JFT Vol.1, No.1, Januari 2013
JFT Vol.1, No.1, Januari 2013
Penanggung Jawab
Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D.
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya
semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.
E-jurnal Fisika dan Terapannya ini merupakan media publikasi bagi sivitas di
lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain
itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.
Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program
studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan
lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,
fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang
biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)
yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.
Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.
Drs. S i s w a n t o, M.Si.
DAFTAR ISI
Fina Nurul Aini
Samian
Moh. Yasin
Dessy Mayasari
Siswanto
Dyah Hikmawati
23
Ersti Ulfa A.
Retna Apsari
Yhosep Gita Y.Y.
35
Sefria Anggarani
Samian
AdriSupardi
48
58
Guruh Hariyanto
Welina Ratnayanti K.
Franky Chandra S.A.
65
Kurniastuti
Y. G. Y. Yhuwana
S. Soelistiono
R. Apsari
76
89
Nurul Istiqomah
Djony Izak R .
Sri Sumarsih
104
Email : noo2.donutz@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakukan deteksi kadar glukosa dalam air destilasi berbasis prinsip sensor
pergeseran menggunakan fiber coupler dan cermin datar. Penelitian ini dilakukan dengan
memanfaatkan larutan glukosa sebagai medium rambatan cahaya antara fiber coupler dan
cermin. Mekanisme kerja deteksi kadar glukosa dalam air destilasi adalah perubahan slope
secara linier terhadap perubahan konsentrasi larutan glukosa pada rentang tertentu. Deteksi
dilakukan dengan variasi konsentrasi larutan glukosa 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% dalam
pelarut air destilasi. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain laser He-Ne
panjang gelombang 632,5 nm sebagai sumber cahaya, detektor silikon SL-818, fiber coupler dan
cermin datar. Hasil pendeteksian menunjukkan bahwa nilai slope pergeseran pada rentang
2300-3000 m meningkat secara linier terhadap peningkatan konsentrasi larutan glukosa dengan
resolusi pendeteksian 3,5 %.
Kata kunci : fiber optic, fiber coupler probe dan larutan glukosa.
PENDAHULUAN
Serat optik merupakan pandu gelombang cahaya (light wave guide) dari bahan
transparan. Perkembangan serat optik yang pesat menyebabkan aplikasi serat optik saat
ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai media transmisi cahaya namun juga sebagai
sensor. Keunggulan serat optik sebagai sensor dibandingkan sensor lainnya antara lain
adalah tidak kontak langsung dengan obyek pengukuran, tidak menggunakan listrik
sebagai isyarat, akurasi pengukuran tinggi, relatif kebal terhadap induksi listrik maupun
magnetik, dapat dimonitor dari jarak jauh, dapat dihubungkan dengan sistem komunikasi
data melalui perangkat antar muka (interface) serta lebih kecil dan ringan (Krohn, 2000).
Berbagai sensor serat optik telah banyak dikembangkan untuk mendeteksi antara
lain pergeseran (Samian, dkk, 2009), ketinggian zat cair (Samian, dkk, 2011), vibrasi (S.
Binu, 2007) serta parameter fisis lainnya. Sensor pergeseran menggunakan fiber coupler
telah dikembangkan untuk aplikasi yang lebih luas, antara lain untuk mengukur koefisien
muai termal logam (Sholikan, 2009) dan sensor temperatur (Samian, dkk, 2010).
Glukosa merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Namun penggunaan glukosa
secara berlebihan pun akan memberikan dampak negatif bagi tubuh, seperti kebutaan,
gagal ginjal, kerusakan saraf periferal serta diabetes. Oleh karena itu, pengontrolan
penggunaan glukosa sangat penting dilakukan terutama bagi penderita diabetes.
Pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi menggunakan serat optik berbasis
sensor pergeseran telah dikembangkan oleh Yasin, dkk, 2010 dengan menggunakan
probe bundel. Analisis hasil didasarkan tegangan puncak serta pergeseran posisi puncak
grafik hubungan antara tegangan luaran detektor terhadap pergeseran cermin datar
akibat perubahan konsentrasi larutan glukosa sebagai medium.
Pada makalah ini akan disajikan pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi
berbasis sensor pergeseran serat optik menggunakan fiber coupler. Perubahan indeks
bias larutan seiring dengan perubahan konsentrasinya diharapkan dapat menyajikan
parameter sensor pergeseran yang berbeda untuk masing-masing konsentrasi larutan
glukosa.
METODE PENELITIAN
Perangkat penelitian terdiri dari laser He-Ne (Thorlabs, 632,5 nm, 5 mW),
fiber coupler 22 (50:50), detektor optik 818-SL (Newport), chopper dan chopper
controler (SR540, Stanford Research System, Inc.), Lock-in amplifier (SR510 Stanford
Research System, Inc.), cermin panjang gelombang cahaya tampak (5101-Vis, New
Focus), mikrometer posisi (Newport), PC, serta perangkat pendukung lain.
Langkah selanjutnya adalah melakukan deteksi kadar glukosa dalam air destilasi dengan
membuat set- up seperti pada Gambar 2.
Gambar 3. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi pergeseran fiber coupler
dengan target cermin datar.
Karakterisasi fiber coupler dilakukan untuk mengetahui karakteristik pergeseran
kanal sensing fiber coupler terhadap cermin datar. Daerah linier yang menunjukkan
daerah kerja sensor pergeseran diberikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik daerah linier karakterisasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran.
Namun jika medium antara serat optik dan cermin diganti dengan larutan glukosa,
maka nilai NA akan dipengaruhi pula oleh indeks bias larutan glukosa yang digunakan
(n).
Semakin tinggi konsentrasi larutan glukosa yang digunakan, semakin tinggi pula
indeks biasnya. Sehingga, nilai NA akan semakin kecil. Nilai NA yang semakin kecil
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013
memberikan berkas laser yang tertangkap kembali oleh serat optik semakin banyak
sehingga tegangan luaran detektor semakin tinggi pula.
Karena tegangan luaran detektor berubah terhadap perubahan konsentrasi larutan
glukosa, maka slope grafik pada Gambar 5. akan berubah pula. Nilai slope grafik pada
Gambar 5. pada rentang pergeseran 2300-3000 m sebagai fungsi konsentrasi larutan
glukosa disajikan pada Gambar 6. Selain itu, diperoleh pula resolusi pendeteksian kadar
glukosa dalam air destilasi menggunakan fiber coupler sebesar 3,5%.
KESIMPULAN
Sensor pergeseran fiber coupler dapat digunakan untuk melakukan
pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi dengan resolusi pendeteksian 3,5
%. Nilai slope pergeseran merupakan fungsi konsentrasi larutan glukosa. Semakin
tinggi konsentrasi larutan glukosa, nilai slope pada rentang 2300-3000 m akan
semakin tinggi pula.
DAFTAR PUSTAKA
Binu, S., V. P. Mahadevan Pillai, V. Pradeepkumar, B. B. Padhy, C. S. Joseph, N.
Chandrasekaran, 2009, Fibre Optic Glucose Sensor, Materials Science and
Engineering C.
Binu, S. V.P. Mahadevan Pillai, N. Chandrasekaran, 2007, Fiber Optik Displacement
Sensor for Measurement Amplitude and Frequency of Vibration, Optic & Laser
Technology, Vol. 39, 1537 1543.
Crisp, John dan Elliot, Barry, 2008, Serat Optik: Sebuah Pengantar, Erlangga, Jakarta.
Fraden, Jacob, 2004, Handbook of modern sensors : physics, designs, and applications,
Sringer- Verlag Inc., New York.
Guenther, Robert D., 1990, Modern Optics, John Wiley and Sons, USA.
Krohn , DA, 2000, Fiber Optik Sensor, Fundamental and Application, Third Edition,
ISA, USA.
Pramono, Yono Hadi, Ali Yunus Rohedi dan Samian, 2008, Aplikasi Directional Coupler
Serat Optik sebagai Sensor Pergeseran, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 4,
No. 2.
Rahman, H. A., S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad, 2011, Non-Contact Refractive Index
Measurement Based on Fiber Optic Beam- Through Technique, Optoelectronics
and Advanced Materials Rapid Communications, Vol. 5, No. 10, page: 1035 1038.
Rahman, H. A., S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad, 2012, Fiber Optic Salinity Sensor
Using Beam- Through Technique, Optik.
Samian, Gatut Yudoyono, 2010, Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor
Temperatur, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 6, No. 1.
Samian dan Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multimode Fiber
Coupler, Fisika dan Aplikasinya, Vol. 7, No.2, hal. 110203-1 - 110203-4.
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi dan A. H. Zaidan,
2009, Theoretical and Experimental Study of Fiber- Optic Displacement
Sensor Using Multimode Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics and
Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3 (page: 303-308).
Sholikhan, Muhammad, 2009, Pemanfaatan Directional Coupler Serat Optik dalam
Penentuan Koefisien Ekspansi Termal Logam Aluminium, Skripsi S-1,
Universitas Airlangga, Surabaya.
Yasin M., Harun S. W., Yang H. Z. dan Ahmad H., 2010, Fiber Optic Displacement
Sensor for Measurement of Glucose Concentration in Distilled Water,
Optoelectronics and Advanced Materials Rapid Communications, Vol. 4, No. 8
(page: 1063-1065).
Yasin M., S. W. Harun, Pujiyanto, Z. A. Ghani, and H. Ahmad, 2010, Performance
Comparison between Plastic-Based Fiber Bundle and Multimode Fused Coupler
as Probes in Displacement Sensors, Laser Physics, Vol. 20, No. 10 (page: 18901893).
Email : riesca.wardhani@gmail.com
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian sintesis dan karakterisasi bioselulosa-kitosan dengan
penambahan gliserol sebagai plasticizer. Penambahan gliserol sebagai plasticizer berfungsi untuk
memperlemah kekakuan supaya bioselulosa kitosan terhindar dari keretakan dan bersifat lebih
fleksibel. Sukrosa yang ditambahkan merupakan sumber glukosa, sedangkan urea yang
ditambahkan merupakan sumber karbon. Penambahan kitosan berfungsi untuk memperaktif dari
kinerja bioselulosa serta memperbaiki struktur permukaan. Hasil uji sifat mekanik (Tensile
strength dan Elongation at break) pada bioselulosa-kitosan yang berbahan dasar bioselulosa dan
kitosan dengan variasi penambahan gliserol 1 ml 4 ml menunjukkan bahwa bioselulosakitosan-gliserol memiliki karakteristik yang memenuhi standar sifat mekanik kulit manusia.
Bioselulosa-kitosan-gliserol terbaik ditunjukkan dengan penambahan komposisi gliserol sebesar
2 ml yang memiliki nilai ketebalan sebesar 126,6
6,7 m, kuat tarik sebesar 27,62 11 MPa, elongasi sebesar 37,08 0,99 %, struktur
permukaannya yang rata, tidak terdapat gelembung, bersifat non toksik serta memiliki nilai
ketahanan terhadap air sebesar 55,3 0,6 %. Penelitian tersebut menunjukkan penambahan
komposisi gliserol yang paling efektif adalah 2 ml gliserol dalam 100 ml media nira siwalan.
PENDAHULUAN
Setiap
makhluk
hidup
tubuh terhadap infeksi penyakit luka, apabila terdapat luka salah satu metode untuk
mengobatinya dapat ditutupi atau dirawat dengan menggunakan penutup luka yang telah
dilapisi dengan bahan antimikroba. Penutup luka yang baik adalah kulit dari pasien
tersebut yang bersifat permeabel terhadap uap dan melindungi jaringan tubuh bagian
dalam terhadap cedera mekanis dan infeksi. Bioselulosa merupakan polimer alam yang
bersifat sama seperti hidrogel yang tidak dijumpai pada selulosa alam. Sifat hidrogel dari
bioselulosa memberikan daya serap yang lebih baik dan memberikan karakteristik yang
mirip seperti kulit manusia. Kemiripan sifat dengan kulit manusia dari bioselulosa
penggunaannya dimanfaatkan
serta
terus
dikembangkan
digunakan sebagai pengganti kulit sementara untuk merawat luka bakar serius
(Ciechanska,D,2004). Pemanfaatan lainnya juga digunakan untuk menutup luka yang baik
untuk pasien yang cedera mekanis maupun akibat infeksi. Pembentukan bioselulosa
adalah dari hasil perubahan monosakarida pada media fermentasi menjadi bioselulosa
oleh Acetobacter-xylinum dengan menggunakan media nira kelapa atau nira siwalan
(Bergenia, 1982).
Dalam aplikasinya untuk keperluan medis penggunaan bioselulosa hanya dalam
waktu sementara, disebabkan kekuatan serta sifat bioaktif yang masih rendah. Untuk
memperbaiki serta meningkatkan sifat bioaktif dari bioselulosa perlu dilakukan perlakuan
dengan menggabungkan bersama polisakarida aktif seperti kitosan, yang mana kitosan
sendiri memiliki kegunaan yang cukup luas dalam medis (Goosen,M.F.A, 1997). Serat
kitosan digunakan sebagai benang jahit dalam pembedahan yang dapat diserap oleh
tubuh manusia, sebagai perban penutup luka dan sebagai carrier obat-obatan. Kitosan juga
mempengaruhi proses pembekuan darah sehingga dapat digunakan sebagai haemostatik.
Kitosan juga bersifat dapat didegradasi secara biologis, tidak beracun, nonimmunogenik
dan cocok secara biologis dengan jaringan
tubuh
hewan
(Phillips,and
Williams,2000).
Untuk menghasilkan kualitas material bioselulosa kitosan yang baik tidak terlepas
dari penggunaan zat pemlastis yang ditambahkan. Zat pemlastis adalah bahan organik
yang ditambahkan ke dalam material bioselulosa kitosan dengan maksud
untuk
dengan kedua bahan tersebut dapat menghasilkan suatu material yang lunak, ulet dan
fleksibel.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang akan dilakukan adalah membuat
material bioselulosa kitosan dengan bahan dasar bioselulosa dan kitosan dengan
plasticizer gliserol. Bioselulosa dalam penelitian ini dapat dihasilkan dalam medium
nira siwalan dengan penambahan sukrosa menggunakan Acetobacter Xylinum dengan
penambahan urea. Kitosan yang digunakan berasal dari kepiting karena prosentase
kitinnya yang tinggi daripada
organisme
yang
lain.
digunakan adalah gliserol karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya
mudah diperoleh, dapat diperbaharui, ramah lingkungan karena mudah terdegradasi
dalam alam dan juga pada konsentrasi 25% gliserol bekerja sebagai antiseptik. Sedangkan
aplikasi sebagai material bioselulosa-kitosan-gliserol sangat ditentukan oleh karakterisasi
yang meliputi ketebalan, kekuatan tarik (Tensile strength dan Elongation at break),
struktur permukaan, spektroskopi IR dan ketahanan terhadap air.
METODE PENELITIAN
Tahap Isolasi Kitin dari Cangkang Kepiting
a. Tahap Deproteinasi
Cangkang kepiting yang sudah dihaluskan
dimasukkan ke dalam gelas beker dengan ditambahkan natrium hidroksida 3,5% dengan
perbandingan 1:10 (w/v). Proses deproteinasi dilakukan selama 2 jam pada suhu 75 oC
dengan pengadukan magnetik stirer. Kulit udang dicuci dengan menggunakan aquades
hingga pH air cucian netral. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC
sampai kering. Dalam proses ini didapatkan crude kitin.
b. Tahap Demineralisasi
Crude kitin dimasukkan ke dalam gelas beker kemudian ditambahkan larutan
HCl 2N dengan perbandingan antara crude kitin dengan larutan HCl 1:15% (w/v). Pada
proses ini dilakukan dengan pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 30 menit
pada suhu kamar. Setelah itu crude kitin dicuci dengan aquades hingga pH air cucia netral,
kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC sampai kering. Dalam proses
ini akan menghasilkan kitin.
10
Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan kitin ke dalam gelas beker,
kemudian ditambahkan larutan NaOH 60% dengan perbandingan kitin dan larutan NaOH
1 : 10 (w/v). Campuran direbus dengan suhu 110C selama 2 jam dengan pengadukan
dengan magnetik stirer. Setelah itu menyaring campuran, kemudian mencucinya dengan
aquades hingga didapatkan pH air cucian netral. Langkah selanjutnya adalah dengan
mengeringkan di dalam oven dengan pada suhu 80C sampai kering, sehingga diperoleh
kitosan. Kitosan yang diperoleh, kemudian ditimbang dan dicatat.
Pembuatan Bioselulosa
Sebanyak 100
ml
air
nira siwalan
dalam gelas beaker yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, ditambah 10 gram
gula pasir dan 0,5 gram urea, selanjutnya diaduk hingga larut. Campuran diasamkan
dengan penambahan CH3COOH 25% hingga pH = 4 dan ditambahkan 3 gram kitosan
diaduk hingga larut kemudian ditambahkan 1 ml gliserol 25 % diaduk sambil dipanaskan
hingga mendidih selama 15 menit. Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas ke
dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan ditutup. Dibiarkan hingga suhu kamar,
lalu ditambahkan 20 ml media starter Acetobacter xylium. Difermentasi selama 8-14 hari
pada suhu kamar sambil dilakukan pengamatan pembentukan pelikel, selanjutnya lapisan
yang terbentuk
dicuci
dengan
aquades
Pembuatan Kitosan
Dalam penelitian ini
kepiting didapatkan 19,6393 gram kitosan. Untuk mengetahui bahwa produk yang
dihasilkan dari proses deasetilasi kitin tersebut adalah kitosan, maka dilakukan Uji
Spektrokopi IR. Hasil IR diperoleh dalam bentuk spektrum yang
menggambarkan
besarnya nilai % transmitan dan bilangan gelombang untuk kitosan, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. di bawah ini.
11
pada
gugus
karboksil
amida pada daerah 1653,48 cm-1. Selain itu juga terdapat puncak pita serapan gugus
hidroksil
menggunakan
IR
ditentukan
OH.
Dari hasil penelitian berdasarkan analisis spektra IR dengan menggunakan metoda
base-line, maka didapatkan nilai perhitungan untuk derajar deasetilasi
dari
kitosan
dari cangkang sebesar 82,272%. Standar nilai untuk derajat deasetilasi kitosan adalah
DD>70%. Derajat deasetilasi menentukan banyaknya gugus asetil yang telah dihilangkan
selama proses transformasi dari kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi,
maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina yang
menggantikan gugus asetil, dimana gugus amina lebih reaktif bila dibandingkan dengan
gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur
kitosan.
b. Pembuatan Bioselulosa
Selama fermentasi, kitosan yang ditambahkan ke dalam media akan membentuk
bioselulosa- kitosan dimana terjadi interaksi antara bioselulosa dengan kitosan. Gugus
NH2 dari kitosan melalui ikatan hidrogen dan dipol-dipol berinteraksi dengan gugus
OH pada molekul bioselulosa-kitosan. Pada proses pembuatan bioselulosa-kitosan
12
dilakukan variasi komposisi 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml gliserol 25%. Selama fermentasi,
penambahan gliserol ini juga mengakibatkan terjadi interaksi antara gliserol dengan
bioselulosa-kitosan melalui ikatan hidrogen dan ikatan dipol-dipol. Interaksi ini secara
hipotesis digambarkan pada gambar di bawah ini.
Ketebalan
Gliserol (ml)
Bioselulosa-Kitosan
Gliserol ( m)
127,7 5,4
126,6 6,7
127,2 5,8
121,3 1,3
13
(Setiawan,
2011).
Gliserol memiliki sifat hidrofilik yaitu mampu mengikat air, sehingga kandungan air
dalam bahan meningkat dan kadar air yang dihasilkan menjadi tinggi. Menurut Dewi
(2009) nilai kadar air yang tinggi disebabkan oleh kepekatan medium fermentasi yang
ada sehingga pembentukan selulosa oleh bakteri terjadi secara lambat yang pada
akhirnya menghasilkan nata dengan susunan selulosa yang lebih longgar karena banyak
air yang terperangkap di dalamnya.
Berdasarkan penelitian ini ketebalan bioselulosa-kitosan gliserol menurun seiring
dengan peningkatan penambahan komposisi gliserol. Pengukuran ketebalan bioselulosakitosan gliserol dapat digunakan sebagai indikator keseragaman dan kontrol kualitas
bioselulosa-kitosan gliserol yaitu yang mempunyai ketebalan yang tipis tetapi tidak
mudah sobek.
14
Komposis
i gliserol
1
(ml) 2
3
4
(Mpa)
(%)
31,05 12
27,62 11
30,94 12
29,92 12
34,58 0,98
37,08 0,99
35,25 0,96
35,80 0,97
molekul
pemlastis
berdifusi
kedalam rantai
15
polimer. Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer (antara
polimer bioselulosa dan kitosan) dan mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat
meningkatkan plastisasi sampai batas kompatibilitas (sifat yang menguntungan ketika
terjadi pencampuran polimer) rantai. Plastisasi adalah proses penambahan suatu zat cair
atau padat agar meningkatkan sifat plastisitas suatu bahan, sedangkan zat yang
ditambahkan disebut plasticizer atau pemlastis. Jika jumlah pemlastis melebihi batas ini,
maka akan terjadi plastisasi berlebihan sehingga plastisasi tidak efisien lagi (Kurnia,
2010). Penambahan plasticizer gliserol lebih dari 2 ml menunjukkan hasil elongasi
cenderung menurun. Hal ini terjadi karena penambahan gliserol telah melewati batas
sehingga molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase tersendiri di luar fase
bioselulosa dan kitosan. Keadaan tersebut menyebabkan penurunan gaya
antar
rantai
menurun.
intermolekul
gliserol yang paling efektif untuk meningkatkan elongasi adalah tidak lebih dari 2 ml.
Pada penambahan gliserol 2 ml terlihat bahwa nilai kuat tariknya sebesar 27,62
MPa lebih kecil dibandingkan dengan penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4 ml. Hal
ini disebabkan karena pada penambahan gliserol 2 ml sampel berada
pada batas
kompatibilitas. Selain itu hal tersebut terjadi karena sifat gliserol sebagai plasticizer
adalah menurunkan kekakuan supaya lebih fleksibel sehingga kekuatan bioselulosakitosan gliserol juga menurun.
16
17
kerutan-kerutan,
padahal
bioselulosa dan kitosan. Hal ini terjadi karena penambahan gliserol telah melewati
batas sehingga molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase tersendiri di luar fase
pati dan kitosan sehingga mengakibatkan gliserol pada bioselulosa-kitosan gliserol
semakin terlihat kurang merata.
Hasil Uji Spektroskopi Bioselulosa-Kitosan- Gliserol
18
hal
terdapat
gugus
fungsi
untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk akibat dari pencampuran antara
bioselulosa-kitosan dengan gliserol. Namun jika dilihat dari panjang gelombang yang
Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013
19
terbaca belum ada gugus fungsi baru yang terbentuk. Hal tersebut berarti bioselulosakitosan gliserol yang dihasilkan merupakan proses blending secara fisika karena tidak
ditemukannya gugus fungsi baru sehingga film memiliki sifat seperti komponenkomponen penyusunnya.
Hasil
Uji
Ketahanan
Terhadap
Air Bioselulosa-Kitosan-Gliserol
Massa
Massa
Penyerapan
gliserol
awal
akhir
(ml)
21
3
(gram)
0,0438
0,0427
0,0437
(gram)
0,0680
0,0654
0,0720
(%)
53,2 0,6
55,3 0,6
64,8 0,6
70,7 0,8
0,0348
0,0594
Gambar 11. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap % air yang diserap
bioselulosa-kitosan-gliserol
Dari data gambar di atas dapat dilihat bahwa semakin banyak penambahan
komposisi gliserol semakin besar penyerapan yang terjadi.
20
matriks
bioselulosa-kitosan
gliserol menyebabkan
air
terikat,
film
jadi
mudah
mengembang dan banyak menyerap air sehingga penyerapan air pada bioselulosa-kitosan
gliserol akan cenderung tinggi. Hal ini sesuai sifat yang dapat bekerja efisien dan
kompatibel. Hal tersebut didukung dengan hasil uji morfologi yang menunjukkan bahwa
semakin banyak penambahan gliserol pada komposisi lebih dari 2 ml maka semakin
banyak gliserol yang tidak merata berada di atas bioselulosa dan kitosan karena tidak
berada diantara bioselulosa dan kitosan sehingga memudahkan bioselulosa-kitosan
gliserol untuk menyerap air.
KESIMPULAN
Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan pembahasan yang telah
dilakukan dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Penambahan gliserol mempengaruhi karakteritik sifat mekanik dan sifat fisis
bioselulosa-kitosan- gliserol, dimana struktur penampangnya semakin halus,
tipis, dan fleksibel. Selain itu penambahan gliserol membuat kekuatan
bioselulosa-kitosan-gliserol cenderung menurun, elongasinya cenderung naik
dan ketahanan terhadap air semakin menurun.
2. Komposit
bioselulosa-kitosan-gliserol
satu keperluan pengobatan dalam bidang medis karena memenuhi standar sifat
mekanik tertentu. Karakteristik bioselulosa-kitosan-gliserol yang terbaik
diberikan pada penambahan gliserol 2 ml, dimana nilai ketebalannya
adalah 126,6 6,7 m, kuat tarik sebesar 28 11 MPa, elongasinya
sebesar 37,08 0,99 %,
permukaannya halus, rata, tidak adanya kerutan dan tidak terdapat gelembung.
DAFTAR PUSTAKA
Annaidh, A.N, et al, 2011, Characterization of The
Anisotropic Mechanichal Properties of Excised Human Skin, Journal of The
Mechanical Behavior of Biomedical Materials, University College Dublind,
Ireland: Elsevier Science Ltd.
Arviyanti, E., & Yulimartani, N., 2008, Pengaruh Penambahan Air Limbah Tapioka
Pada Proses Pembuatan Nata, Program Studi Teknik Kimia FT, UNDIP,
Semarang.
21
Bergenia H.A., 1982, Reserve osmosis of coconut water through cellulose acetat
membrane, Proceedings
of
the
second
Technology.
Ciechanska,
D.,
2004,
Multifunctional
Materials for Medical Application, Fiber & Textiles in Eastern Europe volume
12 No.4(48):p. 69- 72, Institute of Chemical Fiber, Poland.
Dewi, Saraswati, 2009, Pengaruh Jenis Gula
dan Milko Ditinjau dari Serat Kasar, Rendemen dan Kadar air, Skripsi, Program
Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, UNIBRAW, Malang.
Goosen, M.FA, 1997, application of Chitin and Chitosan,Technology Publishing Co.
Inc, Lancaster.
Kurnia, W.A., 2010, Sintesis dan Karakterisasi Edible Film Komposit dari Bahan Dasar
Kitosan, Pati dan Asam Laurat, Skripsi, Program Studi Fisika Fakultas Sains
dan Teknologi, UNAIR, Surabaya.
Phillips, G.O. and Williams, P.A., 2000, Handbook of Hydrocolloid, Woodhead
Publishing Limited, Cambridge.
Setiawan,
Agus,
2011,
Sintesis
Pemanfaatannya Dalam
dan
Bidang
Karakterisasi
Medis,
Bioselulosa-Kitosan
Skripsi,
Serta
22
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang variasi waktu milling terhadap semen gigi seng fosfat
dan nanopartikel ZnO, dengan variasi waktu milling 0, 5, 10, 15 dan 25 menit. Semua sampel diuji
dengan menggunakan XRD (X-ray Diffraction), kekerasan (Vickers) dan kekuatan tekan
(Autograph). Hasil uji XRD menunjukkan fraksi volume hopiete ( Zn3(PO4) + 4H2O) meningkat
seiring bertambahnya waktu milling 25 menit dan fraksi volume ZnO menurun seiring
bertambahnya waktu milling dengan nilai terendah sebesar 43,54% pada waktu milling 25 menit.
Hal ini terjadi karena nano ZnO bereaksi dengan semen seng fosfat membentuk hopiete. Hasil uji
kekerasan didapatkan nilai tertinggi sebesar 148,0 Mpa dan nilai tertinggi uji kekuatan tekan
sebesar 401,8 Mpa meningkat seiring bertambahnya waktu milling 25 menit. Hal ini menunjukkan
pertambahan kandungan hopiete meningkatkan nilai kekerasan dan kekuatan tekan. Nilai ini cukup
baik sebagai bahan penambal gigi, karena kekuatan tekan enamel gigi sekitar 250 550 Mpa.
Kata kunci : waktu milling , semen seng fosfat, nanopartikel Zinc oxide
23
PENDAHULUAN
Semen gigi merupakan bahan penambal gigi pada mahkota gigi yang hilang.
Bahan tersebut berisi partikel dari keramik berbahan dasar seng oksida dan magnesium
oksida. Bubuk semen gigi dicampur dengan cairan yang berisi asam fosfat dan air. Semen
gigi yang digunakan sebagai bahan tambal mempunyai kekuatan yang rendah
dibandingkan resin komposit dan amalgam, tetapi dapat digunakan untuk daerah yang
mendapat sedikit tekanan. Terlepas dari kekuatannya yang rendah, semen ini memiliki
sifat khusus yang diinginkan yaitu sebagai alas penahan panas dibawah tambalan logam
serta pelindung saraf dan pembuluh darah pada ruang pulpa sehingga digunakan pada
hampir 60% restorasi. (Anusavice, 2003).
Semen gigi yang digunakan pada penelitian ini adalah semen seng fosfat (zinc
phosphate cement) yang merupakan bahan semen tertua sehingga mempunyai catatan
terpanjang dan tolok ukur bagi sistem-sistem yang baru (Anusavice, 2003). Seng fosfat
memiliki sifat daya larut yang relatif rendah di dalam air dan keasamanan semen yang
cukup tinggi, sehingga diperlukan tambahan partikel yang dalam penelitian ini berupa
nanopartikel ZnO. Penambahan nanopartikel ZnO memungkinkan terbentuknya hopeite
Zn3(PO4)2+4H2O yang lebih banyak sehingga sifat mekaniknya meningkat dan
menambah kekuatan semen sesuai dengan teori Holepack, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kekuatan tekan yang lebih baik. Nilai kekuatan tekan yang diperoleh dari
penelitian tersebut 9,917 MPa, ini jauh dari penelitian yang telah ada (Erick, 2011). Oleh
karena itu diperlukan proses pencampuran dengan menggunakan HEM, sehingga
diharapkan memiliki nilai yang sama. HEM membantu homogenisasi karena ukuran
partikel yang semakin kecil dengan waktu pencampuran dan perubahan suhu yang
diakibatkan tumbukan antar partikel.
Ukuran partikel dari semen seng fosfat maupun ZnO yang dibuat berukuran kecil
(nano) akan mempermudah proses pencampuran. Kedua partikel tersebut jika
dicampurkan akan menghasilkan campuran yang lebih keras dan memiliki daya tekan
yang lebih besar. Semakin kecil ukuran suatu partikel maka semakin cepat proses
pencampuran. Hasil sintesis dikarakterisasi dengan melakukan uji XRD (X-Ray
Diffraction) untuk mengetahui fasa yang terbentuk, uji kekerasan dan uji kekuatan tekan.
24
METODE PENELITIAN
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipette, cetakan sampel dari
teflon, kaca, stainless steel spatula, neraca analitik, Vickers Hardness, Compressive
Strength, High Energy Milling dan X-ray Diffraction.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Semen seng fosfat
dalam bentuk serbuk, Nanopartikel Zinc Oxide serbuk (ZnO powder) dan Cairan semen
seng fosfat.
Cara Kerja
Persiapan bahan yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah
menyediakan serbuk semen seng fosfat murni dan cairan semen seng fosfat serta zinc
oxide serbuk yang berukuran nano.
Komposisi bahan yang dipilih berupa semen seng fosfat dan nano ZnO dalam
bentuk serbuk dengan perbandingan kadar semen seng fosfat (8,5) dan nano ZnO (1,5)
serta cairan semen seng fosfat (Erick, 2011). Sebelum di beri cairan seng fosfat, terlebih
dahulu semen seng fosfat di campur dengan ZnO yang berukuran nano dengan berat total
kedua sampel 15 gram. Perbandingan kedua sampel tersebut sebesar 85% semen seng
fosfat dan 15% ZnO yang akan menghasilkan nilai massa masing-masing sampel sebesar
12,75 gram semen seng fosfat dan 2,25 gram ZnO. Selanjutnya dilakukan pencampuran
dengan menggunakan HEM dengan variasi waktu milling 0, 5, 10, 15 dan 25 menit.
Hasil dari pencampuran semen seng fosfat dan nano ZnO, akan dicampur dengan
cairan semen seng fosfat beberapa mililiter dan diaduk secara merata dengan
menggunakan spatula semen yang diletakkan di atas kaca slab. Setelah adonan tercampur
secara merata (homogen) lalu diletakkan ke dalam cetakan dan di cetak sehingga
terbentuk pellet dengan spesifikasi cetakan terbuat dari bahan teflon yang memiliki
panjang 6 cm, lebar 4 cm, tebal 5 mm dan diameter 0,8 cm. Sampel yang telah di buat
kemudian dilakukan uji kekerasan dan kekuatan tekan serta karakterisasi XRD.
25
Gambar 1 (a) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 0 menit
Gambar 1 (b) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 5 menit
Gambar 1 (c) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 10 menit
Gambar 1 (d) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 15 menit
26
Gambar 1 (e) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 25 menit
Hasil search match dapat di identifikasi fasa puncak XRD yang digunakan untuk
menghitung nilai fraksi volume sehingga dapat diketahui presentase fasa dari masingmasing fasa yang ada. Hasil perhitungan ditampilkan pada Tabel 1 dan digambarkan
dengan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Tabel 1. Fraksi Volume
Waktu Milling
Sampel
(Menit)
Fraksi Volume
Hopiete
ZnO
(Zn3(PO4)24H2O)
A
28,78 %
67,83 %
44,72 %
55,27 %
10
47,14 %
51,96 %
15
53,64 %
46,35 %
25
56,45 %
43,54 %
27
60
40
20
0
ZnO
A (0
B (5
C (10 D (15 E (25
Menit) Menit) Menit) Menit) Menit)
Lama Waktu Milling
Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan nilai fraksi volume antara ZnO dan
Zn3(PO4)24H2O (hopiete). Nilai fraksi volume yang dihasilkan untuk Zn3(PO4)24H2O
(hopiete) terjadi peningkatan seiring dengan lamanya waktu milling, sedangkan pada ZnO
semakin lama waktu milling nilai fraksi volume yang dihasilkan semakin menurun.
28
Sampel
Waktu
Test
Dwell
D1
D2
HVN
Milling
Load
Time
(mikro)
(mikro)
(MPa)
(Menit)
(kgf)
(detik)
1.
204
10
92,00
89,98
44,76
2.
201
10
56,70
59,31
108,5
3.
10
202
10
63,52
54,91
104,6
4.
15
203
10
59,27
55,32
112,3
5.
25
200
10
46,34
52,75
148,0
HVN (MPa)
Kekerasan
(MPa)
0
A ( 0 Bmenit
( 5Cmenit
( )10Dmenit
()15E menit
( 25
) menit
)
)
Lama Waktu Milling
Tampak hasil uji kekerasan diperoleh nilai yang ditunjukkan pada Gambar 4,
yang nilai dari hasil uji kekerasan yang dinyatakan dalam satuan MPa (Megapascal).
Sampel A merupakan sampel semen gigi seng fosfat tanpa proses milling, nilai kekerasan
sebesar 44,76 MPa. Sampel B sampai dengan Sampel E merupakan sampel semen gigi
seng fosfat dengan proses milling masing-masing 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 25
menit. Besarnya kekerasan sampel B, C, D dan E masing-masing adalah sebesar 108,54
MPa, 104,67 MPa, 112,35 MPa dan 148,03 MPa. Berdasarkan nilai kekerasan dari
masing-masing sampel menunjukkan peningkatan nilai kekerasan seiring dengan lamanya
waktu milling yang dilakukan, sedangkan pada sampel C nilai kekerasan yang dihasilkan
mengalami penurunan, hal ini terjadi karena ukuran pellet yang dihasilkan berubah pada
saat pengambilan dari cetakan, sehingga mempengaruhi kekerasan bahan semen gigi.
29
Waktu Milling
F(N)
Luas Permukaan
Kuat Tekan
(m2)
(MPa)
(Menit)
1.
2.
3.
10
5390
16856
10976
42,98 x 10-6
125,407
47,75 x 10
-6
353,005
45,34 x 10
-6
242,082
-6
364,074
401,831
4.
15
17836
48,99 x 10
5.
25
20188
50,24 x 10-6
Kekuatan Tekan
A ( 0Bmenit
( 5C menit
( 10
D) (menit
15
E) (menit
25) menit
) ) (MPa)
Lama Waktu Milling
Gambar 5. menunjukkan nilai hasil uji kekuatan tekan yang dinyatakan dalam
satuan MPa (Megapascal). Sampel A merupakan sampel semen gigi seng fosfat tanpa
proses milling, nilai kekuatan tekan sebesar 125,407 MPa. Sampel B sampai dengan
Sampel E merupakan sampel semen gigi seng fosfat dengan proses milling masingmasing 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 25 menit. Besarnya kekuatan tekan Sampel B, C,
D dan E masing-masing adalah sebesar 353,005 MPa, 242,082 MPa, 364,074 MPa dan
401,831 MPa. Berdasarkan nilai kekuatan tekan dari masing-masing sampel
menunjukkan peningkatan kekuatan tekan seiring dengan lama waktu milling yang
dilakukan, sedangkan pada sampel C nilai kekuatan tekan yang dihasilkan mengalami
penurunan, hal ini terjadi karena ukuran pellet yang dihasilkan berubah pada saat
pengambilan dari cetakan, sehingga mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen gigi.
Nilai hasil kekuatan tekan yang diperoleh dengan proses milling menunjukkan
bahwa lama waktu milling mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen gigi, sehingga
membantu proses homogenisasi dari campuran semen seng fosfat dan nano ZnO.
Selain sampel dengan massa 0,6 gram dan 8 tetes cairan seng fosfat, dilakukan
pula pengujian sampel dengan massa dan jumlah tetes yang berbeda. Tabel 4.
30
menunjukkan nilai hasil uji kekuatan tekan tanpa proses milling dengan variasi massa
semen seng fosfat dengan nano ZnO dan cairan semen seng fosfat. Nilai kekuatan tekan
semakin meningkat seiring dengan penambahan massa semen seng fosfat dengan nano
ZnO dari 0,5 gram menjadi 0,6 gram dan penambahan jumlah cairan seng fosfat yang
diberikan sama banyaknya, Penambahan massa meningkatkan nilai kekuatan tekan dari
66,322 MPa dan 107,285 MPa. Sedangkan untuk massa 0,5 gram dan 0,7 gram dengan
penambahan jumlah cairan seng fosfat yang diberikan dari 8 tetes menjadi 12 tetes
meningkatkan nilai kekuatan tekan dari 66,322 MPa menjadi 403,782 MPa.
Nilai hasil kekuatan tekan yang diperoleh tanpa proses milling dengan variasi
massa dan cairan semen seng fosfat menunjukkan bahwa selain massa, cairan semen seng
fosfat mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen gigi, semakin banyak cairan seng
fosfat semakin besar nilai kekuatan tekan yang dihasilkan, sehingga membantu proses
homogenisasi dari campuran semen seng fosfat dan nano ZnO.
1.
Sampel
F (N)
Jumlah
Jumlah
Gram
Tetes
0,5
3332
Luas
Kuat
Permukaan
Tekan
(m2)
(MPa)
50,24 x 10-
66,322
2.
0,6
5390
3.
0,7
12
20286
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah campuran semen seng
fosfat, nano ZnO dan cairan seng fosfat dengan perbandingan 85% semen seng
fosfat dan 15% nano ZnO dari massa total 15 gram, sehingga didapatkan nilai
massa masing-masing bahan sebesar 12,75 gram semen seng fosfat dan 2,25 gram
nano ZnO. Sebelum dicampur dan dicetak, dilakukan proses milling pada semen
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
31
seng fosfat dan nano ZnO dengan variasi waktu 0, 5, 10, 15 dan 25 menit.
Kemudian kedua bahan campuran tersebut masing-masing diambil 0,6 gram
dengan penambahan 8 tetes cairan seng fosfat, setelah itu bahan dicampur dengan
menggunakan pengaduk hingga bahan tercampur rata, pada saat proses
pencampuran menggunakan pengaduk, waktu yang diperlukan masing-masing
sampel berbeda, semakin lama waktu milling yang diberikan, maka semakin cepat
kedua campuran mengeras. Hal ini dikarenakan proses milling mempengaruhi
sifat homogen campuran bahan tersebut. Setelah bahan tercampur rata, kemudian
bahan dicetak dan dibentuk sehingga membentuk pellet dengan diameter 8 mm
dengan spesimen waktu 12 menit setiap sampel.
Pellet yang sudah jadi, kemudian dilakukan beberapa pengujian untuk
mengetahui nilai fraksi volume hopiete pada uji XRD, kekerasan dan kekuatan
tekan. Hasil Uji XRD yang dilakukan, digunakan untuk mengidentifikasi fasa-fasa
yang terkandung dalam campuran, dari uji tersebut ditemukan nilai kandungan
hopiete dan ZnO, kemudian dilakukan perhitungan fraksi volume untuk
mendapatkan persentase nilai kedua campuran tersebut. Dari perhitungan fraksi
volume didapatkan persentase nilai tertinggi untuk hopiete sebesar 56,45% pada
variasi waktu milling 25 menit dan persentase nilai terendah sebesar 28,78% pada
variasi waktu milling 0 menit (tanpa proses milling), sedangkan pada nano ZnO
persentase nilai tertinggi sebesar 67,83% pada variasi waktu milling 0 menit
(tanpa proses milling) dan persentase nilai terendah sebesar 43,54% pada variasi
waktu milling 25 menit.
Hasil uji kekerasan menunjukkan nilai kekerasan yang cenderung
meningkat dengan bertambahnya waktu milling. Nilai tertinggi yang didapatkan
pada uji kekerasan sebesar 148,03 MPa dengan waktu milling 25 menit,
sedangkan nilai terendah yang didapatkan sebesar 44,76 MPa dengan waktu
milling 0 menit (tanpa proses milling). Hal ini dikarenakan proses milling
mempengaruhi sifat homogen campuran bahan.
Hasil uji kekuatan tekan menunjukkan nilai kekuatan tekan yang
cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu milling. Nilai tertinggi yang
didapatkan pada uji kekuatan tekan sebesar 401,831 MPa dengan waktu milling
25 menit, sedangkan nilai terendah yang didapatkan sebesar 125,407 MPa dengan
32
waktu milling 0 menit (tanpa proses milling), sedangkan nilai lapisan email
(enamel) sekitar 250-550 MPa. Hal ini dikarenakan proses milling mempengaruhi
sifat homogen campuran bahan.
Hasil dari beberapa pengujian tersebut dapat dilihat bahwa proses milling
mempengaruhi nilai kekerasan, kekuatan tekan dan fraksi volume pada uji XRD.
Nilai yang diperoleh menyatakan bahwa semakin lama waktu milling, maka nilai
yang dihasilkan semakin besar. Hal ini dikarenakan pada saat proses milling,
kedua campuran bahan tersebut tercampur secara merata (homogen).
KESIMPULAN
Dari serangkaian penelitian dan analisis tentang pemberian nanopartikel
ZnO ke dalam semen gigi seng fosfat (zinc phosphate cement) tanpa dan dengan
variasi waktu milling diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Hasil Uji XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan fraksi volume hopiete
meningkat seiring dengan bertambahnya waktu milling, dengan nilai tertinggi
dicapai pada waktu milling yaitu sebesar 25 menit dengan nilai yang dihasilkan
sebesar 56,45 %, diikuti dengan menurunnya
dengan nilai terendah dicapai pada waktu milling 25 menit sebesar 43,54 %. Hal
ini terjadi karena nano ZnO bereaksi dengan semen seng fosfat membentuk
hopiete.
Nilai kekerasan dan kekuatan tekan dari semen gigi seng fosfat (zinc
phosphate cement) meningkat seiring dengan lamanya waktu milling 25 menit
dengan nilai uji kekerasan tertinggi sebesar 148,03 MPa dan nilai uji kekuatan
tekan tertinggi sebesar 401,831 MPa. Hal ini menunjukkan pertambahan
kandungan hopiete meningkatkan nilai kekerasan dan kekuatan tekan.
DAFTAR PUSTAKA
Afif,K.M., 2011, Pengaruh Penambahan Nanopartikel Seng Oksida Terhadap Struktur
Kristal Semen Seng Fosfat, Skripsi Fsaintek UNAIR, Surabaya
Anusavice,J.K., 2003, Philips : Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, alih bahasa :
Johan Arif Budiman dan Susi Purwoko, E.GC, Jakarta
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
33
Combe,E.C,, 1992, Sari Dental Material, alih bahasa : drg. Slamet Terigan, MS, PhD,
Balai Pustaka, Jakarta
Greenwood, Norman N. And A. Earnshaw., 1997, Chemistry of the Elements 2nd Edition.
Oxford : Butterworth - Heinemann
Hera, 2009, Konsep Laju Reaksi
Noort,R.V., 1994, Introduction to Dental Material, Mosley, London
Nikisami, 2011, Sintesis Nanopartikel dengan High Energy Milling
Park C.K., Silsbee M.R., Roy D.M., 1998, Setting Reaction and Resultant Structure of
Zinc Phosphate Cement in Various Orthophosphoric Acid Cement-Forming
Liquids. Cement and Concrete Research 28 (1): 141-150. doi: 10.1016/S00088846(97)00223-8
Rohman.N.T., 2009, HKI Media/Vol.IV/No.3. Tangerang : PUSPIPTEK, Serpong,
Tangerang
Servais.G.E. And L.Cartz., 1971, Structure of Zinc Phosphate Dental Cement. Wisconsin
: College of Engineering, Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, USA
Van Vlack.L.H., 1985, Ilmu dan Teknologi Bahan ( Ilmu Logam dan Bukan Logam )
Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga
Widodo,R.W.E., 2011, Pengaruh Pemberian Nanopartikel ZnO Terhadap Mikrostruktur
Semen Gigi Seng Fosfat, Skripsi Fsaintek UNAIR, Surabaya
34
Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga,
Email : erstiatma@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mendeteksi koefisien muai termal composite nanofiller
menggunakan metode interferometer Michelson real time. Penelitian ini menggunakan sumber
laser He-Ne dengan panjang gelombang 632,8 nm, alat bantu rangkaian sensor suhu,
mikrokontroler AT Mega 8535, program Delphi dan bahan yang digunakan adalah composite
nanofiller Filtek Z350. Bahan composite nanofiller yang telah ditipiskan diletakkan pada salah
satu lengan interferometer Michelson kemudian dipanasi mengunakan solder pada suhu 30 oC60oC. Sensor suhu LM 35 diletakkan pada bahan composite nanofiller untuk mengetahui suhu
pada bahan akibat pemanasan. Output sensor suhu LM 35 yang berupa analog harus diubah
menjadi digital menggunakan ADC mikrokontroler AT Mega 8535. Mikrokontroler AT Mega
8535 juga berfungsi untuk komunikasi serial agar suhu bahan dapat ditampilkan ke Laptop pada
software Delphi. Software pada Delphi memiliki 4 fungsi yaitu merekam frinji pada saat suhu 300
sampai dengan 600 C dengan menggunakan webcam, menampilkan suhu, menghitung jumlah
cacahan frinji yang berdenyut, dan untuk menghitung koefisien muai termal suatu bahan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kinerja sensor suhu adalah 99,6% dan kinerja software sebesar
98,17%. Waktu tunda (delay) yang dihasilkan sistem adalah (1,10,1) detik. Koefisien muai termal
bahan composite nanofiller sebesar (704)x10-6 /oC.Delay yang dihasilkan lebih kecil 38.9 %
dibanding literatur, sedangkan nilai koefisien muai termal memiliki beda 31,1% dibanding
literatur.
Kata kunci : interferometer Michelson, real time, Koefisien muai termal
35
PENDAHULUAN
Survey kesehatan yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa
angka kerusakan gigi di Indonesia tinggi. Kerusakan gigi yang sering adalah gigi
berlubang. Upaya untuk meminimalisir gigi berlubang adalah dengan menambal gigi.
Cara ini termasuk paling banyak digemari karena efektif mengurangi rasa sakit akibat
gigi berlubang. Oleh karena itu penting untuk mengetahui jenis material tambal gigi yang
cocok. Teknik fabrikasi material tambal gigi baru terus dikembangkan. Untuk pemilihan
bahan tambal gigi ada beberapa sifat yang harus dipertimbangkan, antara lain
biokompatibilitas, sifat fisik kimia, karakteristik penanganan, estetika, dan ekonomis
(Philips, 2003).
Material tambal gigi memiliki ketahanan tertentu terhadap berbagai perlakuan
salah satunya dengan termal. Gigi biasanya digunakan untuk makan atau minum yang
panas. Penyakit yang ditimbulkan terkait panas adalah infeksi syaraf gigi karena adanya
pemuaian pada material gigi. Pemuaian ini menyebabkan terlepasnya ikatan antar atom
antara material dengan gigi .Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui koefisien
muai termal bahan.
Mahalnya pengukuran koefisien muai termal menggunakan DTA mendorong
perlunya dilakukan penelitian untuk mencari metode alternatif. Salah satu metode
alternatif diantaranya menggunakan metode optik dengan interferometer Michelson.
Dengan keunggulannya yaitu ketelitian tinggi, bersifat non invasif, menggunakan sumber
non destructive sehingga minim efek samping, dan dapat diamati secara visual (Apsari,
2007). Berdasarkan penelitian Wolff et. al (1993) menyatakan bahwa interferometer
Michelson telah banyak dan berhasil digunakan dalam pengukuran koefisien muai termal
dari silica, material composite, dan keramik.
Penelitian School dan Liby (2009) menggunakan interferometer Michelson untuk
mengukur koefisien muai termal tembaga. Metode interferometri juga dapat digunakan
untuk mengukur koefisien muai termal bahan tipis kristal ZnSe (Hua Shu et. all, 2009).
Penelitian juga dilakukan oleh Ariyanti (2008) yaitu menggunakan interferometer
Michelson real time untuk mendeteksi deformasi gigi akibat suhu, dengan kelemahan
penelitian ini adalah terdapat delay (waktu tunda) sebesar
) detik dan
36
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan seperangkat interferometer Michelson, Laser
He-Ne, Laptop, Webcam, rangkaian sensor suhu LM 35 dan mikrokontroler AT
Mega 8535. Bahan tambal gigi yang digunakan dalam penelitian adalah composite
nanofiller Filtek Z350 dari 3M ESPE. Keseluruhan alat dan bahan penelitian
disajikan pada Gambar 1.
37
38
Keterangan:
A
: Sensor suhu LM 35
: Power Supply
B
A
D
C
39
Keterangan:
A
40
41
Keterangan:
z
= cacahan frnji
= pergeseran
= panjang gelombang
sehingga,
Laser He-Ne yang digunakan memiliki panjang gelombang 632,8 nm, sedangkan
berdasarkan rumus (4) diperoleh nilai panjang gelombang laser He-Ne adalah 621,2 nm.
Hasil pengukuran panjang gelombang memiliki beda 1,83%, sehingga kinerja software
adalah sebesar 98,17%.
Tahap kalibrasi untuk hardware dan software selesai dilakukan kemudian
digabungkan ke dalam satu sistem menjadi interferometer Michelson real time. Sistem
perlu diuji untuk mengetahui kinerja sensor dan waktu tunda (delay) sistem. Kinerja
sensor disajikan pada Gambar 8.
42
Delphi. Diperoleh nilai delay sebesar (1,10,1) detik. Delay yang dihasilkan sistem lebih
baik 38,9% dibandingkan penelitian Ariyanti (2008) yang memiliki delay sebesar
(1,80,7) detik. Penurunan delay dikarenakan dalam penelitian digunakan sensor suhu
LM 35 dan mikrokontroler AT Mega 8535.
Tahap selanjutnya adalah pengambilan data, Sistem yang telah diuji dapat
digunakan untuk menghitung koefisein muai termal. Set Up interferferometer Michelson
real time disajikan pada Gambar 9.
Dalam penelitian diperoleh data jumlah cacahan denyut frinji pada suhu
30oC-60oC. Data dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk menghitung koefisien muai
termal maka dibuat grafik seperti pada Gambar 10.
Tabel 1. Data interferometer Michelson real time
No T (Rentang suhu)
n (Jumlah denyut
frinji)
30
35
40
45
50
55
60
43
Dapat dituliskan,
Sehingga,
.................................................(8)
44
mengetahui hasil perbandingan koefisien muai termal yang tepat perlu dilakukan
pengujian TMA (Thermomechanical Analysis).
KESIMPULAN
Sistem interferometer Michelson real time dapat dioptimalkan dengan
menggunakan sensor suhu LM 35, rangkaian penguat non inverting mengunakan
LM 358 dan minimum sistem AT Mega 8535 menggunakan fitur ADC dan
komunikasi serial dengan penterjemah frinji adalah menggunakan deteksi gerak.
Sistem interferometer Michelson real time dapat digunakan untuk deteksi
koefisien muai termal dengan hasil yang diperoleh adalah (70 4)x10 -6 /oC.
Kinerja rangkaian sensor suhu sebesar 99,6%, kinerja software adalah 98,17% dan
delay sistem adalah (1,10,1) detik. Koefisien muai termal yang dihasilkan
memiliki beda sebesar 31,1% dibandingkan penelitian Park et,al (2011) dan delay
penelitian lebih baik 38,9% dari penelitian Ariyanti (2008).
DAFTAR PUSTAKA
Andi W, 2009, Panduan Praktis Delphi 2009, Wahana Komputer:Jakarta
Apsari, R. 1998, Penentuan Koefisien Difusi Larutan Dengan Teknik Interferometer
Holografi. Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998.
Apsari, R. 2007, Pengembangan Interferometer Berbasis Electronic Speckle Pattern
Interferometry (ESPI) untuk analisis deformasi suhu pada gigi secara
Invitro. Materi Kualifikasi Program Doktor Program Pasca Sarjana
UNAIR, 2007. Surabaya.
45
Firdausy K, Hana M,K, 2010, Purwarupa Sistem Deteksi Objek Waktu Nyata Berbasis
Layanan Pesan Singkat, Indonesian Journal of Electrical Engineering
volume (1693-6930).
Firdausy, K, Daryono, Anton Y, 2008, Webcam Untuk Sistem Pemantauan Menggunakan
Metode Deteksi Gerakan, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi
2008 (SNATI 2008).
Gerdolle, D.A, Eric M, Dominique D, 2008, Microleakage and Polymerization Shrinkage
of Various Polymer Restorative Materials. Journal of dentistry,vol 75 (12533).
Guenther R.D. 1990, Modern Optics. United State,Canada.
Heryanto, 2008, Pemrograman Bahasa C untuk Mikrokontroler AT Mega 8535.
Andi:Yogyakarta.
Hestiningsih, I ,2008 .Pengolahan citra digital, Gava Media:Yogyakarta.
Hua Shu C, Shari Feth, S,L Lehoczky, 2009, Thermal Expansion Coefficient Crystal
Between 17 o-1080o by interferometry. vol 63.
Iswanto, 2008, Antarmuka Port Paralel dan Port Serial, Gava media:Yogyakarta.
Jenkins and White, 1965, Fundamentals of Optics, McGraw Hill, United State of
America.
Kamal,Z,2008, Microleakage In Class Ii Composite Restorations Bonded With Different
Adhesive System Thesis Universiti Sains Malaysia
Kawuryan U, 2010, Hubungan Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi Dan
Mulut Dengan Kejadian Karies Gigi Anak. Skripsi ilmu keperawatan
Universitas muhammadiyah,Surakarta.
Kishen, Murukeshan, Krishnakumar, Asundi, 2001, Analysis On The Nature Of
Thermally Induced Deformation In Human Dentine By Electronic Speckle
Pattern Interferometry (ESPI), journal of dentistry 29. Biomedical
Engineering Research Center,
Nanyang Technological
University,
Singapore.
Kurniawan D, 2011, Mahir Pemrograman Webcam dengan Delphi, eBook, Bandung.
Marquis,DM, Eric Guiilaume, Carine CV , 2010, Properties of Nanofiller in Polymer.
Intech ,France.
Nugroho, Sofyan F, Indras M, 2010, Penentuan Tebal Bahan Transparan (ZnO)
Menggunakan Interferometer Michelson. Skripsi FMIPA Undip.
Ong, J, 2010, Investigations of light with a Michelson Interferometer. Journal
46
47
ABSTRAK
Studi sensor pergeseran menggunakan fiber coupler dengan target cermin cekung telah
dilakukan. Studi dilakukan baik secara teori maupun eksperimen untuk mengoptimalkan
kemamupan fiber coupler sebagai sensor pergeseran. Analisis teori dilakukan melalui pendekatan
bahwa cahaya keluaran dari fiber coupler merupakan berkas Gaussian. Prinsip pendektesian
pergeseran dilakukan melalui deteksi perubahan daya optis cahaya pantulan dari cermin cekung
yang diterima oleh port sensing fiber coupler. Perubahan daya optis cahaya tersebut terbaca
melalui perubahan tegangan keluaran detektor optis. Eksperimen dilakukan dengan menggunakan
dua buah cermin cekung masing-masing denganpanjang fokus 4,5 mm dan 12 mm. Hasil
eksperimen berupa grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi pergeseran cermin
cekung menunjukkan nilai yang tidak sesuai dengan perhitungan secara teori. Walaupun demikian,
karakteristik kedua grafik menunjukkan kesamaan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa sensor
pergeseran dengan target cermin cekung (4,5 mm dan 12 mm) menghasilkan jangkauan sebesar 25
mm dengan step pergeseran sebesar 50 m. Kedua cermin cekung dalam rentang jangkauan
tersebut menghasilkan tiga buah daerah kerja sensor (daerah linier). Hasil yang sama juga
diperoleh melalui perhitungan secara teori tetapi dengan nilai yang berbeda. Sensitivitas sensor
terbaik secara eksperimen yaitu sebesar 25,31 mV/mm dihasilkan dengan menggunakan cermin
cekung fokus 4,5 mm pada rentang daerah kerja 9,9 13,85 mm.
Kata kunci : Sensor Pergeseran, Cermin Cekung, Fiber Coupler.
48
PENDAHULUAN
Optimasi serat optik sebagai sensor banyak dikembangkan karena memiliki
keunggulan yang utama yaitu memiliki akurasi yang tinggi dan tidak kontak langsung
(Krohn, 2000). Serat optik telah dapat diaplikasikan sebagai sensor pergeseran berbasis
modulasi intensitas dengan berbagai desain dan konfigurasinya. Diantaranya adalah
menggunakan serat optik bundle multimode (M. Yasin et al, 2007), singlemode (A.
Rostami et al, 2007), multimode fiber coupler (Samian et al, 2008) dan singlemode fiber
coupler (Baruch M.C. et al, 2002). Kesemuanya menggunakan cermin datar sebagai
target pergeseran. Aplikasi sensor pergeseran serat optik berbasis modulasi fase dengan
metode dual fabry-perrot cavity menghasilkan akurasi dan resolusi tinggi tetapi
jangkauan kecil dan set up eksperimen kurang praktis dan harga alat-alat sangat mahal
(Bitou et al, 2009).
Dalam perkembangannya, berbasis pada sensor pergeseran serat optik, telah
dikembangkan sensor serat optik untuk mendeteksi suhu (Samian et al, 2010), strain
bahan (Inaudi et al. 2005), dan ketinggian zat cair (Samian et al, 2011). Artinya sensor
pergeseran serat optik dapat menjadi dasar bagi pengembangan sensor untuk mendeteksi
parameter-parameter fisis lainnya yang diperlukan dibidang industri maupun bidang
lainnya.
Untuk tujuan tersebut, sensor pergeseran serat optik telah dikembangkan melalui
penggunaan
serat optik bundle multimode (H.Z. Yang, 2010) dengan target berupa
cermin cekung. Dengan tujuan yang sama, yaitu mengoptimalkan kinerja serat optik
khususnya fiber coupler sebagai sensor pergeseran, dalam makalah dipaparkan hasil
kajian secara teori dan eksperimen aplikasi fiber coupler jenis multimode sebagai sensor
pergeseran menggunakan cermin cekung sebagai target.
ANALISIS TEORI
Desain sensor pergeseran menggunakan fiber coupler dengan cermin cekung sebagai
target diperlihatkan pada Gambar 1.
detektor optis, fiber coupler, dan target cermin cekung. Prinsip kerja sensor adalah
pergeseran cermin cekung dideteksi melalui perubahan daya optis berkas cahaya pantulan
dari cermin cekung yang terkopel pada port sensing fiber coupler. Mekanismenya adalah
berkas laser dari sumber dilewatkan melalui port masukan fiber coupler dan sebagian
berkas cahaya tersebut keluar melalui port sensing menuju cermin cekung. Berkas cahaya
pantulan dari cermin cekung sebagian akan masuk kembali ke port sensing. Berkas
cahaya balik tersebut kemudian akan terkopel menuju port deteksi.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
49
Gambar 1. Desain Sensor Pergeseran Menggunakan Fiber Coupler dengan Target Cermin
Cekung.
Besar daya optis cahaya yang sampai ke port deteksi (
Pd ) ditunjukkan oleh
persamaan berikut.
Pd
Po 1 exp
2
2a
2
W ( z)
(1)
dan
Po
1,156 cr (1 cr )(10
0,1Le
10
0,1D 2
) Pin
(2)
dengan a dan W(z) adalah jari-jari core fiber coupler danjari-jari berkas hasil pantulan
cermin. Sedangkan cr, Le, dan D masing-masing adalah rasio kopling (coupling ratio),
excess loss, dan directivity (Samian 2009).
Secara geometris, berkas laser yang keluar dari port sensing menuju cermin cekung
dan kembali lagi ke port sensing dapat dilukiskan seperti pada Gambar 2. Divergensi
berkas mula-mula yang keluar dari port sensing sebesar yang berhubungan dengan
tingkap numerik serat optik (NA) dengan hubungan NA sin
. Sedangkan divergensi
Gambar 2. Struktur geometri port sensing sensor pergeseran serat optik terhadap cermin
cekung.
50
Berkas cahaya yang keluar dari port sensing yang terpantul oleh cermin cekung
dapat ditunjukkan melalui persamaan :
v
f za z
za z f
(3)
dengan v, f, z, za, dan v masing-masing merupakan jarak sumber hasil pantulan terhadap
cermin cekung, panjang fokus cermin cekung, jarak berkas laser yang keluar dari port
sensing, dan jarak port sensing dengan cermin cekung. Jarak sumber hasil pantulan
terhadap port sensing dapat dinyatakan melalui persamaan:
u
f za z
za z f
Sudut
(4)
yang dibentuk berkas cahaya yang keluar dari port sensing menuju cermin
tan
za
a
z
(5)
za
W z
(6)
Untuk jari-jari berkas cahaya yang terpantul kembali sebagi fungsi pergeseran dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut.
W z
a z za
f za
(7)
f za
Substitusi persamaan (7) ke persamaan (1) maka akan diperoleh persamaan seperti
berikut.
Pd
Po 1 exp
2
2 f za
2
2
z za z
f za
(8)
Persamaan (8) menyatakan besar daya optis laser pada port deteksi yang dapat berubah
terhadap pergeseran dan panjang fokus target yang berupa cermin cekung. Dengan
asumsi P cV ; Po
Vd
Vo 1 exp
cVo ; dan
Po
Vo
2
2 f za
2
2
z za z
f za
(9)
51
SET UP EKSPERIMEN
Set up eksperimen sensor pergeseran menggunakan fiber coupler dengan target
cermin cekung diperlihatkan pada Gambar 3. Set up eksperimen terdiri dari laser He-Ne
(Mellesgriot, 632.8 nm, 30 mW), cermin cekung, fiber coupler 2 2 , detektor 818-SL
(Newport), dan mikrovoltmeter (Leybold).
52
160
140
120
100
Teori
80
60
40
20
0
0
10
15
Pergeseran
(mm) 20
25
Gambar 4. Hasil Teori dan Eksperimen Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan
Cermin Cekung dengan Fokus 4,5 mm.
160
140
120
100
80
Teori
60
40
20
0
0
10
15
Pergeseran
(mm)
20
25
Gambar 5. Hasil Teori dan Eksperimen Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan
Cermin Cekung dengan Fokus 12 mm.
Hasil eksperimen berupa grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi
pergeseran cermin cekung pada masing-masing cermin menunjukkan nilai yang tidak
sesuai dengan perhitungan secara teori. Hal ini dapat disebabkan oleh fiber coupler yang
digunakan adalah buatan tangan sehingga diindikasikan bahwa potongan pada tiap ujung
fiber coupler memiliki kecembungan yang mengakibatkan nilai NA lebih besar. Nilai NA
yang besar menyebabkan besarnya berkas cahaya yang masuk ke fiber coupler.
Walaupun demikian, hasil perhitungan teori dan eksperimen pada masing-masing cermin
memiliki karakteristik yang sama. Kedua cermin cekung menghasilkan tiga buah daerah
kerja sensor (daerah linier) . Daerah kerja sensor secara eksperimen masing-masing
diperlihatkan pada Gambar 6 dan untuk cermin cekung fokus 4,5 mm dan Gambar 7
untuk cermin cekung fokus 12 mm.
53
(a)
(b)
(c)
Gambar 6. Grafik Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan Cermin Cekung dengan
Fokus 4,5 mm. (a) Daerah Kerja 1, (b) Daerah Kerja 2,
(c) Daerah Kerja 3.
54
(a)
(b)
(c)
Gambar 7. Grafik Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan Cermin Cekung dengan
Fokus 12 mm. (a) Daerah Kerja 1, (b) Daerah Kerja 2, (c) Daerah Kerja 3.
55
Dari hasil regresi linier yang ditunjukkan oleh Gambar 6 dan Gambar 7 dapat
diperoleh prameter-parameter sensor untuk masing-masing cermin yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Parameter sensor pergeseran fiber coupler dengan target cermin cekung.
Fokus Cermin Cekung
4,5 mm
12 mm
Parameter
Daerah Kerja (mm)
Sensitivitas (mV/mm)
0,2 3,05
21,11
6 8,25
13,10
9,9 13,85
25,31
0,9 5,05
21,38
20,25 22,65
13,85
22,65 25,00
11,39
Dengan dihasilkan daerah kerja yang lebih banyak, maka pemanfaatan sensor
pergeseran menggunakan fiber coupler dengan target cermin cekung untuk pengukuran
besaran-besaran fisis yang lain seperti suhu, strain bahan, dan ketinggian zat cair akan
lebih baik.
KESIMPULAN
Optimasi sensor pergeseran serat optik dapat dilakukan menggunakan fiber
coupler dengan target berupa cermin cekung. Secara teori dan eksperimen sensor
pergeseran menggunkan fiber coupler dengan target cermin cekung fokus 4,5 mm
dan 12 mm menghasilkan tiga buah daerah kerja sensor pada masing-masing
cermin dengan jangkauan 25 mm dengan step pergeseran 50 m. Eksperimen
menunjukkan performa sensor yang baik dengan memberikan sensitivitas sebesar
25,31 mV/mm oleh cermin cekung fokus 4,5 mm pada rentang daerah kerja 9,9
13,85 mm.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rostami, M. Noshad, H. Hedayati, A. Ghanbari dan F. Janabi (2007), A Novel nad
High Precision Optical Displacement Sensor, IJCSNS 7, 311 316
Baruch M.C., Gerdt D.W., Adkins, (2002), Fiber Optic Couplers Displacement Sensor,
Procceding SPIE.
56
Bitou, Youichi, 2009, High Accuracy displacement Metrology and Control Using Dual
Fabry-Perot Cavity with an Optcal Frequency Comb Generator, Precision
Engineering, Vol 33, hal 187-193.
Inaudi, D., Glisic, B., Field Aplication of of Fiber Optic and Temperature monitoring,
Proceeding International Conference Optoelectronic Sensor Based Monitoring In
Geo-Engineering, Nanjing, 1-6, 2005.
Krohn, D.A., 2000, Fiber Optic Sensor, Fundamental and Application, 3rd, ISA, New
York.
H.Z. Yang, K.S. Lim, S.W. Harun, K. Damayanti, H. Ahmad, 2010, Enhanced Bundle
Fiber Displacement Sensor Based on Concave Mirror, Sensors and Actuators A,
Vol 162, hal 8-12.
M. Yasin., Harun, W.S., Abdul Rasyid, H.A., Kusminarto, Karyono dan H.Ahmad, 2007,
The Performance of a Fiber Optic Displacement Sensor for Different Types of
Probe and Target, Laser Physics, Vol. 10, No. 1002, hal 1 4.
Samian, 2008, Directional Coupler sebagai Sensor Pergesran Mikro, Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Fotonika, Surabaya.
Samian dan Gatut Yudoyono, 2010, Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor
Temperatur, Jurnal Fisika da Aplikasinya, Vol. 6, No.1, hal. 100104-1 - 100104-4.
Samian dan Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multimode Fiber
Coupler, Fisika dan Aplikasinya, Vol. 7, No.2, hal. 110203-1 - 110203-4.
Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi, A.H. Zaidan (2009),
Theoretical and Experimental Study of Fiber-Optic Displacement Sensor Using
Multimode Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials,
Vol. 1, Issue 3, 303 308.
57
Abstrak
Pada penelitian ini dibangun suatu program aplikasi yang dapat mengelompokkan citra
foto rontgen paru-paru ke dalam kategori normal, kanker paru-paru atau penyakit paru lain. Proses
ini diawali dengan pengolahan citra yaitu cropping, resizing, median filter, BW labelling dan
ekstraksi fitur menggunakan transformasi wavelet haar. Ekstraksi fitur citra foto rontgen
menggunakan fitur energi dan koefisien setiap subband yang kemudian dijadikan masukan
jaringan saraf tiruan backpropagation. Parameter yang digunakan untuk proses pelatihan dan
pengujian menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation adalah hidden layer sebanyak 10,
learning rate 0,1 dan target eror 0,001. Hasil pengujian jaringan saraf tiruan backpropagation
dengan menggunakan data baru diperoleh tingkat akurasi sebesar 86,67 % dalam mendeteksi
keabnormalan dari citra foto rontgen paru.
Kata Kunci : Kanker Paru, Foto Rontgen, Backpropagation
58
PENDAHULUAN
Kanker paru merupakan masalah kesehatan dunia. Dari tahun ke tahun, data
statistik di berbagai negara menunjukkan angka kejadian kanker paru cenderung
meningkat. Merokok merupakan penyebab utama dari sekitar 90% kasus kanker paruparu pada pria dan sekitar 70% pada wanita. Semakin banyak rokok yang dihisap,
semakin besar resiko untuk menderita kanker paru-paru
Salah satu pemeriksaan kanker
pemeriksaan radiologi atau lebih dikenal dengan Sinar-X (foto Rontgen). Prinsip kerja
dari alat ini adalah berdasarkan difraksi sinar-x. Pengenalan dengan sinar-X sederhana
merupakan teknik yang paling sering digunakan. Citra dari Sinar -X akan memberikan
hasil yang berbeda antara paru-paru yang sehat dan yang tidak sehat, seperti kanker paruparu sekaligus stadium dari kanker paru-paru tersebut.
Namun, pemeriksaaan kanker paru-paru dari citra hasil foto Rontgen masih
memiliki kekurangan yaitu beberapa praktisi medis seperti dokter-dokter spesialis paruparu masih mengandalkan pengamatan visual dalam pembacaan hasil foto rontgen
sehingga hasilnya sangat subjektif. Dokter spesialis paru-paru harus melakukan
pengamatan citra foto Rontgen secara teliti dan diagnosis yang benar-benar akurat dalam
deteksi kanker paru-paru pada pasien. Oleh karena itu diperlukan perangkat lunak yang
mampu mendeteksi kanker paru-paru sebagai pembanding dari kerja para praktisi medis,
sehingga perangkat lunak ini dapat membantu keakuratan penentuan deteksi kanker paruparu.
Jaringan saraf tiruan merupakan salah satu sistem pemrosesan informasi yang
didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia dalam menyelesaikan suatu masalah
dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinapsisnya. Metode
pembelajaran jaringan syaraf tiruan yang digunakan adalah backpropagation karena
metode ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang untuk melakukan pengenalan pola
(pattern recognition), klasifikasi citra, dan penerapannya di bidang diagnosa medik.
Jaringan saraf terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan masukan/input terdiri atas variabel
masukan unit sel saraf, lapisan tersembunyi terdiri atas 10 unit sel saraf, dan lapisan
keluaran/output terdiri atas 2 sel saraf. (kusumadewi, 2004)
59
Gambar 2. Data Citra Paru (a) Normal, (b) Kanker Paru-Paru, (c) Penyakit Paru lain
Prosedur penelitian antara lain mengolah citra hasil foto rontgen terlebih dahulu
yang meliputi cropping untuk memotong
60
61
untuk mendapatkan arsitektur jaringan yang hasil performance (MSE) paling mendekati
target eror 0,001. Dari hasil variasi ini di peroleh parameter-parameter yang digunakan
pada proses training yaitu hidden layer = 10, epoh = 3000, learning rate=0,1 dan target
eror = 0,001. Tingkat akurasi yang diperoleh sebesar 100 %
Gambar 4 Grafik antara Performance (MSE) dan Variasi Jumlah Epoh dengan Seluruh
Variasi Hidden Layer
Gambar 4. Grafik antara MSE dan 3000 epoh pada hidden layer
Data yang digunakan untuk proses pengujian ini sebanyak 15 data yang terdiri dari
5 data normal, 5 data kanker paru-paru dan 5 data penyakit paru lain. Parameterparameter dari hasil pelatihan digunakan untuk pengujian data baru yaitu 10 hidden layer,
3000 epoh, learning rate 0,1. Dari pengujian data menggunakan parameter-parameter
tersebut tingkat akurasi yang dihasilkan adalah sebesar 86,67 %. Tabel 1 menunjukkan
62
akurasi data pengujian dengan nilai 1 untuk kondisi normal, nilai 0 untuk kondisi kanker
paru-paru dan nilai -1 untuk kondisi penyakit paru lain.
Tabel 1. Tingkat Akurasi Data Pengujian
Pada penelitian ini juga telah dibuat suatu tampilan apliksi interface seperti pada
Gambar 5. Layar tersebut berguna untuk pengguna mendeteksi hasil foto rontgen thorak
paru-paru dan hasil dari pengolahan citra serta hasil ekstraksi fitur yang dijadikan
masukan pada jaringan saraf tiruan metode backpropagation. Dari hasil pengujian ini
dapat diketahui hasil citra tersebut masuk kedalam kelompok normal, kanker paru-paru
atau penyakit paru lain.
63
KESIMPULAN
1. Perancangan sistem perangkat lunak menggunakan jaringan saraf tiruan
backpropagation berdasarkan citra foto rontgen dilakukan dengan mengolah
citra menggunakan beberapa metode yaitu thresholding, median filter, BW
Labelling dan transformasi
learning rate 0,1 dan target eror 0,01.Hasil pengujian jaringan saraf tiruan
backpropagation dengan menggunakan data baru diperoleh tingkat akurasi
sebesar 86,67 % dalam mendeteksi keabnormalan dari citra foto rontgen paru.
DAFTAR PUSTAKA
Kiki & Kusumadewi S. 2004. Jaringan Saraf Tiruan dengan Metode Backpropagation
untuk Mendeteksi Gangguan Psikologi. Jurusan Teknik Informatika. Universitas
Islam Indonesia : Yogyakarta
Muhtadan & Harsono Djiwo. 2008. Pengembangan Aplikasi Untuk Perbaikan Citra
Digital Film Radiologi.Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN: Yogyakarta.
Putra Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Prasetyo Eko. 2010. Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya Menggunakan Matlab.
Penerbit Andi : Yogyakarta
Suyatno Ferry. 2008. Aplikasi Radiasi Sinar-X di Bidang Kedokteran untuk Menunjang
Kesehatan Masyarakat. Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir BATAN: Banten.
Saksono H.T, Rizal Ahmad & Usman Koredianto. 2010. Pendeteksian kanker Paru-Paru
Dengan Menggunakan Transformasi Wavelet dan Metode Linear Discriminant
Analysis. Teknologi Elektro. Institute Teknologi Telkom: Bandung
64
Email : guruh.hariyanto@gmail.com
ABSTRAK
Oksimeter merupakan alat yang digunakan untuk memonitor keadaan saturasi oksigen
dalam darah (arteri) pasien, untuk membantu pengkajian fisik pasien, tanpa harus melalui analisa
tes darah. Kadar saturasi oksigen darah merupakan parameter vital untuk mengetahui adanya
disfungsi pernafasan dan mencegah lebih dini adanya kekurangan oksigen tingkat selular
metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organ pada pasien kritis. Sensor
oksimeter bekerja menggunakan prinsip transmisi cahaya tampak dan infrared yang ditembakkan
pada jaringan organ jari tangan atau daun telinga. Intensitas cahaya yang diteruskan kemudian
ditangkap oleh sensor fototransistor. Pada penelitian ini menggunakan sensor fototransistor
TEMT6000 yang memiliki nilai kepekaan yang lebih akurat dibandingkan fotodioda. Selain itu,
harganya yang terjangkau, mampu menekan biaya pembuatan lebih murah. Penelitian ini juga
menggunakan tiga macam warna LED yaitu, merah, biru dan hijau sebagai sumber cahaya
transmisi. Berdasarkan hasil yang didapatkan, ternyata LED merah lebih baik untuk menerobos
jaringan organ jari tangan. Alat penelitian ini mampu membedakan hasil pengukuran antara pasien
satu dengan yang lain dengan nilai eror 5,7 % dan akurasi 97 %
Kata kunci : oksimeter, fototransistor, saturasi oksigen
65
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi elektronika berkembang pesat hingga merambat ke
bidang elektronika medis. Elektronika medis dibuat untuk berbagai macam tujuan,
diantaranya monitoring instrument, diagnostic instrument, therapeutic instrument, dan
assistive devices. Monitoring instrument digunakan untuk memperoleh informasi rekam
medis pasien dan menampilkan data melalui media display. Salah satu contoh monitoring
instrument adalah oksimeter.
Oksimeter merupakan salah satu
keadaan saturasi oksigen dalam darah (arteri) pasien, untuk membantu pengkajian fisik
pasien, tanpa harus melalui analisa tes darah. Oksimeter merupakan salah satu alat yang
sering digunakan di rumah sakit saat dilakukan proses pembedahan untuk mengetahui
saturasi oksigen dalam darah. Saturasi adalah persentase dari pada hemoglobin yang
mengikat oksigen dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin yang ada di dalam darah
(Andrey, 2005). Cara kerja oksimeter yaitu mengukur intensitas cahaya LED
yang
dipaparkan di permukaan kulit jari setelah melewati kulit dan berinteraksi dengan sel
darah merah. Alat ini bertujuan untuk mengukur saturasi
oksigen
darah dengan
observasi absorpsi gelombang optik yang melewati kulit dan berinteraksi dengan sel
darah merah. Dengan membandingkan absorpsi cahaya, alat tersebut dapat menentukan
persentase Hb yang disaturasi (Srie, 2003).
Oksimeter termasuk alat kategori non-invasive, artinya oksimeter tidak
memerlukan sampel darah yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Hal ini sangat
penting pada situasi perubahan mendadak kadar oksigen darah, karena seperti yang kita
ketahui bahwa nilai normal saturasi oksigen hanya berkisar 85%-100%. Jika nilai
pengukuran dibawah nilai 85% menandakan bahwa jaringan tidak mendapatkan oksigen
mencukupi sehingga memerlukan tindakan lanjut. Aplikasi oksimeter sangat banyak
diantaranya pada lingkup perawatan di rumah sakit, lingkungan diagnostik dan di tempat
dimana dibutuhkan pengamatan saturasi oksigen.
Pada penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh Andrey (2011) tentang
oksimeter berbasis mikrokontroler, menjelaskan rancang bangun oksimeter digital dengan
sensor oxisensor. Ada beberapa hal yang perlu ditambah dalam alat tersebut yaitu sistem
alarm. Hal ini sangat penting karena berfungsi sebagai indikator untuk mengingatkan
petugas kesehatan jika terjadi penurunan saturasi oksigen dibawah kadar 80%.
Penambahan alarm akan menambah nilai kegunaan oksimeter yang lebih otomatis dan
cepat respon terhadap keselamatan pasien. Dengan menggunakan rangkaian buzzer yang
disambungkan ke mikrokontroler, parameter alarm dapat diatur dengan baik.
66
METODE PENELITIAN
1. Pulse Oximetry
Pulse Oximetry berfungsi mengamati saturasi oksigen darah. Hal ini dilakukan
untuk menjamin kadar oksigen cukup pada pembuluh. Biasanya dipakai pada pasien yang
mengalami under anesthesia, neonates (bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari
(Stoll, 2007), pasien yang mengalami kondisi buruk (critically). Alat ini menampilkan
frekuensi denyut jantung dan saturasi oksigen, parameter yang menjadi andalan dan
sangat berguna untuk mengetahui kondisi pasien saat pemeriksaan. Oksimeter termasuk
alat medis non invasive dan portabel. Proses penggunaan probe sensor dengan menjepit
bagian ujung jari seperti pada Gambar 1
67
oksigen menyerap panjang gelombang cahaya 650 nm sehingga hal inilah yang mengapa
LED merah dan inframerah digunakan sebagai komponen utama pembangun sensor
karena kedua LED ini memiliki panjang gelombang yang sesuai kriteria.
2. Prinsip Dasar Oksimeter
Sensor pulse oximetry menggunakan cahaya dalam analisis spektral untuk
pengukuran saturasi oksigen, yaitu deteksi dan kuantifikasi komponen (hemoglobin)
dalam larutan. Saturasi oksigen adalah persentase total hemoglobin yang membawa atau
mengandung oksigen. Probe umumnya ditempatkan jari atau daun telinga. Sebuah
fotodetektor pada sisi lain mengukur intensitas cahaya yang berasal dari transmisi sumber
cahaya yang menembus jari. Transmisi cahaya melalui arteri adalah denyutan yang
diakibatkan pemompaan darah oleh jantung (Hill et al, 2006)
Alat oksimeter menggunakan LED merah dan inframerah bersama-sama dengan
fotodetektor untuk mengatur arus di dalam rangkaian relatif terintegrasi untuk penyerapan
cahaya yang melalui jari. Pengurangan cahaya dapat dilihat seperti Gambar 2 dan dapat
dibagi dalam tiga bagian besar : pengurangan cahaya akibat darah arteri, pengurangan
cahaya akibat darah vena, dan pengurangan darah akibat jaringan. Pengurangan cahaya
akibat darah vena dapat menyebabkan beberapa sinyal akibat perubahan di dalam aliran
darah dan juga perubahan akibat level oksigen darah. Pengurangan cahaya yang
disebabkan aliran darah vena dan jaringan menciptakan suatu sinyal yang relatif stabil
dan sinyal ini disebut dengan komponen DC.
adalah
sinyal AC yang ditimbulkan oleh aliran denyut dari darah arteri. Penyerapan lebih dari
spektrum cahaya inframerah relatif ke spektrum cahaya merah adalah indikasi dari
oksigen saturasi yang tinggi dan absorpsi lebih dari spektrum cahaya merah relatif ke
spektrum cahaya inframerah adalah indikasi dari oksigen saturasi yang rendah.
68
....................................2.1
....................................2.2
Nilai SpO2 dapat dihitung dengan memasukkan nilai R pada persamaan linier 2.3 [2].
SpO2 = 110-25 x R
....................................2.3
4. Perancangan
Dibutuhkan beberapa modul rangkaian untuk proses pengolahan sinyal.
Perancangan didasari pada Gambar 3.
69
LED Merah dan IR perlu diberi setting timer agar LED menyala berkedip dengan
frekuensi 1000Hz. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kecepatan denyut aliran darah pada
arteri. Cahaya yang diteruskan akan ditangkap oleh fototransistor TEMT6000 yang nilai
keluaran berupa tegangan analog. Fototransistor TEMT6000 ditunjukkan pada gambar 5.
70
Terdapat dua keluaran tegangan dari rangkaian sample adn hold yang kemudian
dihubungkan pada pin ADC pada mikrokontroler agar tegangan yang dihasilkan akan
dikonversi menjadi data digital dan dihitung dengan rumus ratio saturasi oksigen
71
Spo2
Telunjuk
Tengah
Manis
Jempol
Kelingking
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
94,16
95
92,2
92,4
90,5
92,5
92,94
91,6
91,89
95,25
93,7
90,8
92,6
91
89,86
93,45
92,91
92,2
91,76
91,87
0,857
2,100
0,48
0,708
2,944
Eror 0,917
2,260
0,52
0,772
3,205
No
SD
Spo2
Jari
Dari data tersebut dapat dianalisa bahwa pengukuran spo2 pada jari telunjuk
menunjukkan angka pengukuran paling besar dengan pengukuran yang lain.
Tetapi secara keseluruhan, jari yang lain menunjukkan hasil pengukuran yang
memiliki selisih yang relatif kecil. Perbedaan ini bisa disebabkan panjang lintasan
tranmisi cahaya dari LED yang berbeda pada setiap jari. Semakin panjang lintasan
transmisi cahaya maka semakin banyak cahaya yang diserap sehingga sedikit saja
cahaya yang diteruskan. Jari jempol yang memiliki struktur lapisan jaringan yang
lebih tebal atau panjang menunjukkan hasil pengukuran yang paling kecil. Selain
itu ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa jari telunjuk menghasilkan
pengukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jari kelingking. Hal ini bisa
disebabkan seperti ukuran jari yang terlalu besar, perubahan kadar Hb, aktivitas
berlebihan pada saat pengukuran dan desain probe sensor yang kurang sempurna.
Selain iu alat hasil penelitian dibandingkan dengan Mindrey PM50,
didapatkan hasil sebagai berikut :
72
Dari hasil tabel 2. Dapat dilihat bahwa alat masih kurang stabil dikarenakan
adanya nilai toleransi eror pada komponen yang digunakan sehingga proses
pembacaan ADC masih sering berubah-ubah. Selain itu bisa disebakan kondisi
pasien yang kurang tenang
mikrokontroler ATMega16 telah dibuat dan dapat bekerja dengan cukup baik.
Alat penelitian mampu membedakan hasil pengukuran antara pasien satu dengan
yang lain dengan nilai error 2,774 % dan akurasi 97 %
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. LED merah mampu diserap sebagian oleh jaringan jari dan sebagiannya
lainnya lagi ditransmisikan sehingga mampu ditangkap oleh detekor
TEMP6000. Sedangkan LED hijau dan biru tidak mampu ditransmisikan
sehingga tidak terdeteksi oleh detektor.
2. Oksimeter berbasis mikrokontroler ATMega16 telah dibuat dan dapat
bekerja dengan cukup baik. Setelah dilakukan peneletian, didapatkan data
dengan akurasi terbaik alat dalam mengukur SpO2 adalah 97 % dan eror
terbesarnya adalah 5,8 %.
3. Pengukuran SpO2 di lima jari yang berbeda ternyata terdapat perbedaan
yang relatif kecil. Hal ini bisa disebabkan panjang lintasan transmisi
cahaya dari LED yang berbeda pada setiap jari.
73
DAFTAR PUSTAKA
Adil, Ratna dan M.Rochmad.2009. Design and Analyze Detector Stress Level
Oxihaemoglobin (HbO2) in Blood. ICICI-BME 2009
Based
Proceedings.Surabaya: PENS.
Mokh.
Sholihul.2008.
Mengenal
Mikrokontroler
AVR
Kadar
Oksigen
Hemoglobin
Maksimum
dan
Jenis
Kelamin
Siswa-Siswi
terhadap
Pesantren
Darul
R.S.2005.Biomedical
Instrumentation
Technology
and
[1]
Semiconductor
Corporation.
Parumaanor, John Tinsy.2008. Visible Versus Near-Infrared Light Penetration
Analysis In An Intralipid Suspension As It Relates To Clinical
Depth
Hyperspectral
Mikrokontroller.Surabaya: PENS.
Putri,
Tyan
Resa.2010.Photodiode
Dan
LED
[Online].Tersedia
http://Sinelectronicblogspot.com.
Li,
Yun.2007.
Pulse
Oximetry.
Guildford.
Department
of
Electronic
74
Town,
Neil.2001.Pulse
Oximetry.Journal
Medical
Electronics.Michaelmas
Term.2001.
Webster, J.G.1997. Design of Pulse Oximeters, Intitute of Physics Publishing
Bristol
Measurements
of ECG and SpO2 for Cardiology Information System . Proceedings of the International
MultiConference of Engineers and
Yanda, Srie. 2003. Perbandingan Nilai Saturasi Oksigen Pulse oximetry dengan Analisa
Gas Darah Arteri pada Neonatus yang Dirawat di Unit Perawatan
Intensif
Anak
Gelojgmbang
Elektromagnetik.Jakarta:Departemen
Indonesia.
Light
Emitting
Diode:
Teknologi
Dan
75
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mendesain sistem deteksi kerusakan jaringan kulit mencit
(mus musculus) akibat paparan laser Nd:YAG dengan dosis energi 18,8 53,8 J/cm2 dari citra
mikroskop digital. Kerusakan jaringan kulit akibat paparan laser Nd:YAG berupa pendarahan
(bleeding) dan lubang. Sampel citra yang digunakan adalah citra jaringan normal dan citra jaringan
rusak. Desain sistem menggunakan pemograman Delphi dengan metode ekstraksi fitur warna dan
segmentasi warna. Ekstraksi fitur warna yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga buah yaitu
fitur warna jaringan normal, fitur warna pendarahan (bleeding), dan fitur warna lubang. Metode
ekstraksi fitur warna dilakukan dengan menggunakan histogram untuk mengetahui intensitas
dengan nilai frekuensi tertinggi secara teliti. Segmentasi warna menghasilkan daerah-daerah pada
citra yang termasuk dalam rentang intensitas fitur. Hasil uji program penentuan jaringan kulit
normal dan jaringan kulit rusak pada penelitian ini menunjukkan bahwa 25 citra dari 40 citra yang
digunakan berhasil diidentifikasi sehingga tingkat keakuratan program sebesar 62,5%. Sedangkan
pada hasil uji program pengukuran diameter, tingkat keakurasian sebesar 38,84% hingga 68,14%.
76
PENDAHULUAN
Kerusakan jaringan kulit akibat paparan laser Nd:YAG secara berlebih akan
menyebabkan kulit tidak berfungsi dengan baik, sehingga perlindungan tubuh terhadap
gangguan dari luar akan melemah. Kerusakan jaringan kulit yang terjadi akibat paparan
laser Nd:YAG berupa pendarahan (bleeding) dan lubang (Pribadi, 2011). Hal itu
disebabkan karena adanya fenomena interaksi yang timbul saat pemaparan laser Nd:YAG
terhadap jaringan kulit. Fenomena interaksi tersebut adalah fotokimia (photochemical),
fototermal (phototermal), fotoablasi (photoablastion), plasma-induced ablation dan
fotoakustik (photodisruption). Fenomena interaksi yang terjadi pertama kali adalah
fotokimia (photochemical) yang menyebabkan terjadinya efek kimia dan reaksi antara
makrokolekul dan jaringan saat energi laser diserap oleh jaringan kulit. Setelah terjadi
efek kimia, temperatur pada jaringan akan meningkat (fototermal) yang menyebabkan
terjadinya penguapan molekul air pada jaringan kulit dan letupan jaringan kulit yang
ditandai dengan penyemburan pecahan-pecahan jaringan kulit serta proses ablasi
(fotoablasi). Proses ablasi tersebut akan diikuti dengan pembentukan plasma (plasmainduced ablation) dan pembangkitan shock wave (photodistruption) yang menyebabkan
munculnya lubang pada jaringan kulit (Apsari, 2009).
Dalam penelitian Pribadi (2011) dilakukan pemaparan laser Nd:YAG terhadap
jaringan kulit mencit (mus musculus) dengan tegangan pumping sebesar 540-620 V dan
740 V dan dosis energi sebesar 18,8 J/cm253,8 J/cm2. Dengan perlakuan perbedaan
besar dosis energi menyebabkan dampak yang muncul pada jaringan kulit akan berbeda.
Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa tegangan pumping yang menyebabkan
kerusakan pada jaringan kulit adalah
29,5-53,8 J/cm2. Dalam penelitian ini, digunakan preparat jaringan kulit mencit (mus
musculus) baik jaringan normal maupun jaringan rusak yang merupakan hasil penelitian
Pribadi (2011) sebagai sampel image yang diteliti.
Penelitian ini diawali dengan mendapatkan citra digital dari preparat jaringan
kulit mencit (mus musculus). Pengambilan citra dilakukan dengan menggunakan
mikroskop digital. Mikroskop digital merupakan mikroskop cahaya yang telah
dimodifikasi dengan kamera digital dan telah terhubung dengan perangkat lunak
komputer (Fifin, 2010). Pada umumnya, mikroskop digital telah dilengkapi dengan
program yang men-capture video menjadi citra digital. Akan tetapi dalam penelitian ini,
program tersebut tidak digunakan sehingga diperlukan bantuan sebuah frame grabber.
Frame grabber merupakan program yang fungsinya mengubah video menjadi citra digital
(Gunadhi, 2002). Dalam penggunaannya, frame grabber dapat digunakan apabila driver
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
77
Dalam penelitian ini, ekstraksi fitur yang digunakan adalah ekstraksi fitur warna
disebabkan dalam citra digital jaringan kulit terdapat tiga fitur yang digunakan yaitu fitur
78
jaringan normal, fitur pendarahan (bleeding), dan fitur lubang. Ketiga fitur tersebut
memiliki tingkat keabuan yang berbeda. Metode selanjutnya adalah segmentasi warna
yang merupakan proses membagi citra menjadi daerah-daerah (region) berdasarkan warna
(Gonzales, 2008). Daerah yang dimaksud adalah sekumpulan piksel yang berdekatan
yang memiliki sifat yang sama. Sedangkan warna merupakan sebuah fitur dalam ruang
warna (color-space) 3-dimensi RGB yang berisi informasi yang berkenaan dengan
distribusi spectral cahaya.
Pada citra berwarna, fitur yang paling umum digunakan dalam proses segmentasi
adalah fitur warna seperti yang dikemukakan oleh Saikumar et. al (2011). Phung et. al
(2003) melakukan penelitian mengenai segmentasi terhadap kulit manusia. Fitur yang
digunakan adalah fitur warna. Untuk mendapatkan daerah kulit, menggunakan rentang
warna kulit yang dihasilkan dari segmentasi warna. Presentase error dalam segmentasi
warna relatif kecil yaitu 15,3%. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan
segmentasi warna dengan menggunakan rentang intensitas fitur jaringan normal,
pendarahan (bleeding), dan lubang yang dihasilkan dari proses ekstraksi fitur.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan mikroskop digital untuk mendapatkan citra
digital jaringan kulit yang berupa preparat. Komputer yang digunakan adalah Core 2 Duo
dengan sistem operasi Windows 7. Program dibuat dengan menggunakan bahasa
pemograman Borland Delphi 6 dan Matrox Inspector 2.1 sebagai software pendukung.
Data merupakan hasil penelitian Pribadi (2011) sejumlah 40 buah dengan jaringan kulit
normal sebanyak 20 buah dan jaringan kulit rusak sebanyak 20 buah.
Prosedur penelitian antara lain mengolah data yang berupa preparat menjadi citra
digital dengan menggunakan frame grabber, citra tersebut kemudian di ekstraksi fitur
warna pada intensitas R (red), G (green), dan B(blue) dengan menggunakan histogram
untuk mengetahui rentang intensitas tiap fitur yang ada dalam citra yang dilakukan
dengan penge-crop-an fitur sebelumnya. Fitur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fitur jaringan normal, fitur pendarahan (bleeding), dan fitur lubang.langkah selanjutnya
adalah segmentasi warna untuk mengetahui daerah fitur. Dari segmentasi warna dapat
diketahui citra yang termasuk citra jaringan kulit normal dan citra jaringan kulit rusak
dengan menggunakan ada atau tidaknya fitur pendarahan (bleeding) dan fitur lubang.
Citra yang termasuk jaringan kulit rusak kemudian dilakukan perhitungan diameter
lubang menggunakan fitur lubang.
79
80
Tujuan dari proses ekstraksi fitur adalah mengetahui rentang fitur citra dengan cara
karakterisasi citra menggunakan histogram. Proses untuk mendapatkan karakteristik citra
menggunakan fitur citra yaitu fitur jaringan normal, fitur pendarahan (bleeding), dan fitur
lubang. Fitur citra di-crop dan ditampilkan dalam bentuk histogram dengan menggunakan
program ekstraksi fitur warna dengan histogram. Pada penelitian ini dilakukan segmentasi
warna pada R, G, dan B sehingga histogram yang ditampilkan berjumlah 3 buah yaitu
histogram R, histogram G, dan histogram B. Dari histogram tersebut, akan diketahui
frekuensi kemunculan tiap intensitas pada fitur citra, dan data yang diambil adalah
intensitas dengan frekuensi kemunculan tertinggi. Untuk menghindari kesalahan dalam
penentuan intensitas dengan frekuensi kemunculan tertinggi, maka data histogram
dipindah ke dalam bentuk tabel. Hasil run program ekstraksi fitur warna dengan
histogram menghasilkan intensitas frekuensi tertinggi pada tiap fitur citra. Tabel 1, Tabel
2, Tabel 3 menunjukkan rata-rata intensitas frekuensi tertinggi pada fitur jaringan normal,
fitur pendarahan (bleeding) dan fitur lubang.
Intensitas
Pumping (V)
540
153
115
98
550
175
125
111
560
185
143
122
570
180
85
109
580
181
138
116
Intensitas
Pumping (V)
590
255
75
85
600
192
76
99
610
202
86
92
620
180
100
102
740
175
65
64
81
Intensitas
Pumping (V)
590
240
255
213
600
195
158
138
610
228
207
198
620
191
156
111
740
183
146
129
Berdasarkan rata-rata intensitas frekuensi tertinggi tiap fitur yang ditunjukkan pada
Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 maka rentang intensitas pada tiap fitur citra diketahui.
Rentang intensitas fitur yang dihasilkan adalah
Rentang intensitas fitur yang didapatkan digunakan dalam proses selanjutnya yaitu
segmentasi warna yang akan membedakan antara jaringan kulit normal dan jaringan kulit
rusak. Pada jaringan kulit rusak akan dilakukan pengukuran diameter lubang dengan
menghitung jumlah piksel pada lubang pada tiap baris.
Pada desain program segmentasi warna digunakan pemograman Delphi. Proses
ini dilakukan dalam 4 tahap yaitu tahap pengidentifikasian pendarahan (bleeding), tahap
pengidentifikasian lubang, tahap penentuan posisi dan diameter lubang serta kalibrasi
diameter dengan menggunakan Matrox Inspector 2.1. Tahap pengidentifikasian
pendarahan (bleeding) dan lubang memanfaatkan rentang intensitas pendarahan
(bleeding) dan lubang yang dihasilkan dari ekstraksi fitur. Namun karena terjadi
overlapping pada rentang intensitas fitur jaringan normal dan pendarahan (bleeding),
maka rentang intensitas pendarahan (bleeding) adalah diluar rentang fitur jaringan
normal. Pada tahap pengidentifikasian pendarahan (bleeding), piksel yang intensitasnya
termasuk dalam rentang pendarahan (bleeding) akan berwarna biru. Hal itu sebagai
penanda letak pendarahan. Piksel yang intensitasnya termasuk dalam rentang lubang akan
berwarna hijau. Akan tetapi pengidentifikasian lubang tidak hanya berdasarkan rentang
fitur lubang melainkan juga berdasarkan definisi lubang yaitu daerah dengan intensitas
yang berbeda dengan daerah sekitarnya yang berada di antara daerah pendarahan
82
(bleeding) (Pribadi, 2011). Tampilan segmentasi warna pada jaringan kulit normal
disajikan pada Gambar 3 dan pada jaringan kulit rusak pada Gambar 4.
83
Inspector 2.1 diketahui bahwa kalibrasi 1 piksel = 1,923 m. Akan tetapi perlu diingat
bahwa data citra yang diproses ini telah mengalami proses resize 25% sehingga sebelum
dikalibrasi dari piksel ke mikrometer, panjang piksel dikalikan dengan 4 untuk
mendapatkan panjang piksel dalam ukuran sebenarnya (100%). Perhitungan kalibrasi
tersebut sudah terdapat dalam program penentuan diameter lubang sehingga diameter
lubang yang terlihat dalam program sudah bersatuan mikrometer. Tampilan kalibrasi
disajikan pada Gambar 5.
Pada program penentuan jaringan kulit normal dan rusak, didapatkan bahwa dari
40 buah citra digital yang digunakan sebanyak 25 citra berhasil dideteksi dengan benar
sehingga tingkat akurasinya sebesar 62,5%. Sedangkan untuk pengukuran diameter
lubang tingkat keakurasiannya berkisar antara 38,84% hingga 68,14%. Tabel 4 dan Tabel
5 menunjukkan hasil run program penentuan citra jaringan normal dan citra jaringan
rusak dan hasil run program pengukuran diameter lubang.
84
Tabel 4. Hasil run program penentuan citra jaringan normal dan citra jaringan rusak
Tegangan pumping (V)
540 (1)
540 (2)
540 (3)
540 (4)
540 (5)
550 (1)
550 (2)
550 (3)
550 (4)
550 (5)
560 (1)
560 (2)
560 (3)
560 (4)
560 (5)
570 (1)
570 (2)
570 (3)
580 (1)
580 (2)
590(1)
590(2)
590(3)
600(1)
600(2)
600(3)
600(4)
600(5)
610(1)
610(2)
610(3)
610(4)
610(5)
620(1)
620(2)
620(3)
620(4)
620(5)
740(1)
740(2)
Dosis energi
(J/cm2)
18,8
18,8
18,8
18,8
18,8
23,9
23,9
23,9
23,9
23,9
21,1
21,1
21,1
21,1
21,1
21,5
21,5
21,5
25,6
25,6
31,3
31,3
31,3
29,5
29,5
29,5
29,5
29,5
32,0
32,0
32,0
32,0
32,0
35,7
35,7
35,7
35,7
35,7
53,8
53,8
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
85
Tegangan pumping
(V)
600(1)
600(2)
600(3)
600(4)
740(1)
Dosis energi
(J/cm2)
29,5
29,5
29,5
29,5
53,8
Diameter lubang
(m)
138,456
169,224
169,224
169,224
153,84
Tingkat keakurasian pada penelitian ini tergolong rendah disebabkan karena pada
penelitian ini hanya menggunakan ekstraksi fitur warna sebagai fitur pembedanya. Pada
umumnya untuk melakukan segmentasi pada kulit setidaknya diperlukan minimal dua
fitur diantaranya adalah fitur warna dan tekstur seperti pada penelitian Nammalwar et. al
(2009) yang melakukan segmentasi pada image kanker kulit menggunakan fitur warna
dan tekstur. Kanker kulit menyebabkan adanya luka pada kulit. Untuk menganalisa luka
pada kulit yang harus dilakukan adalah mengetahui lokasi luka secara akurat dan
memisahkan daerah luka. Fitur warna dan tekstur digunakan untuk membedakan warnatekstur luka dari kulit normal. Penyebaran fitur tersebut didasarkan pada struktur tepi dan
warna image. Selain itu, pada penelitian Phung et. al (2003) melakukan segmentasi
terhadap kulit manusia dengan presentasi error sebesar 15,3%.
Jiang et. al (2005) mendeteksi kulit dengan menggunakan tiga fitur sekaligus
yaitu fitur warna, tekstur dan jarak. Deteksi kulit pada penelitian ini adalah memisahkan
daerah kulit dengan daerah bukan kulit misalnya mata, rambut dan bibir pada area wajah.
Proses segmentasi pada penelitian ini menunjukkan tingkat keakurasian tinggi yaitu
sebesar 94,8%.
Fitur tekstur itu sendiri adalah keteraturan pola-pola tertentu yang terbentuk dari
susunan piksel-piksel dalam citra digital. Sedangkan segmentasi tekstur merupakan
proses yang membagi suatu citra ke dalam beberapa daerah dimana tekstur dianggap
konstan. Oleh karena itu, segmentasi tekstur lebih ditekankan pada penentuan batas-batas
antar daerah-daerah di dalam citra dengan tekstur yang berbeda secara otomatis
(Nammalwar et. al, 2009). Untuk mengoptimalisasi hasil, penelitian deteksi kerusakan
jaringan dermis dan pengukuran diameter lubang dapat disarankan untuk menggunakan
fitur warna, fitur tekstur, struktur tepi dan jarak untuk mendapatkan batas daerah lubang
yang lebih akurat sehingga penentuan citra jaringan kulit normal dan citra jaringan kulit
rusak serta pengukuran diameter lubang dapat terdeteksi lebih akurat.
86
DAFTAR PUSTAKA
Apsari, Retna. 2009. Sistem Fuzzy Berbasis Laser Speckle Imaging untuk Deteksi
Kualitas Enamel igi Akibat Paparan Laser Nd:YAG. Disertasi.Program
PascaSarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
Pada Bidang
Fifin, D.R. 2010. Pengenalan Pola Citra Leukosit Dengan Metode Ekstraksi Fitur
Citra. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (2010) 133-137.
Gonzales. 2008. Digital Image Processing. 3rd edition. United State of America : Prentice
Hall.
Gunadhi, Albert. 2002. Sensor Warna Dengan Menggunakan Kamera Video Berbasis
Komputer Pribadi. Jurusan Teknik Elektro. Universitas Widya Mandala Surabaya.
Jiang, Zhiwei, Yao, Min, Jiang, Wei. 2005. Skin Detection Using Color, Texture and
Space Information. College of Computer Science. Zhejiang University. Hangzhou.
China.
87
Phung, Son Lam. Bouzerdoum, Abdesselam. Chai, Douglas. 2003. Skin Segmentation
Using Color and Edge Information. School of Engineering and Mathematics. Edith
Cowan University. Perth. Australia.
Putra, Dharma. 2010. Pengolahan Citra Digital. Penerbit ANDI.Yogyakarta.
Pribadi, Siswanto. 2011. Pengaruh Paparan Laser Nd:YAG Q-Switch Secara in-vivo
Terhadap Kerusakan Jaringan Kulit Mencit (Mus Musculus). Program Studi S1
Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Saikumar, Tara. Yugander, P. Murthy, P. Sreenivasa. Smitha, B. 2011. Colour Based
Image Segmentation Using Fuzzy C-Means Clustering. International Conference
on Computer and Software Modelling IPCSIT. Volume 14. Year 2011. LACSIT
Press. Singapore.
Sutoyo,T. Edy Mulyanto. Oky Dwi Nurhayati. Wijanarto. Vincent Suhartono. 2009. Teori
Pengolahan Citra Digital.Penerbit ANDI. Semarang.
88
ABSTRAK
Telah dilakukan sintesis makroporus komposit kolagen-hidroksiapatit sebagai kandidat
bone graft. Kolagen disintesis dari cakar ayam. Metode yang dilakukan adalah dengan teknik
freeze dry dengan variasi lama pembekuan 2, 4, dan 6 jam pada suhu -80C. Proses selanjutnya
dengan pengeringan dalam liyophilizer. Hasilnya dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR,
SEM, dan diuji kekuatan tekan dengan Autograf serta uji sitotoksisitas dengan MTT assay. Hasil
FTIR membuktikan serapan kolagen dan hidroksiapatit tergabung secara kimia ditunjukkan
dengan serapan gugus fungsi yang tidak berhimpit antara gugus fungsi kolagen dan hidroksiapatit
dengan komposit. Ukuran pori terbesar diperoleh pada waktu pembekuan selama 2 jam yaitu
sebesar 774 m dan yang terkecil pada pembekuan selama 6 jam yaitu sebesar 640 m Hasil uji
kekuatan tekan komposit untuk pembekuan selama 2, 4, dan 6 jam masing-masing 737 KPa, 842
KPa dan 707.7 KPa. Hasil uji sitotoksisitas dengan MTT assay menunjukkan komposit tidak
toksik dengan persentase sel hidup di atas 100%.
89
PENDAHULUAN
Setiap tahun kebutuhan bone graft terus bertambah. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang, penyakit bawaan,
dan non bawaan. Berdasarkan data di Asia Indonesia adalah Negara dengan jumlah
penderita patah tulang tertinggi. Diantaranya, ada sebanyak 300-400 kasus operasi bedah
tulang per bulan di RS. Dr. Soetomo Surabaya (Gunawarman dkk, 2010).
Bagian tubuh yang paling sering terjadi patah tulang adalah bagian panggul,
pergelangan kaki, tibia, dan fibula (Ficai et al., 2011). Bone graft yang biasanya
digunakan adalah autograft dan allograft. Namun, autograft dan allograft tidak dapat
memenuhi keseluruhan kebutuhan bone graft yang terus meningkat. Upaya untuk
mengatasi masalah ini adalah penggunaan bone graft sintetis.
Syarat yang harus dipenuhi oleh bone graft sintetis adalah dapat diterima tubuh
atau biokompatibel dan menguntungkan bagi proses osteokonduksi, osteoinduksi, dan
osteogenesis tulang. Osteokonduktif dan osteoinduktif adalah hal terpenting untuk
biomaterial resorbable guna mengarahkan dan mendorong formasi pertumbuhan jaringan
(Wahl dan Czernuszka, 2006). Osteokonduktif dan osteointegrasi dari bone graft
berhubungan dengan tingkat porositas dan ukuran pori (Develioglu et al. 2005).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, persyaratan minimum untuk ukuran pori
dianggap ~100m karena ukuran sel, persyaratan migrasi dan transport sel. Namun,
dianjurkan ukuran pori >300 m karena meningkatkan pembentukan tulang baru dan
pembentukan kapiler (Karageorgiou, 2005). Makroporositas yang tinggi dapat
meningkatkan pembentukan tulang, akan tetapi nilai yang lebih tinggi dari 50% dapat
mengakibatkan hilangnya sifat mekanik biomaterial (Lu JX et al., 1999).
Bone graft sintetis yang baik adalah bone graft yang secara struktur dan
komposisi mirip dengan tulang alami. Komposit kolagen-hidroksiapatit adalah bone graft
sintetis yang sangat mirip dengan tulang dari banyak sudut pandang. Tulang terdiri dari
kolagen dan hidroksiapatit sebagai komponen utama dan beberapa persen dari komponen
lainnya (Vaccaro, 2002). Komposit kolagen-hidroksiapatit saat ditanamkan dalam tubuh
manusia menunjukkan sifat osteokonduktif yang lebih baik dibandingkan dengan
hidroksiapatit monolitik dan menghasilkan kalsifikasi matriks tulang yang persis sama
(Serre et al., 1993; Wang et al., 1995). Selain itu, komposit kolagen-hidroksiapatit
terbukti biokompatibel baik pada manusia maupun hewan (Serre et al., 1993; Scabbia dan
Trombelli., 2004).
90
Upaya untuk mendapatkan komposit dengan struktur dan komposisi yang sama
dengan tulang alami adalah mengolaborasikan beberapa metode sintesis. Kunci dalam
sintesis makroporus salah satunya adalah dengan variasi laju pembekuan (Wahl dan
Czernuszka, 2006). Metode sintesis yang paling berguna untuk fabrikasi material porous
adalah metode freeze-drying. Pada metode freeze-drying, pengendalian pertumbuhan
kristal es sangat penting untuk mendapatkan diameter dan bentuk pori yang sesuai, karena
struktur pori adalah replikasi dari jeratan dendrite kristal es. Pada prinsipnya metode
freeze-drying terdiri atas dua urutan proses, yaitu pembekuan yang dilanjutkan dengan
pengeringan. Diameter pori dapat dikontrol pada tahap pembekuan. Pada penelitian ini,
kontrol ukuran makroporus komposit dilakukan dengan beberapa variasi waktu
pembekuan.
Selanjutnya
91
gumpalan kolagen disaring dengan kertas saring. Kolagen yang dihasilkan dikeringkan
dengan metode freeze- dry.
92
Rentang
frekuensi (cm-1)
3500-3300
3000-2500
3000-2500
1760-1670
1640-1660
1500-1600
1470-1350
1340-1020
1340-1020
1000-675
870-675
870-675
700-610
Peak
(cm-1)
3409
2927
2857
1746
1651
1546
1458
1160
1100
917
723
686
647
Ikatan
N-H
O-H
O-H
C=O
N-H
N-H
C-H
C-N
C-N
C-H
C-H
C-H
C-H
Spektrum utama dari kolagen adalah adanya amida I banding yang muncul dari
stretching vibration C=O (karbonil) grup amida dari protein. Amida I ditemukan pada
1651 cm-1, amida II ditemukan pada 1546 cm-1 dan amina C-N ditemukan pada 1100cm-1
dan 1159 cm-1. Amina N-H ditemukan pada 3409 cm-1. Hasil perbandingan grafik FTIR
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
93
kolagen dari cakar ayam dengan kolagen murni pada Kirubanandan, 2010 menunjukkan
pita serapan yang mirip dan gugus yang sama. Hasil perbandingan pita absorbs dengan
tabel korelasi ataupun dengan senyawa pembanding yang telah diketahui menunjukkan
bahwa kolagen cocok sebagai bahan untuk sintesis komposit.
Komposit kolagen-hidroksiapatit hasil sintesis menggunakan metode freeze-dry
dengan variasi pembekuan 2, 4 dan 6 jam tampak pada Gambar.3. Komposit dengan 2
jam pembekuan diuji dengan FTIR. diperoleh grafik pada Gambar 4.
Grafik hasil uji FTIR dianalisis dengan membandingkan pita absorbs yang
terbentuk pada spektrum inframerah menggunakan tabel korelasi. Hasil perbandingan pita
absorbs disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik absorbsi komposit kolagen-hidroksiapatit
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Rentang
frekuensi
(cm-1)
3640-3160
3000-2500
2960-2850
2260-2100
1760-1670
1600-1700
1500-1600
1470-1350
1470-1350
1340-1020
1340-1020
900-1200
900-1200
500-600
Peak
(cm-1)
3232
3081
2873
2202
1716
1672
1519
1460
1405
1200
1074
1018
966
553
Ikatan
O-H
O-H
C-H
CC
C=O
N-H
N-H
C-H
C-H
C-N
C-N
PO43PO43C-X
94
berimpit maka proses yang terjadi adalah rekasi kimia. Berdasarkan perbandingan hasil
FTIR kolagen, hidroksiapatit, dan komposit diperoleh reaksi yang terjadi pada proses
sintesis komposit kolagen-hidroksiapatati adalah reaksi kimia.
(a)
(b)
(c)
95
yang dapat diamati adalah bentuk makroporus, kekasaran permukaan, dan pola
penggabungan kolagen dengan hidroksiapatit pada komposit.
Pada Gambar 5 terlihat bentuk makroporus komposit tidak merata. Pembekuan
pada suhu -80C selama dua jam membentuk dendrite kristal es yang tidak teratur
sehingga ukuran makroporus tidak seragam dan tidak ada cross link. Kolagen tampak
berbentuk jarum panjang yang menjulang. Serabut kolagen bergabung dalam ikatan
lapisan hidroksiapatit yang tipis. Serabut kolagen berperan sebagai serat komposit dan
hidroksiapatit berperan sebagai matriks komposit. Secara makro, permukaan komposit
terlihat kasar.
Komposit yang dibekukan selama empat jam pada gambar 6 tampak lebih padat
dibandingkan komposit yang dibekukan selama dua jam. Serabut kolagen tidak dapat
dibedakan dengan jelas seperti pada Gambar 4.5. Gabungan kolagen dan hidroksiapatit
pada komposit menyatu dengan baik sehingga tidak terlihat batas antara keduanya.
Secara makro, komposit terlihat lebih halus dibandingkan dengan komposit yang
dibekukan selama dua jam.
96
97
Ukuran Makroporus
(m)
1000
800
600
400
200
0
774
675
640
dengan
suhu
pembekuan
-20C
dengan
metode
freeze-drying,
98
Kekuatan
Tekan (KPa)
sifat biomekanik.
900
800
842
737
708
700
600
2 jam
4 jam
6 jam
99
110
109
108
107
106
105
104
103
102
101
100
108.9
105.6
103.6
Persentase sel hidup yang di dapatkan dari uji MTT pada Gambar 11
membuktikan ketoksikan senyawa bahan dan komposit. Grafik hasil uji MTT
menunjukkan kolagen dan hidroksiapatit tidak toksik karena persentase sel hidup di atas
100%. Komposit kolagenhidroksiapatit meningkatkan persentase sel hidup. Hal ini
membuktikan bahwa penggunaan kolagen dan hidroksiapatit secara bersama-sama
menguntungkan dalam hal pertumbuhan sel. Kolagen dan hidroksiapatit dibuktikan dapat
meningkatkan diferensiasi osteoblas (Xie et al., 2004), tapi dikombinasikan bersamasama terbukti mempercepat osteogenesis. Komposit kolagen-hidroksiapatit saat
ditanamkan dalam tubuh manusia menunjukkan sifat osteokonduktif yang lebih baik
dibandingkan dengan hidroksiapatit monolitik dan menghasilkan kalsifikasi matriks
tulang yang persis sama (Serre et al., 1993; Wang et al., 1995).
Potensi sebagai Kandidat Bone Graft
Bentuk pori yang terbentuk dan struktur jalinan kolagen dengan hidroksiapatit
dalam komposit adalah dua hal penting yang berpengaruh pada proses regenerasi tulang.
Persenyawaan antara kolagen dan kristal hidroksiapatit bertanggung jawab atas daya
tekan dan daya regang tulang yang besar. Cara penyusunan tulang serupa dengan
pembuatan palang beton. Serat-serat kolagen seperti batang-batang baja pada beton dan
hidroksiapatit serta garam-garam tulang yang lain sama seperti semen, pasir dan batu
pada beton tersebut. Analisis topografi komposit dengan SEM menunjukkan pola
gabungan kolagen dengan hidroksiapatit yang sesuai dengan analogi beton di atas.
100
Selain bentuk pori yang terbentuk dan struktur jalinan kolagen dengan
hidroksiapatit, biokompatibilitas adalah salah satu hal terpenting dalam aplikasi. Syarat
yang harus dipenuhi oleh bone graft sintetis adalah dapat diterima tubuh atau
biokompatibel
KESIMPULAN
Kontrol waktu pembekuan mempengaruhi ukuran makroporus dan sifat
mekaniknya. Komposit dengan ukuran pori terbesar diperoleh dengan 2 jam
pembekuan yaitu 774 m dan yang terkecil pada pembekuan selama 6 jam yaitu
640 m. Komposit dengan pembekuan 4 jam memiliki rata-rata ukuran
makroporus 675 m dengan kekuatan
Ucapan Terimakasih
Terimakasih kepada Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes dan Dr.
Ferdiansyah, dr., SPOT atas saran dan kritik dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anselme, K. 2000. Osteoblast adhesion on biomaterials. Biomaterials 21, 667.
Attaf, Brahim .2011..Advances in Composite Materials for Medicine and
Nanotechnology. Tech Janeza Trdine 9, 51000 Rijeka, Croatia
Chang, M. C. and Tanaka, J. 2002. FT-IR study for hydroxyapatite/collagen
nanocomposite cross-linked by glutaraldehyde. Biomaterials 23:4811
818.
101
Develioglu, H., Koptagel, E., Gedik, R. and Dupoirieux, L. 2005. The effect of a
biphasic ceramic on calvarial bone regeneration in rats. Journal of Oral
Implantology 31(6):309-312.
Ficai, A., Andronescu, E., Voicu, G., Ficai, D. 2011. Advances in
Collagen/Hidroxyapatite Composite Material. InTech
Gunawarman, Malik, A., Mulyadi S., Riana, Hayani, A. 2010. Karakteristik Fisik
dan Mekanik Tulang Sapi Variasi Berat Hidup sebagai Referensi Desain
Material Implan. Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNMTTM)
ke-9
Karageorgiou V, Kaplan D .2005. Porosity of 3D biornaterial scaffolds and
osteogenesis. Biomaterials 26:5474-5491.
Kirubanandan, S dan Sehgal, P.K, 2010. Regeneration of Soft Tissue Using
Porous Bovine Collagen Scaffold. Journal of Optoelectronics and
Biomedical Materials. Vol. 2.
Laurencin C, Khan Y, El-Amin SF (2006) Bone graft substitutes. Expert Rev Med
Dev 3: 49-57.
Lu JX, Flautre B et al. 1999. Role of interconnections in porous bioceramics on
bone recolonization in vitro and vivo. J Mater Sci Mater Med 10:111120.
Meiyanto, E., Sugiyanto, Murwanti, R., 2003, Efek Antikarsinogenesis Ekstrak
Etanolik Daun Gynura procumbens (Lourr) Merr pada Kanker Payudara
Tikus yang Diinduksi dengan DMBA, Laporan Penelitian Hibah Bersaing
XI/1 Perguruan Tinggi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Melannisa, R., 2004, Pengaruh PGV-1 Pada Sel Kanker Payudara T47D Yang
Diinduksi 17-estradiol: Kajian Antiproliferasi, Pemacuan Apoptosis, dan
Antiangiogenesis, Tesis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Moran, Michael J. dan Shapiro, Howard N. 2004. Termodinamika Teknik. Jakarta:
Erlangga.
OBrien FJ, Harley BA, Yannas IV, Gibson L. 2004. Influence of freezing rate on
pore structure in freeze-dried collagen-GAG scaffolds. Biomaterials 25:
1077-1086.
102
Prayitno, 2007. Ekastraksi Kolagen Cakar Ayam dengan Berbagai Jenis Larutan
Asam dan Lama Perendamannya. Jurnal Animal Production Vol. 9. No. 2.
Ratner, Buddy D., dkk. 1996. Biomaterial Science, An Introduction to Materials
in Medicine. Academic Press.:1-8.
Scabbia A, Trombelli L (2004) A comparative study on the use of a
HA/collagen/chondroitin sulphate biomaterial (Biostite®) and a
bovine-derived HA xenograft (Bio-Oss®) in the treatment of deep
intra-osseous defects. J Clin Periodontol 31: 348-355.
Schoof H, Bruns L, Fischer A, Heschel I, Rau G. 2000. Dendritic ice morphology
in unidirectionally solidified collagen suspensions. J Crystal Growth 209:
122-129.
Serre CM, Papillard M, Chavassieux P, Boivin G. 1993. In vitro induction of a
calcifying matrix by biomaterials constituted of collagen and/or
hydroxyapatite: an ultrastructural comparison of three types of
biomaterials. Biomaterials 14: 97-106.
Sloane, Ethel. 1995. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC: Jakarta.
Vaccaro, Alexander R. 2002. The Role of the Osteoconductive Scaffold in
Synthetic Bone Graft. Orthobluejournal vol 22 no 5/ Supplement
Wahl, DA dan Czernuszka .2006. Collagen-Hydroxiapatite Composites for Hard
Tissue Repair. Eropean Cells and Material Vol.11 pages 43-56
Wang RZ, Cui FZ, Lu HB, Wen HB, Ma CL, Li HD. 1995. Synthesis of
Nanophase Hydroxyapatite Collagen Composite. J Mater Sci Lett 14: 490492.
Wang, X., Nyman, J.S., Dong X., Leng,H., and Reyes, M. 2010. Fundamental
Biomechanics in Bone Tissue Engineering. Morgan and Claypool.
Yunoki, Shunji et al. 2006. Fabrication and Mechanical and Tissue Ingrowth
Properties
of
Unidirectionally
Porous
Hydroxyapatite/Collagen
103
Email : nurulistiqomahwaluyo@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pembuatan hidrogel kitosan glutaraldehid telah diteliti untuk aplikasi penutup luka
secara in vivo. Pembuatan hidrogel dilakukan dengan cara mencampurkan kitosan yang dilarutkan
dalam 1% asam asetat dengan 1% larutan glutaraldehid (dengan perbandingan kitosan :
glutaraldehid sebanyak 50ml:0ml, 50ml:2ml, 50ml:3ml dan 50ml:4ml). Penambahan glutaraldehid
berfungsi untuk memperbaiki sifat mekanik dari kitosan. Hidrogel kitosan glutaraldehid
dikarakterisasi menggunakan FTIR, kemampuan absorbsi, dan uji in vivo. Hasil FTIR
menunjukkan terbentuknya ikatan silang antara kitosan dan glutaraldehid, yang dapat ditunjukkan
pada bilangan gelombang 1638,23 cm-1 dan 1550,49 cm-1, hasil uji kemampuan absorbsi
menunjukkan bahwa swelling ratio menurun dengan meningkatnya derajat ikat silang, hasil uji in
vivo menunjukkan bahwa semakin besar volume glutaraldehid, proses penyembuhan memerlukan
waktu yang lebih lama. Hidrogel terbaik ditunjukkan dengan penambahan glutaraldehid 3 ml yang
memiliki nilai kemampuan absorbsi rata-rata 560,7 % dan uji in vivo yang mana hewan coba
sembuh pada hari ke 5.
Kata kunci : Hidrogel, kitosan, glutaraldehid, penutup luka, in vivo, kemampuan absorbsi, FTIR
104
PENDAHULUAN
Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam tubuh. Kulit mempunyai beberapa
fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu : sebagai pelindung, sensasi, komunikasi,
termoregulasi, sintesis metabolik dan kosmetik (Carville, 2007). Kulit memainkan peran
penting dalam homeostasis dan pencegahan invasi dari mikroorganisme oleh sebab itu
kulit pada umumnya perlu ditutup segera setelah terjadi kerusakan (jayakumar et al.,
2011).
Penutup luka yang ideal harus dapat memelihara lingkungan yang lembab di
permukaan luka, memungkinkan pertukaran gas, bertindak sebagai penghalang bagi
mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat.
Saat ini, penelitian difokuskan pada
perancangan secara sistematis pada bahan penutup. Misalnya penggunaan bahan yang
berasal dari bahan biologis seperti kitin dan turunannya, yang mampu mempercepat
proses penyembuhan pada tingkat molekul, seluler, dan tingkat sistemik.
Kitin
dan
turunannya
kitosan,
mempunyai
sifat
yang
biokompatibel,
biodegradabel, tidak beracun, antimikroba dan hydrating agent. Penelitian yang telah
dilakukan oleh David R. Rohindra dkk pada tahun 2004 menunjukkan bahwa
pencampuran kitosan dengan glutaraldehid dapat diaplikasikan sebagai hidrogel. Jumlah
air bebas dalam hidrogel menurun dengan meningkatnya ikatan silang dalam hidrogel.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan hidrogel kitosan
glutaraldehid untuk penyembuhan luka dan mengetahui karakteristik hidrogel yang
terbaik.
Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu :
sebagai pelindung, sensasi, komunikasi, termoregulasi, sintesis metabolik dan kosmetik
(Carville, 2007). Kulit memainkan peran penting dalam homeostasis dan pencegahan
invasi dari mikroorganisme oleh sebab itu kulit pada umumnya perlu ditutup segera
setelah terjadi kerusakan (jayakumar et al., 2011).
Penutup luka yang baik memiliki beberapa karakteristik seperti biokompatibilitas
yang baik, rendah toksisitas, aktivitas antibakteri dan kestabilan kimia sehingga akan
mempercepat penyembuhan, tidak menyebabkan alergi, mudah dihilangkan tanpa trauma,
dan harus terbuat dari bahan biomaterial yang sudah tersedia sehingga memerlukan
pengolahan yang minimal, memiliki sifat antimikroba dan dapat menyembuhkan luka
(Jayakumar et al., 2011).
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar kelompok penelitian yang
bertujuan untuk menghasilkan, baik yang baru maupun memperbaiki sifat-sifat penutup
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
105
luka (Shitaba et al., 1997; Draye et al., 1998; Ulubayram et al., 2001). Saat ini, penelitian
difokuskan pada percepatan perbaikan luka dengan perancangan secara sistematis pada
bahan penutup. Misalnya penggunaan bahan yang berasal dari bahan biologis seperti kitin
dan turunannya, yang mampu mempercepat proses penyembuhan pada tingkat molekul,
seluler, dan tingkat sistemik. Kitin telah tersedia dan dapat diperoleh dari bahan biologis
yang murah dari kerangka invertebrate serta dinding sel jamur. Kitin adalah ikatan
polimer linier 1,4 yang terdiri dari residu N-acetyl-D-Glucosamine. Kitin dan turunannya
kitosan, mempunyai sifat yang biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun, antimikroba
dan hydrating agent. Karena sifat ini, baik kitin maupun kitosan menunjukkan
biokompatibilitas yang baik dan efek positif pada penyembuhan luka. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa kitin
dapat
mempercepat perbaikan kontraksi jaringan luka dan mengatur sekresi dari mediator
inflamasi seperti interleukin 8, prostaglandin E, interleukin 1 , dan lain-lainya
(Bottomley et al, 1999.; Willoughby dan Tomlinson, 1999). Kitosan merupakan hemostat,
yang membantu dalam pembekuan darah secara alami. Kitosan secara bertahap
terdepolimerisasi untuk melepaskan N-acetyl- -D-glukosamin, yang memulai poliferasi
fibroblast, membantu dalam memberikan perintah deposisi kolagen dan merangsang
peningkatan sintesis tingkat asam hyaluronic alami pada lokasi luka. Ini membantu
percepatan penyembuhan luka dan pencegahan bekas luka (Paul dan Sharma, 2004).
Kitin dan kitosan tampaknya akan menjadi bahan penutup luka yang dapat
diunggulkan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jayakumar dkk pada tahun 2011,
menunjukkan bahwa bahan berserat yang berasal dari kitin dan turunannya memiliki sifatsifat ketahanan yang tinggi, biokompatibilitas yang baik, rendah toksisitas, dapat
menyerap cairan dan aktivitas antibakteri sehingga akan mempercepat penyembuhan.
Untuk meningkatkan sifat penyembuhan luka, kitin dan kitosan berbasis membran telah
dikembangkan dengan mencampurkan ke dalam beberapa polimer.
Penelitian yang telah dilakukan oleh David R. Rohindra dkk pada tahun 2004
menunjukkan bahwa pencampuran kitosan dengan glutaraldehid
dapat diaplikasikan
sebagai hidrogel. Jumlah air bebas dalam hidrogel menurun dengan meningkatnya ikatan
silang dalam hidrogel. Hidrogel berbasis kitosan menunjukkan biokompatibel yang baik,
degradasi rendah dan cara pengolahannya mudah. Kemampuan dari hidrogel untuk
mengembang dan dehidrasi tergantung pada komposisi dan lingkungan yang telah
dimanfaatkan
untuk
memfasilitasi
berbagai
aplikasi
seperti
pelepasan
obat,
106
al.2002) dan ikatan silang mereka berdua adalah metode yang tepat dan efektif untuk
memperbaiki sifat fisik dan mekanik kitosan untuk aplikasi praktis. Studi dilakukan pada
tikus menggunakan ikatan silang antara kitosan dan glutaraldehid (Jameela et al. 1994)
menunjukkan toleransi yang menjanjikan pada jaringan hidup dari otot tikus.
METODE PENELITIAN
Prosedur pembuatan larutan kitosan adalah sebagai berikut : kitosan dilarutkan ke
dalam asam asetat 1% pada temperatur ruang dan dibiarkan semalam dengan pengadukan
mekanik terus menerus untuk mendapatkan larutan 1% (b/v). larutan kitosan kental
berwarna kuning pucat disaring untuk menghilangkan materi yang tidak larut.
Prosedur pembuatan hidrogel sebagai berikut : larutan glutaraldehid 1 % dengan
rasio mol berbeda ditambahkan ke dalam larutan kitosan. Larutan tersebut diaduk selama
30 menit dalam suhu ruang sampai viskositasnya meningkat. Hidrogel yang terbentuk,
dituang lalu diratakan pada plat kaca yang sudah dilapisi kasa steril sebelumnya. Dan
kemudian dikeringkan dalam suhu ruang selama 7 hari (proses dilakukan dengan keadaan
lingkungan steril).
Penelitian ini menggunakan uji FTIR, kemampuan absorbsi, dan uji in vivo untuk
mendapatkan karakteristik hidrogel yang terbaik. Diagram penelitian ini ditunjukkan pada
gambar dibawah ini.
107
108
Populasi penelitian pada uji in vivo ini adalah mencit (Mus musculus) jantan dari
koloni yang sama, umur 2-3 bulan, berat 20-30 gram. Pembagian kelompok dilakukan
dengan cara sampling. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan
keseluruhan obyek penelitian. Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan cara
simple random sampling. Simple random sampling merupakan pemilihan sampel dengan
cara menyeleksi setiap elemen secara acak. Penjabaran rumus besar sampel :
p (n-1)
15
5 (n-1)
15
5n 5
15
5n
20
beberapa
kali
dengan memberi
sponge filter
paper
untuk
menghilangankan air yang diserap pada permukaan kemudian segera ditimbang dengan
timbangan digital.
Banyaknya air yang terserap pada hidrogel dapat dihitung
menggunakan
persamaan
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
109
E=
X 100 %
bahan kitosan dan glutaraldehid 2ml, sudah terjadi reaksi ikatan silang. Ikatan
silang ditunjukkan pada bilangan gelombang 1638,23 dan 1550,49 cm-1 yang mana
merupakan gugus C=O dan NH2.
rantai yang digunakan kitosan untuk mengikat H2O telah habis dipakai untuk mengikat
glutaraldehid.
110
800
893.39
732.14
600
560.77
400
353.97
200
0
sampel A
sampel B
sampel C
sampel D
Dari hasil uji in vivo hewan coba yang diberi kasa hidrogel kitosan sembuh pada
hari ke 3, hewan coba yang diberi kasa hidrogel kitosan 2 ml sembuh pada hari ke-4,
hewan coba yang diberi kasa hidrogel kitosan 3 ml sembuh pada hari ke-5, hewan coba
yang diberi kasa hidrogel kitosan 4 ml sembuh pada hari ke-6.
Penelitian ini memerlukan sampel yang homogen agar variabel perancu dapat dikurangi
dan hasil yang diperoleh juga homogen, oleh karena itu hewan coba yang digunakan pada
penelitian ini memiliki kriteria yang sama agar dapat dikatakan homogen. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus Musculus) dimana semua hewan
berjenis kelamin sama, mempunyai berat yang sama yaitu sekitar 20-30 gram dan
memiliki umur yang sama yaitu sekitar 2-3 bulan. Pemilihan kriteria tersebut didasarkan
bahwa hewan jantan tidak mengalami siklus menstruasi. Jika menggunakan hewan
berjenis kelamin betina, maka akan mengalami menstruasi yang dapat memicu terjadinya
stress pada hewan. Peningkatan stress akan memicu hormone glukokortikoid yaitu
kortisol yang bersifat imunosupresif.
Jenis penelitian ini menggunakan post test only control group sehingga penilaian
luka hanya dilakukan pada hari ke-3, ke-5 dan ke-7 post insisi. Selain itu penelitian ini
bertujuan untuk membandingkan penggunaan kasa hidrogel paduan kitosan dan
glutaraldehid dengan masing-masing komposisi glutaraldehid sebanyak 2 ml, 3 ml, dan 4
ml terhadap penyembuhan luka insisi dimana hal itu dapat diobservasi ketika proses
penyembuhan luka masih berlangsung, sehingga penilaian hari ke-3, ke-5 dan ke-7 sudah
bisa menggambarkan perbedaan penyembuhan luka insisi pada kelima kelompok.
Penilaian luka dilakukan pada hari ke-3 dan ke-5 karena untuk melihat kondisi luka pada
fase inflamasi, penilaian pada hari ke-7 untuk melihat kondisi luka pada fase proliferasi.
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
111
dapat
112
untuk aktivitas tumoricidal (Jayakumar, 2011). Hal tersebut merangsang proliferasi sel.
Selain itu kitosan merupakan hemostat, yang membantu dalam pembekuan darah secara
alami karena kitosan diduga memilki kemampuan sebagai katalis pembekuan darah.
Kitosan juga memiliki sifat biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun, antimikroba dan
hydrating agent
(Jayakumar, 2011).
mekanik kitosan yang amorf, sehingga kasa hidrogel mudah robek. Jadi untuk penutup
luka yang ideal, selain dapat memelihara lingkungan yang lembab di permukaan luka,
memungkinkan pertukaran gas, bertindak sebagai penghalang bagi mikroorganisme dan
menghilangkan kelebihan eksudat, penutup luka juga harus mempunyai sifat mekanik
yang unggul. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji sifat mekanik dikarenakan sampel
hidrogel terlalu tipis dan gampang sobek. Penutup luka harus memiliki sifat mekanik
tertentu yang mendekati sifat mekanik kulit. Hal tersebut mengacu pada tabel 4.2.
Tabel diatas menjelaskan tentang sifat mekanik yang telah dilakukan oleh Aisling
pada tahun 2011 dan beberapa peneliti untuk mengetahui sifat mekanik kulit. Sehingga
kedepannya dapat dijadikan acuan untuk pengujian sifat mekanik pada penutup luka
hidrogel ini
Dilihat dari uji FTIR, terlihat bahwa pada penambahan glutaraldehid sebanyak 2
ml, sudah ada reaksi ikat silang antara glutaraldehid dan kitosan yang tampak pada
puncak gelombang 1638,23 dan 1550,49 cm-1 yang mana merupakan gugus C=O dan
NH2.
Ikatan silang diduga dapat memperbaiki sifat mekanik, hal ini terbukti bahwa
semakin banyak glutaraldehid yang ditambahkan semakin menurun kemampuan
Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013
113
absorbsinya dikarenakan rantai NH2 dipakai untuk mengikat gugus aldehid pada
glutaraldehid. Dapat dianalogikan, semakin banyak jumlah glutaraldehid yang
ditambahkan, struktur hidrogel semakin padat (pori-pori rongga mengecil), jika struktur
hidrogel semakin padat maka dapat dipastikan sifat mekanik semakin meningkat. Hasil
yang diinginkan dalam penelitian ini adalah mencari komposisi kitosan dan glutaraldehid
yang memenuhi uji kemampuan absorbsi tetapi juga memiliki sifat mekanik yang baik.
Maka dari itu, perbandingan kitosan 50 ml dan glutaraldehid 3 ml yang diperoleh hidrogel
dengan karakteristik yang terbaik. Selain itu pada uji in vivo, kasa hidrogel paduan
kitosan + glutaraldehid 3 ml, hewan coba sembuh pada hari ke 5. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Djamaludin pada tahun 2009, hewan coba yang hanya diberi obat
komersial sembuh pada hari ke-6. Jadi dapat disimpulkan bahwa kitosan + glutaraldehid 3
ml merupakan hidrogel dengan karakteristik yang terbaik, dibuktikan dengan uji
kemampuan absorbsi yang mempunyai nilai E rata-rata 560,7 % dimana hidrogel dengan
karakter yang baik jika hidrogel mampu menyerap air hingga 99 % kandungannya dan uji
invivo yang mana hewan coba sembuh pada hari ke-5.
Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan secara mikroskopis (pengamatan
histopatologi) dikarenakan terkendala biaya dan waktu. Parameter yang diamati pada
pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (neutrofil, makrofag dan
limfosit), jumlah neokapiler, presentasi re-epitalisasi dengan preparat yang digunakan
adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE dan kepadatan jaringan ikat
(fibroblas) dengan preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan
pewarnaan MT.
Presentase re-epitalisasi menurut Low et al (2001) menggunakan rumus, yaitu :
Perhitungan kepadatan jaringan ikat dilihat dari intensitas jaringan ikat (fibroblas) pada
pewarnaan Masson Trichrome (MT) dengan metode skoring. Adapun kriteria skoring
histopatologi dilakukan dengan acuan sebagai berikut :
114
Skor
1
4
0
Keterangan
Jaringan ikat sedikit, jarang atau tidak kompak dan tersebar tidak
merata. Luka masih dalam keadaan terbuka
Jaringan ikat sedikit tetapi sudah mengumpul dibeberapa tempat. Luka
terbuka atau tertutup
Jaringan ikat sudah padat dan kompak. Luka sudah tertutup tetapi
masih terdapat rongga
Jaringan ikat padat dan kompak. Luka sudah menutup dan tidak
terdapat rongga
Hewan mati
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
Kasa hidrogel paduan kitosan dan glutaraldehid dapat diaplikasikan sebagai penutup luka,
dimana sesuai dengan hasil uji invivo yang menunjukkan bahwa pada hewan coba yang
diberi kasa hidrogel campuran kitosan dan glutaraldehid sembuh pada hari ke-4 (kitosan
dan glutaraldehid 2 ml), ke-5 (kitosan dan glutaraldehid 3 ml) dan ke-6 (kitosan dan
gltaraldehid 4 ml). Karakteristik kasa hidrogel campuran kitosan dan glutaraldehid yang
terbaik yaitu pada penambahan glutaraldehid sebanyak 3 ml, dimana rata-rata nilai
kemampuan absorbsinya adalah 560,77 % dan pada uji invivo, hewan coba sembuh pada
hari ke-5.
DAFTAR PUSTAKA
Bagas, 2009, Sintesis Hydrogel. http://www.wordpress.com , Diakses 12 Juli 2012
Basuki, Bagus Rahmat., I Gusti Made Sanjaya, 2009, Sintesis Ikat Silang Kitosan dengan
Glutaraldehid serta Identifikasi Gugus Fungsi dan Derajat Deasetilasinya. Jurnal
ILMU DASAR Vol. 10 No. 1, 93 101.
Djamaludin, Andre Mahesa. 2009. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Krustacea Untuk
Penyembuhan Luka Pada Mencit. Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Matematika
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
115
Jayakumar, R., Prabaharan, M., Sudheesh Kumar, P.T., Nair, S.V., Tamura, H. 2011.
Biomaterials Based on Chitin and Chitosan in Wound Dressing Applications. Doi:
10.1016/j.biotechadv.2011.01.005
Novriansyah, Robin, 2008, Perbedaan Kepadatan Kolagen di Sekitar Luka Insisi Tikus
Wistar yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penutup Oklusif Hidrokoloid Selama
2 dan 14 Hari. Universitas Diponegoro, Semarang.
Triyono, Bambang, 2005, Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus
Wistar yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak
Diberi Levobupivikain. Universitas Diponegoro Semarang.
116