di Indonesia diawali dengan dibentuknya Kebun Raya
Indonesia pada tahun 1817, oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari sini
kemudian berkembang, dengan terbentuknya beberapa lembaga
penelitian, setelah Dr. R.H.C.C. Scheffer pada tahun 1876 membeli
sebidang tanah untuk kegiatan penelitian tanaman dagang dan industri,
di Cikeumeuh, Bogor. Pada tahun 1905, ketika dibentuk Departement
van Landbouw (Departemen Pertanian), dibangun sebuah gedung
untuk perkantoran dan laboratorium-laboratorium yang mulai
digunakan pada bulan Agustus tahun 1905, sebagai Laboratoria voor

Inlandschen
Landbouw
en
voor
Bodemonderzoekingen
(Laboratorium-laboratorium untuk Pertanian Rakyat dan untuk
Penyelidikan Tanah). Dengan demikian, tahun 1905 dijadikan tonggak
sejarah lahirnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, karena pada tahun itulah sebuah lembaga penelitian yang
bergerak di bidang penelitian tanah didirikan di Hindia Belanda
(Nederlands Indie), yang kini menjadi Indonesia. Seiring dengan
perkembangan pertanian dan perpolitikan di Indonesia, pada waktu ini
lembaga tersebut bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, dan lokasinya pun tetap pada lokasi awal
pendiriannya, yaitu di Jalan Ir. H. Juanda 98, Bogor.

SEJARAH ORGANISASI DAN KEGIATAN


PENELITIAN TANAH DI INDONESIA
Organisasi Penelitian

erkembangan penelitian tanah di Indonesia tidak bisa terlepas


dari perkembangan penelitian pertanian secara umum, yang lahir
berawal dari pembentukan Kebun Raya Indonesia pada 18 Mei 1817
oleh C.G.C. Reinwardt (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya
Bogor, 2004). Pemerintah Belanda waktu itu sangat menyadari bahwa
untuk memanfaatkan secara optimal sumber daya lahan yang ada guna
memproduksi bahan-bahan pertanian terutama untuk ekspor

diperlukan penelitian. Oleh karena itu pada tahun 1876, Dr. R.H.C.C.
Scheffer selaku Direktur Kebun Raya, membeli sebidang tanah di
daerah Cikeumeuh untuk kegiatan penelitian tanaman dagang/tanaman
industri (Sitepu et al., 1998).
Pada tahun 1880-an sampai awal 1900-an, Melchior Treub yang
menjabat Direktur Kebun Raya
Bogor, kemudian mendirikan
beberapa lembaga penelitian
sebagai bagian dari Kebun
Raya, yaitu : Laboratorium
untuk Peneliti Tamu-Lab. Treub
(1884),
Museum
Zoologi
(1894), Laboratorium Kimia
(1890), Laboratorium Penyelidikan Laut di Jakarta (1904),
Balai Penyelidikan Teknik
Pertanian (1905), Balai Penyelidikan
Tumbuh-tumbuhan
(1905), dan Balai Penyelidikan
Hama dan Penyakit (1915).

Gedung Puslitbangtanak tahun 1905


(atas) dan 2005 (bawah)

Pada Tahun 1905, Treub mengadakan reorganisasi, lembaga-lembaga


penelitian yang ada di Bogor menjadi bagian teknis dari Departement
van Landbouw/ Departemen Pertanian (Hajatullah et al., 2002). Pada
tahun itu pula dibangun sebuah Laboratoria voor Inlandschen en
voor Bodemonderzoekingen yang salah satu bagiannya adalah
Laboratorium tot Vermeerdering de Kennis van den Bodem
(Laboratorium untuk Perluasan Pengetahuan tentang Tanah) sebagai
pendukung Departement van Landbouw, dan mulai digunakan pada
bulan Agustus 1905. Sampai tahun 1913, laboratorium untuk
penyelidikan tanah tersebut, terdiri atas dua bagian, yaitu : Geologish
Laboratorium yang dipimpin E.C. Julius Mohr, dan Bacteriologish
Laboratorium yang dipimpin K. Gorter. Pada tahun 1914,
Geologish Laboratorium berubah menjadi Laboratorium voor
Agrogeologie en Grondonderzoek (Laboratorium untuk Geologi
Pertanian dan Penyelidikan Tanah), sedangkan Bacteriologish
Laboratorium
tetap
pada
posisi semula. Selanjutnya pada
tahun 1922, namanya berubah
menjadi Laboratorium voor
Bodemkundig Onderzoek, dan
tahun 1930 digunakan nama
Bodemkundig Instituut.
Saat terjadi penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949
dari pemerintah Belanda ke
Republik Indonesia Serikat
(RIS) lembaga-lembaga penelitian di bawah pemerintah Belanda juga
ikut diserahkan, termasuk Bodemkundig Instituut, dan pada saat itu
pertama kali digunakan bahasa Indonesia yaitu Balai Penyelidikan
Tanah, di bawah koordinasi Jawatan Penyelidikan Pertanian (Badan
Litbang Pertanian, 2004). Jawatan Penyelidikan Pertanian saat itu
membawahi beberapa lembaga penelitian, yaitu : Balai Penelitian

Kegiatan penelitian pada


laboratorium geologi di awal abad 20

Pertanian, Balai Penelitian Botani, Balai Penelitian Hama dan Penyakit


Tanaman, Balai Penelitian Tanah, dan SubBalai Pertanian Makassar.
Pada tahun 1950-1960, Balai Penyelidikan Tanah dan Balai
Penyelidikan Teknik Pertanian mengalami kemajuan pesat.
Pada periode 1969-1974, lembaga penelitian dikoordinasikan
oleh masing-masing Direktorat Jenderal. Lembaga Penelitian Tanah
bersama dengan Lembaga Penelitian Pertanian dan Lembaga
Penelitian Hortikultura, berada di bawah Direktorat Jenderal Pertanian
Tanaman Pangan, sedangkan lembaga penelitian lainnya di bawah
koordinasi
masing-masing
Direktorat
Jenderal
Komoditas
bersangkutan. Berdasarkan Kepmentan No. 126/Kpts/OP/4/1969,
Lembaga Penelitian Tanah bertugas melakukan kegiatan klasifikasi
dan pemetaan tanah, dan penelitian kesuburan tanah.
Kemudian pada tahun 1974, terjadi pembenahan organisasi
lembaga penelitian yaitu semua lembaga penelitian yang tadinya
berada di bawah masingmasing Direktorat Jenderal
komoditas terkait, digabung
dalam satu wadah, yaitu Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian melalui Keppres No.
44 dan No 45 tahun 1974.
Peristiwa
ini
merupakan
Gedung Badan Penelitian dan

tonggak berdirinya
Badan
Pengembangan Pertanian (2004)
Litbang
Pertanian
(Badan
Litbang Pertanian, 2004).
Untuk membantu kegiatan Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) di lapangan, dibangun tiga
stasiun penelitian tanah yaitu Stasiun Penelitian Tanah di Yogyakarta
pada tahun 1961, di Ujung Pandang pada tahun 1981, dan di
Bukitinggi pada tahun 1981. Stasiun penelitian tanah tersebut

dilengkapi dengan laboratorium tanah, dengan maksud agar sampel


tanah tidak perlu dibawa ke Bogor untuk dianalisis. Namun pada tahun
1994, yaitu bersamaan dengan pembentukan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) di tiap provinsi, stasiun ini diserahkan ke
masing-masing BPTP terkait, termasuk sebagian dari staf peneliti dan
teknisinya.
Selama 30 tahun (1974-2004), Puslibangtanak mengalami
berbagai perubahan mandat serta tugas pokok dan fungsi, seiring
dengan perubahan yang terjadi di tubuh Badan Litbang Pertanian
secara keseluruhan. Perubahan organisasi yang sangat menonjol terjadi
pada tahun 2002 ketika Puslitbangtanak mengalami reorganisasi secara
menyeluruh, yaitu dengan terbentuknya tiga Balai dan satu Loka
Penelitian di bawah koordinasi Puslitbangtanak. Kelompok Peneliti
yang tadinya berada langsung di bawah Puslitbangtanak masuk ke
Balai Penelitian sesuai dengan bidang penelitiannya. Kelompok
Peneliti Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah, Penginderaan Jauh
(Remote Sensing), dan Pedologi masuk ke dalam Balai Penelitian
Tanah (Balittanah) (SK Mentan No. 69/Kpts/OT.210/1/2002).
Kelompok Peneliti Agroklimat masuk ke dalam Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) (SK Mentan No. 67/Kpts/OT.
210/1/2002). Sedangkan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
(Balittra) yang semula berada di bawah Pusat Penelitian dan
Pengembangan

Tanaman

Pangan (Puslitbangtan)

dialihkan

ke

Puslitbangtanak (SK Mentan No. 68/Kpts/OT.210/1/2002). Demikian


juga, Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian (Lolingtan)
Jakenan ( 28 km timur Pati) Jawa Tengah, yang tadinya merupakan
salah

satu

kebun

Puslitbangtanak

(SK

percobaan
Mentan

Puslitbangtan,
No.

dialihkan

ke

66/Kpts/OT.210/1/2002).

Selanjutnya pada tahun 2002, Kelompok Peneliti Mikrobiologi yang


berada di bawah Balai Besar Bioteknologi dan Sumber daya Genetik
Pertanian (BB Biogen) dialihkan ke Balittanah.

Perkembangan organisasi Puslitbangtanak dari tahun 1905-2005


Nama organisasi

Tahun

Laboratorium tot Vermeerdering de Kennis van den


Bodem

1905-1913

Laboratorium voor Agrogeologie en Grondonderzoek

1914-1921

Laboratorium voor Bodemkundig Onderzoek

1922-1929

Bodemkundig Instituut

1930-1942

Dozyoobu (Balai Penjelidikan Tanah)

1943-1944

Bodemkundig Instituut (BI)

1945-1949

Balai Penjelidikan Tanah (BPT)

1950-1962

Lembaga Penjelidikan Tanah

1962-1963

Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan

1963-1966

Lembaga Penelitian Tanah (LPT)

1967-1980

Pusat Penelitian Tanah

1981-1990

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat

1991-2001

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan


Agroklimat

2001-sampai
sekarang

*) Abdurachman, A. et al. (2000) dimodifikasi

Secara garis besar, perubahan nama organisasi diakibatkan


adanya perubahan tugas pokok dan fungsi. Dari kurun waktu 1905
sampai dengan 2001, terdapat tiga perubahan mendasar yang
mempengaruhi nama Puslitbangtanak, yaitu dimasukkannya aspek
penelitian pupuk sebagai mandat pada 1963, kemudian unsur
agroklimat pada 1990, dan pada tahun 2001, pengembangan
penelitian dimasukkan dalam tugas pokok dan fungsi, sehingga
namanya menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat (Puslitbangtanak).

E.C.J. Mohr
(1905-1930)

Haroen Yahya
(1951-1961)

Go Ban Hong
(1961-1966)

D. Muljadi
(1966-1984)

M. Sudjadi
(1984-1989)

S. Effendi
(1989-1991)

A.S. Karama
(1992-1997)

A. Adimihardja
(1997-2005)

Beberapa mantan Direktur/Kepala Puslitbangtanak


dari tahun 1905 sampai 2005

Puslit

Balittanah

Balitklimat

Balittra

Lolingtan

Struktur organisasi Puslitbangtanak

Gedung Balittanah (1), Balitklimat (2), Balittra (3), dan Lolingtan (4)

Kegiatan Penelitian
Kegiatan penelitian tanah secara terbatas sudah dilakukan mulai
tahun 1848, yaitu dengan didirikannya Laboratorium Kimia Pertanian
oleh pemerintah Belanda. Fromberg yang sengaja didatangkan dari
Edinburg, ditunjuk sebagai kepala laboratorium ini, mencurahkan
perhatiannya pada analisis tanah dalam kaitannya dengan pertumbuhan
tanaman kopi. Dari penelitian ini, dia menemukan bahwa kematian

tanaman
kopi
disebabkan
karena kandungan humus tanah
yang rendah. Namun setelah
beliau meninggal pada 1858,
pekerjaan dilanjutkan oleh Rost
van Tonnigen, tetapi pada 1860
Laboratorium kimia tanah pada awal
berdirinya Puslitbangtanak

dengan alasan yang tidak


diketahui
laboratorium
ini

ditutup (Went, 1967).


Pada tahun 1880 kegiatan penelitian dilakukan terutama untuk
menyelidiki lahan-lahan yang berpotensi untuk perkebunan, misalnya
di daerah Deli, Sumatera Utara untuk perkebunan tembakau, dan
penelitian pemupukan untuk kesuburan tanah (Chin A Tam, 1993).
Perkembangan kegiatan penelitian tanah sesuai dengan bidang
kajian adalah sebagai berikut :
a. Kegiatan Pemetaan Tanah
Kegiatan pemetaan tanah
di Indonesia sudah dimulai sejak
pemerintahan Belanda, namun
investigasi secara intensif untuk
melihat potensi tanah di
Indonesia dimulai pada tahun
1905, yaitu dengan terbentuknya
Laboratorium voor Agrogeologie en Grondonderzoek, dengan
titik berat pada masalah kimia,
mineralogi, genesa, dan klasifikasi tanah (Dudal dan Jahja, 1957).
Pada tahun 1883, R.D.M. Verbeek melaporkan hasil pemetaan tanah
untuk melihat deskripsi topografi dan geologi tanah-tanah di Pantai
Barat Sumatera. Dudal dan Jahja (1957) menguraikan kegiatan survei

Peta Arahan Detail Tata Ruang


Pertanian Daerah Dompu, Nusa
Tenggara Barat, skala 1:50.000

10

di Indonesia sebagai berikut : pada 1912 E.C.J. Mohr sebagai direktur


pertama menyusun konsep pemetaan tanah untuk Madura dan Jawa
skala 1:1.000.000.
Pada tahun 1927 atas nama pemerintah, survei tanah dimulai di
Pulau Sumatera, yaitu di Sumatera Selatan, dengan aspek agrogeologi
skala 1:200.000. Pada tahun 1930 survei tanah untuk Jawa dan Madura
diresmikan, yang bertujuan selain untuk pertanian juga untuk tujuan
pengembangan industri bata merah dan genteng, infrastruktur jalan,
serta jalan kereta api.
Pada tahun 1934 survei Sumatera Selatan ditangguhkan, karena
alasan keuangan dan pada 1936 semua kegiatan survei diserahkan
sepenuhnya kepada Balai Penjelidikan Tanah. Sampai pada tahun 1942
telah disurvei seluas 14 juta ha. Hanya saja hasil survei ini tidak
dipublikasi. Pada era 1942-1954, kegiatan survei agak berhenti karena
situasi keamanan yakni peralihan dari pemerintah Belanda ke Jepang
kemudian ke Indonesia.
Pada tahun 1955, pada saat pemerintah Indonesia menyusun
program lima tahun, Balai Penelitian Tanah diberi tugas melakukan
survei secara sistematis ke seluruh Indonesia untuk kepentingan
pertanian, dengan penekanan
pada
survei
eksplorasi
(1:1.000.000). Untuk Pulau
Jawa dan Madura dilakukan
survei tanah dengan skala
1:250.000 untuk keperluan
penyediaan informasi dalam
rangka penggunaan lahan,
perbaikan lahan, dan program Pengamatan penampang tanah pada
sekitar tahun 1950-an
pemupukan.
Sesuai dengan mandat, kegiatan survei terus dilakukan setiap
tahun dengan intensitas yang berbeda sesuai dengan permintaan.
Kegiatan survei dan pemetaan secara intensif dilakukan oleh

11

Puslitbangtanak pada tahun 1970-an yaitu dengan dimulainya Rencana


Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk menunjang program
pemerintah dalam peningkatan jaringan irigasi dan program
pembangunan pertanian lainnya.
Kegiatan survei yang dibiayai oleh Bank Dunia terutama
diprioritaskan untuk daerah-daerah persiapan transmigrasi melalui
Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT) dari
1979-1986. Setelah proyek ini selesai, dilanjutkan dengan Proyek
Land Resources and Evaluation Planning (LREP) Fase I (1985-1990)
dan Fase II (1991-1997) yang ditujukan untuk mengetahui potensi
lahan untuk tujuan pembangunan pertanian secara umum, dengan skala
1:250.000 untuk LREP I, dan skala 1:50.000 untuk LREP II.
Dari seluruh kegiatan survei dan pemetaan tanah selama periode
1955-2004, maka hampir 50% wilayah Indonesia utamanya bagian
barat Indonesia telah dipetakan, dan diketahui potensi sumber daya
lahannya. Untuk pengembangan lahan rawa pasang surut, kegiatan
pemetaan di daerah rawa dilakukan melalui kerjasama dengan Proyek
Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S), Departemen Pekerjaan
Umum.
Setelah proyek-proyek tersebut berakhir, intensitas kegiatan
pemetaan di Puslitbangtanak semakin berkurang, dan karena
keterbatasan dana, maka kegiatan survei terbatas pada daerah prioritas
untuk melengkapi data potensi sumber daya tanah yang belum selesai
dilakukan, khususnya di wilayah timur Indonesia.
b. Penelitian Kesuburan Tanah
Selain kegiatan inventarisasi sumber daya lahan, penelitian
dalam bidang kesuburan dan konservasi tanah ikut mewarnai kegiatan
penelitian tanah, sejak terbentuknya lembaga ini. Pemerintah Belanda
memberikan prioritas penelitian kesuburan tanah, terutama untuk
membangun perkebunan tanaman komersial, seperti tebu, tembakau,

12

teh, dan karet. Tercatat bahwa


kegiatan penelitian kesuburan
tanah telah dilakukan sejak tahun 1890-an untuk menganalisis
tanah-tanah yang ada di
Sumatera dan di Pulau Jawa,
yang akan digunakan untuk
perkebunan. Sebagai contoh,
Penelitian kesuburan tanah untuk
J.G.C. Vriens telah melaporkan
tanaman tebu
hasil analisis tanah perkebunan
tembakau di Deli pada tahun 1908. Demikian juga, percobaanpercobaan untuk melihat prospek pemanfaatan pupuk hijau (green
manure) sebagai penyubur tanah untuk tanaman tebu dilakukan di
salah satu kebun percobaan di Jawa Timur, yang sekarang bernama
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI). Hal ini
telah dilaporkan oleh Kramers pada tahun 1890 dalam Verslag omtrent
de bemestingsproeven in het jaar 1888-1889 (Chin A Tam, 1993).
Beberapa kegiatan penelitian yang dilakukan pada saat itu,
antara lain : pada tahun 1907 dilakukan percobaan oleh H.J. Kerbert
untuk mengetahui apakah pohon jati mempengaruhi kesuburan tanah.
Percobaan untuk melihat pengaruh dekomposisi beberapa pupuk hijau
seperti tanaman lamtoro (Leucaena) terhadap pertumbuhan tanaman
teh dilakukan pada 1915 oleh C. Bernard; percobaan pengaruh olah
tanah pada tahun 1915-1919 oleh J. Van Dijk; penelitian untuk
mengendalikan alang-alang dengan menggunakan tanaman penutup
tanah kemlandingan (Leucaena leucocephala) di antara tanaman jati,
yang dengan sukses dapat menekan pertumbuhan alang-alang,
dilaporkan oleh K.C. Jaski pada tahun 1909. Semua kegiatan
penelitian tersebut, hampir sebagian besar diarahkan untuk menunjang
pengembangan tanaman perkebunan (Chin A Tam, 1993).
Untuk menyatukan gerak dalam bidang penelitian tanah, maka
pada 24-28 Oktober tahun 1916 diadakan Kongres Ilmu Tanah di

13

Yogyakarta yang membahas tentang kesuburan tanah dan peranan


pengairan. Kemudian pada tahun 1940, kembali digelar suatu
pertemuan yang diberi tema De Vruchtbaarheid van de Bodem en
Haar Behoud. Pertemuan ini melahirkan rekomendasi kepada
pemerintah yaitu : (1) bahwa pencegahan adalah syarat mutlak untuk
mempertahankan kemakmuran, (2) bahwa penting sekali
mempertahankan kesuburan tanah, antara lain, dengan mengembalikan
zat-zat sisa pengolahan industri.
Kemudian setelah penyerahan kekuasaan dari Pemerintah
Jepang, kegiatan dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia. Kegiatan
penelitian kesuburan yang menonjol setelah kemerdekaan, antara lain,
meliputi percobaan pemupukan padi sawah pada berbagai jenis tanah
dan lingkungan untuk menentukan dosis pupuk optimum guna
membantu pemerintah dalam program BIMAS (Lembaga Penelitian
Tanah, 1975).
Dalam rangka memperkuat kegiatan penelitian kesuburan tanah,
maka pada tahun 1958 dibentuk Bagian Kesuburan Tanah, sebagai
langkah pertama menghadapi Revolusi Agraria Indonesia yang
diamanatkan dalam Jarek (Jalan Revolusi Kita, 17 Agustus 1959),
bahwa pertahanan kesuburan tanah adalah dasar mencapai
masyarakat adil dan makmur (Go Ban Hong, 1961).
Sejak tahun 1970, kegiatan penelitian pada lahan basah beriklim
basah, terutama lahan sawah, diarahkan pada penelitian, antara lain :
penggunaan urea butiran untuk efisiensi N, pembenaman jerami untuk
suplai K, dan pemanfaatan azolla.
Pada tahun 1990, yaitu pada saat terjadi pelandaian produksi,
maka diteliti status hara, terutama P dan K di dalam tanah. Dari
peneltian ini diketahui bahwa terjadi akumulasi P dan K di dalam
beberapa tanah sawah akibat pemberian yang terus-menerus. Melalui
kegiatan ini, teknologi rekomendasi pemupukan berdasarkan status
hara P dan K telah ditemukan.

14

Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam,


dilakukan penelitian secara intensif selama periode 1980-1986, dengan
mengambil tempat (site) di beberapa lokasi lahan masam di daerah
Sitiung, Sumatera Barat, dengan dana dari Tropsoil Project-USAID
dan dilaksanakan bersama dengan University of Hawaii dan North
Caroline State University. Penelitian ditujukan untuk mencari
teknologi pengelolaan tanah masam tropika humid, antara lain, melalui
pengapuran yang tepat dan pengayaan unsur hara tanah. Kegiatan ini
bertepatan dengan program pemerintah (Departemen Pertanian) berupa
pengapuran kedelai secara nasional selama musim tanam 1983/1984.
Dari kegiatan ini disimpulkan bahwa pengapuran dan pemupukan,
sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman di lahan masam
(Pusat Penelitian Tanah, 1984).
Pada lahan rawa penelitian dilakukan secara intensif pada tahun
1961, yaitu sejak dibentuknya Balai Penelitian Lahan Rawa yang
berlokasi di Kalimantan Selatan yang mempunyai mandat melakukan
penelitian untuk peningkatan produktivitas lahan rawa.
c. Penelitian Konservasi Tanah
Penelitian konservasi tanah telah dirintis sejak zaman Belanda
(1911). Kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan waktu itu, antara
lain : pada tahun 1922, K.P.
Kalis melaporkan penelitiannya
tentang hubungan antara olah
tanah dan erosi (Bodembewerking en afspoeling). Investigasi
mengenai erosi di Jawa
dilanjutkan pada tahun 1930-an,
kemudian dilanjutkan dengan
penelitian erosi secara terintegrasi pada 1950 oleh J.H.D.E.
Haan (Chin A Tam, 1993).

Penelitian dan pengembangan


teknologi konservasi lahan di
Kadipaten, Tasikmalaya, Jawa Barat

15

Pada tahun 1955, sebagai kepala divisi pemetaan tanah di Balai


Penjelidikan Tanah waktu itu, Dames menulis suatu buku yang
berjudul The Soils of East Central Java yang menguraikan kondisi
tanah pada daerah sekitar Yogyakarta dan Surakarta, Semarang,
Rembang, serta Jepara (Dames, 1955). Dijelaskan dalam buku itu
bahwa sebelum tahun 1800, daerah ini termasuk subur karena gunung
api, dan waktu itu Pulau Jawa hanya berpenduduk 4 juta jiwa.
Kemudian pada 1850, jumlah penduduk di Jawa dan Madura menjadi
10 juta, pada tahun 1900 menjadi 25 juta, dan pada tahun 1950 sekitar
50 juta. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya pembukaan hutan
untuk tujuan pertanian. Sejak ini pula masalah erosi dan konservasi
menjadi hal yang serius di Jawa.
Kemudian pada tahun 1970, Lembaga Penelitian Tanah
membentuk bagian atau kelompok peneliti Konservasi Tanah dan Air
untuk melengkapi dua bagian yang telah ada, yaitu Bagian Pedologi
dan Kesuburan Tanah. Pada tahun itu pula dibangun Laboratorium
Fisika Tanah, dengan bantuan peralatan dan tenaga ahli dari Belgia
melalui proyek ATA 105 (Abdurachman Adi et al., 2000).
Dari tahun 1970 sampai 2004, tercatat beberapa penelitian
konservasi yang menonjol seperti : penelitian penggunaan soil
conditioner, penelitian prediksi erosi, penelitian konservasi tanah di
DAS Citanduy, penelitian konservasi di DAS Jratunseluna melalui
proyek Upland Agricultural Conservation Project (UACP), penelitian
konservasi pada proyek Proyek Penelitian Pertanian Nusa Tenggara di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (P3NT), penelitian konservasi melalui
dana proyek Upland Farmer Development Project (UFDP) di Pulau
Sumba (NTT), penelitian konservasi partisipatif kerjasama dengan
Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Kaligarang
Semarang, dan kerjasama dengan International Center for Research on
Agroforestry (ICRAF) di Lampung.

16

d. Penelitian Penginderaan Jauh


Pemanfaatan
data
penginderaaan jauh (inderaja),
berupa
foto
udara
di
Puslitbangtanak, sudah mulai
digunakan pada tahun 1948
untuk mendukung kegiatan
survei dan pemetaan di daerah
Mbai-Flores dan Pulau Timor
Analisis foto udara membantu
bagian selatan. Penggunaan foto
mempercepat pemetaan tanah sejak
udara dalam pemetaan tanah
pertengahan abad 20
tersebut
ternyata
dapat
mempercepat pekerjaan di lapangan dua kali lipat, dan karena
dirasakan sangat besar manfaatnya, maka data inderaja semakin
intensif digunakan di Puslitbangtanak (Abdurachman Adi et al., 2000).
Pada tahun 1976 dibentuk unit Instalasi Potret Udara di bawah
koordinasi Bagian Pedologi. Dengan berkembangnya teknologi satelit,
maka penggunaan teknologi inderaja semakin maju, termasuk
penggunaannya yang tidak saja terbatas pada kegiatan survei, tetapi
juga untuk penggunaan lain seperti perkiraan luas panen dan hasil.
Pada tahun 1987, Laboratorium Sistem Informasi Geografi
(Geographic Information System : GIS) Puslitbangtanak mulai
dimanfaatkan untuk manajemen data pemetaan sumber daya lahan
seluruh Pulau Sumatera. Sejak itu, GIS digunakan untuk mendukung
sebagian besar kegiatan penelitian di Puslitbangtanak. Selain itu
dengan bertambah luasnya mandat penelitian, yaitu dengan masuknya
bidang agroklimat, hidrologi, pertanian lahan rawa, dan biologi tanah,
pemanfaatan GIS dan penginderaan jauh (remote sensing) juga
dikembangkan dengan membentuk Kelompok Peneliti Penginderaan
Jauh pada tahun 1998. Sedangkan laboratorium GIS, yang semula
hanya pada tingkat Puslitbangtanak, dikembangkan ke tingkat Balai.

17

Dengan demikian, pada saat ini terdapat beberapa fasilitas GIS, antara
lain : pada Unit Basis Data Puslitbangtanak, Kelti Inderaja dan Unit
Basis Data Sumber Daya Tanah (UBDST) di Balai Penelitian Tanah,
serta di laboratorium NSISAH (Numerik dan Sistem Informasi Spasial
Agroklimat dan Hidrologi) di Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi.
Penggabungan teknik inderaja dengan sistem informasi
geografis yang dibarengi dengan penggunaan fasilitas komputer yang
semakin maju, mengakibatkan data dan informasi dapat diolah dan
ditampilkan lebih sempurna. Dalam pengembangan teknik inderaja ini,
Puslitbangtanak telah bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian
dari dalam dan luar negeri, seperti Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Asian Institute of Technology (AIT) Thailand, dan
National Aerospace Development Agency (NASDA), Japan.
e. Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi
Iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Usaha-usaha untuk mengetahui lebih jauh tentang kondisi iklim di
Indonesia dalam kaitannya dengan pertumbuhan pertanian telah
dimulai sejak pemerintahan
Belanda. Pekerjaan serius untuk
penggolongan iklim dilakukan
oleh Koppen pada 1918. Pada
bulan Juli 1950, dibentuk tim
yang diprakarsai oleh Prof. Dr.
F.H. Schmidt, sebagai Direktur
Jawatan
Meteorologi
dan
Geofisika, Jakarta, dan Prof. Ir.
J.H.A.
Fergusson,
sebagai
profesor manajemen kehutanan

Dam parit sebagai sarana panen


hujan dan aliran permukaan pada
skala mikro DAS

18

di Fakultas Pertanian UI, Bogor. Tim ini dibantu oleh beberapa orang
yang terdiri atas Dr. F.H. Endert, Inspektur Kehutanan; Dr. Ir. E.
Meyer Drees, Kepala Bagian Botani Kehutanan, Balai Penjelidikan
Kehutanan; Ir. G.J.A Terra, Inspektur Pelayanan Hortikultura; Ir. J.L.
Unger, Biro Tata Guna Lahan; Ir. M. Van der Voort, Kepala Balai
Penjelidikan Tanah; dan Ir. Ch. L. Van Wijk, Kepala Bidang
Konservasi Tanah, Balai Penjelidikan Kehutanan (Schmidt dan
Fergusson, 1951). Hasil kegiatan ini adalah berupa pengumpulan data
iklim untuk menyusun Klasifikasi tipe hujan (rainfall types)
berdasarkan jumlah bulan kering dan bulan basah di wilayah
Indonesia. Kemudian kegiatan ini dilanjutkan oleh Oldeman (1975),
Oldeman dan Darmijati (1977), Oldeman et al. (1979), dan Oldeman et
al. (1980) untuk lebih mengaitkan dengan kebutuhan tanaman.
Guna melengkapi data dan informasi iklim di seluruh Indonesia,
maka Puslitbangtanak bekerjasama dengan CIRAD Perancis telah
memasang 74 stasiun iklim otomatis (Automatic Weather Station :
AWS), dan 24 stasiun pencatat tingkat air otomatis (Automatic Water
Level Recorder : AWLR) di seluruh Indonesia. Dalam rangka
pemantauan data dan informasi yang diperoleh dari stasiun di lapangan
tersebut, maka Puslitbangtanak bekerjasama dengan berbagai instansi,
seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Dinas Pertanian
setempat, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Selanjutnya untuk memudahkan penggunaannya, informasi
iklim yang berasal dari seluruh wilayah ini dirangkum dalam suatu
Atlas Sumber Daya Iklim Pertanian Indonesia, Skala 1:1.000.000 oleh
Balitklimat (2004).
Sementara itu untuk mengetahui dinamika sumber daya
air tanah dan pemanfaatannya
untuk pertanian, maka berbagai
penelitian telah dilakukan, baik
dalam bidang tanaman pangan
maupun perkebunan. Baru-baru

19

ini, telah dilakukan kerjasama penelitian dengan pihak swasta seperti


PT Gunung Madu Plantations untuk pengelolaan air pada tanaman
tebu, dan dengan Perum Jasa Tirta untuk pengelolaan pasokan air.
f. Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian
Dengan
semakin
meningkatnya
kesadaran
masyarakat
terhadap
pentingnya aspek kesehatan
dan lingkungan, maka kedua
masalah ini menjadi perhatian
secara nasional. Pencemaran
di
bidang
pertanian
disebabkan oleh dua sumber,
Pengamatan lahan tercemar melalui
yaitu dari praktek pertanian
analisis laboratorium
sendiri, berupa penggunaan
secara berlebihan zat-zat
kimia berupa pupuk, obatobatan, insektisida, herbisida,
dan sebagainya, serta dari luar
pertanian, seperti pembuangan
limbah
berbahaya/beracun
dari hasil kegiatan industri.
Kegiatan
pengendalian
pencemaran
lingkungan
yang
Lahan sawah tercemar limbah industri
di Bandung Selatan
menonjol, antara lain :
penelitian emisi gas rumah
kaca, penelitian pengendalian residu pestisida, dan rehabilitasi lahan
tercemar.
Khusus untuk penelitian emisi gas rumah kaca, kegiatan
dilakukan bekerjasama dengan International Rice Research Institute
(IRRI) sejak Loka Penelitian (Lolit) Jakenan masih berada di bawah
Puslitbang Tanaman Pangan.

20

SUMBER DAYA MANUSIA

aat ini Puslitbangtanak didukung oleh 651 tenaga yang terdiri atas
tenaga fungsional 317 orang, dan tenaga nonfungsional 334
orang. Pada awal terbentuknya sampai tahun 1980-an, tenaga pemeta
tanah (soil surveyor) merupakan tenaga yang dominan. Hal ini
(disebabkan) karena kegiatan survei pada periode tersebut sangat
intensif dilakukan terutama untuk mendukung program-program
pembangunan nasional seperti program perencanaan pemukiman
transmigrasi, rehabilitasi dan perluasan jaringan pengairan, pencetakan
sawah, dan pembukaan perkebunan baru. Tenaga survei yang direkrut
kebanyakan merupakan lulusan dari Sekolah Pertanian Menengah Atas
(SPMA), yang kemudian menjalani pelatihan, sekitar 2 tahun, menjadi
Asisten Pemeta Tanah atau Asisten Peneliti bidang penelitian lainnya.
Tenaga inilah bersama para tenaga sarjana, telah memberikan
sumbangan yang besar artinya bagi pengumpulan informasi sumber
daya lahan di Indonesia, melalui kegiatan survei dan pemetaan tanah.
Untuk meningkatkan keahlian dan kemampuan dalam
menjalankan tugas, maka banyak tenaga peneliti dan tenaga fungsional
lainnya, telah mengikuti program pelatihan baik jangka panjang
maupun jangka pendek di dalam dan luar negeri, dengan biaya dari
pemerintah (beasiswa) atau biaya sendiri.

Sebaran sumber daya Puslitbangtanak per tahun 2004 menurut jenjang


pendidikan (A), jenjang fungsional (B) dan status fungsional (C)
Unit kerja

S3

S2

S1

< D3

Puslitbangtanak

53

71

Balittanah

15

48

83

177

323

Balitklimat

18

33

67

Balittra

22

41

87

153

Lolingtan

24

37

30

90

158

373

651

Total

A
21

Total

Unit kerja
Puslit

Ahli
peneliti

Peneliti

Ajun
peneliti

Asisten
peneliti

Total

Balittanah

15

27

28

21

91

Balitklimat

20

Balittra

13

26

46

Lolingtan
Total

Unit kerja
Puslit

23

43

61

39

166

Fungsional
13

Balittanah

206

Balitklimat

44

Balittra

46

Lolingtan
Total

Nonfungsional

317

22

Total

58

71

117

323

23

67

107

153

29

37

334

651

SARANA DAN PRASARANA PENELITIAN

arana dan prasarana penelitian turut menentukan kelancaran


pelaksanaan penelitian. Sarana penelitian yang dikelola
Puslitbangtanak saat ini tersebar di Balit, Lolit, dan Kebun Percobaan
lingkup Puslitbangtanak.

Laboratorium Kimia
Dalam bidang penelitian kesuburan tanah, Laboratorium Kimia
Tanah merupakan laboratorium yang tertua, yang saat ini berada di
bawah Balai Penelitian Tanah. Laboratorium ini merupakan salah satu
laboratorium referensi di Indonesia, dalam bidang analisis tanah,
tanaman, kualitas air, dan pupuk. Selain melayani kebutuhan lingkup
Puslitbangtanak, laboratorium ini juga melayani permintaan dari luar,
baik dari instansi pemerintah maupun swasta.
Kapasitas laboratorium dalam menganalisis cukup besar, yaitu
sekitar 200 contoh tanah, 60 contoh tanaman, 40 contoh air, dan 20
contoh pupuk setiap minggu. Dalam rangka ikut meningkatkan
keahlian tenaga analis di Indonesia, maka laboratorium ini
memberikan kesempatan magang bagi tenaga-tenaga analis yang
berasal dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Setiap
tahun diperkirakan tidak kurang dari 50 orang tenaga analis yang telah
melaksanakan magang di laboratorium ini.

23

Laboratorium Fisika
Untuk
melengkapi
informasi sumber daya lahan,
Laboratorium Fisika Tanah
melayani analisis tanah yang
berkaitan dengan sifat-sifat
fisika tanah, antara lain :
tekstur, berat volume, kadar air
tanah, porositas, permeabilitas,
indeks stabilitas agregat, angka
Atterberg, nilai COLE, particle
density, infiltrasi, dan perkolasi. Pada saat ini, laboratorium ini
memiliki kapasitas analisis sekitar 70 contoh tanah setiap minggu.

Pengukuran permeabilitas tanah di


laboratorium fisika

Laboratorium Mineralogi
Laboratorium
ini
melayani analisis komposisi
mineral fraksi pasir dan fraksi
liat,
dilengkapi
dengan
peralatan X-Ray Difractometer.
Kedua jenis analisis ini sering
kali digunakan untuk penelitian
dasar klasifikasi dan genesa
tanah. Kapasitasnya adalah
analisis 24 contoh tanah setiap
minggu. Untuk penetapan fraksi
pasir, diperlukan waktu sekitar
satu minggu, sedangkan untuk
analisis mineral liat diperlukan
sekitar dua minggu.

Analisis mineral dengan X-ray


difractometer

24

Laboratorium Penginderaan Jauh (Inderaja)


Seiring dengan perkembangan teknologi Sistem Informasi
Geografi (GIS), dan untuk mempermudah pelaksanaan inventarisasi
dan monitoring sumber daya lahan, maka Puslitbangtanak telah
memiliki laboratorium teknologi penginderaan jauh (remote sensing).
Dengan teknologi ini, kegiatan penelitian untuk memperoleh informasi
spasial akan lebih efisien dari segi waktu dan biaya, karena mampu
mempersingkat waktu penjelajahan lapangan seluruh wilayah
penelitian.
Pemanfaatan laboratorium inderaja saat ini ditujukan untuk : (1)
penelitian bidang sumber daya lahan, antara lain, pengkajian
karakteristik spektral data inderaja untuk identifikasi dan inventarisasi
berbagai komoditas tanaman, (2) penelitian pembakuan metode
pengolahan inderaja dan aplikasinya untuk penyusunan peta luas baku
lahan sawah dan lahan kering, dan (3) penelitian monitoring bencana
alam di wilayah pertanian, terutama berkaitan dengan penggunaan
teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (GIS).

Dengan bantuan Sistem Informasi Geografi, informasi spasial dapat


diperoleh secara lebih efisien

25

Laboratorium Numerik dan Sistem Informasi Spasial


Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH)
Laboratorium ini berada
di Balai Penelitian Agroklimat
dan Hidrologi (Balitklimat)
dengan layanan sebagai berikut
: (1) menyediakan data dan
informasi
iklim
nasional,
berupa data harian, bulanan,
dan tahunan; (2) menyediakan
Sebuah tampilan data iklim pada
data parameter iklim dan
Laboratorium NSISAH
hidrologi yang lengkap, dari 79
stasiun iklim, dan 26 stasiun hidrologi yang tersebar di seluruh
Indonesia; (3) melakukan analisis spasial dengan teknologi
GIS/Remote Sensing untuk aplikasi hidrologi dan agroklimat; dan (4)
melakukan analisis secara komputerisasi untuk analisis prediksi
iklim/curah hujan bulanan, dampak El-Nino, dan dampak perubahan
iklim global terhadap pengelolaan DAS dan produksi tanaman.

Laboratorium Gas Rumah Kaca


Laboratorium Gas Rumah Kaca (Green House Gas) ini berada
di Lolingtan Jakenan, Pati, dan bertugas melakukan pengukuran emisi
gas rumah kaca. Pada awalnya, laboratorium ini dibentuk atas
kerjasama dengan IRRI (International Rice Research Institute) Los
Banos, Filipina dan merupakan salah satu sumber informasi dalam
rangka memantau dinamika emisi gas rumah kaca di lahan sawah di
beberapa negara Asia.

26

Unit Basis Data


Untuk menghimpun data
dan informasi yang dikumpulkan dari lapangan secara
sistematis, maka Puslitbangtanak
pada
tahun
1987
membentuk Unit Basis Data.
Unit ini menyiapkan data dan
informasi sumber daya lahan
Pemasukan data pada pembuatan
dari seluruh Indonesia, baik
peta tanah digital menggunakan
digitizer
dalam bentuk data tabular
maupun spasial. Untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pengguna, unit ini
dilengkapi beberapa peralatan penting seperti : komputer, plotter,
digitizer, dan berbagai duplikasi perangkat lunak (softwares). Melalui
unit ini, telah diproduksi berbagai peta, antara lain : Atlas Sumber daya
Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000, Atlas Arahan Tata
Ruang Pertanian Indonesia, dan Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas
Pertanian Unggulan Nasional skala 1:1.000.000, dan berbagai macam
peta tematik lainnya.

Kebun Percobaan Lahan Rawa, Balandean, Kalimantan


Selatan
Kebun percobaan yang luasnya sekitar 25 ha ini, selain
digunakan untuk merakit inovasi teknologi lahan rawa, seperti sistem
pengelolaan lahan dan air, juga digunakan untuk menemukan varietasvarietas tanaman padi, sayur-sayuran dan buah-buahan, yang cocok
untuk lahan rawa. Di kebun percobaan ini tersimpan berbagai plasma
nutfah varietas padi, sayuran serta tanaman buah-buahan rawa yang
dapat digunakan untuk merakit jenis varietas baru yang cocok untuk
lahan rawa.

27

Kebun Percobaan Lahan Masam, Taman Bogo, Lampung


Kebun Percobaan (KP)
Taman Bogo, Metro, Lampung
Tengah, dengan luas kurang
lebih 24 ha sebelumnya berada
di bawah pengelolaan Puslitbangtan. Pada tahun 2001,
kebun ini dialihkan pengelolaannya ke Balittanah. KP Taman
Percobaan pada laboratorium lapang
Bogo merupakan lokasi pewakil
di Taman Bogo
tanah masam di Indonesia, yang
memiliki reaksi tanah sangat masam (pH : 4,2-4,3), serta kandungan
unsur hara N, P, K, dan bahan organik sangat rendah. Kebun
percobaan yang mempunyai 5 ha lahan sawah, dan 9 ha tanah kering
ini, merupakan lokasi/tempat penelitian yang berhubungan dengan
teknik pengelolaan lahan masam. Kebun percobaan ini diarahkan
sebagai laboratorium lapangan (field laboratory) pengelolaan tanah
masam dan menyediakan obyek/tempat kunjungan lapang (visitors
plot), sehingga diskusi dan konsultasi antara peneliti, penyuluh, petani,
dan pengambil kebijakan daerah dapat dilakukan.

Perpustakaan
Perpustakaan Puslitbangtanak memiliki koleksi sekitar enam
ribu (6.000) publikasi, yang terdiri atas buku, jurnal, prosiding, bahan
referensi (misalnya kamus, abstrak, statistik, dan lain-lain), dan
publikasi lainnya dari luar dan dalam negeri, mulai dari zaman
pemerintahan Belanda sampai sekarang. Selain itu, tersedia juga
berbagai laporan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh
Puslitbangtanak. Pengunjung utama selain dari para peneliti, juga
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

28

Museum Tanah Nasional


Museum tanah ini didirikan pada tanggal 29 September 1988,
dan merupakan satu-satunya museum tanah di Indonesia. Di museum
ini, dapat dilihat koleksi berbagai jenis tanah di Indonesia. Koleksi
tanah tersebut berbentuk makromonolit, berupa irisan tegak
penampang
tanah.
Setiap
makromonolit dilengkapi data
analisis laboratorium yang
berupa data analisis kimia,
fisika, dan mineral. Kegunaan
museum ini antara lain untuk
pendidikan, dan pengunjungnya
Museum Tanah memberikan andil
kebanyakan
pelajar
dan dalam pendidikan melalui penyediaan
informasi visual secara alami
mahasiswa.

Website Puslitbangtanak
Sebagai lembaga publik, Puslitbangtanak mempunyai kewajiban
menyampaikan hasil-hasil penelitiannya kepada masyarakat luas.
Untuk melakukan hal ini, maka pada tahun 2001 Puslitbangtanak
membuat situs dengan nama domain www.soil-climate.or.id. Informasi

29

yang disajikan melalui situs tersebut antara lain informasi tentang


berbagai jenis tanah serta teknik pengelolaannya, informasi tentang
agroklimat, dan informasi hidrologi. Selain itu, berbagai publikasi
hasil penelitian tanah dan agroklimat, seperti Jurnal Tanah dan Iklim,
Warta Puslitbangtanak, Kumpulan Abstrak Hasil Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Prosiding Pertemuan Teknis, atau Seminar Nasional
Tahunan juga disajikan dalam situs tersebut.
Sejak situs ini dibentuk, telah tercatat rata-rata 16.000 (enam
belas ribu) pengunjung setiap tahun dari berbagai kalangan, utamanya
mahasiswa.

30

KARYA-KARYA UNGGULAN PUSLITBANGTANAK


Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Potensi
Sumber Daya Lahan Nasional
Kegiatan inventarisasi sumber daya tanah, sesungguhnya sudah
dimulai pada saat pemerintahan Belanda sekitar tahun 1890 terutama
ditujukan untuk mencari lahan/tanah yang cocok untuk pengembangan
berbagai komoditas tanaman perkebunan. Beberapa kegiatan pemetaan
yang dapat dicatat, antara lain : pada 1897 telah dilaporkan hasil survei
beberapa jenis tanah di Deli (Chin A Tam, 1993). Pada 1902,
dilaporkan hasil survei pasca letusan Gunung Kelud.
Pada tahun 1930 kegiatan survei sistematik tingkat tinjau mulai
dilakukan di Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara.
Kemudian setelah kemerdekaan, inventarisasi sumber daya tanah yang
dalam pelaksanaannya berupa kegiatan survei dan pemetaan tanah
baru dimulai sekitar tahun 1955 (Abdurachman et al., 2000). Setelah
selesainya proyek LREP-I (1988-1990) telah tersedia data dan
informasi potensi sumber daya lahan nasional dalam bentuk Database
Sumber Daya Lahan dalam berbagai skala dan format, baik tabular
maupun spasial. Kemajuan inventarisasi tanah sampai tahun 2004,
mencapai sekitar 53% wilayah Indonesia, utamanya Kawasan Barat
Indonesia telah selesai dipetakan pada tingkat tinjau skala 1:250.000.
Peta-peta yang telah dihasilkan dapat dilihat pada Daftar Peta Sumber
Daya Lahan Puslitbangtanak (1996).
Dari hasil pengumpulan data dan informasi sumber daya tanah
tersebut telah dihasilkan beberapa Atlas antara lain :
a. Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala
1:1.000.000
Untuk menunjang pembangunan pertanian modern, data dan
informasi sumber daya tanah sangat diperlukan. Atlas tanah ini
memberikan informasi mengenai jenis-jenis tanah serta penyebarannya

31

di Indonesia, yang bersifat


multiguna dan indikatif, serta
sangat
bermanfaat
untuk
mengetahui potensi dan kendala
sumber daya tanah di suatu
wilayah.
Klasifikasi
yang

Peta Sumber Daya Tanah Eksplorasi


Wilayah Pontianak

digunakan pada Atlas ini


mengikuti Soil Taxonomy (Soil
Survey Staff, 1998).

b. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000


Atlas ini merupakan bentuk operasionalisasi lebih lanjut dari
Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi, yang disusun berdasarkan hasil
evaluasi kesesuaian lahan dari
banyak komoditas pertanian.
Atlas ini menyajikan data dan
informasi
penyebaran
luas
wilayah
berpotensi
untuk
pengembangan berbagai budi
daya pertanian, kondisi biofisik
lingkungan, dan permasalahan
yang
berkaitan
dengan
pengembangannya.

Sebagian wilayah Sumatera


berpotensi sebagai lahan pertanian

c. Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan


Nasional Skala 1:1.000.000
Atlas ini berisi informasi tentang potensi sumber daya lahan
Indonesia, dalam kaitannya dengan pengembangan komoditas
pertanian unggulan wilayah. Atlas ini dapat membantu para investor
dan pengambil kebijakan, untuk merencanakan program agribisnis di

32

wilayah. Terdapat 71 jenis komoditas yang terdiri atas tanaman


pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan yang dapat ditelusuri
potensi pengembangannya di wilayah. Presiden Megawati
Soekarnoputri berkenan memberikan sambutan dalam atlas ini.

d. Atlas Potensi Iklim Pertanian Nasional Skala 1:1.000.000


Iklim merupakan faktor penentu pertumbuhan tanaman. Oleh
karena itu, informasi iklim suatu wilayah sangat penting untuk
menentukan jenis tanaman dan untuk menentukan waktu dimulainya
suatu usaha tani. Atlas ini menyajikan informasi iklim, khususnya
curah hujan tahunan, pola curah hujan, tipe iklim, dan periode bulan
basah untuk seluruh wilayah Indonesia.

33

e. Atlas Zona Agro Ekologi Indonesia Skala 1:250.000


Melalui pembinaan yang
dilakukan
Puslitbangtanak
terhadap
Balai
Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP),
maka di tiap provinsi telah
tersedia Atlas Zona Agro
Ekologi
(ZAE)
berskala
1:250.000. Untuk memudahkan
pelayanan kepada pengguna yang ingin mengetahui potensi ZAE dari
suatu wilayah tanpa harus datang ke wilayah yang bersangkutan, maka
telah disusun Atlas Zona Agro Ekologi Indonesia
f. Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder Nasional
Lahan sawah memiliki fungsi strategis karena merupakan
penyedia bahan pangan utamanya beras bagi penduduk Indonesia.
Sebagian besar lahan sawah terdapat di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok
yang seluruhnya berjumlah sekitar 3.855.000 ha. Penyusutan lahan
sawah yang terus berlangsung tanpa kendali saat ini sudah
mengkhawatirkan, karena permintaan akan pangan juga terus
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Untuk
membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan, maka
Puslitbangtanak telah menyusun Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan
Sekunder untuk Pulau Jawa, Bali, dan Lombok.

34

Kontribusi dalam Program Transmigrasi Nasional


Dalam rangka mendukung keberhasilan program transmigrasi
nasional, maka Puslitbangtanak melalui Proyek Penelitian Pertanian
Menunjang Transmigrasi (P3MT), telah aktif terlibat dalam
perencanaan pemukiman transmigran. Proyek ini dimulai sejak 1979
dan selesai pada akhir Maret 1986.
Dalam kurun waktu tersebut telah dilaksanakan kegiatan survei
kapabilitas tanah tingkat semi detail (skala 1:50.000) dan tingkat tinjau
(skala 1:250.000), dengan tujuan untuk menyusun rekomendasi
penggunaan lahan dalam rangka pemilihan lokasi calon penempatan
transmigran.
Selain itu, dilaksanakan pula pemetaan tanah detail (skala
1:1.000) di beberapa kebun penelitian pola usaha tani dalam rangka
alih teknologi. Secara keseluruhan, total luas tanah yang disurvei pada
periode tersebut (1979-1986)
adalah sekitar 2,5 juta ha
(Sudjadi et al., 1989). Selain
kegiatan survei kapabilitas
tanah, melalui proyek ini
dilakukan juga berbagai kegiatan penelitian pola usaha tani
guna menunjang pengembangan
Pemukiman transmigran
pertanian di daerah pemukiman
memerlukan pemetaan tanah dalam
transmigran.
perencanaannya

Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah


Lahan sawah dikenal sebagai lumbung beras terbesar. Oleh
karena itu, tidak mengherankan kalau ekosistem lahan sawah lebih
tereksploitasi dibanding ekosistem lahan kering dan lahan rawa.
Pembangunan pertanian secara intensif di Indonesia dilakukan
bersamaan dengan bergulirnya revolusi hijau pada tahun 1960-an

35

melalui program Bimas. Mulai


saat itu, penggunaan input
berupa bibit, obat-obatan, dan
pupuk
kimia
juga
ikut
meningkat
secara
intensif.
Demikian juga usaha untuk
pencetakan sawah baru untuk
menambah areal persawahan
Lahan sawah, sumber daya penting
Puslitbangtanak
telah
ikut
yang perlu arahan yang tepat
dalam pemanfaatannya
berperan secara aktif, terutama
dalam identifikasi lahan yang
sesuai untuk pencetakan sawah, penentuan dosis pupuk yang optimum,
dan berbagai kegiatan penelitian lahan sawah yang ditujukan terutama
untuk peningkatan efisiensi penggunaan pupuk terutama N, P, dan K,
dan pelestarian produktivitas lahan sawah.
Akhir-akhir ini, masalah konversi lahan sawah menjadi sorotan,
karena dapat menurunkan kemampuan negara dalam memproduksi
beras dan bahan pangan lainnya, yang pada akhirnya dapat
mengancam ketahanan pangan nasional. Puslitbangtanak bersama
dengan instansi pemerintah lainnya telah aktif melakukan advokasi
dan memberikan informasi kepada berbagai pihak, khususnya
mengenai sumber daya lahan sawah. Untuk memberikan informasi
kepada berbagai pihak terkait, Puslitbangtanak bekerjasama dengan
Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Pertanian, telah
menerbitkan Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder
Nasional. Peta ini memuat informasi yang berharga mengenai wilayahwilayah sawah utama di Jawa, Bali, dan Lombok. Masih dalam
kaitannya dengan masalah konversi lahan sawah, Puslitbangtanak
bekerjasama dengan Asean-Japan ikut melakukan advokasi mengenai
multifungsi lahan, yang tidak sekedar sebagai penghasil beras/pangan
tetapi juga mempunyai fungsi-fungsi lain, seperti fungsi pengendalian
erosi dan fungsi sosial lainnya yang nilainya tidak terhitung.

36

Dalam hal meningkatkan efisiensi pemupukan, Puslitbangtanak


aktif melakukan berbagai penelitian berkaitan efisiensi penggunaan
pupuk. Akhir-akhir ini, pertemuan untuk meluruskan persepsi
penerapan pupuk berimbang secara rasional telah sering dilakukan di
Puslitbangtanak dengan melibatkan berbagai lembaga terkait, termasuk
perguruan tinggi. Demikian juga tentang kasus maraknya penggunaan
pupuk alternatif palsu pada lahan sawah yang telah terbukti merugikan
petani, Puslitbangtanak secara aktif mengadakan pembinaan di
berbagai instansi di wilayah terutama di BPTP. Salah satu di antaranya
adalah pembinaan uji tanah untuk P dan K
Berdasarkan kelas status hara P dan K tanah sawah, telah dibuat
Peta Status Hara P dan K Lahan Sawah di 18 provinsi di Indonesia
dengan skala 1:250.000. Untuk skala operasional di lapangan, telah
pula dilakukan pemetaan status hara P dan K lahan sawah di 10
kabupaten di Jawa dan Sumatera, dengan skala 1:50.000. Hasilnya
menunjukkan bahwa dari sekitar 7,5 juta ha lahan sawah di 18 provinsi
tersebut, sebagian besar (43%) berstatus P sedang, dan 40% berstatus
P tinggi, sedangkan yang berstatus P rendah hanya sekitar 17%. Lahan
sawah yang berstatus hara K tinggi adalah sekitar 51%, yang
mempunyai status hara K sedang sebanyak 37%, sedangkan yang
berstatus hara K rendah hanya 12% dari total lahan sawah yang
dipetakan.

Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Kering


Lahan kering merupakan lahan paling luas, sekitar 76 juta ha,
sangat luas dibandingkan dengan ekosistem sawah dan rawa. Untuk
pemanfaatannya ada beberapa kendala yang dihadapi, antara lain :
lahannya mudah terdegradasi, kesuburan alami tanah yang rendah, dan
masalah kekurangan air. Pada wilayah iklim basah, lahan kering pada
umumnya ber-pH rendah, karena tanahnya telah tercuci sangat

37

intensif,
sedangkan
pada
wilayah iklim kering kondisi
tanahnya ber-pH tinggi yang
menyebabkan beberapa hara
mikro tidak tersedia.
Potensi lahan kering
masam untuk pengembangan
pertanian sebenarnya masih
cukup besar. Diduga, sekitar
Lahan kering masam memerlukan
penanganan khusus dalam
16,2 juta ha lahan kering
pemanfaatannya untuk pertanian
masam dapat dikembangkan
untuk usaha tanaman pangan.
Untuk mengatasi kendala pemanfaatan lahan kering, maka
Puslitbangtanak bekerjasama dengan Tropsoils Project (USA),
International Fertilizer Development Center (IFDC), dan Departemen
Transmigrasi telah banyak melakukan penelitian dan telah menemukan
teknologi pengelolaan lahan kering masam, antara lain, teknologi
pengayaan P dan K, serta efisiensi penggunaan N. Teknik pemberian
kapur telah ditemukan untuk mengatasi masalah kemasaman dan
keracunan aluminium (Al).
Masalah penting lain yang sering dijumpai pada lahan kering,
adalah masalah erosi, terutama pada lahan berlereng dan kekurangan
air. Untuk mengatasi kendala erosi pada lahan kering berlereng ini,
maka teknik konservasi tanah telah ditemukan dan dikembangkan
dengan meningkatkan partisipasi petani. Sementara itu, untuk
mengatasi masalah kekurangan air tadi, telah dikembangkan pula
teknik pengelolaan air secara efisien.

Kontribusi dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Rawa


Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat
potensial untuk pengembangan pertanian. Luas lahan ini diperkirakan
sekitar 33,4 juta ha, yang terdiri atas pasang surut 20 juta ha dan lebak

38

13 juta ha. Secara turun temurun, lahan ini telah dimanfaatkan untuk
bercocok tanam oleh penduduk yang tinggal di sekitarnya, utamanya
Suku Banjar dan Bugis. Ekosistem lahan rawa secara alami lebih
rentan daripada lahan sawah, terutama karena adanya berbagai
masalah kimia seperti keracunan besi, Al, Mn, dan hidrogen sulfida.
Guna membantu petani dalam meningkatkan produktivitas usaha
taninya, maka Puslitbangtanak bersama-sama unit kerja penelitian lain
lingkup

Badan

Litbang

Pertanian,

sejak

Proyek

Pembukaan

Persawahan Pasang Surut (P4S) tahun 1970-an yang dilanjutkan


dengan proyek penelitian Swamp I dan Swamp II (Bank Dunia),
kemudian dengan LAWOO (Belanda) tahun 1980-an, serta proyek
ISDP (Integrated Swamp Development Project-Bank Dunia), telah
melakukan berbagai penelitian dan telah berhasil menemukan berbagai
inovasi teknologi, antara lain, teknologi pengelolaan tanah, tata air
mikro, teknologi ameliorasi tanah, dan pemupukan.
Penggunaan varietas yang adaptif merupakan salah satu faktor
yang sangat berperan dalam pemanfaatan lahan rawa. Beberapa
varietas yang cocok untuk lahan rawa telah ditemukan, seperti :
Margasari
dan
Martapura
(varietas padi), Sukmaraga dan
Padmaraga (varietas jagung),
Lawit dan Manyapa (varietas
kedelai) (Trip Alihamsyah et
al., 2001). Sebagian besar
inovasi teknologi tersebut telah
sampai
di
petani,
dan
Tata air pada ekosistem lahan rawa
diterapkan untuk mengelola
merupakan sesuatu yang sangat
usaha taninya.
penting

39

Kontribusi dalam Penyediaan Data dan Informasi Iklim


Nasional
Akhir-akhir ini, anomali/
penyimpangan iklim dalam
bentuk El-Nino dan La-Nina
lebih sering terjadi. Kedua
kelainan iklim ini telah terbukti
menurunkan produksi pertanian,
utamanya beras, yang tidak saja
Data iklim dapat memberikan
berdampak pada petani, tetapi
informasi untuk prediksi El-Nino dan
juga pada persediaan beras
La-Nina
secara nasional. Kejadian ElNino pada tahun 1991, 1994, dan 1997 telah menyebabkan kekeringan
(puso) pada areal pertanaman padi berturut-turut seluas 868 ribu, 544
ribu, dan 504 ribu ha. Sedangkan La-Nina pada tahun 1988 dan 1995,
menyebabkan banjir pada persawahan masing-masing seluas 130 ribu
dan 218 ribu ha.
Kejadian El-Nino dan La-Nina tidak bisa dihindari, namun dapat
diprediksi. Dengan memprediksi kedatangannya, maka langkahlangkah untuk mengurangi dampaknya bisa dilakukan. Untuk tujuan
ini, Departemen Pertanian telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja)
yang anggotanya terdiri atas berbagai instansi, seperti Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG), Institut Teknologi Bandung (ITB),
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Institut
Pertanian Bogor (IPB), dan instansi Eselon I terkait Departemen
Pertanian. Pokja ini diketuai oleh Kepala Badan Litbang Pertanian,
dengan tugas memantau kejadian-kejadian iklim yang berkaitan
dengan pertanian, dan hasilnya disebarkan ke berbagai instansi yang
memerlukan.

Kontribusi dalam Kebijakan Pupuk Nasional


Pupuk merupakan salah satu sarana produksi pertanian yang
sangat penting, selain faktor-faktor produksi lainnya, seperti
pengolahan tanah, pengendalian hama-penyakit tanaman, penggunaan
varietas unggul, pengairan, serta penanganan panen dan pasca panen.

40

Mandat untuk menangani


penelitian pupuk telah ditiadakan sejak perubahan mandat dan
nama pada tahun 1967, namun
demikian
karena
masalah
peningkatan kesuburan tanah
tidak terlepas dari penggunaan
pupuk, maka Puslitbangtanak
selalu memberikan sumbang
Pupuk yang ada di pasar pun perlu
saran dalam masalah kebijakan
diuji secara ilmiah
pupuk nasional.
Selama 30 tahun terakhir yakni sejak sekitar tahun 1960-an,
penggunaan pupuk untuk tanaman pangan meningkat terutama urea
dan TSP, sementara penggunaan pupuk KCl baru dimulai tahun 1978.
Penggunaan urea dan TSP yang secara terus-menerus dan berlebihan
di daerah intensifikasi terutama di Jawa selama lebih 20 tahun, telah
mengakibatkan terjadinya akumulasi P di sebagian besar lahan sawah.
Sekitar 84% sawah di Jawa ditemukan mempunyai kandungan P tanah
yang tergolong tinggi.
Akhir-akhir ini konsep pemupukan berimbang sering
mengemuka karena penggunaannya dianggap dapat meningkatkan
produksi pertanian. Konsep pemupukan berimbang belum sepenuhnya
dipahami dengan benar oleh masyarakat pertanian, sehingga diartikan
sebagai pemberian hara lengkap dalam bentuk pupuk majemuk NPK.
Untuk meluruskan pemahaman yang kurang tepat terhadap konsep
pemupukan berimbang tersebut, maka para peneliti di Puslitbangtanak
bersama-sama dengan mitra dari perguruan tinggi dan pengambil
kebijakan, telah aktif melakukan pertemuan dan sosialisasi terhadap
konsep pemupukan berimbang. Dari salah satu pembahasan tentang
pemupukan berimbang telah disepakati bahwa konsep pemupukan
berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai
status semua hara dalam kondisi optimum bagi pertumbuhan dan hasil
tanaman.

41

Dalam kaitannya dengan penggunaan suatu produk baru untuk


bahan penyubur tanah (amelioran), Puslitbangtanak sering diminta
pendapatnya untuk memberikan bahan rekomendasi, apakah suatu
produk layak untuk dipasarkan secara komersial untuk kepentingan
petani, seperti halnya dengan merebaknya penjualan pupuk alternatif
akhir-akhir ini. Puslitbangtanak sebagai lembaga ilmiah, selalu
mengedepankan aspek ilmiah berdasarkan pengujian yang benar di
lapangan.

Penyusunan Metode Analisis dan Panduan


Untuk mempermudah para peneliti, baik di
dalam maupun di luar lingkup Puslitbangtanak,
maka telah disusun beberapa penuntun analisis
dan panduan kerja seperti : Penuntun Analisa
Tanah (1971), Metoda Analisa Air Irigasi (1972),
Penuntun Analisa Fisika Tanah (1974), Penuntun
Analisa Tanaman (1978), Panduan Survei Tanah
I (1994), Kunci Taksonomi Tanah (1999), dan
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan (2003).

Pengembangan Sistem Klasifikasi Tanah Nasional


Pada mulanya sistem klasifikasi tanah di Indonesia
yang cukup luas digunakan adalah sistem DudalSoepraptohardjo (DS) (1957). Sistem ini telah digunakan
selama 25 tahun (1958-1985) dan dimanfaatkan dalam
survei dan pemetaan di banyak wilayah di Indonesia.
Sistem ini telah beberapa kali diperbaiki dengan
mengacu pada satuan tanah FAO (1976) dan sistem
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1975). Pada
Kongres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) V tahun 1989 di
Medan diputuskan bahwa secara nasional digunakan sistem
Taksonomi Tanah, sehingga sejak itu sistem Dudal-Soepraptohardjo
pun tidak digunakan lagi.

42

INOVASI TEKNOLOGI UNGGULAN


Bidang Penelitian Tanah
a. Teknologi Cara Cepat Menentukan Dosis Pupuk Tanaman Padi
Sawah dengan Soil Test Kit
Penerapan pemupukan berimbang mengacu kepada tingkat
kesuburan tanah dan kebutuhan tanaman. Setiap tanah memiliki
tingkat kesuburan yang berbeda-beda, dan tanaman juga mempunyai
tingkat kecukupan hara yang berbeda pula. Aplikasi pupuk yang tepat
jenis, jumlah, dan waktunya dapat meningkatkan tingkat efisiensi
serapan hara per unit pupuk yang ditambahkan.
Soil Test Kit adalah alat deteksi cepat status hara tanah sawah di
lapangan, yang dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, serta dapat
digunakan untuk penetapan rekomendasi pemupukan N, P, dan K
spesifik lokasi. Soil Test Kit dilengkapi pengekstrak untuk mengukur
pH dan kandungan hara N, P, K tanah di lapangan. Diharapkan
penggunaan Soil Test Kit ini, dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penggunaan pupuk oleh petani. Selain itu, dapat
mempermudah penyuluh pertanian dalam menetapkan rekomendasi
pemupukan berimbang spesifik lokasi untuk padi sawah, mengingat
saat ini paket rekomendasi pemupukan yang berlaku masih bersifat
umum.
Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penerapan
teknologi ini, adalah: (1) satu
unit Soil Test Kit dapat
digunakan untuk analisis 50
sampel tanah, guna penetapan
N, P, K, dan pH, dan (2) batas
kedaluwarsa pengekstrak antara
1-1,5 tahun.

Soil Test Kit, laboratorium berjalan


untuk analisis hara makro dan pH
tanah

43

b. Teknologi Pengayaan P Tanah Masam dengan P-Alam


Salah satu hara penting
yang sering kekurangan pada
tanah masam adalah fosfat (P).
Untuk meningkatkan kandungan
P

tanah,

melalui

sering

dilakukan

penambahan

pupuk

kimia. Namun karena harga


pupuk P produksi pabrik seperti

Percobaan pengayaan P tanah


masam dengan jagung sebagai
indikator

TSP, SP-36 relatif mahal, maka


penggunaan

pupuk

P-alam

dapat mengurangi biaya produksi. Pupuk P-alam mempunyai tingkat


kelarutan tinggi pada kondisi masam, sehingga sangat sesuai
digunakan pada tanah kering bereaksi masam seperti Ultisols, Oxisols,
dan sebagian Inceptisols. Komposisi P-alam yang dapat digunakan
secara langsung sebagai pupuk, terdiri atas francolit/karbonat
fluorapatit (Ca10-a-hNaaMgb(PO4)6-xF2+0.4x), yang reaktivitasnya tinggi,
dengan kadar P2O5 larut dalam asam sitrat >6%. Kualitas P-alam yang
baik adalah yang mengandung total P2O5 tinggi, yaitu >20%.
Teknologi pengayaan P-alam sebesar 1 t/ha + 2 ton

pupuk

kandang cocok diterapkan untuk skala usaha tani >1 ha. Aplikasi
teknologi pengayaan P-alam selama lima musim pada tanah Oxisols
dan Ultisols dapat meningkatkan hasil jagung antara 30-90%. Di sisi
lain pendapatan meningkat 90% hingga 170%, serta nilai B/C ratio
lebih tinggi.

44

Analisis usaha tani jagung per ha pada pengaruh fosfat alam di


Kalimantan Selatan selama lima musim tanam (MH 2001/2002 MH 2003/
2004)
Jenis
tanah

Perlakuan

Oxisols

A
B
C
A
B
C

Ultisols

PeneriTenaga Saprodi Pendapatan


maan
kerja
... $/ha ...
1.834,82
764,47
825,32
245,03
2.267,50
867,66
822,83
577,01
2.560,59
920,90
978,14
661,55
1.709,97
722,64
697,53
289,80
2.204,87
833,28
813,67
557,92
2.424,25
870,65
969,42
584,17

R-C
Ratio
1,15
1,34
1,35
1,20
1,34
1,32

Catatan : R-C ratio = penerimaan : total biaya; 1 US$ = Rp.8.500, - (Januari


2000)

c. Teknologi Uji Tanah sebagai Dasar Penetapan Dosis


Rekomendasi Pupuk P dan K untuk Padi Sawah
Sebagai akibat program intensifikasi sejak 1960-an, maka
sebagian lahan sawah mengandung hara P dan K cukup tinggi, karena
hampir setiap musim mendapat tambahan pupuk P dan K. Harga
pupuk yang mahal mendorong perlunya pemupukan yang efisien,
dengan cara mengganti rekomendasi pemupukan yang diberlakukan
secara umum di masa lalu, dengan rekomendasi pemupukan spesifik
lokasi yang lebih efisien.
Teknologi uji tanah adalah suatu kegiatan analisis kimia di
laboratorium yang sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang
(reproduceable) untuk menduga ketersediaan hara tertentu dalam
tanah, dengan tujuan akhir memberikan rekomendasi pemupukan
spesifik lokasi yang efisien.
Teknologi uji tanah (P dan
K) untuk padi sawah dapat
memberikan informasi mengenai
rekomendasi pupuk untuk masingmasing kelas status hara.
Peta Status Hara P Wilayah
Jawa Barat

45

Rekomendasi pupuk SP-36 dan KCl untuk padi sawah, pada kelas status
hara P dan K tanah rendah, sedang, dan tinggi
Takaran pupuk pada tanah
berstatus

Jenis pupuk

Rendah

Sedang

Tinggi

.. kg/ha/musim ...
100
75
50

1. SP-36
2. KCl:
Jerami dikembalikan (5 t/ha)
Jerami tidak dikembalikan

50
100

0
50

0
50

Apabila rekomendasi pupuk P dan K secara nasional ditetapkan


berdasarkan uji tanah, maka akan diperoleh penghematan pupuk P dan
K yang cukup besar, jika dibandingkan dengan anjuran pemupukan P
dan K yang berlaku umum.
Hasil kajian Puslitbangtanak menunjukkan bahwa jumlah pupuk
P yang diperlukan untuk rekomendasi nasional padi sawah yang
bersifat umum, adalah 1.501 ribu ton SP-36/tahun. Namun apabila
digunakan rekomendasi berdasar uji tanah hanya dibutuhkan 1.039
ribu ton SP-36/tahun, sehingga diperoleh penghematan pupuk P
sebesar 462 ribu ton SP-36/tahun, atau setara dengan 740 milyar
rupiah/tahun.
Penghematan pemakaian pupuk K, apabila jerami dikembalikan
ke lahan adalah 1.414 ribu ton KCl/tahun, setara dengan 2.828 milyar
rupiah/tahun. Namun, apabila jerami tidak dikembalikan ke lahan,
maka penghematan penggunaan pupuk menjadi 523 ribu ton KCl/
tahun, atau setara 1.046 milyar rupiah/tahun. Penghematan pupuk P
dan K yang diperoleh dari lahan sawah berkadar hara sedang dan
tinggi, dapat dialokasikan ke lahan sawah dan lahan kering di luar
Jawa, yang sangat memerlukan peningkatan penggunaan pupuk, agar
produktivitasnya meningkat.
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini
adalah, bahwa rekomendasi pupuk P dan K untuk padi sawah yang
ditetapkan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman ini,

46

hanya berlaku untuk tanaman padi seperti varietas IR-64, Ciherang,


dan Cisadane yang potensi produksi gabah kering gilingnya sekitar 5
t/ha. Rekomendasi ini tidak berlaku untuk varietas padi tipe baru
(Fatmawati) dan padi hibrida, yang mempunyai potensi produksi lebih
dari 8 t/ha. Rekomendasi pupuk P dan K untuk padi tipe baru dan
hibrida baru tersebut masih harus diteliti.
d. Teknologi Citra Satelit untuk Prediksi Produksi Padi
Sampai saat ini, belum
ada sistem informasi sumber
daya pertanian dan prediksi
produksi tanaman pangan yang
realistik, kecuali berdasarkan
data sebelumnya. Data dan
informasi produksi padi dan
palawija selama ini, baru dapat
diketahui setelah waktu panen,
Citra satelit memberi informasi
lengkap
tentang kondisi pertanaman
sehingga tidak dapat mengpadi sebagai bahan estimasi
akomodasi berbagai kemungproduksinya
kinan
penurunan
produksi
akibat serangan hama penyakit, atau penyimpangan iklim seperti
kekeringan dan banjir. Selain itu, estimasi data produksi yang
dibangkitkan dari data luas panen dikalikan dengan data produktivitas,
juga mengandung banyak kelemahan, karena rendahnya keakuratan
masing-masing data.
Oleh sebab itu, sistem informasi lahan dan produksi pertanian
harus didukung teknologi inderaja yang mampu menyajikan data yang
obyektif dan mutakhir secara periodik dan berkesinambungan. Ide
dasar aplikasi teknik inderaja untuk estimasi produksi padi, adalah
membantu mendapatkan data statistik pertanian tanaman pangan (padi)
dan produktivitasnya yang lebih tepat waktu, akurat, dan berbasis
ruang (spasial), sehingga pengadaan stok pangan dapat direncanakan

47

lebih akurat. Beberapa manfaat yang didapat melalui teknologi ini


adalah:
1. Keakuratan informasi data pertanian (luas tanam, luas panen,
waktu panen) dan ketepatan peramalan produksi pangan (padi)
nasional diperoleh dalam waktu yang relatif cepat, sehingga dapat
mempercepat tercapainya usaha ketahanan pangan.
2. Kendala variasi kondisi alam (landscape) dan aksesibilitas dalam
pengumpulan data/informasi yang dibutuhkan di lapangan dapat
diminimalkan, sehingga ketepatan penyampaian informasi dapat
lebih terjamin.
Penggunaan citra satelit untuk deteksi dan inventarisasi
penggunaan/penutupan lahan telah banyak digunakan, bahkan
digunakan pula untuk memprediksi umur dan produksi padi melalui
pendugaan produktivitas dan luas tanam atau panen.
Berdasarkan penelitian di P. Jawa, diperoleh korelasi antara
produktivitas padi (Y) dengan nilai NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) berupa persamaan regresi: Y = 39,9X - 11,16 (r2 =
0,66), di mana Y adalah produktivitas (t/ha), dan X adalah nilai NDVI.
Dalam aplikasi teknologi inderaja untuk estimasi produksi padi,
digunakan data citra satelit real time. Pengolahan data citra, mulai
download data sampai tersaji informasi luas areal siap panen dan
estimasi hasil/produksinya, diharapkan dapat selesai sekitar 10 hari,
sehingga data yang dihasilkan betul-betul masih merupakan informasi
pada saat yang tepat (real time) dan tidak kadaluwarsa.
e. Teknologi Konservasi Tanah di Lahan Pertanian Berbasis
Tanaman Sayuran
Teknologi ini tidak mengubah secara total cara pembuatan
bedengan yang selama ini dilakukan petani. Petani tetap membuat
bedengan searah kontur, namun panjangnya dibatasi hanya 450 cm,
dan di antara dua bedengan dibuat guludan yang memotong lereng,
atau mengikuti garis kontur. Dengan melakukan sedikit modifikasi

48

terhadap
kebiasaan
petani
tersebut, diharapkan teknologi
ini dapat diterapkan oleh petani.
Guludan
berfungsi
untuk
menghambat aliran permukaan
dan meningkatkan pengendapan
tanah dan unsur hara yang
tererosi dari bedengan. Sayuran
Percobaan konservasi tanah di
ditanam di bedengan, sedangkan
sentra sayuran dataran tinggi Dieng,
guludan dapat ditanami dengan
Jawa Tengah
tanaman
lainnya
yang
bermanfaat. Teknologi konservasi ini direkomendasikan untuk
diterapkan pada lahan miring di daerah dataran tinggi, yang
diusahakan untuk usaha tani sayuran.
Kehilangan hara yang cukup tinggi pada model bedengan petani
yang dibuat searah lereng, tanpa guludan, akan meningkatkan
kebutuhan pupuk untuk mengimbangi kehilangan hara karena erosi.
Sebaliknya, teknologi bedengan dan guludan, efektif memperkecil
erosi tanah dan kehilangan unsur hara. Dengan demikian dalam jangka
panjang, teknologi ini dapat menghemat input usaha tani berupa
pengurangan pemakaian pupuk organik dan pupuk buatan.
Pengurangan input usaha tani akan meningkatkan keuntungan petani.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan teknologi ini
adalah :
Bedengan dibuat searah lereng dengan ukuran 1,5 m x 4,5 m.
Ukuran guludan : lebar 20-25 cm dan tinggi 30-40 cm, dibuat

memotong lereng dengan membentuk sudut sekitar 1 derajat


terhadap kontur untuk memudahkan aliran pada parit yang terletak di
sisi sebelah atas guludan.
Dalam jangka panjang, diyakini teknologi bedengan plus guludan

akan lebih menguntungkan dibanding cara petani, karena


berkurangnya erosi pada teknologi ini akan mengurangi pemberian
pupuk, baik organik maupun anorganik.

49

Tanah dan hara makro yang tererosi dari berbagai teknik penyiapan
lahan untuk tanaman sayuran di tanah Hapludands Cipanas, Bogor
Perlakuan

Erosi

Bedengan searah lereng, panjang 10


meter.
Bedengan searah lereng, setiap 450
cm, dibuat guludan memotong
lereng.
Bedengan searah kontur.

P2 O 5

K20

t/ha
65,1

kg/ha
241
80
18

40,2

145

56

11

40,5

146

58

13

f. Teknologi Konservasi Tanah dengan Sistem Pertanaman Lorong


Sistem pertanaman lorong (alley cropping) adalah salah satu
teknik konservasi tanah vegetatif, di mana tanaman legum pohon/
semak ditanam rapat dalam baris dengan jarak antar baris tertentu,
sehingga membentuk lorong. Pada lorong-lorong di antara dua baris
tanaman legum tersebut ditanami tanaman pangan/semusim.
Sistem ini dapat diterapkan pada lahan berlereng, dengan
kemiringan tidak lebih dari 30%, atau pada lahan datar. Jika diterapkan
pada lahan berlereng, maka barisan legum yang ditanam mengikuti
garis kontur, akan berfungsi menyaring tanah yang tererosi dari lahan
yang ditanami tanaman pangan, selain manfaat lainnya seperti
penghasil pakan ternak, bahan mulsa, dan sumber kayu bakar. Jika
ditanam pada lahan datar, maka fungsi utamanya adalah sebagai
sumber pakan ternak, bahan
mulsa, dan sumber kayu bakar.
Manfaat yang diperoleh dari
penerapan teknologi ini adalah:
selain dapat menahan tanah
yang tererosi, juga berperan
sebagai sumber pupuk hijau,
bahan mulsa, pakan ternak, dan
kayu bakar.

Sistem bertanam lorong, teknologi


konservasi tanah dengan sumber
hara in situ

50

Jenis tanaman pagar yang dapat digunakan dalam sistem


pertanaman lorong adalah: lamtoro (Leucaena leucocephala), glirisidia
(Gliricidia sepium), serengan jantan (Flemingia congesta), kaliandra
(Caliandra calothirsus), serta berbagai tanaman legum pohonan atau
semak lainnya. Secara umum, setiap semak atau pohon yang tergolong
legum bisa dijadikan tanaman pagar, namun lebih efektif apabila
tanaman pagar tersebut memenuhi sifat-sifat sebagai berikut: (1)
berakar dalam, agar tidak menjadi pesaing bagi tanaman pangan/
semusim, (2) pertumbuhannya cepat, dan setelah pemangkasan cepat
bertunas kembali, (3) mampu menghasilkan bahan hijauan dalam
jumlah banyak dan terus-menerus, sehingga dapat digunakan sebagai
sumber pupuk hijau dan/atau pakan ternak, dan (4) mampu
meningkatkan kandungan nitrogen tanah dan kandungan hara lainnya.
g. Teknologi Reklamasi dan Pengelolaan Lahan Bekas
Pertambangan Batubara
Penambangan batubara, terutama yang dilakukan secara terbuka
(open mining) menghasilkan bahan-bahan nonbatubara dalam jumlah
besar, yang ditimbun di tempat lain yang tidak ditambang (disebut
overburden). Bahan-bahan nonbatubara tersebut terdiri atas campuran
tanah bagian atas (horizon A dan B), dan bahan induk tanah, seperti
batuliat (claystone), batulanau (siltstone), batupasir (sandstone), atau
tufa volkan, yang mempunyai
sifat fisik tanah buruk, dan
seringkali mengandung unsurunsur kimia yang dapat
meracuni tanaman, sehingga
lahan tersebut sulit ditumbuhi
vegetasi. Oleh sebab itu, teknik
reklamasi yang dapat dilakukan,
Lahan bekas tambang batubara
adalah
dengan
ameliorasi
memerlukan teknologi reklamasi agar
menggunakan bahan organik,
dapat ditanami kembali

51

pupuk kandang, penanaman tanaman penutup tanah, dan kapur


pertanian.
Ada beberapa cara reklamasi lahan bekas penambangan
batubara, yaitu penanaman tanaman kayu-kayuan (disebut
penghijauan), penanaman tanaman penutup tanah, dan penggunaan
amelioran.
Tanaman penghijauan yang mampu beradaptasi dan tumbuh
baik pada lahan bekas penambangan batubara, di antaranya adalah
Accasia mangium dan Albizia falcataria, ditanam dengan sistem pot
yang diisi tanah merah (sebagai amelioran), dengan pemberian 0,5-1
kg pupuk campuran urea, P-alam, dan KCl dengan perbandingan 2:2:1
pada setiap pohon.
Jenis-jenis tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh dan
beradaptasi baik pada tanah bekas penambangan batubara, adalah
Brachiaria decumbens, Calopogonium mucunoides, Pueraria
javanica, Centrosema pubescens, dan Mucuna sp. Namun demikian,
tanahnya perlu diameliorasi dahulu, agar tanaman penutup tanah
tumbuh baik. Bahan amelioran yang dapat digunakan untuk
memperbaiki lahan bekas penambangan batubara adalah bahan organik
dan kapur pertanian.
h. Teknologi Reklamasi dan Pengelolaam Lahan Bekas Lahar
Gunung Berapi
Reklamasi dan pengelolaan lahan bekas lahar gunung
berapi pernah dilakukan di
lereng G. Merapi, tepatnya di
Desa Kemiren, Kecamatan
Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Hal ini
dilakukan, mengingat areal
Flemingia congesta dapat digunakan
untuk memperbaiki lahan bekas lahar

52

yang terkena endapan lahar cukup luas, dan sebelumnya areal tersebut
merupakan lahan pertanian subur. Teknologi yang diterapkan adalah
menanami lahan yang tertimbun lahar G. Merapi dengan Flemingia
congesta, dan penggunaan emulsi bitumen. Flemingia congesta adalah
tanaman legum perdu, dapat mencapai tinggi 3-5 meter, tumbuh cepat,
berdaun banyak, dapat dipangkas dan hasil pangkasannya digunakan
sebagai pupuk organik, dan apabila terbakar dapat bertunas kembali.
Sedangkan emulsi bitumen digunakan sebagai amelioran, khususnya
untuk memperoleh kelembapan tanah yang cukup, agar mampu
mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik.
Penanaman Flemingia congesta dan penggunaan emulsi bitumen
cukup memberikan prospek yang baik dalam memperbaiki lahan yang
terkena material letusan gunung berapi, karena dalam waktu satu tahun
saja, lahan bekas endapan lahar telah tertutup rapat oleh vegetasi.
i. Teknologi Pengukuran Laju Erosi Skala DAS Mikro
Sejauh ini, pengukuran laju erosi banyak dilakukan pada skala
petak kecil. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa data erosi pada
skala petak kecil cenderung melebihi (overestimate), jika
diekstrapolasi ke skala daerah aliran sungai (DAS). Teknologi
pengukuran laju erosi skala DAS mikro merupakan inovasi teknologi
untuk mengkuantifikasi laju erosi, yang lebih akurat dibanding
pengukuran pada petak kecil.
Pengukuran erosi pada
skala DAS mikro dilakukan
dengan
menggunakan
bak
penampung sedimen (sediment
trap), yang dilengkapi dengan
V-notch weir, automatic water
level recorder (AWLR), dan Pengukuran erosi dengan chinometer
dan gutter
pengukur tinggi muka air

53

manual (staff gauge), yang dapat mengukur aliran permukaan. Bak


penampung sedimen dibangun pada titik pengeluaran (outlet) di subDAS, atau sub-sub DAS dengan dimensi yang bervariasi tergantung
luas DAS mikro.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan
teknologi ini adalah :
1. Bak penampung sedimen dibuat permanen dan kokoh, serta
sebaiknya dibuat dari bahan semen.
2. Bak penampung sedimen harus dengan dimensi tertentu, yang
ditetapkan berdasarkan kondisi hidrologi sungai di DAS mikro.
3. Sedimen, baik bed load maupun suspended load sebaiknya diukur
pada setiap kejadian hujan yang mengakibatkan erosi, untuk
memberikan gambaran karakteristik erosi di tingkat DAS. Bed load
diukur setelah hujan terjadi, dan diambil tiga sampel tanah masingmasing seberat 100 gram untuk penentuan kadar air.
4. Untuk
mendapatkan
data
aliran
permukaan
secara
berkesinambungan dan dalam interval waktu yang relatif cepat,
perlu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan metode Rating
Curve, yaitu dengan mencari hubungan antara aliran permukaan
dengan tinggi permukaan air.
j. Cara Praktis Penentuan Dosis Pupuk
Penentuan dosis pupuk berdasarkan perkiraan jumlah unsur yang
terangkut bersama panen dan mempertimbangkan kondisi kesuburan
tanah, merupakan cara yang praktis dan sederhana. Penentuan
kebutuhan pupuk berdasarkan cadangan hara di dalam tanah
didasarkan pada hasil analisis tanah di laboratorium, sehingga
memerlukan waktu dan biaya untuk analisis tanah. Sedangkan,
penentuan kebutuhan pupuk berdasarkan gejala/tanda kekurangan hara
yang ditunjukkan oleh venotip tanaman, memerlukan keahlian dan

54

pengalaman khusus, dan tidak dapat menggambarkan berapa jumlah


pupuk yang harus diberikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan hara dan
penyediaan hara seperti pencucian, penguapan dan fiksasi (pengikatan)
oleh tanah, tekstur tanah, serta kesuburan tanah secara umum
diperhitungkan dalam penentuan dosis pupuk ini.
Keuntungan menerapkan penentuan dosis pupuk tersebut,
ternyata : lebih praktis dan sederhana, tidak memerlukan analisis
tanah, dan dosis pupuk dapat dihitung berdasarkan produksi yang
diinginkan. Setiap jenis tanaman mengandung unsur hara yang
berbeda.
Kandungan hara N, P, dan K di dalam 1 ton hasil panen
Tanaman

Hara terbawa panen


N
P
K
.. kg .

Padi varietas unggul

15,0

2,7

3,7

Padi lokal

15,0

2,5

2,5

Jagung

16,0

2,8

4,0

Kacang tanah

32,0

3,2

4,8

Singkong

1,7

0,5

2,5

Ubi jalar

3,7

0,5

5,2

Kentang

2,7

0,3

3,6

Wortel

3,0

0,5

3,8

Bawang

1,6

0,3

1,7

Tomat

3,3

0,4

4,2

Pisang

2,4

0,3

5,6

Jeruk

1,8

0,2

2,5

Rumput

30,0

3,7

26,7

Leguminose

37,5

4,4

33,2

55

Perhitungan Kebutuhan Pupuk N, P, dan K


Kebutuhan pupuk N, P, dan K dalam bentuk Urea, SP-36, dan
KCl yang diperlukan untuk jagung dengan hasil panen 3 t/ha adalah
setara dengan hara N, P, dan K yang terangkut panen, sebesar 48 kg N,
8,4 kg P, dan 12 kg K. Oleh karena itu, unsur hara yang terbawa panen
ini perlu dikembalikan ke dalam tanah melalui pemupukan, supaya
kesuburan tanah tetap terjaga dan produksi tanaman tidak menurun.
Pupuk Buatan Makro Anorganik
Apabila menggunakan pupuk buatan seperti Urea, SP-36, dan
KCl, maka jumlah pupuk yang diperlukan untuk menggantikan hara N,
P, dan K yang terangkut bersama 3 t/ha panen jagung (48 kg N, 8,4 kg
P, dan 12 kg K), berdasarkan kandungan unsur atau oksida pupuk,
adalah sebesar :
Urea

= 100/46 x 48 kg/ha =

104 kg/ha

SP-36 = 100/16 x 8,4 kg/ha =

53 kg/ha

KCl

23 kg/ha

= 100/52 x 12 kg/ha =

Kandungan unsur atau oksida pupuk di dalam 100 kg pupuk


Pupuk
Urea
TSP
SP-36
KCl

Unsur
46 kg N
20 kg P
16 kg P
52 kg K

Oksida
46 kg P2O5
36 kg P2O5
63 kg K2O

Dengan mempertimbangkan kehilangan hara melalui penguapan


(untuk hara N), pencucian ke lapisan tanah yang lebih dalam tidak
terjangkau oleh akar tanaman (N dan K), fiksasi oleh mineral liat tanah
(P dan K), dan atau hanyut oleh aliran permukaan atau erosi (N, P, dan
K), maka jumlah pemberian pupuk adalah 1,5 sampai 2 kali jumlah
hara yang terangkut panen. Dengan demikian, jumlah pupuk Urea, SP36, dan KCl yang diperlukan untuk tanaman jagung dengan perkiraan
hasil 3 t/ha adalah :

56

Urea

150-200 kg/ha

SP-36 =

75-100 kg/ha

KCl

50 kg/ha

Pupuk Kandang
Pupuk kandang mempunyai kandungan unsur hara yang rendah
dan bervariasi tergantung pada jenis dan kesehatan hewan, serta waktu
dan cara penyimpanan pupuk. Sebagai akibat kandungan haranya yang
lebih rendah dibandingkan pupuk buatan, maka apabila digunakan
sebagai pupuk, diperlukan dalam jumlah banyak. Selain dapat
menyediakan unsur hara, pupuk kandang berperan memperbaiki
struktur tanah dan aktivitas organisme tanah.
Kandungan unsur hara di dalam 1 ton pupuk kandang
Pupuk kandang

Sapi
Kambing
Domba
Babi
Ayam

Kandungan hara
N
P
K
Ca
.. kg/ton pupuk kandang .
5
2
5
3
8
7
15
8
10
7
15
17
9
3
6
12
15
5
6
23

Berdasarkan tersebut, apabila petani menggunakan pupuk


kandang sapi sebanyak 5 t/ha, berarti petani menambahkan 25 kg N,
10 kg P, 25 kg K. Jadi apabila petani menambahkan 5 t/ha pupuk
kandang sapi, maka petani tersebut dapat mengurangi penggunaan
pupuk buatan sebanyak:
Urea

= 100/46 x 25 kg/ha = 54 kg/ha

SP-36 = 100/16 x 10 kg/ha = 63 kg/ha


KCl

= 100/52 x 25 kg/ha = 48 kg/ha

57

Apabila seharusnya pupuk buatan yang diberikan sebanyak 150


kg/ha Urea, 75 kg/ha SP-36, dan 30 kg/ha KCl, maka dengan
pemberian pupuk kandang sapi 5 t/ha, pemberian pupuk buatan dapat
dikurangi menjadi:
Urea

= (150-54) kg/ha = 96 kg/ha

SP-36 = (75-63) kg/ha

= 12 kg/ha

KCl

= 0 ( tidak perlu pemberian KCl).

= (30-48) kg/ha

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan


teknologi ini adalah : (1) pada pertanaman intensif diperlukan pupuk
lebih tinggi, terutama pupuk K, (2) pemberian pupuk kandang, atau
jerami/sisa tanaman, dapat mengurangi dosis pupuk buatan, (3) tingkat
kesuburan tanah, secara umum dipertimbangkan dalam menentukan
dosis pupuk.
k. Teknologi Pupuk Organik untuk Budi Daya Sayuran Organik
Pertanian organik adalah kegiatan usaha tani yang proses
produksinya, mulai dari prapanen sampai proses pengolahan hasil
(pascapanen), tidak menggunakan bahan kimia sintetis seperti pupuk
buatan dan obat-obatan, dan tidak menggunakan benih dari hasil
rekayasa genetika, sehingga menghasilkan produk yang sehat dan
bergizi.

Percobaan budi daya sayuran dengan pupuk organik tanpa bahan


sintetis

58

Lahan yang sesuai untuk pertanian organik adalah lahan yang


bebas dari pencemaran bahan agrokimia, baik dari pupuk maupun
pestisida. Terdapat dua pilihan lahan: (1) lahan pertanian yang baru
dibuka, atau (2) lahan pertanian intensif yang telah dikonversi menjadi
lahan pertanian organik. Lama masa konversi tergantung pada sejarah
penggunaan lahan, pupuk, pestisida, dan jenis tanaman. Skala usaha
tani yang sesuai untuk teknologi pupuk organik dalam budi daya
sayuran organik adalah 0,5 - 1 ha.
Keuntungan yang diperoleh dalam menerapkan teknologi pupuk
organik, adalah (1) meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan
pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan, (2) meminimalkan semua bentuk polusi
yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, (3) menciptakan lingkungan
kerja yang aman dan sehat bagi petani, (4) menghasilkan sayuran yang
sehat dan bergizi, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, dan (5)
meningkatkan pendapatan petani.
Pupuk organik, berupa kombinasi pupuk kandang dan hijauan
titonia, dengan takaran masing-masing 20 kg dan 3 kg/bedeng
(berukuran 1 x 8 m) dapat memenuhi kebutuhan hara sayuran organik.
Penggunaan hijauan titonia sebagai sumber pupuk organik dapat
direkomendasikan, karena kandungan hara P dan K yang relatif tinggi,
mudah tumbuh, dan banyak terdapat di sekitar lokasi lahan budi daya
organik
Kadar hara total beberapa kompos pupuk organik
Kompos pupuk
organik
Pukan kambing
Pukan ayam
Pukan sapi
Sisa tanaman
Hijauan titonia
Hijauan kirinyu

Ca

Mg

C/N

36,2
26,6
47,0
11,5
18,2
30,0

3,8
1,4
3,5
1,4
2,0
2,7

0,46
1,20
1,01
0,34
0,46
0,62

3,26
2,89
5,92
3,11
5,11
3,73

2,51
2,45
2,96
1,80
2,40
3,84

0,73
0,56
1,34
0,55
0,60
0,74

10
18
13
8
9
11

59

l. Teknologi Mengatasi Keracunan Besi pada Lahan Sawah


Bukaan Baru
Teknologi ini secara khusus dirakit untuk mengatasi masalah
keracunan besi pada tanah sawah mineral masam bukaan baru.
Teknologinya mencakup pengendalian drainase dan pencucian,
ameliorasi dan pemupukan, serta penggunaan varietas yang toleran.
Tanah sawah bukaan baru, adalah tanah sawah yang masih belum
membentuk profil tanah sawah tipikal (Aquorizem). Tanah sawah
bukaan baru di Indonesia umumnya terdapat pada tanah mineral
masam yang miskin unsur hara P dan K, kandungan bahan organiknya
rendah, serta kadar Al dan atau
Fe termasuk tinggi, atau berupa
tanah sulfat masam di lahan
rawa pasang surut. Teknologi

Keracunan besi pada sawah bukaan


baru

ini dapat diterapkan terutama


pada lahan sawah tanah
marginal di Sumatera dan
Kalimantan. Metode atau caracara
mengatasi
masalah
keracunan besi adalah :

Penggunaan varietas yang toleran terhadap unsur besi bervalensi 2

(besi-II = Fe2+) antara lain: Batang Ombilin, Klara, IR-42, Tondano,


Danau Gaung, Lambur, dan Mendawak.
Perlakuan benih (seed treatment) bisa dilakukan pada sistem

penanaman benih langsung (TBL). Caranya dengan melapisi benih


(coated seed), dengan oxidant Ca-peroxside sebanyak 50 100%
dari berat benih padi.
Pengelolaan tanaman.
Menunda penanaman sampai puncak konsentrasi Fe2+ lewat,

sekurang-kurangnya 10-20 hari setelah penggenangan.


Pengelolaan air yang baik.

60

Penggunaan

irigasi intermiten (terputus), dan menghindari


penggenangan yang terus-menerus pada tanah yang drainasenya
buruk, serta mengandung besi dan bahan organik yang tinggi.

Pengelolaan pemupukan :
{

Penggunaan pupuk yang seimbang antara N, P, dan K, atau NPK


+ kapur. Tambahkan pupuk K yang cukup. Hindari terjadinya
stres hara.

Penggunaan kapur pada tanah masam.

Jangan menggunakan bahan organik dalam jumlah besar, yang


mengandung besi, pada tanah yang berdrainase jelek.

Untuk pupuk N digunakan urea, daripada ammonium sulfat.

Pengelolaan tanah : melaksanakan pengolahan tanah setelah panen,

untuk meningkatkan oksidasi besi, selama waktu bera. Hal ini akan
mengurangi besi-II (Fe2+) yang terakumulasi dalam tanah.
Keuntungan yang dapat diperoleh melalui penerapan teknologi
ini adalah:
Teknologi drainase dan pencucian dapat menurunkan serapan hara

besi dalam tanaman sebesar 57,9-63,8%, menurunkan jumlah besi-II


larut, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan ketersediaan
hara, sehingga perkembangan akar menjadi lebih baik.
Produktivitas lahan sawah meningkat, dengan hasil padi mencapai 2-

3 kali lipat, misalnya dari 2 t/ha menjadi 4-6 t/ha.


Pelaksanaan ameliorasi dan pemupukan, yaitu penggunaan kapur

pertanian (kaptan) dan pemupukan N, P, dan K dapat meningkatkan


produksi padi sebesar 92,7-144,0%. Penggunaan varietas toleran
besi-II dapat meningkatkan produksi padi rata-rata sebesar 4 t/ha
GKG.

61

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penerapan


teknologi ini adalah : usaha pencegahan keracunan besi harus
dilakukan sebelum tanam, sebab akan sulit mengatasi keracunan besi
pada saat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan
tindakan sebagai berikut: (1) gunakan tambahan pupuk K, P, dan Mg,
(2) tambahkan kapur pertanian (kaptan) pada lapisan atas/olah pada
tanah masam, untuk meningkatkan pH tanah, (3) tambahkan pula 100200 kg MnO2/ha pada lapisan atas, untuk mengurangi reduksi besi-III
(Fe3+), (4) lakukan drainase/pengeringan pada masa pembungaan
untuk mengurangi besi-II, selama sekitar satu minggu (7-10 hari),
tetapi tanah dalam kondisi macak-macak untuk memperbaiki
penambahan oksigen selama pembungaan.
m. Konservasi Tanah pada Lahan Usaha Tani Berbasis Kopi
Tanaman kopi banyak diusahakan pada lahan dengan
kemiringan agak curam, sehingga erosi dapat menjadi salah satu
penyebab kemunduran kualitas tanah, pada lahan usaha tani tanaman
tersebut. Guna mengurangi erosi sampai batas erosi yang dapat
diabaikan (tolerable soil loss), maka beberapa tindakan pengendalian
erosi perlu dilakukan, terutama pada saat tanaman masih relatif muda,
dan/atau pada tingkat penutupan lahan relatif rendah. Beberapa
alternatif teknik konservasi yang dapat dipilih adalah :
Penanaman Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah selain berfungsi sebagai pencegah erosi,
juga berfungsi sebagai sumber pupuk organik. Dengan adanya
tanaman penutup, juga dapat dihindari dilakukannya penyiangan yang
intensif. Hal ini sangat bermanfaat, selain dari segi penghematan
biaya, juga untuk menghindari berbagai dampak negatif dari
dilakukannya penyiangan yang intensif.
Arachis pintoii merupakan jenis tanaman penutup tanah yang
mempunyai prospek untuk dikembangkan pada lahan usaha tani kopi,

62

karena tanaman penutup ini


relatif tahan terhadap naungan
dan injakan. Untuk menghindari
persaingan antara tanaman
penutup dengan tanaman kopi,
perlu dilakukan penyiangan
melingkar (ring weeding).
Sistem Multistrata
Multistrata

Arachis pintoii cocok sebagai


tanaman penutup tanah di bawah
tanaman kopi

merupakan

penanaman tanaman buah-buahan, kayu-kayuan, dan/atau tanaman legum multiguna (multi purpose
leguminous) di antara tanaman kopi, sehingga tercipta komunitas
tanaman dengan berbagai strata tajuk. Dengan kondisi yang demikian,
hanya sebagian kecil saja air hujan yang langsung menerpa permukaan
tanah.
Selain menguntungkan dari segi konservasi tanah, penerapan
sistem multistrata dapat memberikan keuntungan lain, yakni: (1)
tersedianya naungan (pelindung) yang sangat diperlukan tanaman
kopi, (2) adanya naungan dapat menekan pertumbuhan gulma, (3)
pangkasan dari tanaman legum pohonan, dapat berfungsi sebagai
sumber mulsa dan pupuk hijau, dan (4) tanaman lain yang ditanam
dalam sistem multistrata, seperti kemiri, avokad, cempedak, dan lainlain, merupakan sumber pendapatan tambahan.
Apabila penanaman pohon pelindung ditujukan utamanya untuk
memperbaiki pertumbuhan dan produksi kopi, maka perlu dijaga agar
pohon pelindung tersebut tidak terlalu rapat. Untuk tanaman gamal
atau lamtoro, satu pohon pelindung untuk empat tanaman kopi, sudah
cukup ideal. Apabila ditanam tanaman tahunan lain, seperti jengkol
dan avokad yang tajuknya rapat, pohon pelindung bisa ditanam lebih
jarang.

63

Strip Rumput Alami


Merupakan teknik konservasi dengan cara membiarkan sebagian
tanah pada barisan/strip sejajar kontur di antara tanaman kopi
ditumbuhi rumput secara alami selebar 20-30 cm. Tidak diperlukan
biaya untuk penanaman rumput, dan dengan berjalannya waktu (3-4
tahun setelah aplikasi), strip rumput alami dapat membentuk teras
kridit.
Perlu dijaga agar strip rumput tidak terlalu dekat dengan rumpun
tanaman kopi, karena hal ini dapat menimbulkan kompetisi hara dan
air antara tanaman strip dengan kopi.
Rorak
Rorak adalah lubang yang dibuat di bidang olah atau pada
saluran peresapan sebagai tempat penampungan air aliran permukaan
dan sedimen. Petani kopi di Sumberjaya, Lampung Barat, sering
menamakan rorak dengan istilah lubang angin. Dimensi rorak yang
umum digunakan pada lahan usaha tani kopi, adalah panjang 50-100
cm, lebar 50 cm, dan dalam 30-50 cm.
Selain sedimen, di dalam rorak dapat terakumulasi pula serasah,
sehingga rorak dapat berfungsi pula sebagai mulsa vertikal. Petani
kopi di Sumberjaya, Lampung Barat, berpendapat bahwa rorak juga
dapat merangsang pertumbuhan akar baru, yang berdampak pada
peningkatan produksi. Hal yang harus diperhatikan dalam aplikasi
rorak, adalah : air hanya boleh tergenang beberapa saat. Apabila
penggenangan berlanjut, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah,
berupa penyakit yang dapat menyerang tanaman.
n. Teknologi Olah Tanah Konservasi
Tanah yang terlalu sering diolah sempurna akan mengalami
penurunan kandungan bahan organik, kerusakan struktur, dan
peningkatan kepekaan terhadap erosi tanah. Teknologi olah tanah

64

konservasi (OTK) bertujuan


untuk mengurangi akibat tidak
menguntungkan dari pengolahan
tanah yang terlalu sering
terhadap sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Dengan teknologi
OTK, pengolahan tanah hanya
dilakukan seperlunya dalam
Olah tanah konservasi
bentuk : (1) diolah seperlunya,
memanfaatkan mulsa sisa tanaman
pada bagian lahan yang akan
ditanami, (2) diolah sempurna setiap 2 atau 3 tahun sekali, atau, (3)
tidak diolah sama sekali dalam kurun waktu yang relatif lama. Namun
demikian, pengurangan frekuensi atau intensitas pengolahan ini, harus
disertai dengan pemberian mulsa sisa tanaman pada lahan yang akan
ditanami. Sedapat mungkin, semua sisa tanaman dari pertanaman
musim sebelumnya dijadikan mulsa penutup permukaan tanah.
Penerapan OTK dalam jangka panjang akan berpengaruh positif
terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, hasil tanaman,
efisiensi usaha tani, dan indeks pertanaman. Keberhasilan OTK
mengurangi erosi dan penguapan air, karena alasan : (1) keberadaan
sisa tanaman dalam jumlah memadai di permukaan tanah; (2) kondisi
permukaan tanah yang kasar (rough), sarang (porous), berbongkah
(cloddy), dan bergulud (ridged); atau (3) kombinasi dari keduanya.
Kelebihan lain dari teknologi OTK dalam penyiapan lahan,
antara lain : (1) menghemat tenaga dan waktu, (2) meningkatkan
kandungan bahan organik tanah, (3) meningkatkan ketersediaan air di
dalam tanah, (4) memperbaiki kegemburan tanah dan meningkatkan
pori mikro, (5) mengurangi erosi tanah, (6) memperbaiki kualitas air,
(7) meningkatkan kandungan fauna tanah, (8) mengurangi penggunaan
alat mesin pertanian, seperti traktor, (9) menghemat penggunaan bahan
bakar, dan (10) memperbaiki kualitas udara.

65

o. Penggunaan Tanaman Penutup Tanah


Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang ditanam menutupi
permukaan lahan pertanian, dengan tajuk dan daun tanaman yang rapat
untuk mengendalikan erosi dan memperbaiki sifat-sifat tanah.
Tanaman yang digunakan adalah famili leguminosa yang mampu
beradaptasi dan tumbuh cepat, dan produksi biomassanya tinggi
Teknologi ini dapat diterapkan pada lahan kering, baik yang
ditanami tanaman pangan, buah-buahan, maupun perkebunan, serta
dapat ditanam di antara barisan tanaman, dalam sistem alley cropping,
atau sebagai pergiliran tanaman.
Penggunaan penutup tanah dapat menekan pertumbuhan alangalang, tanah menjadi lebih gembur, meningkatkan pori aerasi dan pori
air tersedia, serta meningkatkan hasil tanaman. Sebagai contoh
tanaman penutup tanah, Mucuna, biomassanya mampu menyumbang
hara 23,2 kg N; 2,0 kg P; dan 19,7 kg K dalam setiap ton bahan kering.
Tanaman penutup melindungi permukaan tanah dari erosi
percikan (splash erosion) akibat jatuhnya tetesan air hujan,
meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan memperbaiki sifatsifat fisik dan kimia tanah, serta meminimumkan perubahan-perubahan
iklim mikro dan suhu tanah, sehingga dapat menyediakan lingkungan
hidup yang lebih baik bagi tanaman.
Beberapa hal penting
yang perlu diperhatikan dalam
penerapan teknologi penggunaan tanaman penutup tanah,
adalah tanaman harus memenuhi syarat-syarat berikut : (1)

Mucuna sebagai tanaman penutup


tanah cukup baik menyumbang hara
utama

66

mudah diperbanyak, terutama


dengan biji, (2) tumbuh cepat
dan menghasilkan banyak daun,
(3) toleran terhadap pemangkas-

an dan injakan, (4) bukan tanaman inang hama dan penyakit, (5)
sistem perakaran tidak berkompetisi berat dengan tanaman pokok, dan
(6) mampu menekan gulma.
Dari beberapa jenis tanaman penutup tanah, tanaman kacangkacangan atau jenis leguminosa adalah yang paling baik untuk penutup
tanah, karena mampu secara langsung memfiksasi nitrogen dari udara,
dan mampu melakukan regenerasi sendiri.
p. Teknologi Konservasi Tanah Secara Partisipatif
Salah satu penyebab rendahnya keberhasilan program
konservasi, adalah kurang dilibatkannya petani dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan program konservasi. Untuk itu, penyuluh
atau fasilitator lain di lapangan harus mampu mengadakan pendekatan
partisipatif
dengan
petani.
Untuk mengatasi masalah ini,
maka telah dicoba sistem
konservasi dengan melibatkan
petani sebagai pengguna secara
penuh.
Teknologi
Konservasi
Tanah Secara Partisipatif pada
Dalam konservasi tanah partisipatif,
prinsipnya menempuh proses
petani dilibatkan sejak perencanaan
seperti berikut :
Fasilitator lapangan atau penyuluh mendokumentasikan berbagai

bentuk praktek pertanian terutama yang berkaitan dengan


konservasi, termasuk praktek lokal dan dari daerah sekitarnya, yang
sudah terbukti produktif dan berkelanjutan. Praktek yang pernah
diintroduksikan, tetapi tidak berkembang, juga perlu didokumentasi
dan dipelajari penyebabnya.
Dengan menggunakan peta topografi (skala 1:5.000, atau skala yang

lebih besar), atau sekurang-kurangnya sketsa DAS Mikro, fasilitator

67

atau penyuluh memfasilitasi masyarakat secara berkelompok untuk


mengidentifikasikan masalah utama dalam DAS dan pada lahan
masing-masing petani.
Penentuan dalam peta tempat-tempat yang telah tererosi berat,

termasuk tempat erosi jurang, erosi tebing sungai, serta erosi tebing
jalan, maupun tempat lain yang bermasalah untuk pertanian dan
nonpertanian.
Kunjungan lapangan bersama petani ke tempat-tempat yang

disebutkan sebagai tempat bermasalah, dan dalam kunjungan


tersebut didiskusikan lebih lanjut tingkat keseriusan masalah.
Masyarakat dan kelompok tani difasilitasi untuk menemukan solusi

masalah yang teridentifikasi,


pengalaman lokal mereka.

berdasarkan

pengetahuan

dan

Solusi yang berdasarkan pengetahuan lokal ini, dipadukan dengan

solusi yang berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian di lokasi


setempat, maupun dari lokasi atau negara lain yang mempunyai
masalah dan latar belakang serupa.
Selanjutnya, petani dan penyuluh mengkaji implikasi dari penerapan

teknik yang dirumuskan. Misalnya, apakah petani akan mampu


berinvestasi secara finansial, dan apakah bahan yang diperlukan
untuk investasi tersebut dapat dengan mudah didapatkan. Perlu
diusahakan, agar dalam penerapan teknologi, sebanyak mungkin
digunakan bahan lokal.
Kemudian, petani mengambil keputusan tentang teknologi yang

paling mungkin diadopsi.


Dengan diterapkannya pendekatan partisipatif ini, diharapkan
petani akan dapat memelihara dan mengembangkan penerapan
teknologi ke lahan yang lebih luas. Selain itu, penggabungan praktek
lokal dengan praktek introduksi, atau adaptasi praktek yang
diintroduksi sehingga sesuai dengan kondisi lokal, akan memudahkan

68

petani untuk memahami dan menerapkan praktek tersebut. Di dalam


memfasilitasi petani untuk memilih dan menerapkan teknologi
konservasi perlu diperhatikan manfaat penerapan teknologi tersebut,
tidak saja dari aspek lingkungan, tetapi juga dari aspek ekonomi. Hal
ini penting, karena pada umumnya teknik konservasi tidak
memberikan pengaruh jangka pendek yang nyata terhadap peningkatan
produksi.
q. Teknologi Agroforestry
Agroforestry (wanatani) adalah sistem penggunaan lahan (usaha
tani), yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian
untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun
lingkungan. Pada sistem ini, akan tercipta keanekaragaman tanaman
dalam suatu luasan lahan, sehingga akan mengurangi risiko kegagalan
dan perlindungan tanah dari erosi. Selain itu, dengan penerapan
teknologi agroforestry seringkali kebutuhan pupuk dapat dikurangi,
karena adanya proses daur ulang sisa tanaman. Beberapa teknik
agroforestry yang telah diperkenalkan adalah :
Pertanaman Lorong
Sistem ini merupakan sistem pertanian, yaitu tanaman semusim
ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar, yang ditata
menurut garis kontur. Jenis
tanaman yang cocok untuk
tanaman pagar adalah tanaman
kacang-kacangan (leguminosa),
seperti Flemingia congesta,
gamal
(Gliricidia
sepium),
lamtoro (Leucaena leucocephala), dan Calliandra callothirsus.
Jarak antar baris tanaman pagar, Pertanaman lorong di lahan miring

69

berkisar antara 4 sampai 10 m. Semakin curam lereng, jarak antara


barisan tanaman pagar dibuat semakin dekat.
Pagar Hidup
Pagar hidup merupakan barisan tanaman perdu atau pohon yang
ditanam pada batas kebun. Apabila kebun berada pada lahan yang
berlereng curam, maka pagar hidup akan membentuk jejaring yang
bermanfaat bagi konservasi tanah. Pangkasannya dapat digunakan
sebagai sumber bahan organik atau sebagai hijauan pakan ternak.
Jenis tanaman yang dipakai untuk pagar sebaiknya yang mudah
ditanam dan mudah didapatkan bibitnya. Tanaman pagar jenis
leguminose perdu (misalnya lamtoro, gamal) ditanam dengan jarak
antar batang 20 cm. Jarak yang rapat ini untuk menjaga agar
tanaman pagar tidak tumbuh terlalu tinggi.
Sistem Multistrata
Sistem multistrata merupakan sistem pertanian dengan tajuk
bertingkat, terdiri atas tanaman tajuk tinggi (seperti mangga, kemiri),
sedang (seperti lamtoro, gamal, kopi), dan rendah (tanaman semusim,
rumput), yang ditanam di dalam satu kebun. Antara satu tanaman
dengan yang lainnya, diatur sedemikian rupa, sehingga tidak saling
bersaing. Tanaman tertentu seperti kopi, cokelat memerlukan sedikit
naungan, tetapi kalau terlalu banyak naungan, pertumbuhan dan
produksinya akan terganggu.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan
teknologi tersebut, antara lain : (1) sumbangan bahan organik dan hara,
terutama nitrogen untuk tanaman lorong, (2) mengurangi laju aliran
permukaan dan erosi, (3) melindungi kebun dari ternak (untuk sistem
pagar hidup), (4) pangkasannya dapat dijadikan hijauan pakan ternak,
(5) menjadi sumber bahan organik dan hara tanah, dan (6)
menyediakan kayu bakar dan mengurangi kecepatan angin (wind
break).

70

Bidang Penelitian Agroklimat dan Hidrologi


a. Perangkat Lunak Manajemen Sumber Daya Air dan Agroklimat
(WARM ver. 1)
Sumber daya iklim dan air merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam proses produksi, yang sangat besar kontribusinya
terhadap kuantitas, kualitas, dan kesinambungan hasil pertanian.
Sebagian penyediaan data sumber daya iklim dan air masih
konvensional dalam bentuk hard copy, terfragmentasi, yang kecepatan,
ketepatan, serta keakuratannya terbatas, sehingga menyulitkan
perencana dan pengambil kebijakan dalam mendayagunakan sumber
daya iklim dan air.
Untuk menjembatani senjang tersebut, Laboratorium Numerik
dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH),
Balitklimat, telah meluncurkan (launching) salah satu perangkat lunak
(software) yang diberi nama Manajemen Sumber Daya Air dan
Agroklimat, Water and Agroclimate Resources Management,
disingkat WARM versi 1.0.
Perangkat lunak ini membantu analisis untuk (1) penentuan
tanggal tanam optimal, dan (2) optimasi pendayagunaan sumber daya
air untuk menekan risiko penurunan hasil tanaman, melalui efisiensi
pemberian air irigasi, yang berupa volume dan interval pemberian air
irigasi.

Tampilan software WARM versi 1.0

71

Data yang diperlukan adalah : (1) data iklim harian, yang


meliputi curah hujan harian, suhu udara maksimum, minimum dan
rata-rata, dan evaporasi (Eto), (2) data tanaman, antara lain tanggal
tanam, umur tanaman, umur pada setiap fase pertumbuhan tanaman
(awal, perkembangan tanaman, fase tengahan, fase akhir), umur pada
setiap

fase

fenologi

(instalasi,

tahap

vegetatif,

pmbungaan,

pembentukan hasil, dan pematangan), ketinggian maksimum tanaman,


kedalaman akar maksimum, umur tanaman pada saat tercapai
kedalaman akar maksimum, koefisien toleransi tanaman terhadap
cekaman air (diasumsikan 20%), dan koefisien tanaman pada setiap
fase, dan (3) data tanah, antara lain : kadar air pada kapasitas lapang
dan pada titik layu permanen, total air tersedia (total available water),
total evaporasi (total evaporative water), dan air siap terevaporasi
(readily evaporative water).
b. Teknologi Prakiraan Curah Hujan
Perilaku iklim akhir-akhir ini menunjukkan keragaman yang
semakin tinggi, baik secara spasial maupun temporal, dengan
intensitas dan frekuensi yang makin besar, sehingga sangat
mengganggu sistem produksi pertanian nasional. Dampak anomali
iklim yang demikian luas serta sulitnya melakukan antisipasi dini,
menuntut penanganan secara terencana.
Variabilitas curah hujan yang tinggi di daerah tropis, merupakan
kendala utama dalam menghasilkan prakiraan dengan akurasi tinggi.
Untuk itu telah dikembangkan teknologi prakiraan curah hujan
bulanan dengan Saringan Kalman (Kalman Filter). Salah satu
contoh keluaran model berupa validasi (a) dan prediksi (b) untuk
stasiun Sukamandi, Jawa Barat, disajikan dalam gambar berikut ini.

72

(a)

(b)

Validasi model (a) dan prediksi curah hujan (b) 12 bulan di Stasiun
Sukamandi, Jawa Barat

73

c. Teknologi Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk


Meningkatkan Produktivitas dan Keberlanjutan Usaha Tani
Lahan Kering
Masalah erosi dan laju sedimentasi yang tinggi di daerah aliran
sungai di lahan kering, merupakan kenyataan yang sering dihadapi di
lapangan, yang dapat mengakibatkan terangkutnya lapisan tanah yang
subur (topsoil), sehingga dalam jangka waktu lama, yang tertinggal
adalah lapisan bawah tanah (subsoil) yang tidak subur. Hal ini akan
membuat lahan kering, yang sebagian besar merupakan lahan marginal
menjadi semakin miskin unsur hara.
Kondisi ini menjadikan usaha tani di lahan kering makin sulit
berkembang, karena terdapat kendala lain, yaitu keterbatasan sumber
daya air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal). Pengembangan
teknologi panen hujan dan aliran permukaan melalui penggunaan
bangunan konservasi air, seperti : dam parit (channel reservoir),
embung, lebung, dan lain-lain, merupakan pilihan yang dapat
ditempuh, karena selain dapat memberikan pasokan air, terutama pada
saat defisit air, juga dapat menurunkan laju aliran permukaan dan erosi
di daerah hulu, sehingga dapat mengurangi laju sedimentasi di daerah
hilir. Apabila telah diketahui potensi sumber daya air DAS yang
dikuantifikasi berdasarkan neraca air hidrologi, maka dapat ditetapkan
skenario pola tanam, jumlah, serta volume air irigasi, dengan
memperhitungkan potensi pasokan air yang terdapat di dalam
bangunan konservasi air. Hasil di lapangan menunjukkan bahwa telah
terdapat perubahan pola tanam dan jenis komoditas yang diusahakan,
serta peningkatan produksi dan produktivitas lahan.

74

Evaporasi Curah hujan


Evaporasi Curah hujan
Aliran permukaan
Evaporasi Curah hujan
Irigasi
Infiltrasi
Daerah/area tangkapan hujan
Wilayah/daerah pengairan irigasi

Aliran permukaan

Infiltrasi

Cadangan (reservoir)

Infiltrasi
Wilayah/daerah pengairan irigasi

Konsep dasar teknologi panen hujan dan aliran permukaan

d. Pengelolaan Waduk Juanda (Jatiluhur)


Adanya peningkatan kebutuhan air untuk berbagai sektor pada
saat ini, menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan air yang
semakin tajam. Porsi paling besar pengguna air adalah bidang
pertanian yang digunakan untuk irigasi, yaitu 79% dari total kebutuhan
air. Sektor lain seperti untuk konsumsi, mencapai 11%, industri 5%,
dan perkotaan 5%. Namun pada tahun 2020, diperkirakan akan terjadi
peningkatan kebutuhan air untuk keperluan domestik sebesar 17%,
sementara untuk sektor perkotaan terjadi peningkatan sebesar 10%.
Waduk Juanda, atau waduk Jatiluhur, merupakan waduk yang
menampung air untuk memenuhi kebutuhan air berbagai sektor,
terutama bidang pertanian, yang dapat dinikmati oleh sebagian besar
penduduk. Untuk itu, waduk Juanda harus dikelola dengan tepat, agar
fungsinya yang multiguna dapat optimal.
Strategi pengelolaan waduk harus dilakukan secara terpadu
(integrated), dan dilakukan secara bertahap :
Tahap 1

Diinventarisasi DAS atau sub-DAS mana saja, yang memasok


(inlet) waduk secara kontinyu. Selanjutnya, dilakukan karakterisasi
potensi sumber daya air DAS yang merupakan inlet waduk, antara lain
: debit diukur dengan automatic water level recorder (AWLR), iklim
diukur dengan automatic rainfall recorder (ARR), Tujuannya yaitu
agar diketahui produksi air yang memasok waduk.

75

Tahap 2
Penentuan laju sedimentasi yang terjadi di sungai
pemasok (inlet) yang akan
terbawa ke dalam waduk. Hal
ini dilakukan dengan pengukuran langsung di sungai, dan
dengan prediksi menggunakan
model. Menentukan tingkat
kerusakan DAS yang menjadi

Sensor ultra sonic automatic water


level recorder yang dipasang di
sungai

inlet waduk, berdasarkan laju


sedimentasi, dan menentukan
kerusakan lahan lengkap dengan posisi geografiknya, termasuk menggunakan model
terdistribusi.
Tahap 3
Penentuan solusi pengeloSensor automatic rainfall recorder
laan DAS yang tepat, yang
berpasangan dengan AWLR
merupakan inlet waduk, berdasarkan informasi-informasi yang telah diperoleh.
Setelah diketahui posisi geografik kerusakan lahan, dapat
dilakukan penghijauan atau penerapan tindakan konservasi pada posisi
tersebut dengan tepat. Berdasarkan hasil prediksi dengan model
Agricultural Non Point Source Pollution (AGNPS), maka terlihat
hasilnya sangat memuaskan, laju sedimentasi berkurang dengan
drastis, dan produksi air meningkat. Harapannya, pasokan air untuk
waduk meningkat dan kontinyu, dalam arti : pasokan air tersedia
cukup menurut ruang dan waktu, serta laju sedimentasi yang akan
mengurangi umur guna waduk menurun.

76

Tahap 4
Penentuan alat bantu untuk menentukan keputusan (decision
support system) bagi pendistribusian air berbagai sektor (bidang
pertanian, industri, rumah tangga perkotaan, dan lain-lain). Alat bantu
ini diperlukan agar terjadi keseimbangan antara pasokan air dan
pendistribusiannya.
e. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Optimasi Irigasi Suplementer
untuk Menekan Kehilangan Hasil Tanaman Tebu
Periode penanaman tebu yang dilakukan sepanjang tahun untuk
menjaga kontinuitas produksi akan menghadapi permasalahan
cekaman air yang puncaknya terjadi pada musim kemarau, sehingga
berdampak terhadap peningkatan kehilangan hasil dan penurunan
rendemen tebu. Dampak cekaman air terhadap kehilangan hasil tebu
terbesar, terjadi pada fase pembentukan tunas dan pertumbuhan
vegetatif.

Untuk

mengantisipasi

dampak

tersebut,

diperlukan

pembuatan irigasi suplementer pada saat curah hujan tidak mencukupi,


agar dapat menggantikan kehilangan air tanaman yang disebabkan
oleh evapotranspirasi. Oleh karena pengaruh cekaman air terhadap
penurunan hasil sangat beragam menurut ruang dan waktu akibat
variasi ketersediaan air, iklim, dan tanah, maka diperlukan kuantifikasi
untuk memprediksi hasil yang dapat dicapai.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah melakukan
kerjasama dengan pihak mitra, di antaranya dengan PT. Gunung Madu
Plantations di Lampung, dan PG. Rajawali II di Jatitujuh, Jawa Barat,
untuk melakukan optimasi irigasi suplementer dan mengelola sumber
daya air, dalam upaya untuk menekan risiko potensi kehilangan hasil
pada fase kritis tanaman, sekaligus meningkatkan produksi dan
rendemen tebu.
Untuk menentukan volume dan interval pemberian irigasi
suplementer digunakan perangkat lunak program Crop Water

77

Balance (CWB) yang didahului dengan penentuan indeks kecukupan


air dan potensi kehilangan hasil tanaman berdasarkan perhitungan
neraca air di zona perakaran dengan menggunakan nisbah ETR/ETM.
Selanjutnya, untuk optimasi kebutuhan air digunakan perangkat lunak
Matlab ver 6.5 release 13.
Hasil optimasi pemberian air irigasi suplementer untuk berbagai
masa tanam pada kondisi ketersediaan air yang terbatas pada DAS
tersebut menunjukkan bahwa persentase air irigasi suplementer yang
dapat diberikan dibandingkan dengan kebutuhannya bervariasi dari
26% sampai dengan 95%. Dengan jumlah irigasi yang diberikan
tersebut, kehilangan hasil dapat ditekan hingga menjadi sekitar 1125%. Jumlah irigasi yang optimal berkisar antara 10-25 mm, dengan
interval 10 hari. Sedangkan di PG Jatitujuh, yang mengalami defisit air
relatif panjang selama 6 bulan dari Mei sampai Oktober, apabila tebu
ditanam pada pertengahan September tanpa dilakukan irigasi akan
berpotensi mengalami kehilangan hasil sebesar 51%. Pemberian irigasi
suplementer dengan interval 4 hari sekali sebanyak 25 mm, selama
pertumbuhan vegetatif, akan memperkecil potensi kehilangan hasil
menjadi 12%.

Rasio ETR/ETM pada irigasi suplementer tertinggi dan terendah di PT.


Gunung Madu Plantations, Lampung

78

Contoh hasil analisis neraca air tanaman tebu, tanpa dan dengan irigasi
suplementer di PG Jatitujuh, Jawa Barat

Aplikasi irigasi suplementer di PG Jatitujuh

79

Bidang Penelitian Lahan Rawa


a. Teknologi Tata Air Aliran Satu Arah dan Sistem Tabat
Sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
pengembangan pertanian di lahan pasang surut, yang ditujukan selain
untuk memenuhi kebutuhan air selama penyiapan lahan dan
pertumbuhan tanaman, dan juga untuk memperbaiki sifat fisiko-kimia
tanah. Pengelolaan tata air ini dilaksanakan dengan cara : (1)
memanfaatkan air pasang untuk pengairan sesuai dengan kebutuhan
tanaman, (2) mencegah masuknya air asin ke petakan lahan, (3)
mencuci zat-zat beracun bagi tanaman, (4) mengurangi semaksimal
mungkin terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam, dan (5)
mencegah terjadinya proses kering takbalik pada tanah gambut. Sistem
tata air yang teruji baik di lahan pasang surut, adalah Sistem Aliran
Satu Arah (one way flow system) dan Sistem Tabat (dam overflow).
Penerapan sistem tata air ini perlu disesuaikan dengan tipologi lahan
dan tipe luapan air serta komoditas yang diusahakan. Sistem Aliran
Satu Arah digunakan pada lahan bertipe luapan A dan B, sedangkan
Sistem Tabat (dam overflow) diterapkan pada lahan bertipe luapan B
atau C, dan D. Penerapan sistem tata air tersebut selain dapat
meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan, juga dapat
meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan pola tanam serta
pendapatan masyarakat.

80

Saluran
Saluran primer
Primer

Flapgate (inlet)

Flapgate (outlet)
A

Salurtersier
anTersier
Saluran

Stoplog (inlet)

Stoplog (outlet)

Saluran
Saluran Primer/jalur
primer/jalur

A
Stoplog

Stoplog
Salurtersier
anT
ersier
Saluran

Saluran Cacing (Kemalir)

Stoplog

Saluran Tersier

Stoplog

Stoplog
1

Ilustrasi tata air Sistem Aliran Satu Arah (atas) dan Sistem Tabat
(bawah); flapgate (pintu klep), stoplog (pintu sekat)

b. Percepatan Peningkatan Produktivitas Lahan Sulfat Masam


Teknologi peningkatan percepatan produktivitas lahan sulfat
masam merupakan teknologi pengelolaan sumber daya terpadu,
yang memadukan teknologi perbaikan kualitas lahan (meningkatkan
pH tanah dan air, mengurangi unsur beracun, dan fluktuasi rejim air),
serta penggunaan varietas tanaman berdaya toleransi sedang.
Perbaikan kualitas lahan dilakukan melalui penataan lahan sistem
surjan dan sawah, tata air Sistem Aliran Satu Arah memakai pintu klep
(flapgate) dan Sistem Tabat, dan pemberian kompos jerami padi

81

dengan takaran 2,7 t/ha.


Sedangkan varietas tanaman
padi digunakan varietas yang
berdaya toleransi sedang, yaitu
Margasari atau Martapura.
Pengelolaan airnya dilakukan
dengan
memanfaatkan
air
pasang yang kualitasnya baik
Lahan sulfat masam memerlukan
penataan lahan dan varietas tanaman untuk menggantikan air di
yang cocok dalam pemanfaatannya
petakan lahan yang kualitasnya
jelek, serta mempertahankan
keberadaan air tersebut sampai datang air pasang berikutnya.
Keunggulan teknologi ini adalah, selain inputnya rendah,
kualitas lahan meningkat lebih cepat, serta hasil panen padi pada tahun
pertama pembukaan lahan dapat mencapai 3,43 t/ha. Sementara dari
pengalaman penanaman padi pada lahan sulfat masam yang baru
dibuka, hasilnya umumnya < 1,0 t/ha. Penerapan teknologi tersebut
pada lahan sulfat masam bertipe luapan B mampu meningkatkan pH
tanah, serta menurunkan konsentrasi Fe2+ dan SO42- terlarut.
Pengembangan teknologi ini diarahkan pada lahan pasang surut sulfat
masam, terutama yang bertipe luapan B atau B/C, baik yang belum
direklamasi maupun yang sudah direklamasi menjadi lahan tidur.
c. Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan
Pemberian amelioran dan pupuk merupakan faktor penting
untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas
lahan pasang surut. Untuk meningkatkan efisiensi ameliorasi dan
pemupukan, maka pemberian disesuaikan dengan kondisi lahan
terutama pH tanah, kandungan zat beracun, ketersediaan hara di dalam
tanah, dan varietas yang ditanam.

82

Dari serangkaian kegiatan penelitian ameliorasi dan pemupukan


di lahan pasang surut, dapat disusun takaran amelioran dan pupuk pada
setiap tipologi lahan.
Takaran bahan ameliorasi secara tepat selain tergantung kepada
kondisi lahan terutama pH tanah dan kandungan zat beracun, juga
kepada tanaman yang akan ditanam. Bahan ameliorasi tanah dapat
berupa kapur atau dolomit, abu sekam atau serbuk kayu gergajian,
sedangkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan kegiatan
pengolahan tanah agar tercampur baik dengan tanah.
Selain tergantung kepada status hara tanah, takaran pupuk terkait
pula dengan respons tanaman. Untuk padi varietas responsif pupuk,
didasarkan pada tipe lahannya, sedangkan untuk padi varietas lokal
yang tidak responsif pupuk, perlu disesuaikan dengan status hara
tanah, sehingga perlu dilakukan uji tanah. Sepertiga dosis pupuk N
diberikan bersama dengan P dan K menjelang tanam, sedangkan
sisanya diberikan pada 3 dan 6 minggu setelah tanam.

Kapur sebagai bahan amelioran siap dicampur dengan tanah dalam


kegiatan pengolahan tanah

83

Takaran amelioran dan pupuk pada tanaman pangan di lahan pasang


surut
Tanaman

Padi

Kedelai

Jagung

Kacang
tanah

Kacang
hijau

Tipologi

Lahan potensial
Sulfat masam
Gambut **)
Lahan potensial
Sulfat masam
Gambut
Lahan potensial
Sulfat masam
Gambut **)
Lahan potensial

Takaran amelioran dan pupuk


Kapur/abu
N
P2 O 5
K2O
.............................. kg/ha ...............................
0
45-90
22,5-45
50
1.000-3.000 67,5-135
45-70
45-75
1.000-2.000
45
60
50
500-1.000
22,5 *)
22,5
30
1.000-2.000
22,5 *)
45
50
1.000-2.000
22,5 *)
45
50
0
67,5
45-90
50
500
90
45-90
50
500
67,5
45
50
500-1.000
22,5
30
50

Sulfat masam
1.000-2.000
Gambut
1.000-2.000
Lahan potensial
0

22,5
22,5
22,5

60
45
45

50
50
50

* ) Perlu diberi rhizobium sebanyak 15 g/kg benih


**) Ditambah 5 kg/ha CuSO4 dan ZnSO4
Takaran pupuk padi Margasari menurut status hara tanah di lahan sulfat
masam
Status hara tanah

P-rendah dan K-sedang


P-sedang dan K-sedang
P-tinggi dan K-sedang
P-sedang dan K-tinggi
P-tinggi dan K-tinggi

Takaran pupuk
P2 O 5
K2O
.. kg/ha ..
67,5
30
18,75-37,5
30-60
10,25
30
37,5
11,5
0
11,25

d. Teknologi Irigasi Tetes untuk Sayuran di Lahan Sulfat Masam


Kualitas air dalam saluran di lahan sulfat masam umumnya
jelek, terutama karena pH-nya rendah dan kandungan besinya (Fe2+)
tinggi, serta umumnya tidak sampai ke petakan lahan. Guna
meningkatkan kualitas dan efisiensi pemberian air untuk tanaman,

84

terutama hortikultura di lahan


sulfat masam, dikembangkan
teknologi irigasi tetes.
Perangkat irigasi tetes
terdiri atas enam bagian utama,
yaitu : (1) drum penampung air,
(2) rangka penyangga drum, (3)
keranjang batu kapur, (4) filter
Percobaan irigasi tetes di lahan sulfat
air, (5) stop kran, dan (6) pipa
masam
PVC untuk penyaluran air.
Kapasitas tampung air untuk setiap kali pemberian air adalah 180 liter
yang diperkirakan dapat mengairi tanaman sayuran seluas 100 m2, dan
satu jalur guludan surjan untuk tanaman jeruk.
Cara kerja sistem irigasi tetes adalah sebagai berikut : (1)
keranjang kapur diisi batu kapur, berdiameter sekitar 2 cm, dan
diletakkan di dalam drum, (2) air dari saluran tersier ditimba atau
dipompa dan dimasukkan ke dalam drum sampai penuh dan didiamkan
sekitar 10 jam, agar pH nya naik menjadi 5,5, (3) air dalam drum
dialirkan ke tanaman melalui pipa PVC dengan membuka stop kran;
lama pemberian airnya disesuaikan dengan jenis dan fase pertumbuhan
tanamannya, (4) stop kran ditutup kembali setelah pemberian air
selesai. Batu kapur dan filter dicuci secara periodik, biasanya setiap
minggu sedangkan drum dibersihkan atau dikuras airnya juga setiap
minggu, dengan membuka kran yang terletak di bagian bawah drum.
e. Teknologi Pupuk Organik Reaksi Cepat Organoplus
Karena pupuk anorganik semakin terbatas dan harganya pun
semakin mahal, khususnya di daerah lahan rawa, perlu dikembangkan
pupuk organik dengan memanfaatkan limbah pertanian dan gulma
yang banyak tersedia di tempat. Untyuk itu telah dikembangkan pupuk
organik bereaksi cepat, yang diberi nama Organoplus, karena

85

apabila hanya mengandalkan bahan organik saja, akan diperlukan


jumlah bahan yang relatif banyak, sehingga sulit dikembangkan.
Formula
Organoplus
dibuat dari tanaman yang dinilai
mempunyai kandungan unsur
esensial (N, P, K) cukup tinggi
yang dikombinasikan dengan
arang sekam, fosfat alam reaksi
tinggi, pengaya nitrogen, dan
bahan lainnya. Formula Organoplus tersebut adalah : (1) 40
C, 12 N, 8 P, 6 K; (2) 60 C, 9
N, 6 P, 4,5 K; (3) 80 C, 5 N, 3,5
P, 2,5 K; dan (4) 20 C, 7 N, 11
P, 11 K). Keempat formula
Organoplus setara dengan pupuk
tersebut menunjukkan efektivitas
NPK anorganik
yang sama baiknya, dengan
pemberian pupuk NPK anorganik pada takaran yang sama.
Dari hasil uji lapangan menunjukkan bahwa semua formula
memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman padi,
jagung, dan sayuran. Tetapi yang mempunyai efisiensi tertinggi adalah
formula 20 C, 7 N, 11 P, 11 K. Keunggulan dari formula ini adalah :
(1) aplikasinya mudah, karena dalam bentuk pelet yang mudah terurai
setelah berada di dalam tanah, (2) efisien, karena takaran yang
diperlukan cukup rendah, yaitu 200-250 kg/ha untuk tanaman padi dan
jagung, serta 400-500 kg/ha untuk tanaman sayuran, (3) dapat
memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, dan (4) dapat meningkatkan
hasil tanaman. Kelemahan dari formula ini adalah tekstur pelet agak
rapuh sehingga masih diperlukan penyempurnaan, terutama dalam
pencetakannya seperti pelapisan dengan Ca, sehingga selain tekstur
cetakannya lebih baik juga dapat memberikan tambahan unsur Ca yang
sangat berperanan dalam pertumbuhan tanaman di lahan rawa.

86

f. Teknologi Atraktan Hama dan Biofilter Rumput Purun Tikus


Rumput
purun
tikus
(Eleocharis dulcis, Burm. F.
Hensel) merupakan tumbuhan
yang termasuk dalam famili teki
(Cyperaceae), yang banyak
terdapat di lahan rawa, terutama
pada lahan sulfat masam.
Tergantung pada kondisi lahan,
tinggi rumput purun tikus
umumnya tidak lebih dari 150
cm, dan dalam kondisi berair
mampu bertahan hidup lebih
dari satu tahun. Cirinya adalah
permukaan
batang
licin,
rhizoma pendek dengan stolon
panjang, yang kadang-kadang
berbentuk subglubosa dengan
warna
kecokelatan
atau

Rumput purun tikus sebagai atraktan


hama dan biofiter

kehitaman, dengan ukuran umbi 1-4 cm. Rumput purun tikus memiliki
berbagai manfaat, di antaranya sebagai atraktan hama penggerek
batang padi putih (PBPP = Schirpopphaga innotata), dan sebagai
bahan organik mampu memfilter air masam yang mengandung unsur
Fe2+ dan SO42-.
Penggerek batang padi putih (PBPP) merupakan salah satu
hama utama tanaman padi di lahan rawa, yang intensitas kerusakan
tanamannya mencapai 25-45%, tetapi apabila di sekitar pertanaman
padi terdapat banyak rumput purun tikus, maka intensitas
kerusakannya kurang dari 1%. Hal ini disebabkan oleh ketertarikan
serangga untuk memilih rumput purun tikus (bagian batang dekat
bunga) sebagai tempat meletakkan telurnya. Ekstrak batang bagian
tengah dan dekat bunga rumput purun tikus mengandung zat yang

87

mampu memikat serangga betina penggerek batang padi putih. Ekstrak


diperoleh dengan cara merebus dan menyuling bagian batang tersebut
yang telah dilunakkan sebelumnya. Ekstrak tersebut dapat
disemprotkan kepada tanaman bukan inang bagi hama penggerek
batang padi putih, kemudian serangga hama yang berkumpul dan
bertelur di tempat tersebut, disemprot dengan pembasmi hama yang
efisien dan ramah lingkungan.
Rumput purun tikus dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik
untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan pasang surut,
terutama lahan bergambut, karena rumput tersebut menyerap banyak
unsur Fe dan mengandung unsur hara makro, yaitu P 0,43%; K 2,02%;
Ca 0,26%; Mg 0,42%; Fe 0,42%; dan Al 0,57%. Pemberian kompos
rumput purun tikus yang dicampur kapur, dapat meningkatkan
kesuburan tanah. Selain itu, karena rumput tersebut dapat menyerap
unsur Fe2+ dan SO42-, maka dapat juga dipakai sebagai filter air
(biofilter atau bioremediation) terutama di lahan sulfat masam
sehingga kualitasnya meningkat, baik untuk air irigasi ke petakan
lahan maupun air buangan dari petakan lahan.
g. Karakterisasi dan Konservasi Plasma Nutfah Tanaman
Upaya mengenal keragaman dan sekaligus pelestarian sumber
daya hayati, melalui karakterisasi dan konservasi plasma nutfah
tanaman lahan rawa, sangat diperlukan untuk menjaring sumber daya
genetik tanaman. Beberapa jenis tanaman buah-buahan dan tanaman
pangan pada lahan rawa yang telah diidentifikasi adalah : (1) mangga:
kasturi, hambuku, kuini, ampalam, binjai, hambawang, kebembem,
dan putaran; (2) durian: kuning, pampakin, lai, lahong, mahrawin, dan
si hijau; (3) manggis: biasa dan mundar; (4) lengkeng liar: ihau atau
babuku hijau, dan kuning; (5) rambutan: garuda, antalagi, sibatuk,
timbul, zaenal, dan jenis liarnya, seperti maritam dan siwau; (6)
nangka: cempedak, tarap, dan kopuan; (7) ramania: hintalu dan pipit;
(8) langsat dan duku; dan (9) aneka buah lainnya seperti mentega,
kapul, balangkasua, gitaan, pitanak, dan srikaya ganal.

88

Beberapa
keunggulan
tanaman tersebut antara lain :
mangga kasturi dan hambuku,
tahan terendam air lebih dari 3
bulan dan adaptif di lahan lebak,
sehingga cocok untuk dijadikan
batang bawah pada budi daya
mangga di lahan lebak. Mangga
kueni anjir dan kebembem,
tahan terhadap genangan harian
dan kemasaman tanah yang
cukup ekstrim. Durian anjir,
tahan terendam harian dan
kemasaman tanah ekstrim,
sehingga cocok digunakan Buah balangkasua yang mulai langka,
masih bisa ditemui di lahan rawa
sebagai batang bawah untuk
pengembangan durian kawasan pasang surut. Lai dan pampakin
merupakan jenis durian yang warna buahnya adalah kuning dan kuning
kemerahan, tanpa bau menyengat, serta sangat jarang dijumpai hamahama penggerek di daging buahnya. Tanaman buah mentega dan
ramania mempunyai daun yang rimbun dan jarang rontok, sehingga
cocok untuk dikembangkan sebagai tanaman penghijauan di kawasan
perkotaan. Buah mentega yang dikenal sebagai apel beludru, juga
sangat cocok dijadikan jus dengan rasa lezat, harum, lembut, dan khas.
Srikaya ganal, tipe buahnya majemuk dengan ukuran cukup besar
(diameter 10-15 cm, panjang 20 cm), warna kulit buah agak aneh yaitu
kelabu, daging buahnya putih dengan citarasa yang manis. Maritam
adalah sejenis buah leci hutan, yang tahan terhadap kondisi lembab
dan berawa-rawa. Rambutan siwau dan maritam, gitaan tampirik,
durian berkulit merah lahong dan berdaging merah, kopuan, pitanak,
balangkasua, putaran, dan babuku termasuk buah langka yang perlu
diselamatkan dan digali potensinya.

89

Padi varietas lokal yang telah dikoleksi berjumlah lebih dari 420
asesi, berasal dari lahan rawa pasang surut dan lebak di Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah serta Lampung,
Sumatera Selatan, dan Jambi. Karakteristik tanaman padi lokal
bervariasi antar varietasnya, tetapi sebagian besar varietas lokal
tersebut memiliki daya toleransi terhadap kemasaman dan keracunan
besi. Tinggi tanamannya 105-180 cm dengan jumlah anakan 10-24
batang. Malainya umumnya muncul penuh dengan tingkat kerontokan
gabah sedang (6-25%). Sudut daun datar, sudut daun bendera antara
sedang dan datar, dan sudut batang umumnya sedang. Tanaman yang
tinggi dan kuat cocok untuk lahan rawa yang genangan airnya dalam,
sedangkan malai yang muncul penuh memudahkan bagi petani yang
umumnya memanen dengan ani-ani. Sudut daun yang datar dapat
menekan pertumbuhan gulma, dan dengan demikian akan mengurangi
biaya penyiangan. Umur tanaman padi lokal di lahan lebak pada
umumnya genjah 1-3 bulan lebih lama daripada padi lokal di lahan
pasang surut, sedangkan hasil gabahnya berkisar antara 1-4 t/ha.
Varietas Bonai, Serai Rampak, dan Senapi cukup toleran
kekeringan di lahan lebak, sedangkan varietas Datu dan Pudak yang
ditemukan di ekosistem lahan pasang surut salin Kalimantan Selatan,
berbatang kuat dengan tinggi tanaman lebih dari 2 meter, bermalai
panjang dan lebat gabahnya besar. Padi varietas Pudak serupa dengan
padi aromatik, bau gabah atau berasnya harum dengan malai lebat,
sedangkan varietas Bayar atau Pandak tahan terhadap keracunan besi
dan aluminium. Varietas yang tahan rebah adalah Bayar Palas, Pandak
Putih, Siam Unus, dan Lemo Putih, karena batangnya yang cukup
besar dan kuat, sehingga cukup mampu menopang pertumbuhan
tanaman. Varietas yang tahan penyakit tungro adalah Siam Puntal,
Siam Adus, Siam Suruk, dan Siam Lantik. Kandungan Fe dan Zn pada
71 varietas lokal padi pasang surut yang dievaluasi sangat bervariasi,
yaitu berkisar antara 1170 ppm untuk Fe, dan 20108 ppm untuk Zn.
Kandungan Fe terendah terdapat pada varietas Kutut dan yang

90

tertinggi ditemukan pada varietas Siam Wol. Sedangkan kandungan Zn


terendah diberikan oleh varietas Siam Unus Putih, dan yang tertinggi
diberikan oleh varietas Siam Panangah. Genetik tanaman padi yang
mempunyai kandungan Fe dan Zn tinggi sangat diperlukan untuk
pengembangan varietas padi yang memiliki kandungan cukup tinggi
kedua zat tersebut.

Bidang Penelitian Pencemaran Lingkungan


a. Teknologi Remediasi Lahan Tercemar
Pencemaran logam berat
seperti Cd dan Pb di dalam
tanah sering ditemukan terutama
pada tanah-tanah di daerah
sekitar buangan limbah industri.
Penggunaan pupuk kandang ternyata dapat mengurangi kandungan logam berat, khususnya Air sungai membawa buangan limbah
industri ke lahan pertanian
Cd, di dalam tanah.
Pupuk kandang dapat mengurangi mobilitas logam berat dalam
tanah melalui mekanisme pengchelatan. Hal ini tentunya sangat
penting, karena Cd dikenal mobilitasnya lebih tinggi dibanding dengan
logam berat lainnya, sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman.
b. Teknologi Pengendalian Residu Pestisida
Peningkatan penggunaan pestisida yang bertujuan untuk
mempertinggi produksi pertanian telah menimbulkan masalah
tersendiri akibat penggunaan yang tidak rasional, terutama di era di
mana aspek kesehatan dan lingkungan menjadi semakin penting.
Teknologi untuk menurunkan kadar residu pestisida telah ditemukan
antara lain dengan pemanfaatan mikroorganisme yang berpotensi

91

mendegradasi pestisida, seperti


Clostridium sp., Pseudomonas
sp., Trichoderma, dan Flavobacterium sp.
Penggunaan bahan amelioran seperti arang aktif, zeolit,
bentonit, serta pencucian dan
pemanasan juga dapat mengurangi residu pestisida.

Penggunaan pestisida yang tidak


rasional bisa mencemari lahan
pertanian

c. Teknologi Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca


Salah satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah emisi
gas rumah kaca (GRK). Sektor pertanian disinyalemen merupakan
salah satu penyebab emisi GRK, setelah sektor kehutanan dan energi.
Sebagai gambaran total emisi GRK pada tahun 1994 mencapai 729 Tg
yang berasal dari sektor energi, industri, pertanian, kehutanan, dan
limbah. Sumbangan emisi GRK terbesar di sektor pertanian adalah
padi sawah. Teknologi untuk menurunkan emisi GRK yang telah
tersedia di Lolingtan Jakenan antara lain dengan mensubtitusi sebagian
urea dengan ammonium sulfat, melaksanakan tanpa olah tanah, dan
mengganti sistem semai dengan sebar benih langsung. Dengan
menerapkan teknologi ini maka tingkat emisi GRK dapat ditekan
sampai 62%.

92

KERJASAMA PENELITIAN

isadari sepenuhnya bahwa apa yang dicapai Puslitbangtanak


selama ini tidak terlepas dari kerjasama dengan mitra, baik
dalam maupun luar negeri yang tidak bisa diabaikan. Kerjasama ini
tidak terbatas pada aspek teknik penelitian saja, tetapi juga
menyangkut aspek pembinaan tenaga penelitian.

Mitra kerjasama dalam negeri


No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

Peranan kaptan pospatan dan kaptan


super super phosphate (KSP).

1996 1998

1.

PT. Istana
Kanematsu
Indonesia

2.

Bagpro
Penyusunan kesesuaian lahan untuk
Penyebaran dan peternakan.
Pengembangan
Peternakan

1996 1998

3.

ARMP-II

Pemantapan analisis zone


agroekologi untuk perencanaan
pengembangan pertanian.

1997 1998

4.

ARMP-II

Penelitian penggunaan lahan dengan


citra satelit.

1997 1998

5.

ARMP-II

Optimalisasi pemanfaatan sumber


daya alam dan dan teknologi untuk
pengembangan sektor pertanian
dalam Pelita VII.

1997 1998

6.

PT. Sasa Inti,


dan lain-lain

Pengujian efektivitas pupuk cair


sipramin.

1998 2001

7.

RUT V BPPT

Status hara mikro Zn tanah serta


hubungannya dengan peningkatan
produktivitas lahan dan kualitas gizi
masyarakat di P. Lombok.

1998

8.

RUT IV BPPT

Penelitian ameliorasi pencemaran


agrokimia pada lahan sawah.

1998

9.

ARMP-II

Pemantapan metodologi dan


penerapan karakterisasi ZAE di
BPTP.

1998 1999

Pemantapan program pelayanan uji


tanah dan analisis tanaman di BPTP.

1998 1999

10. ARMP-II

93

No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

11. ARMP-II

Pemberdayaan program dan


penyempurnaan data SIM di
Puslittanak.

1998 1999

12. ARMP-II

Percepatan dekomposisi jerami dan


penggunaannya untuk meningkatkan
efisiensi pupuk K di lahan sawah
menunjang IP-Padi 300.

1998 1999

13. ARMP-II

Analisis peluang penyimpangan iklim


dan ketersediaan air untuk
menunjang pengembangan dan
perencanaan indeks penanaman padi
300.

1998 1999

14. Kantor Menteri


Negara
Lingkungan
Hidup

Pengkajian baku mutu tanah lahan


pertanian.

1999 2000

15. ARMP-II

Aplikasi dan penyebarluasan analisis


zone agroekologi.

1999 2000

16. ARMP-II

Pembinaan pengembangan uji tanah.

1999 2000

17. ARMP-II

Pembuatan Atlas Sumber Daya


Tanah Pertanian.

2000

18. Dinas
Perkebunan
Kabupaten
Serang

Rancang bangun pertanian di


Gantarawang.

2000

19. Kanwil Deptan


Provinsi Sumsel

Pembuatan Peta Agroindustri


Pangan.

2000

20. Kanwil Deptan


Provinsi Sumsel

Pembuatan Peta Potensi Pangan.

2000

21. Kanwil Deptan


Provinsi Sumsel

Pembuatan Peta Wilayah


Pengembangan Agroindustri
Komoditas Unggulan.

2000

22. PAATP

Pemanfaatan teknologi inderaja dan


SIG untuk monitoring dan deteksi dini
kekeringan lahan pertanian di daerah
sentra produksi padi.

2001

23. RUT, KMNRT

Panen hujan dan aliran permukaan


untuk menanggulangi banjir dan
kekeringan serta mengembangkan
komoditas unggulan

2001 2002

24. KLH

Survei pemilihan lokasi dan


pemanfaatan dampak hujan asam.

2001

94

No.

Mitra

Kegiatan

25. PT. Anugerah


Mustika Ostindo

Manfaat Ostindo dalam peningkatan


produktivitas tanah berwawasan
lingkungan.

26. PAATP

Workshop jaringan agroklimat.

Jangka
waktu
2001 2002

2001

27. Perum Jasa Tirta Penelitian panen hujan dan aliran


II
permukaan.

2001 2004

28. PT. Amsecon


Penelitian tanah dan pemetaan digital
Berlian Sejahtera pada survei investigasi design
pengembangan daerah rawa 1.800
ha di 6 kecamatan, Kabupaten
Merauke.

2001 2002

29. Perum Jasa Tirta Penelitian potensi sumber daya air


II
daerah aliran sungai untuk produksi
air berkelanjutan.

2002

30. PAATP dan PT.


Gunung Madu
Plantations

Teknologi embung untuk


meningkatkan produksi dan
rendemen tebu lahan kering.

2002

31. ARMP-II

Penyusunan Atas Komoditas


Pertanian Unggulan Nasional.

2002

32. ARMP-II

Penyusunan Atlas Zone Agroekologi


Indonesia skala 1:250.000.

2002

33. PT. Petrokimia


Gresik

Pengujian penggunaan pupuk


Phonska.

34. Direktorat PAI

Penelitian dan pengembangan model


pengelolaan sumberdaya air untuk
meningkatkan produktivitas lahan
kering di Kab Cianjur, Jawa Barat.

35. Perum Jasa Tirta Penelitian pengaruh perubahan


II
tutupan lahan terhadap aliran
permukaan, sedimen, dan produksi
air DAS.

2002 2003
2003

2003 - 2004

36. BPPT

Pengembangan sistem informasi


spasial database iklim nasional.

2003

37. BPPT

Validasi model pembangkit data iklim


dan penilaian kesesuaian agroklimat
untuk melengkapi model pewilayahan
komoditas unggulan.

2003

38. BPPT

Pengembangan database hidrologi


berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS)

2003

39. BPPT

Pemodelan dinamik pewilayahan


komoditas unggulan.

2003

95

No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

40. Pemda Karo

Teknologi irigasi tetes untuk


meningkatkan produksi jeruk dalam
rangka mendukung pengembangan
kawasan agropolitan di Kab. Karo.

2003

41. Pemda Tobasa

Teknologi irigasi tetes untuk


meningkatkan produksi bawang
merah dalam rangka mendukung
pengembangan kawasan agropolitan
di Kabupaten Toba Samosir.

2003

42. Pemda Jateng

Penyusunan pengembangan
informasi lahan sawah/decision
support system.

2003

43. Pemda
Tanggamus

Penelitian prediksi sedimen sungai


dan aliran sungai dan aliran
permukaan untuk menurunkan laju
sedimentasi waduk Batu Tegi
Tanggamus.

2003

44. Kimpraswil

Penelitian pengelolaan air dan


pengembangan pertanian
berkelanjutan untuk penanggulangan
banjir dan kekeringan.

2003 2004

45. PT. PG. Rajawali Rekomendasi perbaikan sifat fisik


II
tanah pengelolaan sumberdaya air
untuk meningkatkan produksi dan
rendemen tebu PG.Jati Tujuh.

2003

46. PG. Gunung


Aplikasi dam parit bertingkat untuk
Madu Plantations mendistribusikan air secara spasial
dan temporal di perkebunan tebu PT.
Gunung Madu Plantations.

2003

47. Menristek

Panen hujan dan aliran permukaan


untuk menanggulangi banjir dan
kekeringan serta mengembangkan
komoditas unggulan.

2003

48. Fakultas
Farmasi, UGM

Penelusuran dan identifikasi struktur


senyawa aktif dari Eleocharis dulcis
sebagai atraktan serangga penggerek
batang padi putih.

2004

49. PAATP

Pengelolaan air, lahan, dan


komoditas pertanian mendukung
agribisnis di lahan lebak.

2004

96

No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

50. PAATP-BPPT

Pengkajian potensi bencana


kekeringan, banjir, dan longsor di
kawasan multi DAS Jawa Barat
bagian barat dengan sistem informasi
geografi.

2004

51. PT. Inti Cipta


Biotek Bijana

Pengembangan teknologi pupuk


mikroba penyubur dan pengendali
penyakit tanah untuk keberlanjutan
produktivitas tanah.

2004

52. PT. Pupuk


Kalimantan
Timur

Pengujian efektivitas pupuk majemuk


NPK Pelangi.

2004

53. PT. Rolimex


Kimia Nusamas

Pengujian efektivitas penggunaan


pupuk anorganik terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung.

2004

54. Lembaga Pupuk Pengembangan soil test kit untuk


mendukung penerapan pemupukan
PAATP
berimbang.

2004

55. Pemda
Kabupaten
Merangin

Penyusunan sistim informasi


sumberdaya lahan pertanian,
Kecamatan Jangkat, Kabupaten
Merangin.

2004

56. PUSDATIN,
Deptan

Sistem monitoring lahan sawah


menggunakan teknologi inderaja
berupa penentuan wilayah sawah
rawan kekeringan dan
kebanjiran/genangan.

2004

57. Poor Farmers/


Litbang

Penyusunan Peta Pewilayahan


Komoditas Pertanian berdasarkan
zona agro-ekologi (ZAE) skala
1:50.000.

2004

58. PT. Lautan Luas Pengujian efektiviats pupuk P-alam,


Tbk
TSP, dan MOP Bumi Ijo untuk
tanaman jagung.

2004

59. Dinas Pertanian


Tanaman
Pangan dan
Hortikultura Kab.
Kapuas, Kalteng

2004

Pembuatan Peta Potensi Lahan


Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura di Kecamatan Kapuas
Timur seluas 13.500 ha.

97

No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

60. Dinas Pertanian


Kab. Pacitan

Peningkatan produktivitas lahan


kering melalui pengelolaan air
berbasis DAS di Kab. Pacitan Jatim.

2004

61. Dinas Pertanian


Kab. Ciamis

Optimalisasi penggunaan air untuk


pengembangan kedelai di Kabupaten
Ciamis.

2004

62. Dinas Pertanian Integrasi sistem panen hujan dan


Kab. Kutai Timur aliran permukaan untuk
meningkatkan ketersediaan air
pertanian dan domestik.

2004

63. Balitbuah Solok

Pengembangan teknologi pembuahan


mangga di luar musim di dataran
rendah Lampung.

2004

64. Balai Besar


Diklat Agribisnis
Hortikultura
Lembang

Pengembangan decision support


system hortikultura nasional
berdasarkan potensi sumber daya
lahan.

2004

65. Perum Jasa Tirta Penyusunan decision support system


II
untuk produksi air berkelanjutan di
SWS Citarum.

2004

66. Kimpraswil

Pengembangan teknologi dam parit


untuk penanggulangan banjir dan
kekeringan.

2004 2005

67. BMG

Prediksi curah hujan dengan metode


Filter Kalman dan validasinya pada
berbagai kondisi Iklim.

2004 2005

68. LAPAN

Analisis perubahan tutupan lahan dan


pengaruhnya terhadap neraca air dan
sedimentasi Danau Tempe.

2004 2005

69. Pusdatinderaja
LAPAN

Analisis alih fungsi Lahan dan


keterkaitannya dengan karakteristik
hidrologi DAS Krueng Aceh.

2004 2005

70. PTPN VIII


Cimulang

Pengelolaan air dengan pemanfaatan


dam parit untuk peningkatan
ketersediaan air bagi tanaman kelapa
sawit di PTPN VIII Cimulang.

2004 2005

71. Pusdatinderaja
LAPAN

Pengembangan sistem peringatan


dini kekeringan dan kebanjiran.

2004 2005

72. Ditjenbun

Pemetaan masa tanam,


pendayagunaan sumber air untuk
pengembangan lahan kering.

2004 2005

98

Mitra kerjasama luar negeri


No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

1.

Christmas Island Suitablility of chrismast rock


Rock Phosphate phosphate.
(CIRP)

1995 1999

2.

IMPHOS

The use of reactive phosphate rock


for upland improvement in Indonesia.

1996 1999

3.

Potash and
Phosphate
Institute (PPI)

Soil phosphorus recapitalization and


upland improvement in five provinces
of Indonesia (Sebar Fos).

1997 2000

4.

IWMI

Management of sloping lands for


sustainable agriculture.

1998 2002

5.

The University of Increasing P use efficiency of riceQueensland


cropping systems in Indonesia acid
soils.

1998 2000

6.

IMPHOS

The use of phosphate rocks for acid


sulfate soil.

1998 2001

7.

IBSRAM

Management of acid soil.

1998 2001

8.

ACIAR

Capturing the benefits of seasonal


climatic forecast in agricultural
management.

1998 2000

9.

MSEC

Management of watershed for


producttive and sustainable natural
resources in Indonesia.

1999 10
tahun

10. IMPHOS

Recapitalization of the soil fertility of


acid upland soils in Indonesia with
phosphate rock: a village level
approach.

2000 2004

11. ASEAN-Japan

Evaluation of externality function of


paddy field areas.

2000 2002

12. PT. Kondo


International

Silicate calcium trial test in Indonesia.

2001 2002

13. ICRAF

Refinement of soil conservation/


agroforestry measures for coffee
based farming systems.

2001 2003

14. PT. Kondo


International

Regarding test for Shimarock


influence on rice yield.

2002 2003

99

No.

Mitra

Kegiatan

Jangka
waktu

15. Special
Programe for
Food SecurityFAO

Perbaikan kualitas air dan rancang


bangun irigasi tetes untuk tanaman
sayuran di lahan pasang surut sulfat
masam.

2004

16. MAFF Japan


dan Asean
Secretariat

Indonesian case study: community


perceptions on the multifungtionality
of agriculture.

2004

17. PT. Riau


Andalan Pulp
and Paper Area

Detail soil survey for Eucalyptus


plantation in PT. Riau Andalan Pulp
and Paper area.

2004

18. MSEC, IWMI

Pengelolaan lahan untuk


pengendalian erosi pada skala DAS
mikro.

2004

Selain itu, Puslitbangtanak secara terus-menerus melayani


permintaan magang dari berbagai kalangan seperti sekolah menengah
atas, perguruan tinggi, instansi lingkup Badan Litbang Pertanian dan
lingkup Deptan, serta pihak swasta.

Kegiatan magang siswa SLTA di laboratorium

100

PEMBINAAN JARINGAN PENELITIAN


DAN PENGKAJIAN

etelah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) terbentuk di


setiap provinsi, Puslitbangtanak aktif melakukan pembinaan

dalam bidang pengelolaan sumber daya lahan yang diperlukan oleh


BPTP. Dalam melakukan tugas dan fungsinya di setiap wilayahnya
masing-masing, pembinaan dalam bidang AEZ merupakan materi
yang pertama dilakukan. Pada kegiatan ini, BPTP dibina dan
ditingkatkan kemampuannya dalam penyusunan peta AEZ skala
1:250.000 dan sebagai hasilnya adalah hampir semua BPTP telah
memiliki informasi AEZ di wilayahnya masing-masing. Karena
skalanya lebih kecil dan lebih cocok untuk perencanaan, maka
beberapa BPTP melakukan kegiatan penyusunan AEZ pada skala yang
lebih besar (1:50.000), bekerjasama dengan pemerintah daerah, dengan
tenaga pembinaan dari Puslitbangtanak.

Kegiatan pembinaan jaringan penelitian dan pengkajian dilaksanakan


melalui lokakarya

101

Setelah pembinaan AEZ selesai, maka dilanjutkan dengan


kegiatan

pembinaan

dalam

teknik

menentukan

rekomendasi

pemupukan berdasarkan kebutuhan lokasi. Kegiatan ini dilakukan


selama tiga tahun (1996-1998). Melalui kegiatan ini, beberapa BPTP
bahkan telah bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat untuk
melakukan pemetaan P dan K dengan tujuan rekomendasi pemupukan.
Selain itu, maraknya produk pupuk alternatif yang beredar di
pasaran yang jumlah dan kualitasnya hampir tidak terkendali, maka
banyak keluhan yang datang dari berbagai pihak di daerah. Untuk
mengatasi masalah ini, Puslibangtanak melakukan pembinaan di
beberapa BPTP untuk membantu dalam memantau kualitas pupuk
alternatif yang beredar di daerah.

Peserta lokakarya dalam pembinaan jaringan penelitian dan pengkajian


dari berbagai BPTP

102

KESAN DAN HARAPAN TERHADAP


PUSLITBANGTANAK
Dr. Sumarno, MSc (Direktur Jenderal Bina Produksi
Hortikultura, Deptan)
Sebagian besar masyarakat Indonesia beranggapan, bahwa
bentangan tanah kita sangat luas dan sangat subur, seperti dalam lirik
oleh Kolam Susu dari Koes Plus. Anggapan ini keliru dan sangat
menyesatkan. Hanya tanah di sekitar gunung api atau yang secara
historis merupakan wilayah vulkanis, tanah di sekitar aliran sungai dan
rawa dangkal yang secara alamiah tergolong subur, sedangkan
bentangan tanah luas bekas hutan tropis di Kalimantan Selatan dan
pulau-pulau lain, umumnya kurang atau tidak subur.
Hamparan tanah sebagai lahan usaha pertanian di Indonesia
yang subur relatif sangat sempit guna menghidupi penduduk Indonesia
yang sebentar lagi yakni lima belas tahun yang akan datang akan
mencapai 300 juta orang. Pesan apa yang perlu ditangkap dari
kondisi pertanahan tersebut?
1. Kita perlu melestarikan lahan pertanian subur yang ada untuk
tidak dialihfungsikan bagi penggunaan usaha nonpertanian.
2. Kita perlu memelihara kualitas lahan dengan cara menerapkan
agroekoteknologi, agar lahan pertanian tetap produktif sampai
seribu atau lima ribu tahun yang akan datang.
3. Kita perlu membuka lahan pertanian baru, guna mencukupi
kebutuhan bahan pangan, gula, buah-buahan, dan pakan, serta
bahan pakaian.
4. Kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat petani dan
masyarakat umum akan pentingnya usaha dan tindakan konservasi
lahan dan air dengan menyediakan penyuluh ahli konservasi tanah
dan air.

103

5. Kita perlu menginformasikan kepada pejabat, masyarakat


berpendidikan, pers, dan masyarakat awam, bahwa tanah di
Indonesia yang subur hanya sedikit dan telah habis digunakan,
sehingga sekarang ini Indonesia kekurangan lahan pertanian.
Semoga Puslitbangtanak yang kini berumur satu abad dapat
memberikan informasi dan bahan pembentukan kebijakan yang tepat
tentang lahan pertanian Indonesia seratus tahun ke depan.

Ir. Rudolf W. Matindas, MSc (Kepala Badan Koordinasi


Survei dan Pemetaan Nasional-Bakosurtanal)
Bakosurtanal dengan Puslitbangtanak telah bekerjasama dengan
erat selama lebih dari dua puluh tahun, terutama sejak adanya
kerjasama dalam Program Land Resources Evaluation and Planning
(LREP) Project mulai tahun 1985. Dalam kurun waktu tersebut
banyak pengalaman suka dan duka terutama dalam pemetaan wilayah
yang baru, sulit diakses, dan minimnya data pendukung.
Bersama ini, kami sampaikan kesan kami tentang
Puslitbangtanak dari pandangan Bakosurtanal.
Puslitbangtanak telah berperan penting dalam penyediaan data
sumber daya tanah, untuk mendukung pembangunan nasional.
Puslitbangtanak perlu berperan dalam perencanaan tata ruang,
terutama dalam menentukan lokasi sawah/lahan pertanian Indonesia.
Selama kurun waktu 100 tahun, Puslitbangtanak telah berhasil
mengumpulkan/menghimpun data tanah di berbagai wilayah. Data dan
informasi tanah tersebut perlu disosialisasikan secara luas, baik di
Departemen Pertanian, Lembaga lain maupun kepada masyarakat,
sehingga akan dapat meningkatkan ketergunaan data dan informasi
tanah yang dimilikinya. Sosialisasi yang dilakukan Puslitbangtanak
harus disertai dengan peningkatan kemudahan akses bagi pengguna,

104

karena pada umumnya pengguna masih menilai bahwa data dan


informasi tanah di lembaga ini belum dapat diakses secara optimal.
Di sisi lain, sebenarnya Lembaga ini semakin sulit untuk
memenuhi kebutuhan data tanah secara nasional, karena penyediaan
data tanah pada umumnya masih didasarkan pada kebutuhan
penelitian, bukan merupakan kegiatan Pemetaan Secara Sistematis,
atau belum ada program Pemetaan Tanah Secara Nasional. Kendala ini
salah satu kemungkinannya diakibatkan oleh faktor birokrasi, di mana
Puslitbangtanak termasuk dalam struktur Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Dengan telah berlakunya Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, peran lembaga ini dalam
memproduksi data sumber daya tanah secara nasional akan
menghadapi banyak kendala, terlebih setelah terjadi restrukturisasi, di
mana unit organisasi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
pemetaan tanah berada di Eselon III (Balai Penelitian Tanah).
Sebagai saran, lembaga ini seharusnya diberdayakan menjadi
lembaga yang tidak terbelenggu oleh faktor birokrasi. Akan lebih baik,
apabila Puslitbangtanak menjadi lembaga tersendiri yang lepas, atau
setara, dengan Badan Litbang Pertanian.
Sinergi antara lembaga terkait yang ada akan dapat mempercepat
terwujudnya infrastruktur Data Spasial Nasional dalam rangka
membangun Sistem Informasi Spasial Nasional.

Soeroso Hadiyanto (Kepala Pusat Sistem Data dan Informasi


Klimatologi dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi dan
Geofisika-BMG)
Pertama-tama kami, atas nama pimpinan Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG), mengucapkan selamat atas Hari Jadi
Puslitbangtanak yang ke-100 tahun. Sebagaimana kita ketahui bahwa
seratus tahun merupakan masa yang cukup panjang dalam perjalanan

105

suatu organisasi. Semoga dengan semakin bertambahnya usia,


Puslitbangtanak akan semakin mantap dalam mengemban misinya
sebagai lembaga penelitian berbasis teknologi tinggi, dan semakin
banyak hasil penelitian yang diperoleh yang bermanfaat bagi
pembangunan pertanian di tanah air.
Dalam upaya meningkatkan kinerja lembaga penelitian, kiranya
perlu melibatkan instansi terkait dan masyarakat. Berkaitan dengan
masalah iklim, BMG sebagai lembaga operasional yang bertugas mulai
dari melakukan pengamatan cuaca dan iklim, pengumpulan data,
pengolahan dan analisis, sampai dengan memberikan pelayanan
informasi iklim kepada pemerintah dan masyarakat, tidak dapat
bergerak sendiri, tanpa bermitra dengan lembaga-lembaga penelitian
terkait. Oleh karena itu, kemitraan dan kerjasama yang telah terjalin
selama ini, antara Puslitbangtanak dan BMG, kiranya dapat terus
ditingkatkan. Hasil sinergi ini akan sangat bermanfaat, terutama bagi
masyarakat pertanian, dalam memanfaatkan sumber daya iklim untuk
peningkatan produksi, serta antisipasi terhadap terjadinya iklim
ekstrim, yang dampaknya cukup signifikan terhadap kegiatan
pertanian.
Kami berharap, semoga Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat dapat terus meningkatkan kinerjanya, dan
hasilnya dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan seluruh
masyarakat Indonesia.

Ir. Karso Sasradipoera, SE (Lembaga Pupuk Indonesia)


Pertama-tama kami mengucapkan selamat atas usia satu abad
Puslitbangtanak. Semoga dalam perjalanannya ke depan, dapat
semakin berkembang peranannya dalam upaya mengoptimalkan
pendayagunaan sumber daya lahan nasional untuk pembangunan
pertanian.

106

Lembaga Pupuk Indonesia (LPI) didirikan pada 2 Juni 2002 oleh


Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), yang beranggotakan PT
Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT
Pupuk Petro Kimia Gresik, PT Pupuk Kujang, dan PT Asean Aceh
Fertilizer. Tujuan pembentukan LPI adalah untuk menunjang program
pemerintah, dalam membangun dan mengembangkan sistem dan usaha
agribisnis nasional, melalui kegiatan perpupukan. LPI sangat
menghargai kerjasama yang selama ini dijalin dengan unit kerja
penelitian di bawah lingkup Puslitbangtanak, khususnya Balai
Penelitian Tanah, melalui berbagai kegiatan terutama dalam rangka
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk.
Akhirnya, LPI mengharapkan kerjasama tersebut dapat
berlanjut, dan bahkan ditingkatkan secara lebih luas dalam rangka
menunjang program pemerintah di
bidang ketahanan pangan.
Selamat Ulang Tahun dan Dirgahayu Puslitbangtanak.

Prof. Dr. Tejoyuwono Notohadiprawiro (Fakultas Pertanian,


Universitas Gajah Mada))
Tidak mudah bagi sebuah lembaga, lebih-lebih yang berkinerja
dalam berbagai masalah kesumberdayaan, untuk tetap bertahan hidup
selama seabad. Hal ini hanya mungkin kalau didukung oleh tiga faktor,
yaitu (1) perancangan kinerja matang, serbacakup, dan terarah; (2)
ditangani oleh staf yang mahir, ulet, berdedikasi kuat, dan inovatif; dan
(3) terkait dengan sistem informasi regional dan global.
Sejak pendiriannya seabad yang lalu, lembaga penelitian tanah
ini, yang sekarang mendapat sebutan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat telah menerapkan konsep
komprehensif atas tanah sebagai sumberdaya lahan yang holistik. Ini
merupakan konsep yang sangat modern. Hakikat tanah ditumpukan
pada fakta iklim, topografi, dan geologi. Hal ini terperikan pada sistem
klasifikasi tanah, sehingga tanah tersajikan sebagai kimah (aset)

107

global. Oleh karena tanah dapat dikelola untuk menghasilkan biomassa


berguna dan mendatangkan keselamatan hidup maka tanah tidak hanya
merupakan sumberdaya fisik, melainkan juga merupakan sumberdaya
hayati dan sosial-budaya.
Apabila hakikat tanah seperti tersebut tadi dapat dipelihara dan
dipertahankan, saya yakin Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat akan dapat berdiri dan berfungsi lama secara
berkelanjutan. Pada galibnya tidak ada orang dan makhluk pada
umumnya yang tidak memerlukan tanah.

Dr. Go Ban Hong (Direktur Lembaga Penjelidikan Tanah


1962-1966)
Saya masuk ke Puslitbangtanak yang waktu itu masih bernama
Balai Penjelidikan Tanah pada tanggal 31 Januari 1953, setelah lulus
Sarjana Pertanian, Universitas Indonesia, dengan tujuan ingin
mendapatkan gelar doktor. Sejak itulah, saya memulai karir saya
sebagai peneliti tanah. Kegiatan sehari-hari tentunya meneliti dan
berseminar tentang masalah-masalah tanah. Tanah yang subur semakin
langka, daya produksi pangan semakin mundur, tanah-tanah semakin
terkuras khususnya humus karena irigasi dan pupuk pabrik, sehingga
tanah memadat dan keras pada musim hujan dan becek di musim air
berkelimpahan. Tanaman kahat air di musim kemarau dan kahat udara
segar di musim becek, dan manfaat pupuk pabrik menurun drastis,
masyarakat pertanian dilanda kemiskinan semesta. Kesemua ini,
merupakan masalah yang menjadi perhatian ketika itu.
Sejak bekerja di Balai Penelitian ini, saya sudah menyarankan
jalan keluar melalui berbagai forum seminar dan pertemuan ilmiah,
agar selalu memperhatikan pemberian bahan baku kompos, pupuk
kandang/hijau, masa istirahat tanah diperhatikan, serta mengurangi
kebutuhan air irigasi yang berkelebihan. Saya juga menyarankan
waktu itu, bahwa padi gogo berpotensi lebih tinggi daripadi sawah.

108

Oleh karena itu, dari sejak dulu sampai sekarang, saya selalu berharap
kepada lembaga penelitian agar memperhatikan kondisi tanah kita
yang sekarang banyak sakit, karena terus-menerus terkuras akibat
produksi padi yang selalu digenjot. Selain itu saya selalu
mengkampanyekan, agar tidak terlalu bertumpu pada padi/beras
sebagai sumber enersi. Saya telah membuktikan hal ini, karena saya
termasuk orang yang sangat sedikit makan nasi, sarapan pagi cukup
dengan pisang, tetapi karena pertolongan Tuhan hidup saya masih
segar sampai sekarang.
Harapanku : Demi kelangsungan hidup bangsa dan negara
jadilah pembela tanah yang sejati melalui penelitian.

Dr. Muljadi Djojomartono (Direktur Lembaga Penelitian


Tanah 1967-1983)
Penelitian sumber daya tanah merupakan subsistem vital dalam
sistem penelitian pertanian untuk mendukung pembangunan pertanian
yang maju, efisien, tangguh, dan berwawasan lingkungan. Dalam
perjalanan waktu satu abad (1905-2005), telah banyak pengalaman
yang diperoleh, baik dalam masa pra-Kemerdekaan maupun setelah
Kemerdekaan, khususnya dalam rangka mendukung pengembangan
wilayah pertanian dan peningkatan produksi pertanian di Indonesia. Ini
merupakan pengetahuan dan pengalaman lembaga yang sangat
berharga. Pengalaman tersebut dapat dipergunakan sebagai modal
dasar untuk menghadapi tantangan dan pemecahan masalah yang
dihadapi di masa mendatang yang semakin berat dan semakin
kompleks.
Beberapa hal yang perlu dipikirkan untuk ditangani dalam
kaitannya dengan tugas Puslitbangtanak, adalah : pertambahan jumlah
penduduk yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan,
penyebaran penduduk yang timpang antara Pulau Jawa dan luar Jawa,
luas areal sumber daya lahan pertanian yang relatif tetap, serta

109

persaingan penggunaan lahan yang semakin meningkat. Penggunaan


sumber daya lahan harus dapat diupayakan secara efektif dan efisien,
dalam rangka pengembangan sistem pertanian yang tangguh
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Semoga Puslitbangtanak dapat menjadi lembaga penelitian yang
lebih maju dan tangguh, serta dapat menjadi pusat referensi di bidang
penelitian sumber daya tanah, dalam rangka mendukung pembangunan
pertanian yang tangguh yang berwawasan lingkungan, dan
berwawasan nasional.

Dr. M. Sudjadi (Ka Puslittanah 1984-1989)


Sambil mengikuti kursus di Akademi Penjelidikan Pertanian,
saya mulai bekerja di Balai Penjelidikan Tanah pada tahun 1952.
Pekerjaan saya sehari-hari di laboratorium adalah membantu mencuci
alat-alat gelas, merendam pipet yang sudah dipakai dalam larutan
permanganat, dan pada setiap hari Senin mengecek titar larutan yang
digunakan untuk titrasi serta memeriksa larutan baku yang digunakan
dalam analisis fosfor dan kalium.
Pada waktu itu, analisis contoh tanah sebagian besar berasal dari
pemetaan tanah. Di samping itu juga dilakukan analisis air sungai,
tanaman, dan pupuk. Metode analisis yang digunakan sangat
sederhana. Penetapan fosfor hanya dilakukan dengan kolorimeter dan
penetapan kalium dengan fotometer nyala. Penetapan kalium masih
dilakukan di ruang gelap.
Saya merasa bersyukur karena mendapatkan kesempatan bekerja
di salah satu lembaga penelitian tertua di negara ini. Setelah memasuki
masa pensiun, saya merasa sangat bahagia, karena sambil bekerja saya
mendapatkan empat gelar kesarjanaan dari tempat saya mengabdikan
diri selama 41 tahun.
Harapan saya ke depan, semoga Puslitbangtanak mempunyai
perencanaan yang berkesinambungan disertai dengan pembiayaan.

110

Hanya dengan perencanaan penelitian yang baik dan disertai dengan


pembiayaan yang memadai dapat dilakukan pembinaan penelitipeneliti yang tangguh dan kontribusi hasil penelitian yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.

Dr. Abdurachman Adimihardja (Ka Puslitbangtanak 19982005)


Data dan informasi sumber daya lahan yang akurat dan lengkap
sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan pertanian nasional
menuju sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,
serta mensejahterakan petani. Data dan informasi penting tersebut
dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian di Indonesia, namun yang
paling banyak tentunya dihasilkan oleh Puslitbangtanak. Hal ini
mengingat Puslitbangtanak merupakan instansi tingkat nasional yang
diberi mandat, fasilitas, dan biaya, untuk melaksanakan penelitian
sumber daya pertanian tersebut, serta telah melaksanakan tugasnya
dalam waktu yang panjang, yaitu satu abad.
Data dan informasi yang terkumpul, biasanya langsung
digunakan sesuai tujuannya, misalnya untuk kepentingan pembukaan
daerah transmigrasi, mendukung program penghijauan, rekomendasi
pemupukan, dan sebagainya. Selain itu, banyak data dan informasi
telah dikumpulkan dan dianalisis, kemudian diterbitkan oleh
Puslitbangtanak dalam bentuk atlas dan buku, seperti Atlas Sumber
Daya Tanah Eksplorasi Indonesia, Atlas Arahan Tata Ruang
Pertanian Indonesia, Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian
Unggulan Nasional, Atlas Sumber Daya Iklim, Buku Sumber Daya
Lahan Indonesia, Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering, dan
sebagainya.
Namun demikian, perlu diakui bahwa hasil yang diperoleh
belum lengkap dan detail, karena wilayah Indonesia mencakup daratan
yang sangat luas, mencapai sekitar 190 juta ha, dan tersebar di banyak

111

pulau dengan asesibilitas yang tidak seluruhnya baik. Puslitbangtanak


perlu terus melengkapi berbagai data dan informasi tentang sumber
daya lahan (tanah dan air) seluruh Indonesia, terutama lahan-lahan
yang berpeluang besar untuk didayagunakan untuk pertanian
produktif. Bersamaan dengan itu, perlu dilakukan juga pembenahan
seluruh dokumen yang telah terkumpul, dan kemudian harus dikelola
dengan cermat, dalam suatu sistem database yang mudah diakses oleh
masyarakat luas. Kedua hal tersebut penting sekali, dalam upaya
menjadikan Puslitbangtanak sebagai lembaga penyedia data/informasi
sumber daya lahan dan sumber daya air, baik bagi pengambil
kebijakan dan para petani, maupun pengusaha pertanian dan pihakpihak lain yang terkait dengan pendayagunaan lahan.

112

PENUTUP

ejak 1905, kegiatan penelitian tanah berkembang sesuai dengan

dinamika perkembangan pembangunan pertanian khususnya di


Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pemanfaatan
sumber daya manusia, sarana penelitian, anggaran penelitian, serta
perkembangan kelembagaan penelitian tanah. Banyak data dan
informasi serta teknologi yang telah dihasilkan, dan banyak pula yang
telah dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Sebagai suatu institusi publik
yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, tentunya hal ini
merupakan suatu hal yang membanggakan. Puslitbangtanak
menyadari, bahwa hasil-hasil yang telah dicapai selama ini, tidak
terlepas dari dukungan pemerintah serta kerjasama dengan berbagai
lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dukungan dan kerjasama ini semakin diperlukan di masa yang
akan datang, mengingat tantangan yang dihadapi Puslitbangtanak
semakin kompleks, khususnya dalam tuntutan pemanfaatan sumber
daya lahan untuk pembangunan pertanian.
Uraian yang diberikan dalam buku ini, kiranya dapat
memberikan inspirasi dan semangat untuk memikirkan secara
bersama-sama dalam mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan
sumber daya lahan pada saat ini dan di masa yang akan datang, melalui
kegiatan penelitian.

113

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., Herry H.D., dan Wahyunto. 2000. Penelitian untuk
Pendayagunaan Lahan Secara Optimal. Dalam: Sumber Daya
Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. (L.I. Amin, et al. Eds.)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Alihamsyah T., F.N. Saleh, S. Abdussamad, M. Sarwani, D. Nazemi,
Mukhlis, I. Khairullah, H.D. Noor, H. Sutikno, dan Y. Rina.
2001. 40 Tahun Balittra Perkembangan dan Program
Penelitian ke Depan. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Lahan Rawa. Badan Litbang Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Dua Abad
Penelitian Pertanian Indonesia. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Chin A Tam, S.M. 1993. Bibliography of Soil Science in Indonesia
1890-1963. DLO-Institute for Soil Fertility Research.
Dames, T.W.G. 1955. The Soil of East Central Java: with a Soil Map
1:250.000. Contribution of the General Agricultural Research
Station. Pemberitaan Balai Besar Penjelidikan Pertanian No.
141:1-155. Bogor.
Dudal, R. and H. Jahja. 1957. Soil Survey in Indonesia. Pemberitaan
Balai Besar Penjelidikan Pertanian. Bogor, Indonesia No. 147149.
Go Ban Hong. 1961. Warta Kongres Nasional Ilmu Tanah Pertama.
Sekretariat Kongres Nasional Ilmu Tanah I, Bogor.
Hajatullah, I., S. Mansjur, dan Maksum. 2002. Perjalanan 160 Tahun
Bibliotheca Bogoriensis. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran
Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian.
Lembaga Penelitian Tanah. 1975. Penelitian Kesuburan Tanah Pelita
Pertama. Jilid II. Kumpulan Laporan Penelitian.
Oldeman, L.R. 1975. An Agroclimatic Map of Java. Central Research
Institute for Agriculture. Bogor.
Oldeman, L.R. and Darmijati. 1977. An Agroclimatic Map of
Sulawesi. Central Research Institute for Agriculture. Bogor.
Oldeman, L.R., I. Las, and S.N. Darwis. 1979. An Agroclimatic Map
of Sumatra. Central Research Institute for Agriculture. Bogor.

115

Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. An Agroclimatic Maps of


Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa
Tenggara. Central Research Institute for Agriculture. Bogor.
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. 2004.
Pusat Penelitian Tanah. 1984. Penelitian Pengelolaan Tanah Podsolik.
Laporan Tahunan 1983/1984. Pusat Penelitian Tanah.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on
Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New
Guinee. Kementerian Perhubungan, Jawatan Meteorologi dan
Geofisika, Jakarta.
Sitepu, D., Z. Mahmud, E. Karmawati, D.D. Tarigan, S.H. Isdijoso,
dan Hobir. 1998. 120 Tahun Penelitian Tanaman Industri.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Badan
Litbang Pertanian.
Soil Survey Staff. 1998. Kunci Taksonomi Tanah Edisi Kedua Bahasa
Indonesia, 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor
Went, F.A.F.C. 1967. Botany. 1. General Botany. In Science in the
Netherlands East Indies. Edited by Rutten, L.M.R. Koninklijke
Akademi van Wetenschappen-Amsterdam.
White, J.Th. 1930. Organization, Principles and Execution of the Soil
Mapping of Java and Madura (N.E.I). Elfde Congres Van
Ambtenaren Bij de Landbouwvoorlichting in NederlandschIndie. Gehouden Te Bandoeng op 15, 16, 17 en 18 October
1930.

116

Anda mungkin juga menyukai