Pendahuluan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI USUS
Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe; 1. Ke atas
melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici gastroduodenalis dan
kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2. ke bawah, melalui nodi lymphatici
pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterica
superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici
mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus suprior, yang terletak sekitar
pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus superior. Pembuluh
limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang
perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon transversum
cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici mesentericus superior, sedangkan yang berasal
dari sepertiga distal kolon transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus inferior (Snell, 2004).
Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus) dari pleksus
mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf
simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesentericus superior (Snell, 2004).
Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan
simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis
menghantarkan nyeri, sedangkan serabut - serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai
saraf intrinsik, yang menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang
terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian pada
sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar (Price, 2003). Sekum, appendiks dan
kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari
pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis
nervus vagus dan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus
5
mesentericus superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua
pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari pleksus
saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004). Perangsangan
simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).
2.2 Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahanbahan
nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh
kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di
dalam duodenum terutama oleh kerja enzim enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat,
lemak, dan protein menjadi zat zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret
pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim enzim.
Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga
memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus (sukus
enterikus). Banyak di antara enzim enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencernakan
zat zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat zat
yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik
mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk
absorbsi optimal dan suplai kontinu isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir
pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe
untuk digunakan oleh sel sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan bahan makanan
dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :
a. Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur
makanan dengan enzim enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan
diabsorbsi.
b. Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke arah usus
besar.
6
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2
lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama berperan pada
kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian
mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap
kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1 4 cm. Pada saat satu segmen usus halus
yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi,
demikian seterusnya. Bila usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula.
Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan
mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang
merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi segmentasi
berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum.
Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong makanan menuju ke arah kolon dengan
kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian
distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar
3 sampai 5 cm.
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur oleh adanya
gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi yang disebabkan oleh adanya sel sel pace
maker yang terdapat pada dinding usus halus, dimana aktifitas dari sel sel ini dipengaruhi oleh
sistem saraf dan hormonal.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan refleks peristaltik
yang akan menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan
insulin juga meningkatkan pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon
menghambat pergerakan usus halus.
Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang kadang terhambat selama
beberapa jam sampai seseorang makan lagi. Pada saat tersebut, refleks gastrileal meningkatkan
aktifitas peristaltik dan mendorong makanan melewati katup ileocaecal menuju ke kolon.
Makanan yang menetap untuk beberapa lama pada daerah ileum oleh adanya sfingter ileocaecal
7
berfungsi agar makanan dapat diabsorbsi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk
mencegah makanan kembali dari caecum masuk ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di dalam
caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat
dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila
terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka sfingter ileocaecal akan mengalami
spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga pengosonga ileum sangat terhambat.
2.3.1.2 Etiologi
Obstruksi usus disebabkan oleh:
8
Perlengketan usus atau adhesi, yaitu pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. Adhesi
merupakan penyebab tersering ileus obstruktif, sekitar 50-70% dari semua kasus. Adhesi
bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi
intraabdominal. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari
pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan kongenital juga
Hernia
Oklusi Mesentrial
Volvulus
10
Adhesi
Tumor
Invaginasi
2.3.1.3 Epidemiologi
Setiap tahunnya 1 dari 1.000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus. Di Indonesia
tercatat ada 7.059 kasus ileus paralitik dan 7.024 ileus obstruktif tanpa hernia yang di rawat inap
pada tahun 2004. Gangguan atau obstruksi yang menyeluruh atau tidak menyeluruh juga sering
ditemukan pada neonatus. Obstruksi pada neonatal terjadi pada 1/1.500 kelahiran hidup.
2.3.1.4 Klasifikasi
11
2.3.1.5 Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa
memandang apakah obtruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional.
Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik dimana peristaltik dihambat dari permulaan,
sedangkan pada obstruksi mekanis peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan
akhirnya hilang.
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dana gas (70 %
dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intra lumen, yang menurunkan pengaliran air
dan natrium dari lumen usus ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan disekresi kedalam
saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorbsi dapat mengakibatkan penimbunan intra lumen
12
yang cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber
kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan cairan dan elektrolit adalah
penciutan ruang cairan ekstra sel yang mengakibatkan hemokonsentrasi, hipovolemia,
insufisiensi ginjal, syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan,
asidosis metabolik dan kematian bila tidak dikoreksi.
Peregangan usus yang terus menerus menyebabkan lingkaran setan penurunan absorbsi
cairan dan peningkatan sekresi cairan kedalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia
akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksintoksin/bakteri kedalam rongga peritonium dan sirkulasi sistemik. Pengaruh sistemik dari distensi
yang mencolok adalah elevasi diafragma dengan akibat terbatasnya ventilasi dan berikutnya
timbul atelektasis. Aliran balik vena melalui vena kava inferior juga dapat terganggu. Segera
setelah terjadinya gangguan aliran balik vena yang nyata, usus menjadi sangat terbendung, dan
darah mulai menyusup kedalam lumen usus. Darah yang hilang dapat mencapai kadar yang
cukup berarti bila segmen usus yang terlibat cukup panjang.
Nyeri
Nyeri biasanya tidak nyata seperti pada ileus adinamik, walaupun abdomen mungkin
sensitif (nyeri bila ditekan). Nyeri biasanya menyerupai kejang, datangnya bergelombang
Sering terjadi dini pada obstruksi usus besar tetapi flatus dan feses mungkin dapat
dikeluarkan pada permulaan obstruksi usus halus.
d. Peregangan abdomen
Gejala awal obstruksi usus halus biasanya berupa nyeri abdomen bagian tengah seperti
kram yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan bersifat hilang
timbul. Pasien dapat mengeluarkan darah dan mukus, tetapi bukan materi fekal dan tidak
terdapat flatus. Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltik pada awalnya menjadi sangat
keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kedepan mulut. Apabila obstruksi terjadi
pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Semakin kebawah obstruksi di area gastro intestinal
yang terjadi, semakin jelas adanya distensi abdomen. Jika berlaanjut terus dan tidak diatasi maka
akan
terjadi
syok
hipovolemia
akibat
dehidrasi
dan
kehilangan
volume
plasma.
14
2.3.1.7 Diagnosis
Penemuan ada atau tidaknya obstruksi tinggi yaitu sampai adanya kolik sehingga terlihat
gejala kolik yang khas. Pada strangulasi, terdapat jepitan atau lilitan yang menyebabkan
gangguan peredaran darah sehingga terjadi iskemia, nekrosis, atau gangren. Gangren
menyabakan tanda toksis yang terjadi pada sepsis yaitu takikardia, syok septik dengan
leukositosis.
Pasien dapat mengeluarkan darah dan mukus, tetapi bukan materi fekal dan tidak terdapat
flatus. Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltik pada awalnya menjadi sangat keras dan
akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kedepan mulut. Apabila obstruksi terjadi pada
ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah
pemeriksaan rektumdan pelvis. Ia bisa membangkitkan penemuan massa atau tumor serta
tidakadanya feses di dalam kubah rektum menggambarkan ileus obstruktif usushalus. Jika darah
makroskopik atau feses postif banyak ditemukan di dalamrektum, maka sangat mungkin bahwa
ileus obstruktif didasarkan atas lesiintrinsik di dalam usus (Sabiston, 1995). Apabila isi rektum
menyemprotpenyakit Hirschprung (Anonym, 2007).
15
Foto polos dengan posisi tegak untuk melihat batas udara dan air serta letak obstruksi,
dan juga dengan sinar mendatar untuk melihat distribusi gas. Adanya dilatasi dari
usus disertai gambaran step ladder dan air fluid level pada foto polos abdomen
dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai
tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada
obstruksi kolon. Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran step ladder
dan air fluid level terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak
tampak gas. Jika terjadi stangulasi dannekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa
hilangnya mukosa yang reguler dan adanya gasdalam dinding usus. Udara bebas pada
foto thoraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus. Penggunaan kontras tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis akibat adanya perforasi.
16
Gambaran distribusi udara merata diseluruh perut disertai pelebaran usus yang
disimpulkan sebagai Ileus paralitik.
17
Gambaran sebagian usus halus melebar, tampak air fluid level dan stepladder
appearance.
b. Rontgen dengan enteroklisis.
Menggunakan cairan kontras encer berguna untuk menegakkan diagnosis karena
memberikan gambaran seluruh panjang usus halus.
c. Enteroskopi.
Atau peneropongan usus dapat dilakukan dengan meliwati ligamen Treitz sampai ke
permulaan yeyunum.
d. Sonografi.
Berguna untuk menentukan adanya ruang yang mengandung cairan seoerti kista,
pembuluh, abses, atau cairan bebas di rongga perut (darah atau asites), atau ruang
yang berisi jaringan padat.
e. Pemeriksaan laboratorium.
Pada urinalisa, berat jenis bisa meningkat dan ketonuria yang menunjukan adanya
dehidrasi berat dan asidosis metabolik. Leukosist normal atau sedikit meningkat, jika
sudah tinggi kemungkinan terjadi peritonitis. Pada tahap awal, ditemukan hasil
laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering
didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya
terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi
nonstrangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu
dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu,
18
dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda tanda shock, dehidrasi dan ketosis.
2.3.1.9 Tatalaksana
Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis
dan syok bila ada, serta menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi
usus kembali normal.
1. Obstruksi Usus Halus
Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermamfaat dalam
mayoritas kasus obstruksi usus halus.Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka
strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan, sebelum pembedahan, terapi
intra vena diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium, klorida
dan kalium).
Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung penyebab obstruksi.
Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia dan perlengketan. Tindakan
pembedahannya adalah herniotomi.
2. Obstruksi Usus Besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan untuk
membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi, pembukaan secara bedah yang dibuat
pasa sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko buruk terhadap pembedahan dan
sangat memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah
reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara dan
permanen mungkin diperlukan.
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan
cairan,menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis
dan syok bilaada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan
fungsi usus kembali normal.
Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda - tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbanganektrolit sehingga perlu diberikan cairan
19
muntah.
Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsissekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian
disusul dengan teknik bedah yangdisesuaikan dengan hasil eksplorasi selama
laparotomi. Berikut ini beberapa kondisi ataupertimbangan untuk dilakukan
operasi
2.3.1.10
Komplikasi
a. Peritonitis septikemia
b. Syok hipovolemia
c. Perforasi usus
2.3.2.2 Etiologi
Ileus paralitik atau adynamic ileus merupakan kelumpuhan motilitas usus dan dapat
disebabkan oleh beberapa kondisi:
a. Sepsis
b. Obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus, misalnya opioid, antikolinergik.
c. Metabolik, misalnya hiponatremia
d. Infark miokard
e. Trauma abdomen
f. Tindakan pembedahan perut (laparotomy)
g. Pneumonia
h. Inflamasi intraabdomen dan peritonitis
i. Hematoma retroperitoneal
2.3.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem saraf
simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal, sehingga
menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh system parasimpatis.
Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara, yaitu:
1. Pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos.
2. Pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari norepineprin pada neuronneuron sistem saraf enterik. Perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat
menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.
2.3.2.4 Manifestasi Klinis
Ileus paralitik ditandai oleh tidak adanya gerakan usus yang disebabkan oleh
penghambatan neuromuscular dengan aktivitas simpatik yang berlebihan. Sangat umum, setelah
pembedahan, usus halus biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti
lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam).
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention) tanpa
disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal, anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin
ada, mungkin pula tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan
bising usus yang lemah bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya
menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri
tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang
ditemukan adalah gambaran peritonitis.
2.3.2.5 Diagnosis
21
Anamnesa
Pada anamnesa ileus paralitik sering ditemukan keluhan distensi dari usus berupa rasa
mual dan dapat disertai muntah. Pasien kadang juga mengeluhkan tidak bisa BAB ataupun flatus,
rasa tidak nyaman diperut tanpa disertai nyeri.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor
kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut
abdomen, hernia dan massa abdomen. Pada pasien yang kurus tidak terlihat gerakan
peristaltik.
2. Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan,
yang mencakup defance muscular involunter atau rebound dan pembengkakan atau
massa yang abnormal untuk mengetahui penyebab ileus.
3. Perkusi
Hipertimpani.
4. Auskultasi
Bisisng usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent abdomen) dan borborigmi
2.3.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk
dilakukan yaitu leukosit darah, ureum, glukosa darah.
Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dilakukan Foto Polos Abdomen (BNO) 3 posisi yaitu AP
(anteroposterior), duduk atau setengah duduk dan LLD (Left Lateral Decubitus).
Gambaran radiologis ileus paralitik tampak:
1. Terdapat dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum.
2. Penebalan dinding usus halus yang dilatasi memberikan gambaran herring bone
appearance (gambaran seperti tulang ikan), karena dua dinding usus halus yang menebal
22
dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai
koste dan gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak di tepi abdomen.
3. Tampak gambaran air fluid level yang segaris (line up), sejajar dan panjang-panjang di
kolon.
4. Seluruh rongga usus terisi udara sampai ke rektosigmoid.
5. Preperitonel fat menjadi tipis atau kadang menghilang.
Gambar 1. Pada ileus paralitik terdapat dilatasi usus secara menyeluruh dari gaster sampai
rectum. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran herring
bone appearance (tanda panah hitam).
23
Gambar 2. Seluruh rongga usus terisi udara dari lambung sampai rektum
Gambar 3. Foto LLD menampilkan beberapa tingkat udara-cairan (panah putih), sesuai dengan
ileus paralitik. Tingkat udara-cairan lambung yang normal ditandai dengan bintang.
24
Gambar 4. Dilatasi usus besar memberikan gambaran herring bone dan dilatasi usus kecil
memberikan gambaran coil spring.
Gambar 5. Ileus paralitik post appendectomy hari kedua tampak seluruh rongga usus terisi udara
dari lambung sampai rectum, dilatasi usus kecil
25
Kriteria
Distribusi Usus
Ileus Obstruktif
Ileus Paralitik
Udara lebih banyak pada Distribusi gas mencakup dari
proksimal obstruksi daripada lambung sampai seluruh usus
Dilatasi Usus
Air Fluid Level
Gambaran Lengkungan
Usus
distal
Dilatasi lebik proksimal dari Dilatasi
umum
seluruh
obstruksi
abdomen
Banyak gambaran air fluid Sedikit gambaran air fluid
level
level
Step Ladder Pattern (seperti Herring
gambaran
susunan
Bone
Appearance
tangga)
Preperitoneal Fat
(+)
(-)
2.3.2.7 Penatalaksanaan
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa
dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa dan penyakit primer
serta pemberian nutrisi yang adekuat.
Konservatif
a. Penderita dirawat di Rumah Sakit.
b. Penderita dipuasakan.
c. Kontrol status airway, breathing and circulation.
d. Dekompresi dengan nasogastric tube.
e. Intravenous fluids and electrolyte.
f. Dipasang kateter urun untuk menghitung balance cairan.
Farmakologis
a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
b. Analgesic apabila nyeri.
c. Prokinetik: Metaklopromide, Cisapride.
d. Parasimpatis stimulasi: Bethanecol, Neostigmin.
e. Simpatis blokade: Alpha 2 adrenergik antagonis.
Operatif
a. Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis.
b. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis
sekunder atau rupture usus.
c. Operasi diawali dengan laparatomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparatomi.
2.3.2.8 PROGNOSIS
Prognosis dari ileus paralitik bervariasi tergantung penyebab ileus itu sendiri. Prognosis
memburuk pada kasus-kasus dimana terjadi kematian jaringan usus, operasi menjadi perlu untuk
26
menghapus jaringan nekrotik. Bila penyebab primer dari ileus cepat tertangani maka prognosis
menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D.
Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed., pp.
1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th, 2011,
Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New York
27
28